Atama POV
*****Entah ke berapa puluh kali ku kirimkan pesan pendek kepada Al, sampai pukul tujuh malam dia baru membalas pesan pendekku.Nanti malam aku pulang, Ta.Aku langsung membalas.Kamu nggak apa-apa kan, Al?Tidak ada jawaban lagi setelahnya.Sampai malam telah larut, akhirnya terdengar suara ketukan pintu. Sesuai seperti yang kukatakan sebelumnya, aku akan memeluknya ketika dia kembali.Ya, menjatuhkan diriku ke pelukannya dan menangis ketika dia datang, aku takut sekali kehilangan dia.Sangat takut.Tapi saat aku membuka pintu dan mendapati wajah Aljabar pun sama babak belurnya, aku pun tahu satu hal bahwa apa yang dikatakan Tante Dayu pasti benar adanya.Aku berjalan menuju kamar setelah memutar kenop pintu dan membiarkan Aljabar masuk. Mengekor di belakangnya dengan degup jantung yang bertalu tak menentu."Apa yang udah kamu lakuin sama Lexi? Kamu mukulin dia?" Tanyaku saat itu. Aku tidak tahu kenapa pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku karena pada dasarnya aku tahu betul bagaimana perangai Aljabar yang sebenarnya.Dan benar saja dugaanku, Aljabar marah saat itu. Matanya merah, menatapku seakan ingin melumatku hidup-hidup."Harusnya aku yang tanya itu sama kamu? Apa yang udah kamu lakuin sama bajingan itu kemarin?"Aku nyesel karena dia nggak mati!" Nadanya rendah, namun suaranya terdengar parau. Aku tahu di hatinya penuh dengan kemarahan."Aku nggak ngelakuin apa- apa sama dia, Al. Sungguh," tekanku.Aljabar mendorong tubuhku ke tepi tembok, menarik bagian depan kaosku. Dinding kamar terasa dingin menggesek kulit karena efek tekanan Aljabar membuat tubuhku terhimpit. Tanpa basa-basi dia menciumku dengan kasar seolah aku hanya sebuah benda kosong tak berhati. Ingin rasanya aku berteriak, memaki betapa mujurnya takdir sialan ini."Dia nyium kamu kaya gini, kan, kemarin? Di mana lagi dia nyium kamu? Sekarang kamu ngomong sama aku, lebih enakan mana aku sama dia?" ucapnya dengan tatapan tajam dan alis saling menukik tajam.Dia tidak memberiku kesempatan bicara, merobek atasanku hingga teronggok di lantai, "Al, plis... Aku nggak mau kamu kayak gini!""Kenapa? Nggak suka? Kamu lebih suka Lexi yang nglakuin ini, hah? Mau teriak?""Al, hentikan, aku mohon!" Mulutku setengah berteriak. Aku benar-benar benci situasi ini."Teriak aja, aku nggak peduli. Kamu masih istri aku, ya. teriak aja lalu biarin tetangga dateng dan liat kita tanpa busana. Mau jadi tontonan? Kamu milik aku, dan akan selalu begitu, Ta. Aku nggak rela setan itu nyentuh kamu seujung jari pun!""Aku nggak pernah main hati sama dia asal kamu tau.""Tapi main badan, iya? Munafik kamu, ngerasa lebih baik dari aku?" Jawabnya berang."Aku nggak pernah hianatin kamu, sumpah, Al.""AKU UDAH TAU SEMUANYA, ATAMA!" serunya lantang, bahkan saking emosinya Aljabar, gemerutuk giginya dapat terdengar olehku samar-samar."Tau apa, Al?""Apa jaminannya? Apa jaminannya dia nggak ngapa-ngapain kamu sama tampang kamu yang napsuin kaya gini!"Tangan Aljabar memegangi kedua tanganku, sementara tangan yang lain memerangkap wajahku dan menciumku seperti orang kesetanan. Posisi kami masih berdiri dan saling berhadapan.Aku tidak habis pikir kenapa aku bisa dengan mudah mencintai dia, sejauh ini, sedalam ini. Sebanyak apa pun dia menyakitiku.Air mataku mengalir, serendah itukah aku di matanya? Aku tidak melakukan apa pun, jika aku membiarkan Lexi menciumku karena aku pikir Lexi adalah dia, karena aku sedang dipengaruhi alkohol.Dia mencari kepuasannya sendiri, menyentuhku dengan balutan nafsu dan emosi yang meledak-ledak. Selama ini aku tidak pernah mengerti aku hidup dengan siapa, karena aku tidak pernah bisa memahaminya.Saat itu, Aljabar bermain di tubuhku dengan kasar, seakan tak peduli jika hal buruk akan terjadi pada bayiku. Sampai dia mencapai pelepasan dan dia mengusap pipiku pelan.Tubuhku luruh di lantai ketika semuanya telah selesai, memeluk kedua lututku dan menangis lagi.Dia mengais pakaiannya yang tercecer di lantai. Menggunakan pakaiannya lalu keluar dari kamar, membiarkan dan meninggalkanku begitu saja layaknya aku seorang pelacur.Ini tidak adil bagiku.Lewat tengah malam, Aljabar kembali ke kamar dan melihatku masih dalam posisi yang sama. Dia mendekat padaku, menyelimuti tubuhku yang tak lagi merasakan hawa dingin. Membantuku bangkit dan menidurkanku di atas ranjang."Aku cuma nggak rela kamu disentuh dia, Ta." Dia mengusap bibirku sejenak, lalu mengusap air mata yang tidak juga mau berhenti sekuat apa pun sudah kutahan."Kamu nyakitin aku, Al." Bisikku lirih."Aku bakal sembuhin kamu. Dengan cara apa pun." Dia memelukku.Dan ya... Dia benar.Dia selalu menyakitiku lalu dia mengobatiku."Tante Dayu tadi telepon," kataku."Jangan sebut nama itu, Ta. Aku nggak mau denger!""Aku khawatir sama kamu, aku takut kamu masuk penjara. Aku takut anak kita nggak punya Papa.""Kamu tau, nggak ada penjara mana pun yang aku takutkan kalo itu udah menyangkut kamu.""Kamu sayang sama aku, Al?""Aku pikir pertanyaan kamu nggak butuh jawaban, kamu tau jawabannya." Dia diam, meneguk ludah kasar."Lalu kenapa harus ada Kinan? Aku sama sakitnya saat kamu tahu, aku bersama orang lain. Kamu jelas-jelas hianatin aku, sementara aku nggak.""Dia yang bikin aku nyaman. Dia tau luka di hatiku karena penghianatan kamu. Aku tau batasanku dengan orang lain, Atama.""Tau batasan? Kenapa sama aku enggak?"Dia menekan bibirnya di puncak kepalaku, cukup lama."Kamu setan yang paling kuat yang nggak bisa aku kalahin, aku nggak tau kenapa melihat wajah kamu aja bisa sebegitu menggoda imanku."Aku menggenggam tangannya erat, dia membaringkanku lalu tidur di sisiku, memeluk tubuh ini sepanjang malam.Cih, Setan katanya? Dialah setannya. Sayangnya aku terpenjara dalam cintanya.Al, kenapa kamu selalu menjadi luka sekaligus penyembuh bagiku? Ingin rasanya mengatakan itu, tapi sayangnya aku tidak bisa. Aku hanya tidak ingin merusak momen hangat bersamanya kali ini. Momen yang sangat jarang terjadi akhir-akhir ini."Kamu beliin dia ponsel?" tanyaku seraya meneguk ludah. Sungguh, tidur beriringan dengannya membuatku dirambati rasa bahagia sekaligus rasa sedih secara bersamaan."Nggak," jawabnya mantap."Jawab aja kalo emang bener," pintaku, mencoba meredam kemarahan yang menggelegak dalam dada."Kan aku jawab, nggak.""Aku tau dari Wahyu.""Dan aku juga tau kenapa aku sangat benci pada pernikahan kita. Kenapa ada Kinanta, karena dia beda dengan kamu," jawabnya membuat ulu hatiku seperti tersengat listrik voltase tinggi. Aku mencium ada aroma keculasan yang membuat hubunganku dengan Aljabar menjadi rumit seperti ini. Dan mungkin dialah orangnya. Kinanta Aurelia Wilhelmina."Apa yang kamu katakan? Aku nggak pernah sembunyiin apa-apa dari kamu. Jangan terlalu percaya kata orang, Al."Aljabar melengos. Seolah tak mempercayaiku seujung kuku pun."Berapa kali kamu tidur dengan dia?" tudingnya to the point.Mataku memejam, merutuki tudingan Aljabar yang tak berdasar. Namun dia tampak sangat yakin."Omong kosong. Alibi murahan untuk mengelak. Mencari kambing hitam!" pungkasku sambil berlalu meninggalkannya. Dan saat itu, aku memilih untuk tidur di ruang tamu dengan hati berkecamuk sepanjang malam.Aku tak pernah sekali pun menduakannya. Seandainya dia percaya.Tak ada gunanya mempertahankan argumentasi seperti itu, pembuktian apa pun tak akan berpengaruh pada hati batu.Sayangnya, aku sangat mencintai arca tanpa hati yang berbentuk manusia dengan nama Aljabar Wiratama itu.*****Setelah kecemburuannya kemarin membuat Aljabar gelap mata sampai membuat Lexi babak belur, semuanya berjalan seperti biasa. Seolah tak pernah terjadi apa-apa. Aku bersyukur, Lexi tak benar-benar mengambil langkah hukum untuk memenjarakan Al.Beberapa hari lalu Aljabar ada kegiatan touring dengan komunitas motor kegemarannya. Dan seharusnya dia sudah pulang kemarin malam. Aku tak ingin banyak berspekulasi. Mungkin saja ada sesuatu yang membuatnya harus pulang terlambat.Semalaman terjaga, tanpa mampu memejamkan mata barang sebentar. Sampai lingkaran bawah mata ini kembali menghitam. Entahlah, nama Kinan masih jadi bayang-bayang meski sudah kucoba untuk melupakannya. Feelingku tidak enak.Dia pulang pagi itu, kusambut dengan senyum meski gejolak di hatiku terasa membakar.Aku sudah mati-matian mencoba memupuk harga diriku, harga diri yang tak pernah lagi kumiliki semenjak aku menikah dengan Aljabar. Harga diri yang selalu ia gunakan sebagai alas kaki.Demi Pluto yang sudah dihapus dari kategori planet, aku membencinya. Membencinya dengan semua sisa cinta yang masih melekat dalam diriku. Aku tidak akan memaafkannya jika feelingku tentang Kinan adalah benar.Sudah cukup. Hatiku terlalu sakit untuk terus diludahi dengan penghinaan dan pengkhianatannya.Aku membawa ranselnya menuju kamar, membongkarnya untuk menaruh pakaian kotor. Dan benar saja, insting seorang istri tidaklah pernah keliru.Ketika dia mandi dan aku membuka tas ranselnya, ada celana dalam renda-renda berwarna pink. Seperti bom atom yang meledakkan kota Hiroshima, aku juga merasakan ledakan yang dahsyat dalam diriku. Sakit yang hebat.Dia keluar dari kamar mandi, dengan wajah datar seperti biasa, dia menatapku yang hanya diam. Satu tanganku menyembunyikan celana dalam itu di balik punggung.Aljabar mendekat padaku, menggosok-gosok rambutnya yang basah, masih dengan bertelanjang dada."Liatinnya biasa aja!" serunya ngegas."Ini apa?" ucapku sembari menunjukkan benda laknat yang membuatku hampir gila itu."I ... itu dari mana?" tanyanya gugup."Udah dipakai?" serangku tajam."Apanya?""Isinya!" jawabku penuh dengan penekanan.Aku mendelik dan mendekat padanya, jarak wajah kami kurang dari sejengkal sampai aroma napasnya tercium jelas menyapa indra penciumanku."Ceraikan aku!" ucapku mantap."Nggak, kamu akan tetap berada di sisiku sampai kapan pun," ucapnya tak kalah kukuh."Bertahan di sisi kamu untuk terus kamu sakitin? Aku udah nggak sanggup lagi, Al. Kalo emang nggak ada satu pun di antara kita yang bahagia atas pernikahan ini, tolong lepaskan aku. Mungkin cara bikin kita bahagia yang Tuhan gariskan bukan dengan kita sama-sama. Mungkin dengan dia kamu bakal bisa lebih bahagia.""Kamu juga ada main sama Lexi, dan aku ragu anak itu anak aku. Kita impas, Atama Lovenia," ucapnya tanpa tedeng aling-aling. Dia tersenyum merendahkan kemudian kembali berujar," kamu nggak akan pernah ninggalin aku, Ata. Kamu itu cinta mati sama aku.""Lalu kenapa kamu masih meragukan tubuhku untuk siapa? Bukankah kamu bisa dengan percaya diri mengatakan bahwa aku sangat mencintaimu?"Dia tertawa mengejek. "Jangan munafik, Atama. Kamu tahu bahwa bagi sebagian orang s*ks bukan perkara tabu. Bukan tentang perasaan. Melainkan tentang kepuasan," tuturnya dengan sorot mata penuh konfrontasi."Aku bukan kamu!" ucapku cepat."Aku memang sayang sama kamu. Tapi aku cuma ngerasa jadi boneka, nggak berhak marah atas apa pun yang kamu lakukan di luar sana. Kalo kamu di sini mempertahankan rumah tangga kita dan nasib bayiku cuma karena kasihan, pergi! Aku nggak butuh dikasihani. Lagian aku juga lelah tinggal bersama suami yang memperlakukanku layaknya boneka s*ks," imbuhku."Coba aja kalo bisa, Ata." Mengangkat satu sisi sudut bibir. Aljabar mampu membuat hatiku teriris dan akalku terkikis."Bisa, aku juga bisa kehilangan kamu meskipun aku harus terbaring lebih dulu di rumah sakit. Waktu nanti yang bakal membantuku sembuh jika harus sembuh. Aku akan buktiin aku nggak akan mati karena kehilangan laki-laki brengsek seperti kamu.""Lakukan apa yang kamu inginkan, aku nggak peduli."Degh....Jantungku tertikam oleh tajamnya ucapan itu.Atama POV*****Dua hari sejak hari itu, Aljabar sama sekali tidak kembali ke rumah.Perasaan takut, khawatir, semuanya bercokol kuat di hatiku. Terlebih, dia benar. Aku takut kehilangannya. Aku lelah berkutat dengan gelisah itu tiap waktu. Butuh tempat bercerita kuputuskan datang pada keluargaku. Menceritakan semuanya dan berharap mereka akan menguatkan atau menenangkanku."Aljabar adalah pilihan kamu, Ata. menikah dengannya adalah konsekuensi dari perbuatan kamu sendiri, jadi buat apa ditangisin?"Itu yang Mama ucapkan dengan acuhnya saat aku bercerita sambil menangis mengenai perselingkuhan Aljabar. "Udah mau jadi janda aja, nih? kasian bener tuh bayi."Itu yang Kak Arlan ucapkan dengan entengnya."Aku nggak ngerti urusan orang dewasa, Mbak. Bukan karena aku nggak peduli. Sungguh."Setidaknya benar, adikku memang belum mengerti."Papa udah bilang, lepasin kalo itu berat. Papa sibuk, Ata. Hari ini banyak masalah di tempat kerja. Belajarlah mengatasi masalah kamu sendiri. Papa pusi
Aljabar tidak tahu apa yang terjadi setelah malam itu, yang dia tahu, saat dia kembali ke rumah, Ata sudah tidak ada bahkan beberapa pakaian milik istrinya itu juga ikut raib dari lemari.Pertengkaran hebat yang terjadi malam tadi membuat Aljabar hampir gila, saat dia tersadar bahwa perbuatannya mungkin nyaris membunuh istrinya sendiri.Dan dia menyesal, sungguh.Dia ingin meminta maaf dan memeluk istrinya."Ma, Ata di sini?" Tanya Aljabar pada Ibu mertuanya. Aljabar yakin Ata pulang ke rumah orang tuanya itulah sebabnya dia datang ke sini."Loh, dia nggak kesini. Emang dia pamit ke sini?" Mama mertuanya balik bertanya. Membuat bibir pemuda yang mengenakan kaus hitam itu bergetar, bingung harus menjawab apa."Eng... Nggak sih, Ma. Tepatnya dia nggak pamit mau kemana. Tapi, dia nggak ada di rumah sekarang," jawab Aljabar sambil menunduk. Tenggelam dalam tumpukan sesal."Maksud kamu Ata minggat?" Mama mertuanya mendelik, tatapannya mengintimidasi. Namun Aljabar tak berhak membalasnya de
Aljabar POV*****Bola api raksasa semburatkan pendar cahaya menyilaukan mata.Aku menipiskan penglihatanku yang kabur akibat air yang membendung di kelopaknya. Berusaha menyempurnakan tatapan pada sebidang gundukan tanah berbingkai keramik marmer berwarna putih gading di hadapanku.Makam ini selalu bersih dan terawat karena pihak keluarga yang memang menyewa jasa pembersih makam untuk membersihkannya secara rutin."Apa kabar, Ta?" Ucapku hampir tak bersuara. Saking pelannya suara itu. Posisiku kini sudah berjongkok di sisi makam. Menyentuh ukiran nama yang bertuliskan "Atama Lovenia" di batu nisannya.Air mataku menitik seketika.Ada sesak yang mengutuk hatiku di senja hari yang sunyi ini. Serangan membabi buta yang berdiam di dadaku dan tak bisa kuantisipasi.Meski sudah lima tahun berlalu, namun penyesalan atas rasa bersalahku pada Atama tak juga lenyap dari kehidupanku.Kepergian Atama sukses menjadi hukuman terberat yang Tuhan beri untukku.Lima tahun yang lalu, ketika pihak kel
Hujan semakin deras, mengguyur jalanan dengan menyebarkan aroma petrichor merasuk penghidu. Debu-debu yang tadinya terbang bebas di udara kini jatuh terhempas bersama buliran-buliran kristal dingin yang membasahi bumi.Perempuan bernama Rassi itu mengusap kepala Althair yang tampak asyik bermain dengan teman sekolahnya di sebuah arena permainan anak di dalam Mall. Mereka begitu cepat akrab.Sementara di luar area bermain, Aljabar dan Kinan menunggu sambil menikmati kopi hangat. Mereka tidak ikut masuk karena memang hanya satu orang penjaga saja yang diizinkan masuk olek pihak wahana permainan dan mereka mempercayakan Chelsea pada Rassi.Ada perasaan lain yang kini mengkontaminasi pikiran Aljabar. Matanya memang tertuju pada di mana kini Chelsea berada, namun pikirannya melekat pada perempuan dewasa nan cantik jelita bernama Rassi itu. Ini bukan soal paras sempurna yang dimiliki Rassi, tapi lebih pada cara Rassi menatapnya tadi.Sebuah tatapan yang begitu dalam Aljabar rasakan. Menusuk
"Pa, Papa? Papa?"Sebuah guncangan yang cukup keras di lengannya membuat lamunan Aljabar terpecah.Lelaki itu mengalihkan pandangannya ke arah sang anak di sisinya. "Ya sayang," sahutnya mencoba menunjukkan perhatian."Papa kenapa sih, seneng banget ngelamun nggak jelas? Nggak di lumah, nggak di lumah Oma, di kantol, seling banget ngelamun," keluh Chelsea yang memang sudah hafal akan kebiasaan buruk Aljabar selama ini.Aljabar terkekeh. "Maaf, Papa cuma lagi seneng aja kalau Chelsea sekarang punya teman dekat di sekolah. Jadi nggak ada alasan lagi besok-besok Chelsea nangis kalau mau berangkat sekolah ya?" Balas Aljabar berusaha mengalihkan percakapan."Loh, emangnya Chelsea suka nangis kalau mau sekolah?" Sambung Althair yang tampak terkejut.Sementara Chelsea hanya memasang wajah cemberut, Aljabar pun menjawab, "iya Al, Chelsea itu susah banget kalau diajak sekolah. Tapi sekarang Om yakin Chelsea akan lebih semangat sekolah karena ada Al, iyakan sayang?" Tanya Aljabar pada Chelsea,
"Dan mobil yang meledak itu adalah kendaraan taksi online yang ditumpangi Atama, putri Bapak dan Ibu. Sebelumnya saya mohon maaf atas kelalaian istri saya dalam berkendara. Tapi, dalam hal ini, saya maupun Bapak dan Ibu, sama-sama kehilangan karena Istri saya pun turut meninggal dalam insiden tersebut setelah mobilnya menabrak taksi online yang ditumpangi Atama,""Apa hak lo memakamkan jasad istri gue tanpa persetujuan keluarga? Hah? Jangan coba-coba memanipulasi keadaan! Atama nggak mungkin meninggal semudah itu! Lo pasti udah sembunyiin dia, kan? Di mana Atama? DI MANA ISTRI GUE BRENGSEK!"*Dalam keheningan malam di balkon kamar kediaman pribadinya, Aljabar kembali teringat akan kejadian lima tahun silam di Solo, sewaktu dirinya mengetahui bahwa Atama sudah meninggal.Orang pertama yang menjelaskan kronologi kejadian selain pihak kepolisian adalah lelaki bernama Abraham. Ia berprofesi sebagai seorang dokter bedah plastik di rumah sakit yang menampung jasad Atama pasca kecelakaan it
Setelah pertengkaran yang terjadi di antara Aljabar dengan Kinan tadi malam, lalu keduanya kembali berbaikan dengan Aljabar yang berjanji untuk mulai membuka hati pada Kinan, berusaha sebisa mungkin untuk menata kehidupannya yang sudah tersia-siakan selama lima tahun belakangan karena tak berhasil move on dari Atama.Sudah saatnya Aljabar menatap masa depan dan memulai kehidupan barunya bersama Kinan dan Chelsea tanpa lagi harus dihantui oleh rasa bersalahnya terhadap Atama.Meski dirinya tahu itu sulit, karena dari sudut hatinya yang terdalam, sosok Atama tetap tak mungkin bisa tergantikan sampai kapan pun dan oleh siapa pun juga.Seperti biasa, pagi itu Aljabar berangkat ke kantor bersama Chelsea untuk mengantar sang anak ke sekolah terlebih dahulu.Aljabar melirik dua buah kotak makan yang Chelsea bawa di tas makanannya."Tumben bawa bekalnya banyak banget? Satunya buat Papa ya? Bolehkan?" Goda Aljabar sambil menyetir."Nggak boleh! Ini bekal buat Althail. Soalnya kemalin dia nggak
Rassi sedang menjemput Althair ke sekolah siang itu, terik matahari terasa hangat saat bersentuhan dengan kulitnya. Dia berdiri di samping gerbang sekolah di mana seorang satpam terlihat menghampirinya.Matanya menelisik pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Sedikit cemas karena Althair belum juga keluar dari dalam gedung sekolah sementara teman-teman yang lain sudah berhamburan dan menghampiri penjemputnya."Pak, kok anak saya belum keluar juga ya?" tanya Rassi pada Satpam tersebut."Tadi Bu Intan bilang, Althair sama Chelsea udah pulang sama Pak Aljabar. Papanya Chelsea, Bu. Tadi Bu Intan udah hubungi Pak Aljabar kasih tau kalau Ibu jemput. Kata Pak Aljabar nanti dia yang akan hubungi Bu Rassi sendiri," jelas sang satpam sekolah.Kerut di kening Rassi menjelas.Bagaimana mungkin Aljabar bisa menghubunginya sementara dia tahu Aljabar tidak memiliki nomor ponselnya. Atau, lelaki itu meminta nomornya pada Kinan?Pikir Rassi membatin."Oh ya, tadi Pak Aljabar juga bila
TIGA TAHUN KEMUDIAN...Abraham POV*****"Kamu... bukan Rassi...” kataku lirih, melemah, terduduk lunglai di lantai. Bersandar pada dinding ruangan gelap itu.Kedua rahangku kembali mengeras. Menahan sesak yang kian menjadi-jadi.Aku menggigit bibir bagian bawah, sekadar berusaha menahan genangan air di kelopak mataku supaya tidak jatuh membanjiri pipi.Jelas, aku tak ingin terlihat cengeng dihadapan wanita ini. Meski aku harus mengakui kekeliruanku selama ini, kalau wanita yang kini berdiri di hadapanku ini, bukan, dia bukan Rassiku.Wanita ini bukan istriku...*****Jakarta, Sepuluh Tahun SilamAku terdiam saat berbicara. Aku terhenti saat berjalan. Seperti ketika aku melewati taman-taman surga. Walau mata ini tertutup, tapi dia tetap terlihat. Bahkan ketika mata ini terbuka, seketika senyumnya menyambut tanpa jeda, membuatku lupa bagaimana cara untuk berkedip. Tingkah manjanya membuatku merasa menjadi satu-satunya pria paling perkasa, karena aku satu-satunya pria yang bisa melindun
Tak ada yang pernah menyangka jika Rassi Pramudita adalah anak dari salah satu pengusaha ternama di New York.Ayahanda Rassi adalah orang Indonesia yang sudah lama menetap di New York dan menjadi warga negara Amerika Serikat, sementara Ibunda Rassi sendiri merupakan wanita keturunan Korea Selatan.Paras cantik Rassi diturunkan dari sang Ibu yang awalnya berprofesi sebagai aktris ternama di Korea, namun dia pensiun sejak memutuskan untuk menikah dengan Ayah Rassi.Tidak mendapat persetujuan keluarga, itulah yang menjadi penyebab Ayah Rassi pergi ke luar negeri dan memulai karirnya sebagai pebisnis dari titik nol di New York.Siapa sangka, keuletan dan ketekunannya membuahkan hasil yang sangat memuaskan.Sementara alasan mengapa Rassi dan Rissa bisa terpisah, itu semua karena ulah seorang lelaki bernama Mo Seo Jin yang merupakan fans garis keras Ibunda Rassi.Mo Seo Jin kecewa karena idolanya pensiun dari dunia perfilman dan memilih untuk menjadi Ibu Rumah tangga biasa sehingga lelaki i
Sesampainya Atama dan Aljabar di kediaman mereka, hal tak terduga mengejutkan keduanya saat sosok Chelsea yang tiba-tiba berlari ke arah Aljabar di pintu masuk dengan senyuman yang merekah di wajah imutnya."Papa... Elsi kangen Papa..." ucap Chelsea yang langsung berhambur memeluk Aljabar."Chelsea? Kamu..." ucap Atama bingung saat tiba-tiba Arlan dan Althair diikuti Lyra dan Rama ikutan menghampiri mereka di ambang pintu utama."Chelsea baik-baik aja, Ata! Lagian sih, lo nggak angkat telepon gue!" ucap Arlan saat itu setengah berteriak."Ini, gimana bisa?" Tanya Atama yang masih saja bingung, meski dalam hati dia sangat senang."Chelsea itu udah lama kabur dari Abraham. Dan selama itu juga dia hidup terlunta-lunta sendirian di luar sana. Untungnya ada temen gue yang nemuin Chelsea." ucap Arlan setelahnya."Alhamdulillah, syukur kalau begitu? Aku harus cepet telepon Lexi, dia pasti senang mendengar kabar ini," balas Atama yang lekas mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya."Elsi nggak m
Setelah Atama memberitahu Lexi bahwa dia sendiri pun tidak mengetahui di mana kini Abraham menyekap Chelsea, lalu tak lama, wanita itu mendapati pesan masuk yang dikirim dari nomor tak dikenal, di mana nomor tersebut mengaku bahwa dia adalah Abraham.Lelaki itu mengancam Atama juga Aljabar akan membunuh Chelsea jika mereka tak datang ke lokasi di mana Abraham berada.Tak mau membuang waktu, Atama dan Aljabar pun melaporkan ancaman itu pada pihak kepolisian, selain itu, mereka juga melibatkan Lexi dalam pemecahan masalah kali ini.Hingga akhirnya, setelah mereka semua berembuk, Atama dan Aljabar pun menyanggupi permintaan Abraham.Keesokan malamnya, mereka benar-benar mendatangi lokasi yang alamatnya diberikan Abraham pada mereka.Arlan yang awalnya ingin ikut tak diizinkan oleh Nando karena kondisi kesehatan Arlan yang memang belum sepenuhnya membaik.Menahan kesal, Arlan hanya bisa menatap kepergian iring-iringan kendaraan Aljabar, Lexi dan pihak kepolisian yang meninggalkan pelatara
Mungkin, semua manusia di dunia ini pernah mengalami sebuah kejadian yang dinamakan kebetulan.Ya, kebetulan.Kebetulan yang pada akhirnya kembali mempertemukan sepasang insan manusia yang saling jatuh cinta.Semua yang terjadi seperti mimpi bagi Aljabar saat tatapannya yang tanpa sengaja tertuju ke arah sebuah motor yang melaju perlahan di sisi kendaraannya.Saat itu, Aljabar sedang berada dalam perjalanan menuju Bandung untuk menemui Ibu Marfuah. Kepergiannya ditemani Nando dan pihak kepolisian.Sesosok wanita bergaun hijau yang duduk diboncengan motor terlihat tidak asing, sehingga Aljabar pun menajamkan penglihatannya.Dan saat itulah, dia pun tersadar bahwa wanita itu adalah Atama, istrinya yang hilang satu minggu ini.Menepuk cepat bahu Nando yang mengendarai mobil, Aljabar berteriak panik."Nan, berhenti Nan! Berhenti! Hadang motor itu, Nan! Itu Atama, Nando! Itu Atama," ucapnya dengan telunjuk yang mengarah ke motor di sisi kendaraannya.Nando pun bergerak cepat mengikuti inst
Hari ini, Mami Keke dikejutkan dengan kabar hilangnya Ratu dari rumah sakit.Salah satu anak buahnya tersebut melarikan diri saat pengawasan rumah sakit sedang berkurang, terlebih saat Andra, yang merupakan salah satu bodyguard Mami Keke yang ditugaskan sang gremo menjaga Ratu sedang lengah.Masih dengan seragam rumah sakit yang dia kenakan, Ratu berjalan tertatih saat luka tembak di perutnya belum sepenuhnya pulih.Ratu harus lekas pulang ke kostannya untuk mengambil barang pribadinya sebelum dia pergi jauh dari kota ini.Setelah menjalani perawatan intensif pasca kejadian penembakan itu, Ratu terus berpikir bahwa dia tak ingin lagi kembali pada profesinya sebagai pelacur.Ratu ingin berhenti dari pekerjaan kotor itu dan mulai menata kehidupannya yang baru.Meski sampai detik ini, dia belum tahu kemana dia harus pergi.Dan mengenai alasan mengapa Ratu tiba-tiba berpikir seperti ini, itu semua tak lepas dari perasaan yang dia miliki terhadap Arlan sejauh ini.Ratu sadar sampai kapan p
Sudah satu minggu berlalu Atama disekap Abraham di Villa pribadinya.Sikap Atama yang tetap menunjukkan kepatuhan, perlahan meruntuhkan kecurigaan dalam benak Abraham yang awalnya berpikir Atama hanya berpura-pura baik padanya.Dan kejadian tadi malam, saat Atama tak menolak diajak berciuman oleh Abraham sukses membuat lelaki itu terkecoh dan mulai percaya bahwa Atama tidak sedang bersandiwara.Hingga akhirnya, Abraham pun mencoba untuk mengetes Atama, apakah wanita itu benar-benar serius dengan kata-katanya tempo hari, atau memang hanya sekadar ingin mengelabui dirinya.Hari ini, Abraham yang awalnya menyekap Atama di lantai teratas Villa pribadinya, sengaja mengajak wanita itu keluar dari persembunyian untuk menikmati indahnya hari.Abraham membiarkan Atama berkeliaran bebas di Villa itu hanya dengan penjagaan seadanya."Ini Bu Marfuah. Dia asisten rumah tangga di sini yang akan membantumu menyiapkan kebutuhanmu, sayang," ucap Abraham memperkenalkan seorang wanita paruh baya bernama
"Sudah cukup aku bersabar menunggumu kembali padaku, sayang... Dan sekarang, aku tak sudi menunggu lagi!" ucap Abraham yang dengan cepat merobek pakaian yang dikenakan Atama saat itu.Atama menjerit saat Abraham hendak memperkosanya.Namun, semua usaha pemberontakannya tak kuasa menahan keganasan Abraham. Lelaki itu sudah seperti monster yang siap menerkam Atama.Masih berusaha mempertahankan diri, Atama tiba-tiba berteriak, "Baik, baiklah, aku akan menuruti semua perintahmu, Ab. Tapi aku mohon, jangan sakiti aku untuk saat ini. Beri aku waktu sampai aku benar-benar siap. Aku berjanji, setelah ini, aku akan selalu mendampingimu..." Atama bicara sambil menangis. Menutupi kedua bukit kembarnya yang masih tertutup pakaian dalam dengan kedua tangannya yang dia silangkan.Mendengar ucapan Atama, nafsu Abraham yang tadinya sudah menggebu perlahan surut. Lelaki itu tak menyangka jika Atama akan berbicara seperti itu."Apa, kamu tidak berbohong, Ata?" ucapnya serak.Atama mengangguk. "Ya, aku
Hari sudah beranjak sore, Atama masih terkurung di sana.Di dalam kamar itu.Dia kelaparan dan kehausan.Sudah berbagai cara dia coba untuk melarikan diri, namun tak ada satu pun usahanya yang berhasil.Bahkan jendela kamarnya saja dilapisi dengan teralis besi. Atama tak menemukan celah sedikit pun untuknya bisa keluar dari kamar ini.Satu hal yang hanya bisa dia lakukan adalah menutup tubuhnya yang terbuka dengan pakaian wanita yang dia temukan di dalam lemari kamar.Entah itu pakaian siapa, Atama tak memperdulikannya. AC di kamar itu begitu dingin, dan dia butuh pakaian yang lebih tertutup.Setelah lelah menangis bahkan suaranya nyaris hilang karena terus menerus berteriak seperti orang gila sejak tadi pagi, Atama kini hanya bisa tergolek lemah di sudut lantai kamar.Duduk memeluk lutut dan berurai air mata.Pikirannya tak lepas dari Aljabar dan Althair.Atama benar-benar menyesal karena tidak mempercayai ucapan suaminya.Hingga malam pun akhirnya tiba.Atama yang sudah lemas hampir