Terima kasih sudah menjadi pembaca setia KUTUKAN LELUHUR dan KUTUKAN LELUHUR sudah mencapai 200rb kata per hari ini terima kasih atas dukungan kalian ya vote dan komen agar saya semangat upload bab terbaru terima kasih
Pintu masuk Gunung Sepuh memang banyak, meskipun para manusia sering kali masuk ke jalur Kampung Sepuh, karena itu adalah satu-satunya jalan yang paling mudah ditempuh daripada jalur-jalur lain yang lebih terjal dan lebih curam untuk ditelusuri, namun banyak juga orang yang datang ke Gunung Sepuh melalui jalan-jalan yang lain. Karena mungkin dia tidak ingin apa yang dia lakukan di ketahui oleh warga Kampung Sepuh. Ada sebuah jalan, sebuah pintu masuk yang letaknya berbatasan langsung dengan kebun teh yang sangat luas, kebun teh yang membentang sebanyak ratusan hektar dan berakhir di Gunung Sepuh sebagai pembatasnya, sebuah pintu masuk kecil yang telah lama tidak terpakai, sehingga jalanan setapaknya pun dipenuhi oleh daun-daun kering yang menutupi jalanan tersebut selama bertahun-tahun. Namun kini, terdengar sebuah langkah kaki. Langkah kaki yang melewati jalanan tersebut dengan suara daun-daun kering yang terinjak oleh kakinya di tengah malam. Srak, Srak, Srak, Orang tersebut berj
Pada pagi ini, di depan warung. tampak ramai para warga yang berkumpul, terutama para laki-laki yang duduk dan bercengkrama satu sama lain dengan kopi dan rokok yang mereka hisap, juga dengan makanan ringan yang mereka makan untuk menemani mereka ketika sedang berkumpul pada pagi itu.Rasa dingin yang menusuk kulit mereka rasakan, sehingga mereka sekarang memakai jaket tebal, sarung, bahkan topi kupluk untuk menghangatkan tubuh mereka semua.Sudah beberapa hari ini mereka terlihat rajin berkumpul di depan warung, bahkan mengalahkan matahari yang beberapa menit lagi baru menampakan dirinya di belakang Gunung Sepuh dengan sinarnya yang hangat.Mereka sangat kompak keluar rumah ketika suara kokok ayam pertama terdengar di hari itu, dan berkumpul di depan warung dengan api unggun yang sengaja mereka bakar di sisi jalan untuk menghangatkan tubuh mereka semua.“Udah hampir tiga hari nih Mang, mereka belum keluar juga,” Kata Mang Yayat kepada Mas Parto pada saat itu.Mas Parto yang kini di t
Satu bulan telah berlalu dengan begitu cepat, kabar hilangnya Cepi dan Gema belum disadari oleh keluarga mereka. Odeng rupanya sengaja membuat surat, surat yang berisi seolah-olah kedua orang tersebut yang menulis, akan kepergiannya dari Kota Bandung dan bekerja diluar pulau karena ada proyek perkebunan kelapa sawit yang ada disana. Uang gaji yang biasa dikirimkan oleh Cepi dan Gema kepada keluarga mereka, kini Odeng kirimkan juga. Apalagi Odeng seringkali mengantar mereka berdua ke kantor pos untuk mengirim uang ketika mereka masih bekerja di satu tempat yang sama. “Duh laper, sepertinya nyari warung padang buat sarapan enak.” “Eh tapi warung padang di sekitar sini sudah pada didatangi semua, aku harus pergi agak jauhan.” Pikir Odeng, yang kini baru saja keluar dari kantor pos untuk mengirimkan uang kepada keluarga Gema dan Cepi di pagi itu. Odeng kini sudah pulang, di salah satu pinggiran kota kecil di daerah Bandung Barat. Namun, keluarganya tampak tidak tahu menahu tentang apa
Mang Badru yang baru sadar bahwa wanita yang menjadi tamunya masih berdiri tanpa mempersilakan nya masuk ke dalam rumahnya, tiba-tiba langsung berdiri. Dan mempersilakan masuk sembari membuka pintu rumahnya yang masih tertutup pada saat itu. “Aduh lupa Teh, malah dibiarin berdiri di luar. ” “Ngobrolnya di dalam aja, biar nanti enak ngobrolnya, mau layar yang sebesar apa, film-film yang mau diputar apa aja, sama....” “Ah nanti aja kita ngobrol di dalam, ” Kata Mang Badru sambil tersenyum. Seketika, Mang Badru pun menoleh ke arah Mang Suhay, yang masih sibuk dengan rol-rol film yang sedang dia rapikan. Lalu dia berkata secara perlahan untuk menyiapkan minuman untuk tamu yang jauh-jauh datang ke rumahnya untuk menyewa layar tancap yang nantinya akan di selenggarakan di kampungnya. “Mang, Mang ke dapur dulu, bikinin teh manis, kasian si Teteh nya nungguin di luar, biar kita ajak masuk buat ngobrol dulu,” Kata Mang Badru kepada Mang Suhay dengan nada yang pelan. Mang Suhay yang tahu m
Mang Suhay hanya bisa terdiam, apa yang dia lihat di depannya hanya sebuah jalanan berbatu dan kabut yang menutupi pandangannya. Dia yakin atas apa yang dia lihat, sesosok nenek-nenek pembawa kayu bakar muncul dan melintas di depan mobil yang sedang dia bawa secara tiba-tiba, dan hal itu membuat dirinya mengerem dengan sangat cepat, karena takut menabrak sosok nenek-nenek itu. Keringat dingin tiba-tiba muncul dari kepalanya, tubuhnya tiba-tiba kaku dan bergetar dengan hebat. Dia yang awalnya menatap jalan kini berbalik kembali ke arah Mang Badru. “Mang, jangan-jangan aku telat mengerem sehingga aku menabrak nenek-nenek itu,” Kata Mang Suhay dengan wajah yang pucat. Setelah dia berkata seperti itu kepada Mang Suhay, secara tiba-tiba dia langsung turun dari mobil nya. Turun dengan keadaan panik karena dia takut mobil yang sedang dia kendarai telat untuk berhenti, dan akhirnya menabrak nenek-nenek tersebut di dalam hutan yang penuh kabut. BRAK Pintu mobil ditutup dengan keras, tepat
“Ahhh, Mang Badru dan Mang Suhay, akhirnya datang juga.”“Selamat malam,” Kata Nengsih dengan suaranya yang sangat merdu.Mang Suhay yang menghentikan mobilnya tepat di dekat Nengsih yang sedang berdiri, kini mulai turun dan menyapa Nengsih dengan senyuman dari wajah mereka.“Gimana tadi perjalanannya, gak ada kendala kan ya?”Mang Badru yang baru turun dari mobil langsung menjawab perkataan Nengsih dengan segera, dia seperti terlihat terpesona oleh kecantikan Nengsih pada malam itu.Bagaimana tidak, di saat malam saja Nengsih masih terlihat cantik. Seperti permata yang belum pernah tersentuh oleh tangan-tangan manusia sehingga tampak indah dan alami.“Mang, Mang, jawab atuh itu si Teh Nengsihnya kan tanya,” Kata Mang Suhay yang terlihat menepuk-nepuk pundak Mang Badru pada saat itu.“Eh, hehehehe, apa tadi pertanyaanya?” Kata Mang Badru yang tersenyum malu di depan Nengsih.Nengsih hanya tersenyum, dia sedikit menggelengkan kepalanya sebelum akhirnya kembali berkata kepada Mang Badru
Semakin lama berjalan, Mang Suhay tampak merasakan sesuatu yang aneh. kedua orang yang awalnya berada di depan Nengsih, tidak terlihat melintas melewatinya. Padahal barang-barang tersebut sangatlah berat, dan tidak mungkin bisa mereka bawa dengan sekali jalan.Apalagi, kini sudah hampir dua puluh menit mereka berjalan. Tapi sama sekali belum ada tanda-tanda kampung yang dimaksud oleh Nengsih pada saat itu.Namun, sepertinya Mang Badru tampak tidak sadar akan hal tersebut, dia terlihat sedang asik dengan Nengsih yang ada di sebelahnya. Obrolan demi obrolan yang membuat Mang Badru tersipu malu membuatnya sedikit melupakan tentang mobil dan barang-barang yang harus mereka setting setibanya di kampung.“Euuu, kalau Teh Nengsih itu sudah nikah?” Kata Mang Badru.“Ah belum Kang, kalau aku mah ya gini-gini aja kerjanya, ngebantu Bu Laras ngurusin warga. Soalnya seringkali ada warga luar yang masuk dan keluar ke Kampung Sepuh.”“Ya tahu sendiri lah banyak orang yang dateng dari luar kampung,
Sepi.Itu yang aku rasakan ketika aku setiap malam menjaga warung ini, suasana Kampung Sepuh yang berubah secara drastis dari siang ke malam, karena sudah sering ku lalui membuat aku semakin terbiasa akan hal tersebut.Aku sekarang tahu, perasaan Bapak ketika masih hidup. Ketika masih menanggung beban yang sedang aku tanggung sekarang, ketika pikiran-pikiran melayang mencari jalan keluar yang tak tentu arah setiap malam.Petunjuk-petunjuk yang Bapak dan Kakek kumpulkan tampak tidak berguna, semuanya sudah aku cari selama satu tahun lebih ini. Namun tidak ada satupun petunjuk lain tentang misteri yang menyelimuti kampung ini.Aku tidak tahu makhluk apa yang dulu melakukan perjanjian dengan leluhurku, aku juga tidak tahu kenapa leluhurku bisa sampai melakukan perjanjian dengannya. Bahkan aku tidak tahu tempat yang ada di foto usang yang diturunkan oleh keluargaku secara turun-temurun.Hampir seisi gunung sudah aku kelilingi, setiap tebing yang bisa ku raih sudah aku datangi, juga setiap
Pemakaman Kampung Sepuh kini lebih ramai daripada biasa, meskipun sekarang sudah masuk hari kedua lebaran di tahun 2022. Namun masih banyak orang-orang yang berdatangan dan berziarah ke makam keluarga dan teman mereka di kampung ini. Kampung Sepuh yang awalnya sepi tiba-tiba mendadak ramai, para warga yang bekerja di kota-kota besar kini kembali pulang untuk menikmati suasana lebaran yang kini lebih bebas dari dua tahun sebelumnya, sehingga para warga yang dulu tidak bisa mudik akibat pandemi kini bisa pulang ke rumah dan berkumpul kembali dengan keluarga mereka yang menunggunya di kampung. Sedangkan aku (penulis), kini sedang duduk di samping makam Bu Esih, Pak Amat, juga Pak Darsa dan leluhurnya di pemakaman Kampung Sepuh. Ku lihat pula beringin yang di dalam cerita Warung Tengah Malam terbakar habis kini sudah mulai tumbuh daun-daun baru, dan mungkin saja beberapa tahun lagi beringin yang ada di pemakaman itu sudah kembali tumbuh dan rindang seperti sedia kala. “Oh jadi begitu Ma
Beberapa kali aku mengalami kejadian yang seperti ini, batuk-batuk dan muntah darah, lalu dibarengi oleh mata yang berkunang-kunang dan akhirnya aku terjatuh dan tidak sadarkan diri di tanah.Tubuhku semakin menua, staminaku tidak lagi seperti dulu, mungkin inilah kekurangan dari manusia. Mereka tidak bisa mempertahankan stamina ketika umurnya sudah semakin tua. Sehingga, sehebat apapun mereka, tetap saja apabila stamina mereka di kuras habis maka akan ambruk juga.Esih yang curiga dengan keadaanku kini semakin khawatir akan keadaanku menyarankan aku untuk tidak terus-menerus mencari jawaban dari misteri ini ke Gunung Sepuh.Namun, meskipun aku sudah melepas Ujang untuk tinggal di kota besar dan tidak mengharapkan dia pulang kembali ke Kampung Sepuh ini. Tetap saja, rasa khawatir akan kutukan ini masih saja memenuhi pikiranku pada saat itu.Meskipun kondisiku semakin melemah, tapi aku tidak putus asa. Apalagi kini aku mempunyai teman sekaligus sahabat, yaitu Aki Karma. Pemimpin sebuah
Tak terasa, obrolan yang terjadi di warung itu kini aku simpan dalam pikiranku. Rasa ingin menyelesaikan sesuatu yang seharusnya aku selesaikan dengan segera akhirnya membuatku semakin memaksakan diriku untuk masuk ke dalam Gunung Sepuh di setiap harinya. Bahkan saking seringnya, ketika ada tamu yang meminta bantuan untuk permasalahan yang dia miliki, dia harus menungguku pulang terlebih dahulu atau nanti aku akan mendatangi rumahnya ketika mereka tidak menemukanku di warung atau dirumah pada saat itu. Hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun tak terasa aku lewati. Aku sudah mencoba berbagai cara, bahkan kini warung seringkali aku tinggalkan dan ketika aku pulang ketika pagi tiba, aku melihat warung tampak berantakan, karena mungkin para makhluk yang datang tidak menemukan ku di dalam warung untuk aku layani pada malam itu. Aku yang kini lebih bisa menerima para makhluk yang ada tinggal di luar Gunung Sepuh, aku seringkali bertanya kepada mereka tentang situasi Gunu
Ujang, anak yang aku sayangi rupanya tumbuh dengan sehat dan kuat. Aku dan Esih sepakat untuk tidak memberitahu kepadanya tentang warung ini yang sebenarnya.Dia yang selalu bertanya setiap malam ketika dirinya tidak boleh ke warung ketika malam tiba, dan pertanyaan itu dijawab oleh Esih bahwa aku yang menjaga warung setiap malam harus berjuang keras untuk bisa menyekolahkan dirinya sehingga membuka warung di pagi dan siang hari pun tidaklah cukup untuk bisa menyekolahkan dia ke jenjang yang lebih tinggi.Apalagi, ketika malam tiba, Esih seringkali memberikan cerita pengantar tidur, mencoba memberinya cerita-cerita seram seperti tentang tuyul, genderuwo, pocong, kuntilanak, juga para makhluk-makhluk yang seringkali menculik manusia, ketika Ujang masih belum tidur di dalam rumah meskipun malam sudah larut.Esih tahu, bukannya dia menakut-nakuti Ujang, tapi Esih sengaja memberikan cerita itu agar Ujang bisa tertidur dan tidak menanyakan lagi tentang kondisi warung serta kejanggalan-keja
Malam ini, aku sengaja keluar meninggalkan warung dan membiarkannya tampak kosong. Aku sudah tidak tahu terakhir kali aku meninggalkan warung. Terakhir kali aku meninggalkan warung, ketika Wawan menghilang di persawahan ketika sedang bermain dengan teman-temannya, dan akhirnya aku menemukan tubuhnya yang tampak sedang di asuh oleh salah satu makhluk yang bernama kalong wewe yang menganggap Wawan adalah anaknya. Aku berusaha mengambilnya kembali, meskipun perjuangan tampak tidak mudah, karena aku harus melewati Leuwi Jurig yang dipenuhi oleh makhluk yang bernama lulun samak ketika malam tiba. Meskipun begitu, akhirnya Wawan selamat. Aku menggendongnya ke Kampung Sepuh tepat ketika pagi menjelang, ketika para kelelawar kembali ke Gunung Sepuh untuk beristirahat dan mentari pagi dengan sinarnya yang merah ke kuning-kuningan muncul di belakang Gunung Sepuh yang menjulang di pagi itu. Kini, aku kembali keluar. Mencoba sesuatu yang mungkin saja bisa membantuku untuk mencari keberadaan ma
Kehidupan Kampung Sepuh akhirnya berjalan kembali seperti biasa, para warga kembali ke ladang dan sawahnya setiap pagi, dan akan mampir ke warung untuk mengobrol dan bercengkrama tentang apa yang terjadi di hari itu, pada sore harinya sepulang dari ladang dan sawah. Banyak hal yang mereka ceritakan, tentang kejadian-kejadian yang ada di sekitar mereka, tentang berita-berita politik yang susah sekali sampai ke tempat mereka, juga tentang gosip-gosip yang ada di sekitar mereka. Rokok dan kopi serta jajanan dan cemilan-cemilan menemani mereka ketika berkumpul di depan warung di sore itu. Rusdi, Darman , Parman, juga warga lainnya berkumpul dan saling bercengkrama satu sama lain. Sebuah hal yang jarang terjadi di kota-kota besar menurut Darman. Darman yang kembali lagi setelah bertahun-tahun tinggal di kota kini merasakan kembali kehangatan warga Kampung Sepuh yang masih akrab dengannya, Darman pun seringkali membicarakan situasi politik pada saat itu yang kacau balau, banyak pabrik ya
Rasa dingin yang menusuk kulit kini aku rasakan kembali di depan warung yang sangat sunyi dan sepi ini, kejadian yang terjadi dalam seminggu yang lalu membuatku banyak berpikir tentang apa yang aku hadapi di dalam Gunung Sepuh yang gelap itu. Fuhhhhhhhh Asap tebal mengepul keluar dari mulutku, aku yang kembali beraktifitas seperti biasa kini duduk di depan warung seperti biasa. Menikmati suasana malam yang ada di depan warung ini sambil menghisap rokok kretek yang menjadi teman satu-satunya bagiku di setiap malamnya. Aku kembali banyak melamun atas kejadian yang menimpaku pada saat itu, keilmuan yang aku pelajari dan aku asah, rupanya masih belum cukup untuk menjaga keluargaku, bahkan untuk menjaga Kampung Sepuh yang sudah dipercayakan oleh leluhurku sewaktu dia mendapatkan kutukan ini. Apalagi, dibalik rasa senang dan haru ketika Ujang lahir di dunia ini, ada rasa khawatir yang semakin lama semakin besar, rasa yang muncul apabila dia harus menjadi seseorang yang sepertiku, terkeka
“Enggak, enggak, enggak, kamu bukan manusia, kamu bukan karyawanku!”“Mana karyawanku semua, karyawan yang shift malam yang seharusnya bekerja di tempat ini sekarang?”Doni benar-benar panik karena di depannya terlihat sebuah sosok yang tidak dia kenali, wajahnya yang tampak hancur kini terlihat jelas ketika cahaya dari korek apinya menyinari dirinya dari dekat.Doni beberapa kali berteriak memanggil karyawan yang seharusnya bekerja di shift malam pada malam ini, tubuhnya yang awalnya tidak bergerak kini mendadak kaku sehingga dia tidak melarikan diri dan keluar dari ruangan produksi tersebut.“Kenapa, Bapak tidak mengakui kami sebagai karyawan lagi?” Kata sosok itu yang kini tersenyum dengan giginya yang hancur dan menyisakan beberapa gigi yang masih tersisa di dalam wajahnya yang remuk dan tidak berbentuk itu.“Bapak tidak ingat, aku adalah orang yang terkena mesin ini Pak sehingga wajahku hancur, aku seperti didorong oleh sesuatu yang membuat kepalaku terkena mesin press dan mening
Sudah beberapa hari ini, Doni termenung di meja kerjanya, surat-surat resign yang dia terima dari bagian HRD pabriknya kini berserakan di mejanya.Semenjak kejadian itu, karyawan Doni banyak sekali yang mengundurkan diri, tidak hanya karyawan produksi yang selama ini mengawasi mesin-mesin besar untuk pabriknya, namun banyak juga staf-staf di divisi tertentu yang tiba-tiba resign dengan berbagai alasan.Meja Doni kini tampak berantakan, kertas-kertas coretan yang bertumpuk dengan file-file berkas tentang laporan penjualan yang kini menurun akibat kekurangan staf dan pekerja kini memenuhi sebagian meja kerjanya pada saat itu.Alat-alat tulis yang awalnya rapi pun kini berserakan tidak karuan, Doni yang awalnya menyukai kerapihan dan kesempurnaan kini mendadak tidak peduli dengan ruangan kerjanya sendiri. Bahkan, dia lebih banyak termenung sekarang, menyesali semua perbuatannya yang dia lakukan beberapa hari yang lalu.Jujur, dia bukan menyesal karena dia melakukan hal itu, namun dia men