Satu bulan telah berlalu dengan begitu cepat, kabar hilangnya Cepi dan Gema belum disadari oleh keluarga mereka. Odeng rupanya sengaja membuat surat, surat yang berisi seolah-olah kedua orang tersebut yang menulis, akan kepergiannya dari Kota Bandung dan bekerja diluar pulau karena ada proyek perkebunan kelapa sawit yang ada disana. Uang gaji yang biasa dikirimkan oleh Cepi dan Gema kepada keluarga mereka, kini Odeng kirimkan juga. Apalagi Odeng seringkali mengantar mereka berdua ke kantor pos untuk mengirim uang ketika mereka masih bekerja di satu tempat yang sama. “Duh laper, sepertinya nyari warung padang buat sarapan enak.” “Eh tapi warung padang di sekitar sini sudah pada didatangi semua, aku harus pergi agak jauhan.” Pikir Odeng, yang kini baru saja keluar dari kantor pos untuk mengirimkan uang kepada keluarga Gema dan Cepi di pagi itu. Odeng kini sudah pulang, di salah satu pinggiran kota kecil di daerah Bandung Barat. Namun, keluarganya tampak tidak tahu menahu tentang apa
Mang Badru yang baru sadar bahwa wanita yang menjadi tamunya masih berdiri tanpa mempersilakan nya masuk ke dalam rumahnya, tiba-tiba langsung berdiri. Dan mempersilakan masuk sembari membuka pintu rumahnya yang masih tertutup pada saat itu. “Aduh lupa Teh, malah dibiarin berdiri di luar. ” “Ngobrolnya di dalam aja, biar nanti enak ngobrolnya, mau layar yang sebesar apa, film-film yang mau diputar apa aja, sama....” “Ah nanti aja kita ngobrol di dalam, ” Kata Mang Badru sambil tersenyum. Seketika, Mang Badru pun menoleh ke arah Mang Suhay, yang masih sibuk dengan rol-rol film yang sedang dia rapikan. Lalu dia berkata secara perlahan untuk menyiapkan minuman untuk tamu yang jauh-jauh datang ke rumahnya untuk menyewa layar tancap yang nantinya akan di selenggarakan di kampungnya. “Mang, Mang ke dapur dulu, bikinin teh manis, kasian si Teteh nya nungguin di luar, biar kita ajak masuk buat ngobrol dulu,” Kata Mang Badru kepada Mang Suhay dengan nada yang pelan. Mang Suhay yang tahu m
Mang Suhay hanya bisa terdiam, apa yang dia lihat di depannya hanya sebuah jalanan berbatu dan kabut yang menutupi pandangannya. Dia yakin atas apa yang dia lihat, sesosok nenek-nenek pembawa kayu bakar muncul dan melintas di depan mobil yang sedang dia bawa secara tiba-tiba, dan hal itu membuat dirinya mengerem dengan sangat cepat, karena takut menabrak sosok nenek-nenek itu. Keringat dingin tiba-tiba muncul dari kepalanya, tubuhnya tiba-tiba kaku dan bergetar dengan hebat. Dia yang awalnya menatap jalan kini berbalik kembali ke arah Mang Badru. “Mang, jangan-jangan aku telat mengerem sehingga aku menabrak nenek-nenek itu,” Kata Mang Suhay dengan wajah yang pucat. Setelah dia berkata seperti itu kepada Mang Suhay, secara tiba-tiba dia langsung turun dari mobil nya. Turun dengan keadaan panik karena dia takut mobil yang sedang dia kendarai telat untuk berhenti, dan akhirnya menabrak nenek-nenek tersebut di dalam hutan yang penuh kabut. BRAK Pintu mobil ditutup dengan keras, tepat
“Ahhh, Mang Badru dan Mang Suhay, akhirnya datang juga.”“Selamat malam,” Kata Nengsih dengan suaranya yang sangat merdu.Mang Suhay yang menghentikan mobilnya tepat di dekat Nengsih yang sedang berdiri, kini mulai turun dan menyapa Nengsih dengan senyuman dari wajah mereka.“Gimana tadi perjalanannya, gak ada kendala kan ya?”Mang Badru yang baru turun dari mobil langsung menjawab perkataan Nengsih dengan segera, dia seperti terlihat terpesona oleh kecantikan Nengsih pada malam itu.Bagaimana tidak, di saat malam saja Nengsih masih terlihat cantik. Seperti permata yang belum pernah tersentuh oleh tangan-tangan manusia sehingga tampak indah dan alami.“Mang, Mang, jawab atuh itu si Teh Nengsihnya kan tanya,” Kata Mang Suhay yang terlihat menepuk-nepuk pundak Mang Badru pada saat itu.“Eh, hehehehe, apa tadi pertanyaanya?” Kata Mang Badru yang tersenyum malu di depan Nengsih.Nengsih hanya tersenyum, dia sedikit menggelengkan kepalanya sebelum akhirnya kembali berkata kepada Mang Badru
Semakin lama berjalan, Mang Suhay tampak merasakan sesuatu yang aneh. kedua orang yang awalnya berada di depan Nengsih, tidak terlihat melintas melewatinya. Padahal barang-barang tersebut sangatlah berat, dan tidak mungkin bisa mereka bawa dengan sekali jalan.Apalagi, kini sudah hampir dua puluh menit mereka berjalan. Tapi sama sekali belum ada tanda-tanda kampung yang dimaksud oleh Nengsih pada saat itu.Namun, sepertinya Mang Badru tampak tidak sadar akan hal tersebut, dia terlihat sedang asik dengan Nengsih yang ada di sebelahnya. Obrolan demi obrolan yang membuat Mang Badru tersipu malu membuatnya sedikit melupakan tentang mobil dan barang-barang yang harus mereka setting setibanya di kampung.“Euuu, kalau Teh Nengsih itu sudah nikah?” Kata Mang Badru.“Ah belum Kang, kalau aku mah ya gini-gini aja kerjanya, ngebantu Bu Laras ngurusin warga. Soalnya seringkali ada warga luar yang masuk dan keluar ke Kampung Sepuh.”“Ya tahu sendiri lah banyak orang yang dateng dari luar kampung,
Sepi.Itu yang aku rasakan ketika aku setiap malam menjaga warung ini, suasana Kampung Sepuh yang berubah secara drastis dari siang ke malam, karena sudah sering ku lalui membuat aku semakin terbiasa akan hal tersebut.Aku sekarang tahu, perasaan Bapak ketika masih hidup. Ketika masih menanggung beban yang sedang aku tanggung sekarang, ketika pikiran-pikiran melayang mencari jalan keluar yang tak tentu arah setiap malam.Petunjuk-petunjuk yang Bapak dan Kakek kumpulkan tampak tidak berguna, semuanya sudah aku cari selama satu tahun lebih ini. Namun tidak ada satupun petunjuk lain tentang misteri yang menyelimuti kampung ini.Aku tidak tahu makhluk apa yang dulu melakukan perjanjian dengan leluhurku, aku juga tidak tahu kenapa leluhurku bisa sampai melakukan perjanjian dengannya. Bahkan aku tidak tahu tempat yang ada di foto usang yang diturunkan oleh keluargaku secara turun-temurun.Hampir seisi gunung sudah aku kelilingi, setiap tebing yang bisa ku raih sudah aku datangi, juga setiap
Di tengah-tengah keramaian yang terjadi di dalam pasar, Nengsih hanya berdiri di depan stan makanan yang bersebelahan dengan jalanan besar. Kedua tangannya tampak bergetar dengan hebat, wajahnya yang cantik terlihat sangat pucat dan tidak terlihat lagi senyuman yang muncul dari wajahnya yang cantik jelita itu.Hanya cahaya dari obor yang menerangi dia sendirian disana, dimana pada saat itu para warga sedang asik dengan film-film yang disuguhkan oleh Mang Suhay dan Mang Badru di malam itu.Tampak suara tertawa beberapa kali terdengar, suara tawa dari pada warga yang melihat si Bokir dalam film tersebut di takut-takuti oleh Suzanna yang sudah menjadi sundel bolong, sehingga tingkah lakunya membuat siapapun yang menonton adegan tersebut akan tertawa dibuatnya.Sedangkan Nengsih, hanya bisa berdiri, dengan tatapannya yang pucat dan mengarah ke ujung kampung yang tampak gelap gulita dan tidak ada cahaya penerangan sama sekali.Apalagi,Ketika orang yang dia tunggu-tunggu tiba, mata Nengsih
Malam semakin larut, bintang-bintang yang berkerlip memenuhi langit malam terlihat dengan jelas di depan kebun teh yang tampak tidak ada ujungnya itu. Langit yang tidak tertutup oleh apapun bisa menjadi pemandangan yang indah bagi beberapa orang, bisa menjadi tempat untuk menyendiri dan memikirkan segala permasalahan yang ada di dalam hidupnya. Juga bisa menjadi tempat bagi para makhluk yang bisa memunculkan ekstensinya kepada para manusia, karena sinar bulan bisa menjadi kekuatan bagi mereka untuk bisa menampakan dirinya agar para manusia ketakutan saat melihat wujudnya yang menakutkan. Namun, hal itu tampaknya tidak berlaku bagi kedua orang disana. Wanita yang masih muda dengan memakai baju kaos dan jaket berwarna biru muda dengan celana yang trendi pada masanya, juga sesosok laki-laki yang mungkin saja itu adalah Bapaknya dengan pakaian yang lebih santai. Dia hanya memakai kaos oblong bergambar band luar negeri yang sedang populer pada waktu itu, juga hanya memakai sendal jepit d