POV. BungaAksa seperti kehilangan kendali. Para kerabatku saling beradu pandang, dengan tatapan bingung. Baru satu menit, dia mengucapkan ijab kabul, dia sudah hendak menceraikan aku. Di depan ibuku yang belum sadarkan diri.Aku langsung menangis. Menangis pilu, sambil mengusap-usap perutku. Hanya karena aku salah bicara, dia tega menghardikku sekasar itu."Aksa! Kamu tahu sopan santun, atau tidak?! Baru saja kamu menikahi Bunga, kamu sudah hendak menceraikannya. Kamu benar-benar menginjak-injak, harga diri kami. Jangan mentang-mentang kamu anak orang kaya, lantas mau seenaknya!" hardik kerabatku."Tapi aku tidak suka, Bunga menjelekkan Luna. Bagaimanapun juga, Luna sudah berkorban, merelakan aku, untuk menikahi Bunga. Luna itu terluka. Masih mau ditambah dijelek-jelekkan. Aku tidak terima! Bunga itu nantinya akan menjadi adik madunya Luna. Aku berharap, mereka bisa akur. Aku berharap, Bunga bisa tahu diri!"Kali ini Aksa benar-benar marah, hanya karena aku yang berucap salah. Mau ti
POV. Bunga"Nggak usah panggil sayang-sayang, lebay!"Lagi-lagi, dia berbicara dengan ketus. Tatapannya lurus ke depan. Tanpa sedikit pun, menoleh ke arahku."Kenapa tidak boleh memanggil Sayang? Kita kan sekarang suami istri? Kamu lupa?" ucapku."Panggilan Sayang, cuma buat aku sama Luna. Kamu jangan ikut-ikutan. Lagi pula, jangan sampai besok saat di kantor, kamu keceplosan memanggilku Sayang. Bisa geger nanti," ucapnya ketus.Aku merasa sangat sakit, mendengar semua ucapannya. Bagaimana mungkin, dia tega berbicara seperti itu. Dia bilang, panggilan Sayang hanya untuk dia dan Luna. Lantas aku ini, dianggap apa? Bukankah aku juga istrinya? Meskipun masih hanya sebatas istri siri?Entah sudah berapa kali, dia menyebut nama Luna di depanku. Dia sama sekali tidak pernah berfikir, bahwa ucapannya itu melukai hatiku."Sayang, aku tidak suka, kamu terus menerus menyebut nama istri tuamu, saat sedang bersamaku," ucapku, sedih."Apa, kamu bilang? Istri tua? Kamu jangan ngaco, deh. Kamu sama
pov. BungaKutumpahkan semua yang kurasakan. Aku merasa sangat sedih. Statusku sebagai istri, seolah tidak dianggapnya sama sekali."Ada buah cinta kita, di sini. Dia pasti sedih, jika mendengar mamanya dibentak-bentak seperti ini ...."Aku menangis tergugu. Kuelus-elus perutku, bersama dengan tangisanku. Pernikahan yang tidak membahagiakan."Maaf ...." ucap Aksa.Dia mengacak rambutnya. Dia mengusap wajahnya dengan kasar. Sepertinya dia sangat frustasi, dengan masalah yang sedang dia hadapi.Kulihat dari balik jendela. Ibu masih tertidur. Dalam hatiku, aku berniat ingin mengajak Aksa untuk pulang ke rumahku. Tidur di rumahku sebentar saja. Bagaimanapun juga, ini adalah malam pertama kami. Aku ingin melewati malam pertama kami, sebagai mana para pengantin yang lainnya.Meskipun luka di perutku sebenarnya juga masih basah, namun aku juga tidak dapat memungkiri, bahwa sebenarnya, sejak setelah aku menyerahkan diriku kepada Aksa waktu itu, aku menjadi ingin mengulang lagi kegiatan sepert
POV. Bunga"Kamu pura-pura, kan? Supaya aku urung pergi? Aku tahu, siasatmu. Kamu itu licik. Apa pun yang ingin kamu miliki, kamu berusaha mendapatkan, meskipun dengan cara haram. Seperti caramu untuk menjeratku. Kamu sengaja menawarkan dirimu, dan diam-diam kamu merekamnya. Sehingga karena rekaman itu, aku dan Luna menjadi tidak berdaya seperti ini. Kamu sudah merencanakan semuanya, untuk merusak rumah tanggaku. Kamu itu perempuan paling licik yang pernah kutemui.""Licik, kamu bilang? Bukankah kamu juga menikmatinya?"Aku menjawab perkataannya sambil menangis. Masih ku pegang dengan erat, lengan kanannya."Bukan licik bagaimana, namanya? Kamu punya rekamannya, itu artinya kamu sudah merencanakan semuanya. Dan tadi pagi, saat ponselku tertinggal di sampingmu pun, kamu langsung berfikir, untuk memanfaatkan. Kamu lancang mengunggah sebuah foto, kamu buat status, kamu bagikan ke seluruh kontakku, kamu buat, seolah-olah itu aku yang membuatnya. Kamu sadar tidak? Gara-gara ulah kamu, aku
POV. Bunga"Iya, Sayang, aku ngerti. Kamu sangat mencintai istrimu. Tapi kamu juga jangan lupa, bahwa mulai sekarang, aku adalah juga istrimu. Aku juga punya kewajiban yang sama, untuk melayanimu. Aku tidak akan pernah menghalangimu untuk mencari Luna. Tapi jika malam seperti ini, sepertinya sia-sia. Hanya akan membuang tenaga saja. Lebih baik kamu istirahat, untuk mengumpulkan tenaga untuk esok hari. Besok bangunlah pagi-pagi. Cari Luna di butiknya. Pasti dia ada di sana."Aku berbicara kepadanya, dengan sangat hati-hati. Seolah aku sedang berbicara terhadap anak kecil. Jangan sampai aku salah kata, dan dia akan tersinggung. Saat ini, aku harus merendah, yang serendah-rendahnya.Aksa duduk di dekatku. Bahkan kini tangan kirinya, sudah diletakkan di atas pundakku.Aku pun begitu. Kutaruh telapak tangan kananku, di atas pahanya."Sayang, bisa tidak, kamu antar aku pulang sebentar saja? Lukaku agak perih, aku butuh obat pereda nyeri, tapi obatku tertinggal di rumah," ucapku.Aksa diam,
POV. BungaAksa kembali menepuk-nepuk pipiku. Tidak lama kemudian, terdengar suara pintu yang berderit. Mungkin adikku yang membukakan pintu."Kak Bunga, kenapa?"Terdengar suara adikku. Dia sepertinya panik, melihat keadaanku."Kak Bunga kenapa? Terus, kamu siapa?" tanya adikku lagi."Kamu adiknya Bunga, ya? Saya ... saya suaminya kakakmu," jawab Aksa."Oh. Suaminya, ya? Ya sudah, ayo, Kak Bunga dibawa masuk."Adikku sepertinya menyuruh Aksa, supaya membawaku masuk. Kebetulan sekali. Semoga saja, rencanaku berjalan mulus.Benar saja. Aksa membopong tubuhku. Adikku menunjukkan letak kamarku. Direbahkannya tubuhku di atas kasur. Kasur yang lumayan tebal, yang kubeli dengan uang pemberian Aksa, dulu."Kakakmu, memang sering pingsan?" tanya Aksa kepada adikku."Tidak juga. Tapi sejak dua minggu ini, memang sering muntah-muntah. Kadang juga sampai lemas. Pernah pingsan sih, satu kali. Ibu bilang, itu bawaan bayi. Tapi kata Ibu, aku tidak boleh bilang sama siapa pun, kalau Kak Bunga hamil.
POV. Luna"Jika memang kamu tidak kuat, dengan beban yang kau tanggung, maka lepaskan. Kamu berhak untuk bahagia. Asal kamu tahu, bahagiamu adalah bahagiaku. Jika kamu terluka, maka aku pun ikut merasakannya ...."Aku menoleh ke belakang. Ke arah datangnya suara itu. Bara.Dia berdiri tepat di depan pintu mushola. Aku segera keluar, mendekat ke arahnya.Dia mengambil tempat duduk di pojok sebelah kiri teras mushola. Sementara aku mengambil tempat duduk di pojok sebelah kanan. Kami terhalang jarak sekitar lima meter."Dik, boleh menangis. Jika memang dengan menangis, bisa membuat hatimu lega, dan bisa mengurangi bebanmu. Tapi jangan lama-lama, menangisnya. Kamu harus segera bangkit dari keterpurukan," ucap Bara.Dia berbicara dengan sangat tenang."Kamu tidak tahu, apa yang kurasakan," jawabku."Justru karena aku telah mengalaminya, maka aku bisa berbicara. Kamu menangis, karena kamu melihat suamimu menikah lagi, kan?" ucapnya lagi.Aku menatapnya, lekat. Dalam hati, aku bertanya. Dari
POV. Luna"Aku bahkan tidak tahu, mau ke mana. Aku sepertinya aku sudah tidak punya tempat untuk pulang ...." jawabku."Pulanglah ke rumah suamimu. Selesaikan masalahnya. Jangan kau gantung dirimu sendiri. Jika kamu kuat, jika kamu mampu, bertahanlah. Tapi jika kamu tidak kuat, lepaskanlah. Hidup itu hanya satu kali. Kamu harus bahagia. Jika suamimu tidak bisa membuatmu bahagia, carilah kebahagiaanmu sendiri."Kudengar nasehat dari mantan kekasihku itu. Berbicara memang mudah, batinku. Dia tidak merasakan jika ada di posisiku."Aku tidak siap menjadi janda. Aku malu. Aku tidak siap dengan stigma negatif yang nantinya akan melekat atas diriku. Bagaimana pula nanti berita di masyarakat. Anaknya pejabat A, menjadi seorang janda ...."Kalimat itu meluncur begitu saja, dari mulutku."Maaf, bukan maksudku--" Aku berusaha ingin meralat ucapanku. Jangan sampai mantan pacarku itu beranggapan, jika ucapanku yang baru saja, itu sebagai sinyal dariku yang ingin memintanya untuk menikahiku. Namun