POV. BungaAksa kembali menepuk-nepuk pipiku. Tidak lama kemudian, terdengar suara pintu yang berderit. Mungkin adikku yang membukakan pintu."Kak Bunga, kenapa?"Terdengar suara adikku. Dia sepertinya panik, melihat keadaanku."Kak Bunga kenapa? Terus, kamu siapa?" tanya adikku lagi."Kamu adiknya Bunga, ya? Saya ... saya suaminya kakakmu," jawab Aksa."Oh. Suaminya, ya? Ya sudah, ayo, Kak Bunga dibawa masuk."Adikku sepertinya menyuruh Aksa, supaya membawaku masuk. Kebetulan sekali. Semoga saja, rencanaku berjalan mulus.Benar saja. Aksa membopong tubuhku. Adikku menunjukkan letak kamarku. Direbahkannya tubuhku di atas kasur. Kasur yang lumayan tebal, yang kubeli dengan uang pemberian Aksa, dulu."Kakakmu, memang sering pingsan?" tanya Aksa kepada adikku."Tidak juga. Tapi sejak dua minggu ini, memang sering muntah-muntah. Kadang juga sampai lemas. Pernah pingsan sih, satu kali. Ibu bilang, itu bawaan bayi. Tapi kata Ibu, aku tidak boleh bilang sama siapa pun, kalau Kak Bunga hamil.
POV. Luna"Jika memang kamu tidak kuat, dengan beban yang kau tanggung, maka lepaskan. Kamu berhak untuk bahagia. Asal kamu tahu, bahagiamu adalah bahagiaku. Jika kamu terluka, maka aku pun ikut merasakannya ...."Aku menoleh ke belakang. Ke arah datangnya suara itu. Bara.Dia berdiri tepat di depan pintu mushola. Aku segera keluar, mendekat ke arahnya.Dia mengambil tempat duduk di pojok sebelah kiri teras mushola. Sementara aku mengambil tempat duduk di pojok sebelah kanan. Kami terhalang jarak sekitar lima meter."Dik, boleh menangis. Jika memang dengan menangis, bisa membuat hatimu lega, dan bisa mengurangi bebanmu. Tapi jangan lama-lama, menangisnya. Kamu harus segera bangkit dari keterpurukan," ucap Bara.Dia berbicara dengan sangat tenang."Kamu tidak tahu, apa yang kurasakan," jawabku."Justru karena aku telah mengalaminya, maka aku bisa berbicara. Kamu menangis, karena kamu melihat suamimu menikah lagi, kan?" ucapnya lagi.Aku menatapnya, lekat. Dalam hati, aku bertanya. Dari
POV. Luna"Aku bahkan tidak tahu, mau ke mana. Aku sepertinya aku sudah tidak punya tempat untuk pulang ...." jawabku."Pulanglah ke rumah suamimu. Selesaikan masalahnya. Jangan kau gantung dirimu sendiri. Jika kamu kuat, jika kamu mampu, bertahanlah. Tapi jika kamu tidak kuat, lepaskanlah. Hidup itu hanya satu kali. Kamu harus bahagia. Jika suamimu tidak bisa membuatmu bahagia, carilah kebahagiaanmu sendiri."Kudengar nasehat dari mantan kekasihku itu. Berbicara memang mudah, batinku. Dia tidak merasakan jika ada di posisiku."Aku tidak siap menjadi janda. Aku malu. Aku tidak siap dengan stigma negatif yang nantinya akan melekat atas diriku. Bagaimana pula nanti berita di masyarakat. Anaknya pejabat A, menjadi seorang janda ...."Kalimat itu meluncur begitu saja, dari mulutku."Maaf, bukan maksudku--" Aku berusaha ingin meralat ucapanku. Jangan sampai mantan pacarku itu beranggapan, jika ucapanku yang baru saja, itu sebagai sinyal dariku yang ingin memintanya untuk menikahiku. Namun
pov. Luna"Bukankah kamu yang menyuruhku untuk menikah? Kenapa sekarang justru menyalahkan?" jawab suamiku.Mendengar jawabannya, aku pun tidak bisa lagi untuk mengawal emosiku. Yang diucapkannya, memang benar adanya. Tapi entah mengapa, aku merasa tidak terima, mendengar dia melakukan pembenaran atas ucapannya.Kuambil kruk yang ada di sampingku. Kupukulkan berkali-kali ke arah tubuh suamiku. Masih kurang puas, aku bahkan masih sempat menonjok wajahnya. Aku juga mencubitnya. Dia sama sekali tidak melawan.Aku merasa tidak puas. Aku seolah hanya melawan angin. Hingga akhirnya, wajah itu kuludahi berkali-kali, hingga mulutku terasa sangat kering.Mas Aksa menatap tajam, ke arahku. Dia mungkin merasa tidak terima, dengan perlakuanku."Kamu keterlaluan!" teriaknya.Dia pun masuk ke rumah. Dibantingnya pintu dengan sangat keras. Dari langkah kaki yang terdengar, aku yakin, dia naik ke kamar atas.Aku pun segera masuk ke rumah. Kukunci pintu utama, kemudian aku masuk ke kamar tamu. Mungkin
POV. LunaJari-jemariku pun merasa gatal, ingin membuat postingan tandingan.Kuunggahlah sebuah postingan di aplikasi hijau. Setahuku, hanya itu satu-satunya aplikasi yang bisa kuatur privasinya. Kubuat, agar postinganku itu, hanya suamiku, yang bisa melihatnya. Karena jangan sampai, huru-hara rumah tanggaku dijadikan konsumsi publik.[Alhamdulillah, memiliki suami yang tampan dan rupawan. Sangat setia, tidak pernah mendua, dan sangat menyayangi istrinya. Bersyukur, Tuhan mengirimkan dia, untuk menemani hari-hariku. Sosok yang sempurna di mataku.]Tidak puas hanya membuat itu, aku pun masih mengunggah kata-kata yang lainnya.Aku pun tidak lagi mengunggah status yang berisi sindiran halus. Namun akan kubuat status yang terang-terangan mengatainya. Agar dia segera menyadari kekeliruannya. [Dijual gratis, seorang suami yang tidak setia, yang diam-diam sudah membuat bunting gu*diknya.][Suatu hari nanti, akan kubuang sampah pada tempatnya, jika aku sudah tidak tahan dengan bau busuknya.]
Pov. AksaLuna adalah istri yang selama ini selalu menguasai alam bawah sadarku. Mengisi hampir seluruh volume otakku. Kucintai dengan segenap jiwa dan ragaku.Hingga ketika dia kabur dari rumah, aku begitu mengkhawatirkannya. Sampai-sampai aku menjadikan Bunga sebagai pelampiasan kekesalanku.Kubentak-bentak, Bunga--perempuan yang baru beberapa jam menjadi istriku. Bahkan saat Bunga merayuku karena ingin meminta nafkah batin pun, aku tidak memberikannya dengan baik. Aku hanya mementingkan diriku sendiri, kemudian langsung beranjak, meninggalkannya begitu saja. Bahkan saat aku melakukannya, aku sama sekali tidak menatapnya sedikit pun. Karena yang ada dalam bayanganku, hanyalah Luna, Luna, dan Luna. Kukecewakan Bunga, dengan kekecewaan yang mendalam. Kuturunkan dia di jalan, hanya karena aku melihat kelebat mobilnya Luna. Tidak kupedulikan Bunga yang menangis histeris. Kutinggal pergi begitu saja, demi mengejar Luna.Namun apa yang kudapatkan, ternyata sangat jauh dari harapan. Istri
POV. Aksa"Benarkah? Kamu mau tidur di rumahku? Di kamarku yang sempit kemarin?" tanya dia.Aku menganggukkan kepalaku dengan mantap. Akan kutebus kesalahanku yang kemarin, dengan memberinya kebahagiaan, malam ini.Akhirnya, kami pun pulang ke rumah orangtuanya Bunga. Kupaksakan diriku untuk tidur di kamar yang tidak begitu nyaman ini.Dan akhirnya, terjadilah apa yang menjadi keinginan istri siriku itu. Bagaimanapun juga, aku adalah laki-laki normal. Tentu aku tidak bisa mengabaikan Bunga begitu saja. Apalagi, sekarang status kami adalah pasangan suami istri. Meskipun pernikahan kami, entah sah entah tidak. Sebelum subuh, aku sudah mandi junub, di kamar mandi yang sangat sederhana ini. Saat pagi masih buta, aku segera pergi meninggalkan rumah itu, untuk mengantar Bunga ke rumah sakit.Kondisi kesehatan ibunya, sudah mulai membaik."Sayang, kamu tidak perlu membayar biaya rumah sakitnya. Aku masih ada uang. Aku juga besok sudah mau berangkat bekerja," ucap Bunga.Dalam hati, aku mera
POV. Aksa"Mas, bisakah kamu jangan pergi?" tanya Luna."Untuk apa, aku di sini. Toh kamu bisa melakukan segala sesuatunya sendiri. Kamu tidak butuh aku."Aku segera naik ke mobil. Melajukan dengan cepat, setelah sebelumnya aku sempat membanting pintu mobilku.Tempat pertama yang kutuju, adalah rumah orangtuanya Bunga. Bunga dan ibunya, menyambutku dengan hangat.Sesampainya di sana, aku segera disuguhkan teh manis. Bunga merebus air, untuk keperluan mandiku. Setelah aku selesai mandi, Bunga pun ternyata sudah menyiapkan pakaian gantiku.Pelayanannya terhadapku, tidak kalah dengan pelayanan yang diberikan oleh Luna, istriku."Ponsel kamu, tadi aku telpon kok, nggak aktif?" tanya Bunga."Ponselku remuk. Dibanting oleh istriku," jawabku."Sabar, Sayang, ya? Mungkin istrimu sedang badmood," jawab Bunga.Mulianya hati istri mudaku ini. Dia tidak lantas menjelek-jelekkan Luna, di saat aku mengadu tentang kelakuan arogannya.Malam ini, aku kembali tidur dengan Bunga. Aku merasa semakin nyam
POV. Aksa"Aku sudah tidak peduli. Kamu mau menikahi dia, kamu mau menceraikan dia. Bukan urusanku. Justru sekarang juga, aku yang akan meminta cerai. Ceraikan aku sekarang juga! Aku tidak mau lagi bersuamikan laki-laki yang kelakuannya bahkan melebihi kelakuan binatang!"Lagi-lagi, Luna berbicara dengan sangat lantang. Perempuan itu. Sudah kuperlakukan dengan baik, tetap saja bersikap angkuh. Lama-lama, aku pun kesal juga. Apalagi, semenjak dia mengetahui perselingkuhanku dengan Bunga, akhir-akhir ini, dia entah sudah berapa kali mengataiku sebagai binatang. Aku juga heran. Dia yang notebenya sebagai bisnis woman, sebagai seorang putri pejabat, namun mulutnya tidak bisa terkontrol. Tingkahnya juga cenderung arogan. "Luna! Kamu dengar tidak. Nyalakan airnya sekarang juga. Kamu jadi perempuan terlalu angkuh. Selalu ingin menjadi yang paling dominan, di setiap keadaan. Laki-laki mana pun, tidak akan tahan, hidup bersama dengan perempuan sepertimu. Kamu itu sudah berani kurang ajar.
POV. AksaBunga pun tampak berbinar. Kemudian dengan manjanya, dia meminta gendong. Sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Luna. Dengan senang hati, aku pun menggendongnya hingga ke kamar atas. Sayangnya, saat di kamar mandi, Bunga justru menggodaku. Hingga akhirnya, aku pun tidak kuasa untuk menolaknya. Dan terjadilah semuanya. Suara musik yang mengalun dengan merdu, membuat kami lupa. Saat aku bersama Bunga sedang sibuk memadu cinta, tiba-tiba aku dikejutkan dengan air shower yang tiba-tiba mati, tidak mengalir lagi. Dalam sekilat pandangan mata, aku melihat Luna sudah menggenggam sabun cair dalam botol. Di semprotkannya, sabun cair itu ke wajahku, hingga mengenai mataku. Aku pun tidak bisa melihat dengan jelas. Mataku terasa perih. Dan sepertinya, hal yang sama juga terjadi kepada Bunga.Kami yang memang sedang berbaring di lantai kamar mandi, dalam posisi yang tidak siap pun, kalah telak, dengan seorang yang diberikan oleh Luna. Luna juga menyemprotkan sabun cair itu ke
POV. Aksa"Aku nggak bisa tidur. Rasanya aku pingiiiinnn ... banget tidur di rumah kamu. Mungkinkah ini yang dinamakan ngidam?"Bunga berbicara lirih, sambil takut-takut. Kasihan sekali, dia. "Ini bukan keinginanku. Ini keinginan anak kamu. Dia pingin tidur di rumah papanya. Kalau aku sih, sudah terbiasa hidup miskin. Meskipun diajak tinggal dikolong jembatan, asal bersamamu, aku rela ...."Bunga mengusap-usap perutnya. "Kalau besok saja, bagaimana? Biar Luna, aku ungsikan dulu ke rumah orang tuaku,"Aku berusaha beralasan. Terus terang, aku merasa ragu, jika ingin membawa Bunga ke rumahku, sementara di situ ada Luna. Aku takut, Bunga yang sedang hamil, dijadikan bulan-bulanan oleh Luna. Jangan sampai, nanti calon bayiku yang menjadi korban. "Tapi anak kita maunya sekarang. Aku nggak bakalan bisa tidur, jika tidak diajak ke sana," rengek Bunga dengan sangat manja. Akhirnya, aku pun mengalah. Membawa Bunga ke rumahku. Untunglah, Luna sudah tidur. Aku bisa masuk ke dalam rumah denga
POV. AksaPagi ini juga, Luna langsung bilang kepada orang tuaku, bahwa dia ingin pulang saja ke rumahnya. Jika sudah Luna yang berbicara, maka Mama Papa pun akan menyetujuinya.Akhirnya, aku bisa juga lepas dari pengawasan Papa.Sepulang dari rumah orangtuaku, aku langsung menghampiri Bunga ke rumahnya."Aksa, muka kamu kenapa? Kok lebam?"Bunga menatap wajahku dengan tatapan heran."Dihajar Papa," jawabku. Bunga menatapku dengan tatapan kasihan. Kemudian dia masuk ke dalam. Tidak berselang lama, dia sudah keluar dengan mangok yang berisi air hangat, dan sapu tangan. Dikompresnya wajahku dengan air hangat itu. "Pasti istrimu mengadu yang tidak-tidak, kepada orang tuamu. Aku bahkan heran. Apa istimewanya Luna, hingga orangtuamu lebih membelanya, daripada terhadap anaknya sendiri."Bunga berbicara dengan nada yang nelangsa. "Luna sudah meminta cerai."Aku berbicara sambil menahan perih di wajahku."Bagus, dong. Ceraikan saja secepatnya! Toh kamu sudah punya aku. Punya calon anak jug
POV. Luna"Siapa juga, yang mau nyium handuk kamu? Aku juga ogah, yang ada ntar aku langsung pingsan. Keringat kamu, baunya nggak ketulungan. Udah gitu, kepedean, lagi."Aku berbicara sambil mencebikkan bibirku."Cewek memang paling pinter, kalau disuruh ngeles. Kirain kamu cuma pinter nangis doang. Ternyata pinter ngeles juga. Bilangnya pingsan, kalau nyium bau keringat aku. Padahal pas pinjem selimut punya aku aja, dicium-cium, dihirup-hirup sampai matanya merem-merem. Kamu pikir, aku tidak tahu? Aku bahkan melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Masih mau ngeles juga?"Aku malu, mendengar semua kalimat yang dia ucapkan. Benarkah dia melihatnya. "Tuh, kan, pipi kamu merona. Itu artinya, iya."Kenapa pagi ini, dia mendadak genit? Benar-benar, kepribadiannya memang sulit untuk ditebak. Kadang dia bersikap cuek, kadang bersikap serius, kadang malah genitnya nggak ketulungan, seperti pagi ini. "Gimana, boleh ya, aku ngelukis wajah kamu? Sebenarnya, bakat melukis itu, sudah ada sejak
POV. Luna"Maaf juga, jika kemarin-kemarin, aku sempat membuat status yang bukan-bukan. Tapi status yang kuunggah, sudah aku atur privasinya, sehingga tidak ada orang yang melihatnya. Maaf juga, jika beberapa hari yang lalu, aku sempat meludahimu."Sebisa mungkin, aku berbicara dengan sopan. Aku ingin, saat perceraian nanti, aku sudah meminta maaf kepadanya."Sudahlah, jangan ngomong hal-hal yang nggak penting. Aku ke sini cuma mau ngomong, kalau nasi gorengnya nggak jadi. Aku mau bubur ayam saja. Kamu tolong ke depan, cari bubur ayam. Cepetan, jangan pakai lama."Aku merasa kesal dengannya. Seenaknya saja, dia mengganti perintah, saat perintah yang pertama sudah hampir kuselesaikan. "Matanya jangan melotot seperti itu. Baru juga meminta maaf, sudah mau membuat dosa. Atau kamu mau? Nanti jika sudah jadi janda, aku informasikan kepada semua orang, jika kamu itu perempuan arogan yang sering melakukan kekerasan dalam rumah tangga, dan bahkan pernah meludahiku? Biar kamu jadi janda seum
POV. LunaItu minuman siapa? Perasaan, aku tidak pernah meminum minuman seperti itu. Di kulkas memang menyimpannya, tapi lebih sering kugunakan untuk menjamu temannya Mas Aksa, jika ada yang datang ke sini. Suamiku pun, jarang sekali menyentuh minuman seperti itu. Apakah Mas Aksa, semalam sempat pulang? Tapi dia tidur di mana? Dari mana juga, dia bisa masuk? Apakah dia memiliki kunci cadangan?Aku memutar langkahku, menuju ke ruang tamu. Kusingkap dengan lebar, gorden jendela yang tadinya masih tertutup.Benar saja, aku melihat mobil suamiku. Tapi orangnya, ada di mana? Apakah tidur di mobil? Lantas botol minuman itu? Kulangkahkan kakiku, menuju kamar tamu. Kuputar kenop pintunya. Terkunci dari dalam. Itu artinya, memang suamiku pulang, dan memilih tidur terpisah dariku. Sudahlah, biar saja.Aku sedang mulai untuk tidak peduli dengan semua hal tentang dia. Aku akan fokus dengan kebahagiaanku. Semoga saja, Mama dan Papa bisa segera pulang. Dan semoga saja mereka tidak kaget, jika nan
Pov. LunaEntah benar, entah salah. Bahkan aku sudah tidak bisa membedakan lagi. Saat aku sedang merasa begitu rapuh, aku justru berbagi cerita dengan mantan kekasihku itu. Bahkan aku juga bercerita tentang rencana perceraianku. Mungkin memang aku salah. Aku keliru. Sebagai seorang istri yang baik, seharusnya jika sedang ada masalah, dia akan mengadu kepada Tuhannya. Dia akan lebih mendekatkan diri kepada agamanya. Bukan malah seperti aku. Berduaan di luar rumah malam-malam, membuka aib rumah tanggaku, berkeluh kesah kepada mantan pacarku. "Kamu yakin, akan bercerai?" tanya Bara."Aku tidak sanggup berbagi. Kemarin-kemarin, kukira aku akan kuat. Tapi baru beberapa hari menjalani, aku rasanya sudah mau gila. Aku lebih baik menjauhi mudharat, daripada mengejar manfaat. Aku tidak sanggup ...."Bara tercenung sejenak, mendengar kalimat yang kuucapkan. Entah apa yang dia pikirkan. Kadang laki-laki itu, memang terlihat misterius."Dik, masuklah ke rumahmu. Tubuhmu punya hak, untuk dijaga
POV. Bara[Samawa till jannah. Dekap eratlah yang ada di hadapanmu. Lupakan yang sudah meninggalkanmu.]Aku tahu. Aku paham, maksud dari komentar itu. Nadin ingin, agar Luna belajar mencintai Aksa yang telah menjadi suaminya, dan melupakan aku yang telah meninggalkannya.Nasehat itu tidak salah. Jika saat ini hatiku merasa tercubit, itu karena mungkin saja aku sedang sensitif. Komentar Nadin, hanya ditanggapi Luna dengan emotikon tersenyum.Kulihat unggahan-unggahannya dari yang paling atas. Semua hanya tentang butiknya. Tentang produk-produk yang dijualnya. Dia sama sekali tidak mengunggah masalahnya di dunia maya.Namun ada akunnya Nadin yang menandainya.[Keep strong. Wonder woman akan selalu kuat. Sobatku yang cantik dan baik.]Unggahan itu disertai dengan fotonya Nadin dan Luna, yang sepertinya sedang duduk di sudut kafe. Postingan itu baru saja diunggah beberapa jam yang lalu. Itu artinya, mereka masih berinteraksi hingga saat ini. Kulihat ada lingkaran kecil berwarna hijau m