BAB 1
AKBAR SELINGKUH"Selamat, Bu Kienan! Usia kehamilan anda sudah sembilan minggu. Janinnya kembar. Tolong dijaga baik-baik, ya!" ucap dokter Rita.Kienan tak mampu menahan air matanya. Penantian panjangnya kini telah membuahkan hasil, bahkan dua anak sekaligus. Akbar pasti bahagia mendengar berita ini, pikirnya.Kienan dan Akbar telah menikah selama lima tahun dan belum dikaruniai buah hati. Mereka sudah memeriksakan kesehatan mereka. Menurut dokter, kondisi mereka berdua sehat. Hanya, belum diberi saja. Mereka harus lebih bersabar.Sudah dua bulan Kienan telat datang bulan. Dia sudah memeriksanya menggunakan tespek dan hasilnya positif. Karena belum yakin, dia memeriksakan diri ke dokter. Dia tidak berani meminta tolong Akbar mengantar untuk periksa. Takut mengecewakan suaminya lagi.Sepanjang lorong rumah sakit, dia tidak berhenti tersenyum. Dia membayangkan betapa bahagianya Akbar saat mendengar kabar ini. Dia pasti akan lebih romantis dan perhatian lagi kepadanya. Memang, akhir-akhir ini, Akbar terlihat cuek dan sering lembur.Saat Kienan memasuki pelataran parkir menuju mobilnya, dia melihat seseorang yang begitu familiar. Setelah diperhatikan, benar, itu suaminya. Dia sedang memapah seorang wanita yang sedang hamil besar. Rachel. Dia adalah mantan kekasih Akbar sebelum menikah dengannya.Perlahan, Kienan mendekati mereka."Mas, apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu bisa sama dia?" tanya Kienan kepada suaminya."Kienan!" Akbar terkejut mendapati Kienan ada disini."Apa yang kamu lakukan disini?" tanya Akbar lagi."Seharusnya aku yang tanya, Mas! Apa yang kamu lakukan disini? Kenapa bisa sama dia?" tanya Kienan sambil menunjuk Rachel."Kienan … sayang … ini …." Akbar gugup. Dia bingung harus mengatakan apa."Apa, Mas? Tolong jelaskan!""Sayang, ayo kita pulang! Nanti aku jelaskan di rumah!" ujar Akbar kepada Kienan."Mas, sebaiknya aku pulang sendiri saja! Terima kasih sudah mengantarku!” ujar Rachel."Gak. Aku gak akan biarin kamu pulang sendiri," ujar Akbar kepada Rachel."Tapi, Mas, aku tidak mau ada kesalahpahaman antara kamu dan Kienan," ujar Rachel sedih."Sudahlah! Aku akan mengantarmu pulang!" ujar Akbar tegas kepada Rachel."Sayang, kamu bawa mobil, kan? Kamu pulang sendiri, ya? Kita ketemu di rumah. Aku harus mengantra dia dulu!" ujar Akbar, lalu meninggalkan Kienan di pelataran parkir sendiri.Kienan seperti orang linglung. Dia belum bisa mencerna apa yang terjadi. Perlahan, dia meninggalkan pelataran parkir menuju mobilnya, lalu bergegas pulang. Di tempat lain, Akbar mengantar Rachel pulang."Maafkan aku, Mas! Gara-gara aku, Kienan jadi salah paham!" ujar Rachel sedih."Tidak ada yang perlu dimaafkan. Mungkin, memang sudah waktunya Kienan tahu," jawab Akbar."Bagaimana kalau Kienan tidak bisa menerima hubungan kita? Aku tidak mau kalau sampai kalian bercerai.""Sudahlah, jangan pikir macam-macam. Lebih baik, fokus saja sama kandunganmu!" ujar Akbar sembari mencium tangan Rachel."Mas …," panggil Rachel lirih."Hm … ada apa?""Kalau seandainya Kienan meminta kamu untuk memilih ….""Sudah ku bilang, kan, jangan mikir macam-macam," sahut Akbar.Rachel menunduk."Aku cuma mau bilang, kalo seandainya Kienan memintamu untuk memilih, tolong, lepaskan saja aku! Aku akan membesarkan anak ini sendiri!"Akbar menghentikan mobilnya di pinggir jalan."Dengarkan aku. Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Kamu tahu kenapa? Karena di sini ada anakku. Anak yang sudah kami tunggu selama lima tahun. Jadi, aku tidak mungkin menyia-nyiakannya. Oke?" ujar Akbar.Rachel tersenyum."Terimakasih, ya, Mas! Kamu mau bertanggung jawab sama kehamilan aku!""Tentu saja. Itu kan anakku," jawab Akbar sembari mengecup kening Rachel. Dia melajukan kembali mobilnya ke jalanan.Rachel tersenyum licik. Niatnya untuk menguasai Akbar sebentar lagi terlaksana. Sebentar lagi, dia akan menjadi nyonya Akbar satu-satunya dsn akan menempati rumah mewah yang saat ini ditempati oleh Kienan.***********Sesampainya di rumah, Kienan segera membersihkan diri. Tak lama kemudian, Akbar datang."Kienan sayang …," sapa Akbar, lalu mengecup kening istrinya."Jangan panggil aku sayang lagi. Sekarang jelaskan padaku!" tantang Kienan.Akbar menghela napas panjang."Maafkan aku Kienan! Aku khilaf! Aku sudah melakukan kesalaham besar. Tapi, aku harus bertanggung jawab. Apapun alasannya, itu adalah anakku. Kita bisa membesarkannya sama-sama.""Tega kamu, Mas! Ini balasanmu atas kesetiaanku selama ini?" teriak Kienan emosi."Aku mohon … maafkan aku, Kienan! Tolong, terima dia jadi madumu! Aku janji akan adil!""Tidak, Mas! Aku tidak mau! Ceraikan aku!" ujar Kienan. Dia berusaha tegar walaupun hatinya begitu sakit. Dia tidak mau terlihat lemah.“Tidak, Sayang! Aku mohon! Jangan seperti ini!” ujar Akbar sambil berlutut.“Aku tidak bisa menerima penghianatan, Mas! Jika kamu tidak menalak aku sekarang, aku sendiri yang akan mengurus perceraian kita!”"Baiklah, jika memang itu keputusanmu. Maafkan aku, Kienan. Aku tidak bisa meninggalkan Rachel. Dia sedang hamil anakku. Kienandra Salshabilla kujatuhkan talak satu untukmu."Setelah mengatakan itu, Akbar bergegas keluar dari rumah. Kienan terduduk lemas. Di menangis tergugu. Rumah tangga yang dia jaga selama ini,akhirnya kandas juga.Bukan jalan yang mudah mempertahankan pernikahan mereka hingga lima tahun. Kienan kerap diejek sebagai wanita mandul oleh keluarga suaminya.Bahkan, kata-kata pedas kerap keluar dari mulut wanita yang bergelar mertua tersebut. Sakit hati,itu pasti. Dia berusaha menahan perasaannya demi mempertahankan pernikahannya. Selama Akbar tidak berkhianat dan menduakannya, dia akan bertahan.Dia sempat berpikir, mereka akan menua bersama. Ada atau tidaknya anak, mereka akan tetap bersama. Tapi kini, semuanya hancur."Aku tidak akan memaafkan kamu, mas! Ingat itu! Aku akan membalas penghianatan kamu!" ujar Kienan dalam hati.Selama ini, dia sudah memberikan segalanya untuk Akbar dan keluarganya. Rumah reyot mereka telah berubah menjadi rumah mewah dua lantai. Bahkan, kini menjadi lebih luas karena membeli tanah di sebelahnya.Perusahaan yang dipimpin Akbar adalah milik keluarganya. Dia membiarkan Akbar memimpin perusahaan karena ingin menghargainya sebagai suami.Kienan sendiri, lebih memilih menjadi ibu rumah tangga. Hanya sesekali saja dia dia bertandang ke kantor.Semua kebutuhan keluarga Akbar, dia yang menjamin. Kebutuhan sehari-hari, biaya kuliah Aira, bahkan gaya hidup mewah adik dan mertuanya itu berasal darinya.Akhir-akhir ini, Akbar memang terlihat berbeda. Dia sering lembur dan keluar kota. Dengan polosnya, Kienan selalu percaya dengan semua alasan yang diberikan suaminya.Bahkan, kemarin, Akbar izin akan keluar kota selama tiga hari untuk menangani proyek di Bandung.Kamu sudah mengecewakan aku, Mas! Kamu akan kehilangan segalanya! Aku bisa memaafkan kesalahanmu yang lain, tapi tidak dengan penghianatan!Maafkan Mama, nak! Bahkan, sebelum kalian lahir, kalian sudah kehilangan papa. Tapi, mama janji, kalian tidak akan kekurangan apapun. Entah itu materi maupun kasih sayang. Mama akan memberikan segalanya untuk kalian!Semalaman Kienan menangisi nasibnya. Dia biarkan air matanya terus mengalir. Dia tidak akan menghapusnya. Karena mulai besok, tidak ada lagi air mata. Dia akan bangkit dan mengambil semua yang menjadi hak anaknya.*************************Pagi ini, Kienan sudah tampak rapi.Tok ...tok … tok….Terdengar suara pintu kamarnya diketuk. Dia segera membukanya."Selamat pagi, nyonya! Sarapan sudah siap!" ujar Bu Asih, pembantu di rumah Kienan."Terimakasih, Bi! Aku akan segera turun!" jawab Kienan.Tak lama kemudian, Kienan sudah duduk di meja makan."Sepertinya nyonya akan keluar hari ini?" tanya Bi Asih."Iya, Bi. Aku akan ke kantor. Sudah lama aku gak kesana," jawab Kienan."Tolong sampaikan kepada pak Anton untuk menyiapkan mobilnya, ya!" tambahnya."Iya, nyonya!" jawab Bu Asih. Dia bergegas ke depan menemui pak Anton.Setelah selesai bersiap, Kienan segera berangkat ke kantornya."Bi, tolong bereskan semua barang-barang pribadi milik Bapak. Masukkan semuanya ke dalam koper. Kalau gak cukup, bibi masukkan kardus atau apalah terserah bibi!""Semuanya, nyonya?" tanya bi Asih memastikan."Ya, semuanya. Tanpa kecuali.""Baik, nyonya."Setelah bersiap, Kienan segera berangkat ke kantor dengan diantar Pak Anton, sopir pribadi keluaganya.. Lalu lintas pagi ini padat merayap. Meskipun begitu, tetap tak menyurutkan langkah para anak manusia untuk mengais rezeki. Kienan memanfaatkan waktu untuk memejamkan mata sejenak.BAB 2AWAL PEMBALASANSetelah bersiap, Kienan segera berangkat ke kantor dengan diantar Pak Anton, sopir pribadi keluaganya.. Lalu lintas pagi ini padat merayap. Meskipun begitu, tetap tak menyurutkan langkah para anak manusia untuk mengais rezeki. Kienan memanfaatkan waktu untuk memejamkan mata sejenak. Semalam, matanya tak dapat terpejam. Bayang-bayang penghianatan Akbar maaih terpampang nyata di pelupuk mata.Tepat satu jam perjalanan, mereka telah sampai di kantor. Satpam yang melihatnya tampak terkejut."Selamat pagi, Bu Kienan!" sapa satpam tersebut. "Selamat pagi, Pak!" sahutnya ramah.Sepanjang jalan menuju ruangan direktur, para karyawan menunduk hormat menyapanya. "Annisa, ke ruangan saya sekarang!" ucap Kienan kepada sekretaris Akbar."Baik, Bu!" jawab Annisa gugup.Dia tidak menyangka, pagi ini ada kunjungan mendadak dari big bos.Tok … tok … tok …."Masuk!" teriak Kienan dari dalam ruangan Akbar."Pak Akbar tidak masuk?" tanya Kienan."Tidak, Bu. Sudah tiga hari beliau
BAB 3MEMBLOKIR KARTU MILIK AKBARKienan bisa mengatakan hal itu merupakan kejanggalan karena menurut laporan Akbar selama ini, perusahaan sedang mengalami penurunan, sehingga mereka harus mengurangi pengeluaran, termasuk biaya model untuk iklan. Tetapi,di laporan tersebut, ada biaya model iklan yang jumlahnya tiga kali lipat dari biasanya.Kienan menghela napas kasar. Kalau seperti ini, perusahaannya bisa bangkrut.Perusahaan tersebut adalah peninggalan orang tuanya. Dulu, mereka merintis semuanya dari nol. Dia masih ingat, saat itu ia berusia lima tahun saat papanya di PHK dari perusahaan tempatnya bekerja. Berbekal uang pesangon dan menjual sawah peninggalan kakek nenek Kienan, papanya merintis usaha sendiri. Jatuh bangun pernah mereka rasakan.Saat Kienan kelas satu SMP, perusahaan milik papanya perlahan mulai merangkak. Sedikit demi sedikit, kehidupan ekonomi meningkat.Melihat perjuangan berat orang tuanya dan dia sebagai anak satu-satunya, Kienan kuliah mengambil jurusan man
BAB 4TIM AUDITMendengar ada kehebohan, Pak Wisnu segera keluar dari ruangan wakil direkturnya menemui mereka."Selamat pagi, pak Firman!" sapa pak Wisnu."Selamat pagi, Pak Wisnu! Apa kabar?" tanya pak Firman ramah."Siapa mereka?" tanya pak Wisnu tanpa basa-basi."Oh … mereka tim audit. Saya kesini mengantar mereka," jawab pak Firman tenang."Apa? Bagaimana bisa anda membawa orang luar untuk melakukan audit di perusahaan kita?" protes pak Wisnu."Maaf, pak Wisnu. Ini sudah kebijakan dari Bu Kienan. Beliau sudah memberikan surat perintah kepada mereka," jawab pak Firman. "Kenapa bukan orang-orang kita yang melakukannya? Perusahaan kita punya punya tim sendiri dan mereka lebih berpengalaman. Mereka hanya anak kemarin sore," protes pak Wisnu."Kalau mengenai hal itu, silahkan tanyakan Bu Kienan sendiri."Pak Wisnu mendengus kesal mendengar jawaban itu. Dia masih belum puas. "Maaf, pak Wisnu. Saya permisi! Masih ada hal lain yang harus saya kerjakan!" Pak Firman berpamitan kepada pa
BAB 5KIENAN PINGSAN"Kami akan melakukan penelusuran lebih lanjut. Dana tersebut ada yang ditarik tunai, ada juga yang masuk ke beberapa rekening. Beri kami waktu dua Minggu. Kalau tidak ada kendala, kita sudah bisa menemukan tersangkanya.""Baik, Pak Nizam. Saya percayakan masalah ini kepada Anda.""Baik, Bu! Terimakasih! Kalau begitu, saya permisi! Selamat siang!" Mereka berjabat tangan."Selamat siang, pak Nizam!" Kienan mengantar pak Nizam hingga ke pintu.Saat hendak membuka membuka pintu, tiba-tiba, kepalanya terasa pusing. Dia yang tidak siap, akhirnya terjatuh.Sebelum benar-benar kehilangan kesadarannya, Kienan merasakan seseorang menangkap tubuhnya dan memanggil-manggil namanya. Setelah itu, semua menjadi gelap. Nizam membopong tubuh Kienan dan menidurkannya di sofa, kemudian memanggil Annisa. Tak lama kemudian, Annisa datang.Mereka berusaha menyadarkan Kienan dengan menepuk-nepuk pipinya dan memberi minyak kayu putih. Tak lama kemudian, perlahan Kienan mulai membuka ma
BAB 6RENCANA RACHELSetelah keluar dari rumah Kienan, Bu Ana dan Aira menuju rumah Rachel."Bu, kita kemana sekarang?""Kita ke rumah Rachel mengantar barang kakakmu, sekalian minta uang belanja," jawab Ibunya. Aira mengarahkan mobilnya menuju rumah Rachel. Mobil itu pemberian Kienan saat Aira awal masuk kuliah. Saat itu, Aira merengek minta dibelikan mobil. Dengan segala upaya, Ibunya membujuk Kienan agar mau membelikannya.Tak lama kemudian, mereka sudah sampai di tujuan."Akbar!" teriak Ibunya begitu memasuki rumah."Ibu? Tumben kesini?" tanya Rachel. Dia terkejut mendengar ribut-ribut di depan, jadi dia bergegas keluar. "Memangnya gak boleh? Ini kan, rumah Akbar juga. Dia yang beli," jawab Bu Ana sewot. Dia segera duduk di ruang tengah."Kok gitu sih, Bu, jawabnya!? Aku kan, tanya baik-baik!" ujar Rachel."Bibi!" teriak Bu Ana.Bi Murni tergopoh-gopoh berlari ke depan. "Iya, Bu! Ada apa?"tanya bi Murni."Buatkan saya jus jeruk, sekalian bawakan camilan juga!" perintah Bu An
BAB 7MENGAJUKAN GUGATAN CERAI (RATE 21+)Kienan dan pak Firman segera masuk ke dalam ruangan. "Ada apa bu Kienan memanggil saya? Ada yang bisa saya bantu lagi?" tanya Pak Firman."Begini, Pak! Saya ingin mengajukan gugatan cerai. Apakah pak Firman bisa membantu saya?" tanya Kienan."Tentu, Bu! Apa Ibu sudah menyiapkan berkasnya?""Sudah, pak!" jawab Kienan sembari menyerahkan map berisi berkas-berkas.Pak Firman mengecek kelengkapan berkas tersebut.Tok ... tok… tok…."Masuk!" ucap Kienan."Ini, Bu, kopi dan tehnya!" ucap OB tersebut, lalu meletakkan di hadapan mereka. "Terimakasih, mas!""Sama-sama, Bu! Permisi!" OB tersebut meninggalkan ruangan."Bagaimana, Pak?""Ini sudah lengkap, Bu! Saya akan mengurusnya! Kalau boleh tahu, apa alasan gugatan perceraian ini?" tanya Pak Firman.Kienan menceritakan kejadian pertemuan mereka di rumah sakit dan talak dari Akbar. Pak Firman mengangguk tanda mengerti. "Alasan Ibu bisa diterima! Baik, Bu! Akan segera saya proses!" ujar Pak Firman."
BAB 8SUAP"Pak Nizam yang menolong saya tadi?" tanya Kienan.Nizam menangguk."Kebetulan tadi saya di lokasi kejadian," jawabnya.Kienan terdiam sambil mengelus perutnya."Kandunganku …?""Kandunganmu baik-baik saja. Hanya pesan Dokter, harus dijaga hati-hati.""Terimakasih banyak, Pak!"Kienan menghembuskan napas lega.Tok … tok … tok ….Pintu ruangan Kienan diketuk. Mereka berdua menoleh. Tampak Annisa disana."Selamat siang, pak Nizam! Maaf, jadi merepotkan Anda!" sapa Annisa. "Gak papa! Kebetulan saja saya di lokasi kejadian," jawab Pak Nizam. "Selamat siang, Bu Kienan! Bagaimana keadaan Ibu?" sapa Annisa.Kienan tersenyum."Maaf, Pak Nizam! Bu Kienan biar saya yang menemani. Sebentar lagi keluarganya juga akan datang. Terimakasih atas bantuannya tadi!" ucap Annisa."Baiklah! Kalau begitu, saya permisi! Selamat siang, Bu Kienan! Semoga cepat sehat kembali!""Terimakasih, Pak Nizam!"Pak Nizam meninggalkan kamar Kienan. Kini, tinggal mereka berdua. "Tadi, saya sudah menghubungi
BAB 9SURAT PANGGILAN"Kata pak Nizam, disana nampak mobil tersebut parkir cukup lama sebelum mencoba menabrak Ibu. Semua sedang ditangani pihak kepolisian. Mereka yakin, ini percobaan pembunuhan. Semoga pelakunya segera ketemu.""Iya. Saya juga penasaran, siapa yang bisa begitu jahat sama saya."Tok … tok … tok ….Annisa bergegas membuka pintu. "Selamat pagi, Pak Nizam! Selamat pagi, Pak Firman!""Selamat pagi juga, bu Nissa!" ujar Pak Nizam sembari mengulas senyuman, lalu masuk ke dalam ruangan. "Selamat pagi, Bu Kienan!" ucap pak Nizam dan pak Firman bersamaan."Selamat pagi, Pak Nizam! Selamat pagi, pak Firman. Silahkan duduk! Nis, tolong mintakan kopi sama OB ya!""Iya, Bu!""Bagaimana, Pak hasil penyidikannya?" tanya Kienan setelah mereka duduk dihadapannya. "Untuk kasus tabrak lagi, pihak kepolisian mengalami jalan buntu. Mobil tersebut ternyata mobil curian. Jadi, mereka tidak bisa melacaknya. Tapi, mereka masih terus menyelidiki kasus itu," jawab pak Firman."Lalu, masalah
BAB 13AKHIR YANG BAHAGIA"Ibu!" ujar Farel terkejut."Ngapain kamu di rumah perempuan itu? Ayo pulang!" sentak wanita bertubuh tambun tersebut."Aku hanya mengantar mereka pulang saja, Bu!" sahut Farel."Jangan banyak alasan, cepat pulang! Hei, Nana! Kamu itu sudah menikah. Bisa-bisanya kamu menggoda anakku. Kalau mau selingkuh, cari laki-laki lain, jangan anakku. Aku tidak rela!" sentak ibu Farel."Ibu, siapa yang menggoda sih? Aku hanya mengantar mereka. Lagi pula aku sendiri yang berinisiatif!" sahut Farel membela Nana."Jangan bela mereka. Ingat ya, ini peringatan terakhir. Jangan ganggu anakku lagi!" Usai mengatakan hal tersebet, wanita bertubuh tambun tersebut segera menyeret Farel meninggalkan rumah Nana. Tak diperdulikannya beberapa warga yang menonton kejadian tersebut."Ada apa, Na? Kok ibu dengar ribut-ribut!" tanya Bu Husna. "Tadi … ibunya Mas Farel kesini!" sahut Nana dengan mimik sedih. Bu Husna menghela nafas panjang sejenak. Bisa bisa menebak apa yang tejadi tadi. Di
BAB 12BERTEMU KEMBALIDengan penuh percaya diri, pengendara tersebut segera turun dari motornya. Belum juga dia melepas helmnya, Nana sudah menghampiri dan melabraknya.“Hei, Mas, maksudnya apaan, menghalangi jalan kami? Mau pamr motor?” sentak Nana. Pria tersebut yang hendak melepaskan helmnya, menghentikan aksinya seketika. Dia menatap Nana dengan intens dari balik helm full facenya.“Kalau mau aksi keren-kerenan, jangan disini! Lagipula saya gak minat!” lanjut Nana.“Nana ... jangan kasar begitu! Maaf ya, Nak!” ujar Bu Husna merasa tidak enak.“Untuk apa Ibu minta maaf sama dia. Dia yang salah kok!” sahut Nana membela diri.“Iya, Bu, tidak apa-apa! Saya paham kok! Saya kan sudah hafal dengan sifatnya!” sahut pria tersebut. Nana terkesiap seketika. Suara itu, suara yang pernah sangat akrab di telinganya. Nana menatap pria tersebut dengan intens. Sayangnya, keberadaan helm yang masih dikenakan pria tersebut, membuatnya tidak bisa mengenali pria tersebut.Menyadari kebingungan wanita
BAB 11DI KAMPUNGTok tok tok ....“Sebentar!” samar-samar, Nana mendengar sebuah sahutan dari dalam. Nana tersenyum tipis. Itu adalah suara yang selalu dia rindukan selama ini.“Nana! Masya Allah!” ujar wanita yang berusia hampir senja tersebut. Beliau menatap Nana dengan penuh haru.“Ibu!” ujar Nana dengan suara tercekat. Dia pun segera mencium punggung tangan wanita tersebut. Wanita tua tersebut membawa Nana ke dalam pelukannya.“Nana! Ibu kangen banget sama kamu!” ujarnya dengan air mata yang mulai membasahi pipi.“Nana juga kangen sama Ibu dan Bapak!” ujar Nana. Dia pun sudah tak dapat membendung air matanya lagi. Kerinduannya membuncah. Sejak menikah, ini pertama kalinya dia kembali menginjakkan kaki di rumah orang tuanya. Untuk beberapa lama, mereka saling berpelukan meluapkan kerinduan yang terpendam.“Kamu kok sendirian? Reno mana?” tanya wanita tersebut.“Em ... Mas Reno sedang sibuk, Bu. Jadi, gak bisa ngantar!” sahut Nana beralasan.“Bapak mana, Bu?” tanya Nana lagi.“Ba
BAB 10FAKTA MENGEJUTKAN"Bapak kenal Pak Nizam?" tanya Nana bingung."Em … iya, Na. Dulu!" sahut Akbar dengan wajah bingung."Pak Akbar apa kabar sekarang?" tanya Nizam mengalihkan perhatian."Alhamdulillah baik, Pak Nizam! Silahkan duduk! Maaf, tempatnya kotor!" ujar Akbar."Tidak masalah, terima kasih!" ujar Nizam, lalu duduk di salah satu bangku pembeli. "Na, ini sudah malam. Sebaiknya kamu istirahat saja. Lagipula, warung kan sepi. Sebentar lagi Bapak juga beberes!" ujar Akbar."Nana bantuin beberes aja ya, Pak?" sahut Nana."Tidak usah. Kamu istirahat saja!" ujar Akbar.Nana menghela nafas panjang."Baiklah kalau begitu. Pak Nizam, saya permisi dulu ya!" pamit Nana."Iya, silahkan!" sahut Nizam. Nana pun meninggalkan majikannya bersama Akbar."Jadi … ini kegiatan Pak Akbar setelah keluar dari penjara?" tanya Nizam."Iya, Pak. Sebenarnya, waktu itu beberapa kali saya mencoba melamar pekerjaan, tapi tidak ada yang mau menerima. Akhirnya, saya merintis jualan bakso ini!" sahut Akb
BAB 9RENCANA MENGGUGATBeruntung, sebelum dia benar-benar terjatuh, Nizam meraih tubuhnya. Untuk beberapa saat, mereka saling bertatapan. Jantung Nana berdetak dengan kencang. Seumur-umur, baru kali ini dia berada pada jarak sedekat ini dengan majikannya.“Papa!” sebuah panggilan mengagetkan mereka. Nana segera berdiri dan Nizam pun melepaskan pelukannya.“Papa ngapain di dapur?” tanya Clara, putri Nizam.Nana berusaha bangkit dan berdiri tegak, sedangkan Nizam segera melepaskan pelukannya pada Nana. Suasana pun menjadi kikuk. “Em ... ini, tadi Nana jatuh. Kebetulan Papa pas disini. Kamu belum berangkat?” tanya Nizam pada putrinya. “Sebentar lagi, Pa!” sahut Clara seraya menatap Nana curiga.“Saya buatkan kopinya dulu, Pak!” pamit Nana.“Oh, iya! Saya tunggu di depan!” ujar Nizam.“Ayo, Sayang!” ajak Nizam pada Clara.“Papa gak kerja?” tanya Clara.“Ntar, berangkat agak siangan! Papa ada janji ketemu klien di dekat sini! Dari pada bolak-balik, mending berangkat ntar sekalian!”
BAB 8TALAK“Cepat berikan uangnya!” perintah mertuanya.“Maaf, Bu, saya tidak bisa!” sahut Nana tegas.Narti yang merasa sangat geram, segera merampas tas Nana yang masih dipegangnya. Nana pun berusaha mempertahankan tanya sehingga terjadi aksi saling mendorong hingga akhirnya mereka berdua terjatuh. Nana menghembuskan nafas lega karena dia berhasil mempertahankan tasnya.“Ibu!” teriak Reno saat melihat Ibunya jatuh tersungkur.“Ibu tidak apa-apa?” tanyanya khawatir.“Nana, apa yang kamu lakukan sama Ibu?” bentak Reno pada Nana. “Ren, istrimu sungguh durhaka, Ren! Dia sama sekali tidak menghargai Ibu!” ujar Narti seraya terisak.Reno menatap istrinya dengan geram. Reno segera membantu Ibunya bangkit dan duduk di sofa. “Ibu kenapa bisa jatuh gitu?” tanya Reno lagi.“Ibu didorong Nana, Ren! Ibu hanya mau pinjam uangnya sedikit untuk membeli obat!” ujar Narti.“Memangnya uang yang aku kasih kurang, Bu?” tanya Reno.“Uangnya sudah habis, Ren! Sudah Ibu gunakan untuk bayar kuliahnya Viv
BAB 7MULAI BEKERJA"Bang, aku mau ngomong!" ujar Nana. Saat ini, mereka telah selesai makan malam dan sedang bersiap untuk tidur."Kalau masalah yang tadi pagi, aku gak bisa, Na. Uangku sudah habis. Lagian, benar kata Ibu, mereka kan orang tuamu,ngapain aku harus ikut repot?" sahut Reno cuek."Aku tahu, Bang. Makanya, sekarang aku mau minta izin!" sahut Nana."Izin apa?" tanya Reno penasaran."Aku ditawari pekerjaan di rumah mantan majikannya Mbak Siti. Kalau boleh, aku kerja disana!" ujar Nana. "Kerja apa?" tanya Reno."Jadi pembantu, Mas!" sahut Nana.Reno tersenyum sinis."Kamu memang pantasnya jadi babu!" sahut Reno.Nana menghela nafas panjang."Aku ingin membantu ekonomi orang tuaku, Mas. Kasihan,mereka itu sudah tua. Sudah seharusnya mereka beristirahat!" ujar Nana."Bagaimana dengan pekerjaan kamu disini?" tanya Reno."Aku akan mengerjakan sebelum dan setelah pulang bekerja, Mas! Mas Reno jangan khawatir! Aku tidak akan melalaikan kewajibanku!" ujar Nana lagi.Reno tampak se
BAB 5TAMU TAK DIUNDANGNana pun segera melangkah ke depan dan membuka pintu. Saat pintu telah terbuka, Nana termangu menatap tamunya."Siapa, Na?" tanya Narti yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya. Nana menoleh menatap sang mertua, lalu sedikit menyingkir dari pintu."Prita! Tumben pagi-pagi sudah sampai sini! Ayo, masuk!" sapa Narti seraya tersenyum lebar."Iya, Bu, maaf mengganggu!" sahut Prita merasa tak enak. "Gak papa, ayo masuk!" sahut Narti.Dengan tersenyum lebar, Prita masuk ke dalam rumah. Nana mematung di tempatnya seraya menatap Prita. "Ngapain kamu bengong disitu? Sana, lanjutkan masaknya!" sentak Narti kepada Nana. Dengan terpaksa, Nana melangkah ke belakang dan melanjutkan aktivitasnya."Ada apa, Prit? Tumben pagi-pagi sudah main ke sini!" tanya Narti lagi."Iy, Bu. Semalam aku ketemu Bang Reno, katanya Nana sakit. Aku pikir pagi ini gak ada yang masak. Jadi, ini aku bawakan makanan untuk sarapan. Ternyata Nana sudah sembuh, ya!" ujar Prita."Aduh, jadi merepot
BAB 3KEMARAHAN RENOPukul 17.00 WIB Mana terbangun dengan badan yang lebih segar. Usai membersihkan badan, Nana segera melangkah keluar sebelum mertuanya marah. Di ruang tengah, Nana melihat sang mertua tengah menangis sesenggukan di pelukan suaminya."Mas, Ibu kenapa?" tanya Nana heran. Reno menatap Nana nyalang."Apa yang kamu lakukan sama Ibu?" bentak Reno."Apa maksudmu, Mas? Aku tidak berbuat apa-apa!" sahut Nana."Tidak berbuat apa-apa? Ibu sampai nangis gini kamu bilang tidak berbuat apa-apa?" bentak Reno."Mas, aku beneran gak tahu! Aku aja baru bangun tidur!" sahut Nana membela diri."Nah, itu! Itu yang bikin Ibu nangis!" bentak Reno."Maksudnya bagaimana sih, Mas? Aku gak ngerti!" tanya Nana lagi."Masih bilang gak ngerti juga? Baik, aku jelaskan. Kamu biarkan Ibu mengerjakan semua pekerjaan rumah sendirian, sementara kamu seharian hanya tidur-tiduran? Keterlaluan!" bentak Reno."Apa?" Nana menatap mertuanya bingung. Melihat sang mertua masih terisak, akhirnya Nana paham.