BAB 5
KIENAN PINGSAN"Kami akan melakukan penelusuran lebih lanjut. Dana tersebut ada yang ditarik tunai, ada juga yang masuk ke beberapa rekening. Beri kami waktu dua Minggu. Kalau tidak ada kendala, kita sudah bisa menemukan tersangkanya.""Baik, Pak Nizam. Saya percayakan masalah ini kepada Anda.""Baik, Bu! Terimakasih! Kalau begitu, saya permisi! Selamat siang!"Mereka berjabat tangan."Selamat siang, pak Nizam!" Kienan mengantar pak Nizam hingga ke pintu.Saat hendak membuka membuka pintu, tiba-tiba, kepalanya terasa pusing. Dia yang tidak siap, akhirnya terjatuh.Sebelum benar-benar kehilangan kesadarannya, Kienan merasakan seseorang menangkap tubuhnya dan memanggil-manggil namanya. Setelah itu, semua menjadi gelap.Nizam membopong tubuh Kienan dan menidurkannya di sofa, kemudian memanggil Annisa. Tak lama kemudian, Annisa datang.Mereka berusaha menyadarkan Kienan dengan menepuk-nepuk pipinya dan memberi minyak kayu putih. Tak lama kemudian, perlahan Kienan mulai membuka matanya."Bu Kienan, ibu bisa mendengar saya?" tanya Annisa.Kienan mencoba bangkit."Jangan bangun dulu! Anda masih lemas!"ujar Nizam.Kienan menoleh. Dia melihat masih ada pak Nizam disana."Aku kenapa,Nis?" tanya Kienan."Tadi Ibu pingsan. Untungnya, ada pak Nizam yang nolongin." Annisa memberi penjelasan.Kienan mencoba bangkit lagi dengan dibantu Annisa."Terimakasih, pak Nizam atas bantuannya!""Sama-sama, Bu! Bu Kienan gak papa? Apa perlu saya antar ke rumah sakit?" tanya Nizam."Gak usah, Pak! Saya gak papa, kok! Hanya kecapekan saja!""Baiklah, kalau begitu, saya permisi! Selamat siang!""Selamat siang, Pak!"Setelah Nizam pergi, Kienan mencoba bangkit."Ibu mau apa? Biar saya ambilkan! Ibu istirahat aja dulu!""Tolong ambilkan tas dan ponsel saya di meja!""Baik, Bu!""Tolong juga cancel semua jadwal saya hari ini! Saya mau pulang! Kalau da berkas yang harus ditandatangani, antarkan saja kerumah!""Baik, Bu! Saya antar ke bawah, ya?""Iya. Ayo!"Beriringan mereka melangkah menuju lift."Pak Firman sudah pulang, Nis?" Sudah, Bu! Tadi pagi, setelah mengantar pak Nizam ke ruangannya, beliau langsung pulang. Ada janji dengan klien, katanya. Ada yang perlu disampaikan?" Annisa memberi penjelasan."Besok pagi, suruh beliau menemui saya di kantor.""Baik, Bu!"**********************************************Sesampainya di rumah, Kienan langsung merebahkan badannya. Dia benar-benar lelah. Tak lama kemudian, dia tertidur.Sore harinya, dia terbangun dengan badan yang sedikit segar. Segera dia menuju kamar mandi untuk berendam. Cukup lama dia berendam membuat tubuhnya terasa rileks.Setelah merasa cukup, dia segera keluar. Di sore hari begini, ia ingin menikmati secangkir teh sembari duduk di gazebo dekat kolam renang. Rasanya pasti menyenangkan.Kienan segera turun dari kamarnya dan mendengar suara ribut-ribut di depan."Kienan!"Seseorang memanggil namanya,begitu dia menjejakkan kaki di tangga terakhir.Kienan menghentikan langkahnya.Ternyata yang datang adalah ibu mertua dan adik iparnya."Ibu? Ada apa?" tanya Kienan."Kok ada apa? Kamu lupa sekarang tanggal berapa? Kok jatah Ibu belum dikirim?" protes mertuanya."Iya, nih, kak Kienan. Uang jajanku juga udah habis. Aku kan mau nongkrong di cafe sama temen-temenku," sahut Aira, adik iparnya.Mereka kini duduk santai di ruang tengah."Maaf, Bu! Apa mas Akbar belum cerita kepada Ibu?""Cerita apa?" tanya mertuanya."Mas Akbar sudah menjatuhkan talak sama aku, Bu! Kami bukan suami istri lagi! Jadi, Ibu bukan tanggung jawab aku!""Apa? Talak? Kamu serius?" tanya mertuanya."Iya, Bu. Jadi, untuk uang bulanan sebaiknya Ibu minta langsung ke mas Akbar.""Kok bisa dia jatuhkan talak sama kamu? Pasti, kamu gak becus jadi istri."Kienan menghela napas perlahan."Aku yang minta, Bu!" jawab Kienan."Kenapa?""Mas Akbar selingkuh, Bu! Bahkan, wanita itu sekarang sudah hamil besar.""Ka … kamu tahu dari mana?" tanya mertuanya grogi."Aku lihat sendiri, Bu! Mas Akbar juga sudah mengakui kalau wanita itu istrinya.""Trus, Akbarnya sekarang dimana?"Kienan menghela napas."Entahlah. Mungkin dia di rumah istri barunya. Apa Ibu tidak tahu kalau mas Akbar menikah lagi?" tanya Kienan."Em … masalah itu …."Mertuanya terlihat gelisah."Jadi, selama ini Ibu sudah tahu? Dan Ibu menutupi semua ini dari aku?" tanya Kienan tak percaya. Melihat gelagat mertuanya, dia langsung paham jika mertuanya terlibat dengan pernikahan kedua suaminya."Bukan begitu, Kienan! Waktu itu, Ibu tidak punya pilihan. Wanita itu sedang hamil anaknya Akbar. Jadi, dia harus tanggung jawab," jawab mertuanya merasa tak enak."Dan ibu merahasiakan itu semua dari aku?""Akbar yang minta. Katanya, nanti Akbar sendiri yang akan cerita. Jadi, Akbar memang sudah cerita, ya?" tanya mertuanya."Gak. Aku tahu dengan sendirinya.""Kenapa kalian harus bercerai? Anak itu kan sudah lama ditunggu sama Akbar. Toh, itu nanti jadi anakmu juga. Nanti kalian bisa merawat sama-sama.""Apa Ibu tidak memikirkan perasaanku saat mengatakan itu? Aku dikhianati, Bu! Mas Akbar selingkuh! Dan dengan santainya Ibu mengatakan aku harus merawat anak itu sama-sama?" ujar Kienan dengan emosi."Ya … mau bagaimana lagi. Kamu kan, mandul. Akbar anak laki-laki Ibu satu-satunya. Dia harus punya keturunan untuk meneruskan garis keluarga kami.""Tapi kan, tidak harus dengan cara selingkuh, Bu! Masih ada cara lain! Lagian, aku gak mandul!""Kalian sudah menikah hampir lima tahun dan belum dikarunia anak. Apa namanya kalau bukan mandul?""Iya, nih, mbak Kienan. Harusnya, mbak menerima mbak Rachel. Daripada jadi janda! Siapa yang mau sama janda mandul?" ejek Aira."Jaga mulutmu, Aira! Yang sopan sama orang yang lebih tua!""Kienan! Beraninya kamu bentak anakku! Lagipula, yang dikatakan Aira memang benar! Siapa yang mau sama janda mandul kayak kamu!""Aku tidak mandul, Bu! Aku sedang hamil!" ujar Kienan."Apa? Yang benar? Jangan bohong kamu!""Untuk apa aku berbohong, Bu! Terserah Ibu mau percaya atau tidak.""Alah … itu pasti akal-akalannya saja, Bu! Agar gak jadi diceraiin sama mas Akbar! Mandul aja belagu!" ejek Aira."Kamu bener, Ra! Pasti dia nyesal sudah meminta cerai dari Akbar.""Tidak akan, Bu! Aku malah bersyukur!""Itu karena kamu belum tahu saja …." ucap Aira dengan senyum mengejek."Belum tahu apa?" tanya Kienan."Aira, sudah. Jangan diteruskan! Ayo kita pulang!"Mereka segera beranjak dan berniat meninggalkan rumah Kienan."Tunggu, Bu!" cegah Kienan.Mertuanya tersenyum sinis."Apalagi? Kamu mau bilang menyesal dan minta Akbar balik lagi sama kamu?" ejek mertuanya.Kienan tersenyum tenang."Bi Asih?" teriak Kienan memanggil pembantunya."Iya, Bu! Ada apa?" tanya bi Asih."Tolong ambilkan koper dan barang-barang kemarin!""Baik, Bu!""Koper apa, Nan?" tanya mertuanya heran."Barang-barang milik mas Akbar yang masih tertinggal disini, Bu! Tolong, Ibu bawa sekalian. Aku tidak mau menyimpannya."Tak lama kemudian, bi Asih membawa sebuah koper besar dan dua buah kardus."Ini, Bu, barang-barangnya!""Terimakasih, Bi!""Iya, Bu! Sama-sama!""Silahkan dibawa, Bu! Daripada aku membuangnya ke tong Sampah!""Keterlaluan kamu, Kienan! Status Akbar masih suamimu. Dia masih punya hak di rumah ini. ""Sejak dia ketahuan berselingkuh dan menjatuhkan talak padaku, dia sudah tidak punya hak apapun di rumah ini. Silahkan barangnya dibawa!""Anton ….!" teriak mertuanya memanggil sopir Kienan.Mendengar teriakan yang begitu nyaring, Pak Anton yang minum kopi di dapur bergegas berlari ke depan."Iya, Bu! Ada apa?" sahut Anton."Masukkan itu ke dalam mobil saya!"Pak Anton masih terdiam sambil memandang Kienan seolah meminta izin. Saat Kienan mengangguk, pak Anton baru berani mengangkat barang-barang tersebut."Kamu akan menyesal, Kienan! Ingat itu!"Kienan tak menggubris ocehan mertuanya. Dia kembali ke tujuan awal, melangkahkan kaki ke gazebo.Sembari menikmati secangkir teh, dia memikirkan semuanya. Apa yang telah terjadi dan apa yang harus dia lakukan. Dia tidak ingin menunda-nunda waktu lagi.********************************************Setelah keluar dari rumah Kienan, Bu Ana dan Aira menuju rumah Rachel."Bu, kita kemana sekarang?""Kita ke rumah Rachel mengantar barang kakakmu, sekalian minta uang belanja," jawab Ibunya.Aira mengarahkan mobilnya menuju rumah Rachel. Mobil itu pemberian Kienan saat Aira awal masuk kuliah. Saat itu, Aira merengek minta dibelikan mobil. Dengan segala upaya, Ibunya membujuk Kienan agar mau membelikannya.Tak lama kemudian, mereka sudah sampai di tujuan."Akbar!" teriak Ibunya begitu memasuki rumah.BAB 6RENCANA RACHELSetelah keluar dari rumah Kienan, Bu Ana dan Aira menuju rumah Rachel."Bu, kita kemana sekarang?""Kita ke rumah Rachel mengantar barang kakakmu, sekalian minta uang belanja," jawab Ibunya. Aira mengarahkan mobilnya menuju rumah Rachel. Mobil itu pemberian Kienan saat Aira awal masuk kuliah. Saat itu, Aira merengek minta dibelikan mobil. Dengan segala upaya, Ibunya membujuk Kienan agar mau membelikannya.Tak lama kemudian, mereka sudah sampai di tujuan."Akbar!" teriak Ibunya begitu memasuki rumah."Ibu? Tumben kesini?" tanya Rachel. Dia terkejut mendengar ribut-ribut di depan, jadi dia bergegas keluar. "Memangnya gak boleh? Ini kan, rumah Akbar juga. Dia yang beli," jawab Bu Ana sewot. Dia segera duduk di ruang tengah."Kok gitu sih, Bu, jawabnya!? Aku kan, tanya baik-baik!" ujar Rachel."Bibi!" teriak Bu Ana.Bi Murni tergopoh-gopoh berlari ke depan. "Iya, Bu! Ada apa?"tanya bi Murni."Buatkan saya jus jeruk, sekalian bawakan camilan juga!" perintah Bu An
BAB 7MENGAJUKAN GUGATAN CERAI (RATE 21+)Kienan dan pak Firman segera masuk ke dalam ruangan. "Ada apa bu Kienan memanggil saya? Ada yang bisa saya bantu lagi?" tanya Pak Firman."Begini, Pak! Saya ingin mengajukan gugatan cerai. Apakah pak Firman bisa membantu saya?" tanya Kienan."Tentu, Bu! Apa Ibu sudah menyiapkan berkasnya?""Sudah, pak!" jawab Kienan sembari menyerahkan map berisi berkas-berkas.Pak Firman mengecek kelengkapan berkas tersebut.Tok ... tok… tok…."Masuk!" ucap Kienan."Ini, Bu, kopi dan tehnya!" ucap OB tersebut, lalu meletakkan di hadapan mereka. "Terimakasih, mas!""Sama-sama, Bu! Permisi!" OB tersebut meninggalkan ruangan."Bagaimana, Pak?""Ini sudah lengkap, Bu! Saya akan mengurusnya! Kalau boleh tahu, apa alasan gugatan perceraian ini?" tanya Pak Firman.Kienan menceritakan kejadian pertemuan mereka di rumah sakit dan talak dari Akbar. Pak Firman mengangguk tanda mengerti. "Alasan Ibu bisa diterima! Baik, Bu! Akan segera saya proses!" ujar Pak Firman."
BAB 8SUAP"Pak Nizam yang menolong saya tadi?" tanya Kienan.Nizam menangguk."Kebetulan tadi saya di lokasi kejadian," jawabnya.Kienan terdiam sambil mengelus perutnya."Kandunganku …?""Kandunganmu baik-baik saja. Hanya pesan Dokter, harus dijaga hati-hati.""Terimakasih banyak, Pak!"Kienan menghembuskan napas lega.Tok … tok … tok ….Pintu ruangan Kienan diketuk. Mereka berdua menoleh. Tampak Annisa disana."Selamat siang, pak Nizam! Maaf, jadi merepotkan Anda!" sapa Annisa. "Gak papa! Kebetulan saja saya di lokasi kejadian," jawab Pak Nizam. "Selamat siang, Bu Kienan! Bagaimana keadaan Ibu?" sapa Annisa.Kienan tersenyum."Maaf, Pak Nizam! Bu Kienan biar saya yang menemani. Sebentar lagi keluarganya juga akan datang. Terimakasih atas bantuannya tadi!" ucap Annisa."Baiklah! Kalau begitu, saya permisi! Selamat siang, Bu Kienan! Semoga cepat sehat kembali!""Terimakasih, Pak Nizam!"Pak Nizam meninggalkan kamar Kienan. Kini, tinggal mereka berdua. "Tadi, saya sudah menghubungi
BAB 9SURAT PANGGILAN"Kata pak Nizam, disana nampak mobil tersebut parkir cukup lama sebelum mencoba menabrak Ibu. Semua sedang ditangani pihak kepolisian. Mereka yakin, ini percobaan pembunuhan. Semoga pelakunya segera ketemu.""Iya. Saya juga penasaran, siapa yang bisa begitu jahat sama saya."Tok … tok … tok ….Annisa bergegas membuka pintu. "Selamat pagi, Pak Nizam! Selamat pagi, Pak Firman!""Selamat pagi juga, bu Nissa!" ujar Pak Nizam sembari mengulas senyuman, lalu masuk ke dalam ruangan. "Selamat pagi, Bu Kienan!" ucap pak Nizam dan pak Firman bersamaan."Selamat pagi, Pak Nizam! Selamat pagi, pak Firman. Silahkan duduk! Nis, tolong mintakan kopi sama OB ya!""Iya, Bu!""Bagaimana, Pak hasil penyidikannya?" tanya Kienan setelah mereka duduk dihadapannya. "Untuk kasus tabrak lagi, pihak kepolisian mengalami jalan buntu. Mobil tersebut ternyata mobil curian. Jadi, mereka tidak bisa melacaknya. Tapi, mereka masih terus menyelidiki kasus itu," jawab pak Firman."Lalu, masalah
BAB 10SIDANG MEDIASIBergegas dia bangkit dan kembali ke mobilnya. Sepanjang jalan,dia mencoba berpikir. Apa yang harus dia lakukan? Dia harus bisa mendapatkan hati Kienan lagi. Dia tidak mau dipenjara.Kring …Ponsel Akbar berbunyi. Segera, dia mengangkatnya."Halo … sayang kamu dimana?" tanya Rachel panik."Aku masih di jalan, sayang. Ini mau pulang. Ada apa? Kenapa kamu panik gitu?" jawab Rachel."Sayang … tolong … perut aku sakit banget!" ujar Rachel."Sayang … kamu tenang dulu, oke? Sebentar lagi aku sampai!"Akbar mengemudikan mobilnya dengan kencang. Beruntungnya, lalu lintas sedang lancar. Tak sampai setengah jam, dia sudah sampai di depan rumah. "Sayang! Rachel! Kamu dimana?" teriak Akbar.Bi Murni tergopoh-gopoh berlari ke depan."Maaf, Pak Akbar. Saya tadi sedang di belakang. Tidak mendengar Ibu memanggil saya." Bi Murni memberi penjelasan."Dimana Ibu sekarang?" tanya Akbar."Di kamarnya, Pak!"Akbar segera berlari ke kamar."Sayang … kamu gak papa?" tanya Akbar panik."
BAB 11TERSANGKA"Aku akan menggunakan anak kami sebagai senjata.""Anak kalian? Dia beneran hamil?" "Iya, sayang! Kamu sabar dulu, ya! Aku pasti akan menikahi kamu secara resmi. Tapi, tidak dalam waktu dekat. Aku harus bisa mendapatkan hati Kienan dulu!""Iya, sayang! Aku ngerti, kok!" jawab Rachel sembari tersenyum.***********************************Satu Minggu berlalu. Kini, Rachel sudah pulang ke rumahnya. Hari ini adalah hari dimana Akbar seharusnya memenuhi undangan pihak kepolisian. Sayang, dia mangkir. Hari ini, Akbar ada janji temu dengan seorang pengacara."Selamat siang Pak Darmawan!""Selamat siang, Bapak Akbar! Silahkan duduk!" ujarnya. "Terimakasih, Pak Darmawan!""Bagaimana, Pak Akbar? Ada yang bisa saya bantu?""Iya, Pak! Begini!" Akbar menceritakan semua masalahnya. "Posisi Bapak cukup sulit! Maaf, saya tidak bisa membantu!" ujar Pak Darmawan."Tolonglah, Pak! Saya bisa membayar Bapak mahal,asalkan Bapak bisa membantu saya bebas dari segala tuduhan!" Akbar mulai
BAB 12BURONAN"Bu Ana? Ada apa? Kok ada polisi segala? Trus, kalian mau kemana kok bawa-bawa koper segala?" tanya Bu Hindun, biang gosip di daerah mereka."Bukan urusanmu. Minggir! Kalian semua juga, bubar!" teriak Bu Ana."Hu …." Teriakan Bu Ana disambut sorakan oleh para warga. Banyak bisik-bisik tak sedap yang terdengar. Mereka memilih untuk tidak mendengarkan, dan swgwra meninggalkan tempat tersebut. "Rachel! Rachel! Bi Murni!" teriak mertuanya saat memasuki rumah Rachel."Ada apa sih,Bu? Kok teriak-teriak? Kayak di hutan saja," sahut Rachel sambil ngedumel."Kalian ngapain kesini bawa koper segala?" tanya Rachel sambil mengernnyit heran."Rumah kita disita polisi. Jadi, kami akan tinggal disini," jawab Aira."Apa? Kenapa harus disini?""Lalu kami harus kemana? Lagian, rumah ini yang beli juga Akbar. Jadi, kami juga punya hak atas rumah ini," jawab Bu Ana sewot."Bi, tolong bereskan kamar tamu! Mulai sekarang, kami akan tinggal di sini!" ujar Bu Ana kepada Bi Murni."Iya, Bu!
BAB 13SIDANG PERDANA"Halo! Ra, ini Rachel ngajak Ibu makan siang di luar. Ikut gak?" tanya Bu Ana."Ikutlah, Bu! Mau makan siang dimana? Ntar aku langsung nyusul kesana," jawab Aira. "Ya sudah, ntar Ibu kirim lokasinya." Klik.Bu Ana menutup ponselnya.Setelah bersiap-siap, mereka segera berangkat. Satu j kemudian, mereka sudah sampai di restoran yang dituju. Tak lama kemudian, Aira ikut bergabung."Mbak, sering-sering traktir kita kayak gini, dong! Biar asyik!" ujar Aira."Kalau sering-sering gak bisa, Ra. Kamu tahu kan, kondisi kita sekarang. Gak ada pemasukan sama sekali. Ini mbak hanya mengandalkan uang tabungan," jawab Rachel."Benar juga! Trus, bagaimana langkah kita selanjutnya? Khanza masih kecil. Dia masih butuh banyak biaya," ujar Bu Ana."Rencana, saya akan kerja, Bu. Ini masih cari-cari lowongan. Jadi, saya minta tolong Ibu untuk merawat Khanza. Bagaimana?""Boleh juga rencana kamu, Chel. Gak apa-apa Ibu harus merawat Khanza. Lagian, dia itu kan cucu yang selama ini I
BAB 13AKHIR YANG BAHAGIA"Ibu!" ujar Farel terkejut."Ngapain kamu di rumah perempuan itu? Ayo pulang!" sentak wanita bertubuh tambun tersebut."Aku hanya mengantar mereka pulang saja, Bu!" sahut Farel."Jangan banyak alasan, cepat pulang! Hei, Nana! Kamu itu sudah menikah. Bisa-bisanya kamu menggoda anakku. Kalau mau selingkuh, cari laki-laki lain, jangan anakku. Aku tidak rela!" sentak ibu Farel."Ibu, siapa yang menggoda sih? Aku hanya mengantar mereka. Lagi pula aku sendiri yang berinisiatif!" sahut Farel membela Nana."Jangan bela mereka. Ingat ya, ini peringatan terakhir. Jangan ganggu anakku lagi!" Usai mengatakan hal tersebet, wanita bertubuh tambun tersebut segera menyeret Farel meninggalkan rumah Nana. Tak diperdulikannya beberapa warga yang menonton kejadian tersebut."Ada apa, Na? Kok ibu dengar ribut-ribut!" tanya Bu Husna. "Tadi … ibunya Mas Farel kesini!" sahut Nana dengan mimik sedih. Bu Husna menghela nafas panjang sejenak. Bisa bisa menebak apa yang tejadi tadi. Di
BAB 12BERTEMU KEMBALIDengan penuh percaya diri, pengendara tersebut segera turun dari motornya. Belum juga dia melepas helmnya, Nana sudah menghampiri dan melabraknya.“Hei, Mas, maksudnya apaan, menghalangi jalan kami? Mau pamr motor?” sentak Nana. Pria tersebut yang hendak melepaskan helmnya, menghentikan aksinya seketika. Dia menatap Nana dengan intens dari balik helm full facenya.“Kalau mau aksi keren-kerenan, jangan disini! Lagipula saya gak minat!” lanjut Nana.“Nana ... jangan kasar begitu! Maaf ya, Nak!” ujar Bu Husna merasa tidak enak.“Untuk apa Ibu minta maaf sama dia. Dia yang salah kok!” sahut Nana membela diri.“Iya, Bu, tidak apa-apa! Saya paham kok! Saya kan sudah hafal dengan sifatnya!” sahut pria tersebut. Nana terkesiap seketika. Suara itu, suara yang pernah sangat akrab di telinganya. Nana menatap pria tersebut dengan intens. Sayangnya, keberadaan helm yang masih dikenakan pria tersebut, membuatnya tidak bisa mengenali pria tersebut.Menyadari kebingungan wanita
BAB 11DI KAMPUNGTok tok tok ....“Sebentar!” samar-samar, Nana mendengar sebuah sahutan dari dalam. Nana tersenyum tipis. Itu adalah suara yang selalu dia rindukan selama ini.“Nana! Masya Allah!” ujar wanita yang berusia hampir senja tersebut. Beliau menatap Nana dengan penuh haru.“Ibu!” ujar Nana dengan suara tercekat. Dia pun segera mencium punggung tangan wanita tersebut. Wanita tua tersebut membawa Nana ke dalam pelukannya.“Nana! Ibu kangen banget sama kamu!” ujarnya dengan air mata yang mulai membasahi pipi.“Nana juga kangen sama Ibu dan Bapak!” ujar Nana. Dia pun sudah tak dapat membendung air matanya lagi. Kerinduannya membuncah. Sejak menikah, ini pertama kalinya dia kembali menginjakkan kaki di rumah orang tuanya. Untuk beberapa lama, mereka saling berpelukan meluapkan kerinduan yang terpendam.“Kamu kok sendirian? Reno mana?” tanya wanita tersebut.“Em ... Mas Reno sedang sibuk, Bu. Jadi, gak bisa ngantar!” sahut Nana beralasan.“Bapak mana, Bu?” tanya Nana lagi.“Ba
BAB 10FAKTA MENGEJUTKAN"Bapak kenal Pak Nizam?" tanya Nana bingung."Em … iya, Na. Dulu!" sahut Akbar dengan wajah bingung."Pak Akbar apa kabar sekarang?" tanya Nizam mengalihkan perhatian."Alhamdulillah baik, Pak Nizam! Silahkan duduk! Maaf, tempatnya kotor!" ujar Akbar."Tidak masalah, terima kasih!" ujar Nizam, lalu duduk di salah satu bangku pembeli. "Na, ini sudah malam. Sebaiknya kamu istirahat saja. Lagipula, warung kan sepi. Sebentar lagi Bapak juga beberes!" ujar Akbar."Nana bantuin beberes aja ya, Pak?" sahut Nana."Tidak usah. Kamu istirahat saja!" ujar Akbar.Nana menghela nafas panjang."Baiklah kalau begitu. Pak Nizam, saya permisi dulu ya!" pamit Nana."Iya, silahkan!" sahut Nizam. Nana pun meninggalkan majikannya bersama Akbar."Jadi … ini kegiatan Pak Akbar setelah keluar dari penjara?" tanya Nizam."Iya, Pak. Sebenarnya, waktu itu beberapa kali saya mencoba melamar pekerjaan, tapi tidak ada yang mau menerima. Akhirnya, saya merintis jualan bakso ini!" sahut Akb
BAB 9RENCANA MENGGUGATBeruntung, sebelum dia benar-benar terjatuh, Nizam meraih tubuhnya. Untuk beberapa saat, mereka saling bertatapan. Jantung Nana berdetak dengan kencang. Seumur-umur, baru kali ini dia berada pada jarak sedekat ini dengan majikannya.“Papa!” sebuah panggilan mengagetkan mereka. Nana segera berdiri dan Nizam pun melepaskan pelukannya.“Papa ngapain di dapur?” tanya Clara, putri Nizam.Nana berusaha bangkit dan berdiri tegak, sedangkan Nizam segera melepaskan pelukannya pada Nana. Suasana pun menjadi kikuk. “Em ... ini, tadi Nana jatuh. Kebetulan Papa pas disini. Kamu belum berangkat?” tanya Nizam pada putrinya. “Sebentar lagi, Pa!” sahut Clara seraya menatap Nana curiga.“Saya buatkan kopinya dulu, Pak!” pamit Nana.“Oh, iya! Saya tunggu di depan!” ujar Nizam.“Ayo, Sayang!” ajak Nizam pada Clara.“Papa gak kerja?” tanya Clara.“Ntar, berangkat agak siangan! Papa ada janji ketemu klien di dekat sini! Dari pada bolak-balik, mending berangkat ntar sekalian!”
BAB 8TALAK“Cepat berikan uangnya!” perintah mertuanya.“Maaf, Bu, saya tidak bisa!” sahut Nana tegas.Narti yang merasa sangat geram, segera merampas tas Nana yang masih dipegangnya. Nana pun berusaha mempertahankan tanya sehingga terjadi aksi saling mendorong hingga akhirnya mereka berdua terjatuh. Nana menghembuskan nafas lega karena dia berhasil mempertahankan tasnya.“Ibu!” teriak Reno saat melihat Ibunya jatuh tersungkur.“Ibu tidak apa-apa?” tanyanya khawatir.“Nana, apa yang kamu lakukan sama Ibu?” bentak Reno pada Nana. “Ren, istrimu sungguh durhaka, Ren! Dia sama sekali tidak menghargai Ibu!” ujar Narti seraya terisak.Reno menatap istrinya dengan geram. Reno segera membantu Ibunya bangkit dan duduk di sofa. “Ibu kenapa bisa jatuh gitu?” tanya Reno lagi.“Ibu didorong Nana, Ren! Ibu hanya mau pinjam uangnya sedikit untuk membeli obat!” ujar Narti.“Memangnya uang yang aku kasih kurang, Bu?” tanya Reno.“Uangnya sudah habis, Ren! Sudah Ibu gunakan untuk bayar kuliahnya Viv
BAB 7MULAI BEKERJA"Bang, aku mau ngomong!" ujar Nana. Saat ini, mereka telah selesai makan malam dan sedang bersiap untuk tidur."Kalau masalah yang tadi pagi, aku gak bisa, Na. Uangku sudah habis. Lagian, benar kata Ibu, mereka kan orang tuamu,ngapain aku harus ikut repot?" sahut Reno cuek."Aku tahu, Bang. Makanya, sekarang aku mau minta izin!" sahut Nana."Izin apa?" tanya Reno penasaran."Aku ditawari pekerjaan di rumah mantan majikannya Mbak Siti. Kalau boleh, aku kerja disana!" ujar Nana. "Kerja apa?" tanya Reno."Jadi pembantu, Mas!" sahut Nana.Reno tersenyum sinis."Kamu memang pantasnya jadi babu!" sahut Reno.Nana menghela nafas panjang."Aku ingin membantu ekonomi orang tuaku, Mas. Kasihan,mereka itu sudah tua. Sudah seharusnya mereka beristirahat!" ujar Nana."Bagaimana dengan pekerjaan kamu disini?" tanya Reno."Aku akan mengerjakan sebelum dan setelah pulang bekerja, Mas! Mas Reno jangan khawatir! Aku tidak akan melalaikan kewajibanku!" ujar Nana lagi.Reno tampak se
BAB 5TAMU TAK DIUNDANGNana pun segera melangkah ke depan dan membuka pintu. Saat pintu telah terbuka, Nana termangu menatap tamunya."Siapa, Na?" tanya Narti yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya. Nana menoleh menatap sang mertua, lalu sedikit menyingkir dari pintu."Prita! Tumben pagi-pagi sudah sampai sini! Ayo, masuk!" sapa Narti seraya tersenyum lebar."Iya, Bu, maaf mengganggu!" sahut Prita merasa tak enak. "Gak papa, ayo masuk!" sahut Narti.Dengan tersenyum lebar, Prita masuk ke dalam rumah. Nana mematung di tempatnya seraya menatap Prita. "Ngapain kamu bengong disitu? Sana, lanjutkan masaknya!" sentak Narti kepada Nana. Dengan terpaksa, Nana melangkah ke belakang dan melanjutkan aktivitasnya."Ada apa, Prit? Tumben pagi-pagi sudah main ke sini!" tanya Narti lagi."Iy, Bu. Semalam aku ketemu Bang Reno, katanya Nana sakit. Aku pikir pagi ini gak ada yang masak. Jadi, ini aku bawakan makanan untuk sarapan. Ternyata Nana sudah sembuh, ya!" ujar Prita."Aduh, jadi merepot
BAB 3KEMARAHAN RENOPukul 17.00 WIB Mana terbangun dengan badan yang lebih segar. Usai membersihkan badan, Nana segera melangkah keluar sebelum mertuanya marah. Di ruang tengah, Nana melihat sang mertua tengah menangis sesenggukan di pelukan suaminya."Mas, Ibu kenapa?" tanya Nana heran. Reno menatap Nana nyalang."Apa yang kamu lakukan sama Ibu?" bentak Reno."Apa maksudmu, Mas? Aku tidak berbuat apa-apa!" sahut Nana."Tidak berbuat apa-apa? Ibu sampai nangis gini kamu bilang tidak berbuat apa-apa?" bentak Reno."Mas, aku beneran gak tahu! Aku aja baru bangun tidur!" sahut Nana membela diri."Nah, itu! Itu yang bikin Ibu nangis!" bentak Reno."Maksudnya bagaimana sih, Mas? Aku gak ngerti!" tanya Nana lagi."Masih bilang gak ngerti juga? Baik, aku jelaskan. Kamu biarkan Ibu mengerjakan semua pekerjaan rumah sendirian, sementara kamu seharian hanya tidur-tiduran? Keterlaluan!" bentak Reno."Apa?" Nana menatap mertuanya bingung. Melihat sang mertua masih terisak, akhirnya Nana paham.