Alfi tidak pulang malam tadi. Rania pun sebenarnya tidak peduli. Untungnya Satria juga tidak bertanya kemana papanya seperti biasa. Kehadiran kakeknya sudah cukup menghiburnya.
“Ran, kamu pulang ‘kan hari ini?” tanya mama sambil mengelap kompor setelah selesai masak. Rania menoleh. Semalam, ketika mereka bicara berdua dibelakang rumah, mama memintanya dan Satria untuk pulang hari ini. Mama tidak enak pada Alfi. Seolah beliau ikut campur dalam masalah keluarganya. Rania mengangguk. Ia akan pulang, bukan untuk menghormati permintaan mama, tapi karena sudah tidak ada lagi dukungan yang akan ia terima jika terus disini. “Mama bukannya gak seneng kamu sama Satria ada disini, tentu mama seneng. Tapi... gak baik kamu terus disini sementara suami kamu dirumah.” “Aku pulang jam sepuluh, ma.” “Ya udah. Nanti tunggu kue yang mama pesen di bu RT. Kamu bawain itu buat Alfi ya. Dia suka banget sama kue Marmernya.” Alfi lagi? RaniaPapa menggeleng, “Insting. Waktu mama bilang kamu mau kesini papa seneng. Papa kira kamu dateng sama Alfi karena dia cuti. Ternyata cuma berdua sama Satria. Ran, papa tahu baik kamu seperti apa. Kamu tidak pernah seperti ini sebelumnya. Sikap kamu yang dingin sama suami kamu juga bikin papa merasa... ada sesuatu diantara kalian.” “Pa, ada orang ketiga dipernikahan kami. Itu yang bikin aku begini.” “Arbi orang ketiganya?” “Menurut papa?” Papa tersenyum lalu menggeleng, “Papa gak melihat kamu tertarik sama Arbi. Papa cuma liat kakak suami kamu yang justru tertarik sama kamu.” Rania mengernyit, “Papa... tahu dari mana?” “Tahu dari sikap dan tatapan Arbi ke kamu. Semuanya beda, bahkan sejak sebelum kamu dan Alfi menikah. Papa pikir, setelah kalian menikah akan berbeda. Ternyata sama aja. Bedanya Arbi bermain lebih cantik dan rapi. Tapi kamu tenang aja, dari sifatnya, papa yakin Arbi bukan laki-laki nakal. Dia udah punya k
Rania mendorong pintu pagar rumahnya begitu turun dari taksi. Pak supir membantunya menurunkan koper. Satria yang enggan pulang, dipaksanya untuk kesini demi melancarkan niatnya mengumpulkan uang sebelum perceraian tiba. “Ma, mobil papa ada disini. Berarti papa ada di dalem?” “Mungkin. Coba Satria panggil.” Satria memencet kode smart door locknya lalu berlari ke dalam rumah, “Papa!” “Sayang?” Alfi melongokkan kepalanya dibalik tembok dapur, “Kamu udah pulang?” Rania tahu Alfi akan ada dirumah. Ia pasti memilih bermain aman karena tidak mau mendapat serangan darinya lagi. “Sayang?” Alfi menghampiri Rania dan mencium keningnya, “Kamu capek ya? Aku udah masak, kita makan sama-sama ya?” “Aku mau istirahat aja, mas. Kamu makan aja sama Satria.” Alfi mengangguk, “Kopernya nanti biar aku yang bawa ke atas.” Rania berjalan melewati suaminya lalu berhenti. Di liriknya Alfi yang terlihat takut
Rania sibuk memotong Wortel dan Buncis. Hari minggunya hanya dihabiskan di rumah saja seperti hari-hari biasanya. Beberapa kali dalam satu bulan biasanya Alfi akan membawanya ke Car Free Day, pulangnya lanjut belanja bulanan. Tapi minggu ini ia memilih diam dirumah sendiri, membiarkan Alfi hanya pergi berdua dengan Satria. Rania menaruh pisau, “Mas Alfi marah gak ya soal kemarin? Tapi dia bersikap biasa sih dari bangun tidur. Dia bakal beliin kalung itu gak ya?” Karena pegal, Rania memilih menghentikan kegiatannya. Ia duduk di meja makan memainkan ponselnya. Ia membuka story aplikasi chat teman kontaknya. “Enak banget orang-orang bisa pergi keluar di akhir pekan.” Rania menggeleng, “Mas Alfi tadi ngajak. Aku nya yang gak mau.” “Apa ya yang dia pikirin tiap aku nolak di ajak begitu? Apa dia bener-bener yakin kalo aku... beneran jatuh cinta sama kak Arbi?” Rania tersenyum miring, “Bahkan buat ngomong kayak gitu aja aku takut. Mana mungkin
Rania menyimpan ponsel setelah membaca pesan Alfi yang mengatakan di Car Free Day mereka bertemu Rian, adik Rania. Satria di ajak ke Time Zone, dan kemungkinan mereka akan pulang sore.“Bagus lah, aku juga rasanya butuh menenangkan diri. Aku gak siap berantem sama mas Alfi soal Agil ada disini.”Karena lelah berdiri seharian di dapur, Rania memilih duduk santai di sofa ruang tamu agar lebih mudah memantau Agil. Ia juga sudah meminta bantuan satpam komplek untuk mengawasi Agil. Ia meraih paha dan betisnya kesusahan ketika tangannya akan memijat.“Kalo Agil tiap hari dititip disini aku bisa cepet ngumpulin uang. Satria juga harus libur beli mainan dulu. Buku ceritanya juga. Aku unduh pdf terus print sendiri aja kayaknya biar lebih menekan biaya. Jadwal makan diluar juga harus dikurangin, dengan gitu pasti tabungannya cepet kumpul.”Rania menutup mata sambil merabahkan punggungnya ke belakang sofa sambil merasakan pergerakan janinnya diperut.
“...kak Arbi bisa bantu?” Belum sempat Arbi menjawab, Agil berlari menghampirinya, “Papaaaa. Pa, aku laper.” Rania baru ingat ini jam makan siang Agil, “Agil, tante udah bikinin makanan favoritnya Agil. Kita makan yuk, kak, yuk, kita makan bareng.” “Iya, Ran.” Mereka makan siang bertiga. Arbi terus-terusan melirik Rania yang terus menawari sayur pada Agil. Rania tahu Agil tidak suka sayur sama sekali. “Ayo coba aja dulu, nanti kalo gak suka ya udah gak papa, gak usah di makan.” “Gak mau, gak enak.” “Agil tahu gak enak dari mana?” Agil tak menjawab. Ia malah berdiri sambil memakan perkedel Kentang. “Agil makannya sambil duduk ya,” Rania membantu Agil duduk di kursi, “Ini Wortelnya coba sedikit ya? Dikit aja. Mau gak?” “Ya udah.” Rania menyiukkan satu potong Wortel dalam Capcay, “Nah, cobain.” Agil mengambilnya dengan tangan telanjang. Ia mengunyahnya pe
Arbi baru saja pulang bersama Agil. Untungnya Alfi dan Satria masih di perjalanan sehingga mereka tidak bertemu. Baru saja Rania duduk di meja makan, suara klakson mobil Alfi terdengar nyaring. Terdengar juga teriakan Satria dan tawa seseorang yang amat ia kenal. Rania bangkit dan berjalan menuju teras rumah. “Rian?” “Kak?” Mereka berpelukkan. “Kamu apa kabar?” “Baik, kak.” Rian menatap dan mengusap perut besar “Udah USG?” Rania mengangguk, “Perempuan.” “Wah, dia pasti cantik dan penyabar kayak kakak.” Rania tertawa, “Kamu udah makan belum?” “Udah kok, tapi kalo kakak mau kasih lagi, kenapa nggak?” Mereka tertawa. “Hm, mentang-mentang ada adeknya, suaminya sampe gak ditawarin minum.” sindir Alfi karena cemburu. “Ya ampun, mas, kamu sama Rian aja cemburu.” “Harus dong. Aku mandi dulu ya.” “Iya, mas.” Alfi menaiki tangga. Rania melirik Rian yang kini sedang berjoget dengan Satria. Perasaan Rania belum lega karena ucapan Arbi terngiang-ngiang dipikirann
Sepagi ini Rania sudah menyibukkan diri di dapur. Ia memasak sop ayam kampung kesukaan Arbi dan Alfi. Aromanya menyeruak memenuhi lantai bawah, membuat Satria yang baru selesai mandi berjingkrak kesenangan ingin segera makan. “Panggil papa, sayang.” pinta Rania ketika Satria baru menarik kursi. “Papa lagi telponan, ma.” Satria duduk dan menyerahkan piring minta di isi nasi. “Sama siapa?” “Gak tahu.” Rania cepat-cepat menyiukkan nasi, “Lauknya Satria ambil sendiri ya.” “Iya, ma.” “Pelan-pelan biar sopnya gak tumpah ke meja.” “Iya, ma.” Rania berjalan cepat menaiki tangga. Ia sangat penasaran dengan siapa suaminya bertelpon pagi-pagi begini. “...ya kamu sabar dong. Kita pasti bisa nginep kayak biasa.” Rania diam ditengah tangga, karena jika ia terus naik suaminya akan tahu ia sedang menguping. Itu pasti Roland. Dari nada bicara dan topiknya jelas berbeda. “Aku harus bisa ambil hati Rania kayak biasa. Kita jangan gegabah.” Rania tersenyum miring. Entah kenapa h
Rania mundur. Wajahnya mendadak panas. Ia tahu ciuman barusan terencana, tapi ia tidak pernah tahu kalau efeknya cukup luar biasa. “Kakak pergi. Makasih ya sop ayamnya. Agil... pasti suka.” Arbi terlihat gugup ketika harus menatap Rania. Rania mengangguk. Arbi membawa dua rantang berbeda ukuran itu. Ia melangkah keluar rumah. “Kak,” Rania menyusul, “Soal Agil, kalau mau dititip lagi disini gak papa kok. Apalagi amih masih di rumah sakit, ‘kan?” “Kakak takut Agil nyusahin kamu. Kehamilan kamu semakin besar.” “Gak papa. Agil suka main diluar rumah kok, dibawah pemantauan satpam komplek. Paling aku mandiin sama nemenin dia makan aja.” Arbi mengangguk, “Nanti kakak tanya Agil dulu ya. Hari ini dia di titip di day care. Nanti kalau Agil bilang mau disini, kakak minta pihak day care yang anterin kesini.” “Iya, kak.” “Kakak pergi. Kamu hati-hati di rumah.” Rania mengangguk. Arbi masuk ke dalam mobil. Ia membuka kaca dan mengangguk untuk berpamitan. Rania yang entah dapat keberani