Mobil yang dikemudi oleh Delon melaju kencang melewati jalan tol. Meninggalkan semua kisah kenangan masa lalu bersama Mbok Yumna. Tampak Raisa masih terngiang semua ceritanya itu.
"Masih ada yang ganjil?"
Tiba-tiba Raisa menyeletuk. Membuat Hamaz menoleh ke arahnya.
"Maksud Mbak Raisa?"
"Aku masih pensaran, Mas. Apa yang sebenarnya terjadi, saat Mariyati pergi meninggalkan rumah? Yang kata Mbok Yumna sekitar satu bulan itu."
"Ohhh, benarnya juga kamu Raisa. Aku sebenarnya juga bertanya-tanya itu. Tapi, lupa saat mau tanya," sahut Delon.
"Kurasa Mbok Yum, juga enggak tau apa yang telah terjadi semasa itu. Cuman, ini pasti saling berhubungan dengan saudara kembarnya, Mariana," lanjut Hamaz.
Sesaat ketiganya terdiam.
"Kenapa kamu kepikiran hal ini, Sa?"
"Menurut aku pasti terjadi hal luar biasa pada Mariyati. Yang aneh lagi, kenapa Mariyati akhirnya kembali? Padahal Mbok Yum sudah menyutuh dia pergi."
"Bener, M
"Aku enggak gila. Cuman aku tahu, kematian Ibu ada hubungannya sama kamu! Bolak balik sebelum Ibu meninggal; selalu sebutin nama kamu terus. Ini kan aneh. Coba bilang, kamu apakan Ibu aku?!" Kali ini, suara Didit terdengar sedikit lebih keras. Mmebuat beberapa tetangga menoleh ke arah mereka.Raisa tak bisa menjawab. Dia hanya terdiam tanpa ada niat untuk mengelak. Atas apa yang dikatakan lelaki seumuran dirinya itu."Kamu cuman diam, Sa. Enggak bisa jawab, karena semua yang aku bilang tadi benar, haaaa?""Kamu jangan asal nuduh kek gini, Dit! Kamu enggak tahu cerita yang sebenarnya!"Raisa yang mulai gerah. Mulai mengelak. Namun, tampaknya Didit masih saja memberondong Raisa dengan banyak tuduhan."Coba kau jawab dengan benar. Apa kematian Ibu ada hubungan dengan kamu?" Raisa masih bergeming. Belum ada sepatah kata yang keluar dari bibirnya."Kenapa kamu diam, Sa? Aku tahu semuanya. Ini ada hubungan dengan kuku orang yang meninggal di desa
Saat langkah kaki mereka melintasi rumah Bu Marto. Pandangan Raisa tertuju pada teras rumah yang terlihat gelap. Membuat gadis itu berhenti."Kok berhenti Mbak?" tenya Momoy mendongak ke arahnya."Kenapa lampunya dimatikan? Bukannya habis ini tahlilan?""Lampu?" tanya Dian bersamaan dnegan MOmoy."Iya, lampu teras dan rumah Bu Marto."Keduanya keheranan dengan Raisa. Di saat yang bersamaan. Raisa melihat sekelebat bayangan melintas."Bu ... Marto kah itu?""Apa?!" Momoy dan Dian menoleh pada Raisa yang bergumam menyebut nama mendiang Bu Marto."Itu, coba lihat!"Raisa menunjuk ke arah rumah Bu Marto."Enggak ada siapa-siapa, Mbak. Jangan bikin Momoy takut lah Mbak.""Lagian rumahnya Bu Marto terang sekali, kok Mbak Raisa.""Haaahhh? Serius kah?"Mereka berdua mengangguk. Raisa mengucek kedua matanya berulang-ulang. Dan ternyata apa yang mereka katakan benar."Iya, mungkin aku terl
Bergegas Raisa mengambil ponsel yang berada dalam tas ranselnya.,"Baru ya Mbak?""Iya. Dibelikan Mas Delon.""Kok enak. Aku kok enggak dibelikan?""Hussst!"Raisa menelepon Delon yang ternyata sudah berada di rumah."Baru masuk rumah aku, Sa. Ada apa?""Ehhh, barusan ada yang telepon rumah. Cari Mariyati.""Apa? Mariyati?""Iya, Mas. Kenapa aku merasa dia masih hidup?""Dan, menurut kamu tinggal di mana dia?""Kita harus cari keberadaan Ibu Aminah, Mas.""Boleh juga. Besok kita datang lagi ke rumah Bu Sapto. Cuman agak siangan aja. Aku ada urusan di kantor bentar.""Iya, aku ngikut aja, Mas.""Oke."Raisa meletakkan ponsel di atas meja makan."Kalau Bu Sapto itu Mariana. Saat kejadian itu, berarti Pak Mariman menjemput ke rumah si Naning ini. Terus memaksa Mariana untuk menikahi lelaki yang dia juga enggak kenal."
Kedua matanya melotot sembari menunjuk ke arah meja. Raisa pun ikut terkejut dan tersentak.Keduanya mundur beberpa langkah."Mbak ... Mbak! I-itu, apa?"Raisa terpaku dalam diam. Kedua bola matanya melotot dan terperangah."Se-seperti ... sebuah kepala, Moy?"Momoy yang diajak bicara tak memberikan jawaban. Dia hanya melongo dengan mata yang mendelik."I-itu apa Mbak? Kok ada telinga sama rambut. Terus matanya kok merem?"Raisa tak mampu menjawab. Dia pun hanya bisa tercengang, melihat pemandangan mengerikan yang ada di atas meja makan mereka. Dari arah luar terdengar suara Dian yang memanggil mereka."Momoy! Mbak Raisaaa!"Dian merasa aneh. Saat tak ada yang menyahuti dirinya."Kalian di mana sih? Nih aku bawakan makanan." Setengah berteriak, Dian mencari mereka berdua. Mulai dari kamar, sampai akhirnya melihat mereka. Yang tengah berdiri menghadap meja makan."Ehhh, kok pada diam begini sih?
"Apa Mbak enggak dengar suara barusan?""Su-suara apa?"Kali ini, Dian benar-benar merasakan ketegangan. Dan mulai merasa ada yang aneh dalam bungkusan yang dia bawa. Seperti ada yang bergerak lambat.Pandangan matanya beralih pada bungkusan dalam tas kantong plastik hitam. Lalu, Dian sedikit mengangkatnya cukup tinggi sejajar dengan kedua matanya. Raisa pun ikut melihat apa yang dilakukan Dian.Pergerakan dalam kantong plastik itu semakin bergerak cepat. Seperi ada yang menendang atau meninju. Membuat Dian makin tercekat. Hingga dia tak bisa berpikir lagi apa yang harus dilakukan. Tetap menggenggam atau melepaskannya."Mbak Raisa! Ini, kenapa gerak terus?""Buang, Mbak! Lempar yang jauh!"Sebelum Dian melempar. Terdengar suara monyet dari atas pohon tak jauh dari mereka. Seketika Raisa mendongak, mencari asal suara itu."Mbak Dian ... lihat itu!"Mereka berdua melihat beberapa monyet sudah bergelantungan di rantin
"Di mana kamu Moy?" desis Raisa, panik. Manik matanya mulai berkaca-kaca. Jantung Raisa semakin berdegup lebih kencang. Hingga dadanya terus berdebar-debar.Salah seorang tetangga yang masih berkumpul. Berteriak ke arahnya."Ada apa Raisa?""Momoy, Bu. Baru aja saya tinggal keluar buang sampah, tiba-tiba di dalam rumah udah enggak ada. Saya sudah tanya teman-temannya, juga enggak ada yang tahu."Para tetangga yang mendengar. Langsung ikut mencari. Hampir satu jam mereka ke RT sebelah. Tetap saja Momoy tak ditemukan juga."Ini gimana Mbak Dian? Di mana Momoy? Masa kita tinggal bentar dia udah enggak ada di rumah.""Kita harus cari ke luar desa ini, Sa!"Sejenak Raisa menatap wajah Dian yang tampak serius bercampur tegang."Tapi, beri kabar dulu sama Bapak kamu!""Nanti Bapak malah bingung Mbak. Enaknya gimana ya?"Tiba-tiba ...."Benar itu Raisa! Yang dibilang Mbak ini tadi benar! Kamu memang harus bilang sa
"Apa desanya Bu Martyo?"Raisa mengangguk. Lalu, dia terhenyak. Dan teringat itu desa yang sama dengan rumah Bu Sapto."Mbak Dian, aku tau," ucap Raisa melotot."A-apa maksud kamu tau itu, Sa?""Ayo, Mbak! Ikuti aku!"Raisa berjalan cepat. Meninggalkan rumah diikuti oleh Dian. Beberapa tetangga hanya memandang ke arahnya. Raisa pun masih sempat berkirim pesan pada Harso. Yang mengatakan akan mencari Momoy di desa sebelah."Hei! Kalian mau ke mana itu?""Ke desa sebelah, Bu. Siapa tau adek ada di sana!"Sambil berjalan cepat. Raisa menelepon Delon. Dia hanya ingin memberi kabar terbaru padanya."Serius aku enggak perlu ke sana, Sa?""Enggak, Mas! Besok siang aja Mas ke sini. Ke rumah Bu Sapto.""Terus gimana sama Momoy?""Ini aku lagi cari ke desa sebelah. Mungkin dia tersesat ke sana. BIarpun sebenarnya kalau tersesat sih kayak enggak mungkin."Delon terdiam beberapa de
Dalam kegelapan, dengan sinar lampu rumah sekitar yang remang-remang. Dian tak bisa melihat dengan jelas, siapa lelaki yang berbaik hati memberikannya air. "Raisa, coba kamu minum dulu!" Tanpa menolak. Raisa langsung meminumnya. Bukan semakin membaik, akan tetapi Raisa malah tak bisa bernapas. Lelaki asing itu bergerak sangat cepat. Dia memukul bagian tengkuk Raisa. Beberapa kali cukup keras. Hingga Raisa terbatuk batuk. Dan tepukan terakhir kali. Raisa memuntahkan sesuatu berwarna hitam. Suaranya kencang seakan tengah berusaha mengeluarkan yang ada dalam mulutnya. "A-apa ini?" teriak Dian terbelalak. Kemudian, dia menoleh ke arah lelaki asing tadi. Yang kini tak terlihat. Sosoknya menghilang seketika. "Aneh?! Kemana Bapak-bapak tadi?" Tangan Raisa terus bergerak cepat. Dia menarik sesuatu berwarna hitam dari mulutnya. Air mata terus menetes. Tampak sekali dia sangat kesakitan. Hingga sesuatu itu bisa dikeluarkan semua dari ten
"Minumlah dulu kalian! Biar tenang."Perkataan lelaki itu membuat Raisa mengerutkan dahi."Apa Abah tahu yang menimpa perjalanan kita pulang?"Lelaki itu hanya terkekeh. Lalu dia mengangguk pelan."Kenapa mereka masih mengganggu kita lagi, Bah?""Minumlah dulu. Biar nanti saya cerita."Mereka pun akhirnya minum teh dan kopi yang sudah disediakan. Raisa berulang kali mengembuskan napasnya. Air teh yang diminum serasa mampu membuat tubuhnya yang tadi dingin."Habiskan! Biar kalian lebih tenang. Karena mobil kalian sedang membawa sesuatu yang enggak lombo." (Lombo = tidak wajar)Terutama Raisa dan Delon terperanjat saat mendengar perkataan Abah Harun."Enggak lombo?" ulang Raisa."Iya, Mbak. Kalian ikutlah kemari!"Mereka bertiga mengikuti langkah Abah Harun keluar rumah. Menuju mobil Delon yang ringsek bagian depan."Tolong buka bagian belakangnya Mas Delon!""Baik, Bah."Setelah membuka
"Perlu kita periksa lagi Mas Hamaz?""Udah ahhh, enggak usah! Perasaan aku enggak enak banget!" cetus Raisa melarang mereka turun lagi. "Kita jalan aja!"Pada akhirnya Hamaz dan Delon sepakat. Meneruskan perjalanan pulang yang penuh hambatan. Jalanan pun tampak lengang. Tak ada satu kendaraan yang terlihat. Hingga hidung Raisa terlihat bergerak-gerak. Seperti sedang mengendus sesuatu. Begitu juga Delon."Kalian bau enggak?" tanya Delon."Udah jalan aja Mas Hamaz!" pinta Raisa.Dalam waktu bersamaan. Tiba-tiba mesin mobil mati lagi."Loh, Mas Hamaz. Kok berhenti?" teriak Raisa."Enggak tau juga nih, Mbak.""Biar aku ganti yang nyetir. Mas capek mungkin," sahut Delon. Keduanya bertukar posisi. Delon pun mencoba untuk menyalakan mobil lagi. Lalu menggeleng mengarah pada Raisa dan Hamaz."Tetep enggak bisa nyala," sahut Delon kesal.Tampak dia mencoba untuk terus menyalakan mobil.
Tak lama dari kabar Pak Karjo. HP Raisa berdenting. Ada pesan masuk yang langsung dibaca Raisa."Tumben suami Bu Hariyani SMS ya, Mas?""Coba kamu baca, Sa!""Iya, bentar!"Seketika tangan Raisa bergetar hebat. Saat membaca pesan itu.{Assalamualaikum, Mbak Raisa. Kami kabarkan berita duka, bahwa adik kami yang bernama Sunandar telah meninggal dunia. Mohon dimaafkan bila Almarhum mempunyai kesalahan}Raisa hanya bisa terbelalak dan terperangah."Ja-jadi ...?"Ketiganya pun tak menyangka. Bila Sunandarlah yang selama ini telah membunuh Mariana. Dan telah dijadikan Naning sebagai penggantinya."Itulah sebabnya Mbok Yumna mendatanginya. Untuk memperingatkan. Dan dia juga pernah mendatangi gunung ini 'kan?" Raisa mulai mengingat kembali rangkaian cerita yang mereka dapatkan dari sang istri kala itu."Dan dia menjadi sakit. Karena menolak apa yang diperintahkan oleh Naning. Ada kemungkinan memang dia ingin mengak
"Jangan mengganggu! Kami hanya mengantarkan apa yang seharusnya pulang." Suara Hamaz sangat tegas. Terdengar suara tawa yang melengking. Kini, seperti berada di atas kepala mereka. Berputar-putar, membentuk sebuah bayangan kehitaman yang besar. Hamaz bergerak cepat. Dia menyiapkan butiran tasbih yanga masih berada dalam genggaman. "Ikuti langkah saya! Jangan emlihat ke mana-mana!" tegas Hamaz. Langkah Hamaz sedikit aneh. Dia berjalan berbelok-belok. Sesekali meloncat ke kiri dan ke kanan. "Kenapa harus meloncat-loncat dan berbelok-belok?" protes Raisa. Hingga gadis itu tak bisa mengendalikan tubuhnya hingga terjatuh. Bruuukkk! Tubuh Raisa berguling-guling ke bawah, melewati Delon yang terpaku melihatnya. "Aaaaaarghhh!" Saat Delon tersadar. Dia langsung melompat tinggi dan mulai mengejar Raisa. "Raisaaa!" teriak keduanya spontan. Hamaz dan Delon bergerak cepat, mengejar t
"Sekali lagi maafkan kami. Bagaimana dengan benda lain?"Belum sampai ada jawaban. Hamaz sudah mengeluarkan beberapa butiran tasbih yang berada di telapak tangannya. Lalu menunjukkan pada sosok ular itu."Pergilah kalian! Aku tidak ingin benda itu menyentuh sosokku!"Aroma lebus dan anyir semakin kuat melesak rongga hidung mereka bertiga."Bolehkah kami lewat, Nyai?""Baiklah. Pergilah kalian! Andai ini bulan kawin, aku ingin kamu menjadi suami aku, Kang!" ujar wanita siluman itu.Sosok sang ular, terus melihat arah Delon, yang terus menundukkan kepalanya."Jangan, Nyai. Dia sudah tak perjaka lagi. Milik seorang dedemit juga."Kemudian, terdengar suara tawa yang mendesis serta melengking."Baiklah, Kang. Aku lepaskan dia! Walau aku tau dari baunya, dia masih perjaka," ucap siluman ular dengan meliukkan tubuh. Dan akhirnya pergi menghilang."Terima kasih, Nyai!"Seketika Delon bergidik keras. Kedua matanya m
Suasana semakin bertambah gelap. Kanan kiri jalan kecil, yang mereka lewati, hanya pepohonan lebat. Untunglah penerangan tiga ponsel sangat membantu mereka. Napas ketiganya mulai terengah-engah, menyusuri jalan setapak. Yang sepertinya jarang dilewati. "Mas, berhenti sebentar. Kelihatannya dekat, tapi aku capek banget," ujar Raisa. Mereka pun ikut berhenti dan beristirahat sebenatr. Dalam tas yang dibawa Raisa, dia mengeluarkan sebotol teh yang ternyata yang masih hangat. "Apa itu, Sa?" "Tadi dikasih Bu RT. Ya aku bawa saja 'kan? Lagian perut aku lapar." Hamaz dan Delon mengikuti Raisa yang duduk di bebatuan. Dengan lahap ketiganya makan pisang goreng. Tak ada suara lain, keculai kunyahan mereka. Dan suara binatang malam yang mengiringi malam ini. "Yuk! Kita lanjut!" ajak Hamaz. "Jalan ini betul-betul enggak ada penerangan sama sekali," celetuk Delon. "HPku dah lobat nih." "Kayaknya dikit lagi kok Ma
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, menuju gunung K. Tampak Hamaz mengambil alih kemudi. Dia melihat Delon yang amsih sering meringis karena kesaitan. begitu juga dengan Raisa yang tampak kelelahan."Sebenarnya apa yang terjadi di dalam tadi?""Kita hampir mati dibunuh sosok makhluk itu, Mas.""Bagaimana ceritanya?""Tiba-tiba di hadapan kami itu banyak mayat yang bergelantungan. Tepat di atas kita Mas. Akhirnya kita ya lari ke kamar itu.""Kamar belakang?""Iya, Mas Hamaz.""Terus?"Raisa berhenti sebentar. Terkadang dia masih merasakan lehernya yang sakit."Sepertinya lukisan itu, gambar si sosok makhluk wanita iblis itu, Mas Hamaz.""Jadi dia yang menyuguhkan pesugihan pada Bapak Mariman?""Benar, Mas. Kalau penampakan saat normal, emang sangat cantik Mas. Tapi, sebenarnya wajah dia sangat mengerikan. Wajahnya hancur dan rusak. Baunya juga enggak enak lagi.""Menurut Raisa dan Mas Hamaz nih ya.
Secepat kilat. Abah Harun kembali menyerang, dengan menyambar tubuh Wilujeng dan melemparkannya hingga terpental sangat jauh. Seketika membuat raut wajah wanita itu berubah mengerikan.Bibir yang sobek dari ujung ke ujung, hingga di bawah telinga. Belum lagi aroma busuk yang menguar begitu kuat."Hei!"Sosok itu memutar lehernya hingga menghadap ke arah lelaki itu. Kesempatan baik, tak disia-siakan. Abah Harun langsung melempar tasbih yang tersisa dua di tangannya."Nih, ambil!"Dengan gerakan sangat cepat dan penuh keyakinan. Wilujeng langsung terbang meluncur ke arah Abah Harun. Dengan menyiapkan hantaman maut miliknya."Allahu Akbar!"Terdengar alunan ayat-ayat doa dari bibir Abah Harun yang masih berdiri tenang. Membuat raut wajah Wilujeng mulai memerah, bagai terbakar bara api. Tubuhnya semakin tertekan oleh cengkeraman sinar butiran tasbih yang berada dalam genggaman tangan lelaki itu.Tubuh Wilujeng perlahan mulai
"Kau tak akan bisa menang melawan aku, Manusia. Ini duniaku. Singgasanaku. Kau mau berbuat apa? Aku pastikan kau akan kalah!!!" seru Nyai Wilujeng dengan keras.Terlihat dari raut wajahnya yang selalu berubah-ubah. Dia sedang dalam keadaan murka.Kilatan cahaya seperti medan arus listrik, tergambar jelas diangkasa. Kian menyambar perbukitan yang ada di sekitar tempat ini."Petir itu akan terus berjalan mengejarmu lelaki tua? Dan, akan menuju arah sini!" ucap wanita itu, senang.Sekilas Abah Harun memeprhatikan gelegar dari petir yang menyambar. Sampai membuat terbakar beberapa titik. Saat Abah Harun berbalik, sosok wanita itu telah menghilang."Hemmm, aku harus mencarinya!"Lelaki paruh baya itu, langsung berlari walau tak mudah di tempat ini. Ilalang yang tingginya, seukuran manusia dewasa. Terasa bagai pagar yang menghalangi langkahnya berlari.Sejenak Abah Harun memejamkan kedua matanya. Dia mencoba untuk melesat sebaga