Kedua matanya melotot sembari menunjuk ke arah meja. Raisa pun ikut terkejut dan tersentak.
Keduanya mundur beberpa langkah.
"Mbak ... Mbak! I-itu, apa?"
Raisa terpaku dalam diam. Kedua bola matanya melotot dan terperangah.
"Se-seperti ... sebuah kepala, Moy?"
Momoy yang diajak bicara tak memberikan jawaban. Dia hanya melongo dengan mata yang mendelik.
"I-itu apa Mbak? Kok ada telinga sama rambut. Terus matanya kok merem?"
Raisa tak mampu menjawab. Dia pun hanya bisa tercengang, melihat pemandangan mengerikan yang ada di atas meja makan mereka. Dari arah luar terdengar suara Dian yang memanggil mereka.
"Momoy! Mbak Raisaaa!"
Dian merasa aneh. Saat tak ada yang menyahuti dirinya.
"Kalian di mana sih? Nih aku bawakan makanan." Setengah berteriak, Dian mencari mereka berdua. Mulai dari kamar, sampai akhirnya melihat mereka. Yang tengah berdiri menghadap meja makan.
"Ehhh, kok pada diam begini sih?
"Apa Mbak enggak dengar suara barusan?""Su-suara apa?"Kali ini, Dian benar-benar merasakan ketegangan. Dan mulai merasa ada yang aneh dalam bungkusan yang dia bawa. Seperti ada yang bergerak lambat.Pandangan matanya beralih pada bungkusan dalam tas kantong plastik hitam. Lalu, Dian sedikit mengangkatnya cukup tinggi sejajar dengan kedua matanya. Raisa pun ikut melihat apa yang dilakukan Dian.Pergerakan dalam kantong plastik itu semakin bergerak cepat. Seperi ada yang menendang atau meninju. Membuat Dian makin tercekat. Hingga dia tak bisa berpikir lagi apa yang harus dilakukan. Tetap menggenggam atau melepaskannya."Mbak Raisa! Ini, kenapa gerak terus?""Buang, Mbak! Lempar yang jauh!"Sebelum Dian melempar. Terdengar suara monyet dari atas pohon tak jauh dari mereka. Seketika Raisa mendongak, mencari asal suara itu."Mbak Dian ... lihat itu!"Mereka berdua melihat beberapa monyet sudah bergelantungan di rantin
"Di mana kamu Moy?" desis Raisa, panik. Manik matanya mulai berkaca-kaca. Jantung Raisa semakin berdegup lebih kencang. Hingga dadanya terus berdebar-debar.Salah seorang tetangga yang masih berkumpul. Berteriak ke arahnya."Ada apa Raisa?""Momoy, Bu. Baru aja saya tinggal keluar buang sampah, tiba-tiba di dalam rumah udah enggak ada. Saya sudah tanya teman-temannya, juga enggak ada yang tahu."Para tetangga yang mendengar. Langsung ikut mencari. Hampir satu jam mereka ke RT sebelah. Tetap saja Momoy tak ditemukan juga."Ini gimana Mbak Dian? Di mana Momoy? Masa kita tinggal bentar dia udah enggak ada di rumah.""Kita harus cari ke luar desa ini, Sa!"Sejenak Raisa menatap wajah Dian yang tampak serius bercampur tegang."Tapi, beri kabar dulu sama Bapak kamu!""Nanti Bapak malah bingung Mbak. Enaknya gimana ya?"Tiba-tiba ...."Benar itu Raisa! Yang dibilang Mbak ini tadi benar! Kamu memang harus bilang sa
"Apa desanya Bu Martyo?"Raisa mengangguk. Lalu, dia terhenyak. Dan teringat itu desa yang sama dengan rumah Bu Sapto."Mbak Dian, aku tau," ucap Raisa melotot."A-apa maksud kamu tau itu, Sa?""Ayo, Mbak! Ikuti aku!"Raisa berjalan cepat. Meninggalkan rumah diikuti oleh Dian. Beberapa tetangga hanya memandang ke arahnya. Raisa pun masih sempat berkirim pesan pada Harso. Yang mengatakan akan mencari Momoy di desa sebelah."Hei! Kalian mau ke mana itu?""Ke desa sebelah, Bu. Siapa tau adek ada di sana!"Sambil berjalan cepat. Raisa menelepon Delon. Dia hanya ingin memberi kabar terbaru padanya."Serius aku enggak perlu ke sana, Sa?""Enggak, Mas! Besok siang aja Mas ke sini. Ke rumah Bu Sapto.""Terus gimana sama Momoy?""Ini aku lagi cari ke desa sebelah. Mungkin dia tersesat ke sana. BIarpun sebenarnya kalau tersesat sih kayak enggak mungkin."Delon terdiam beberapa de
Dalam kegelapan, dengan sinar lampu rumah sekitar yang remang-remang. Dian tak bisa melihat dengan jelas, siapa lelaki yang berbaik hati memberikannya air. "Raisa, coba kamu minum dulu!" Tanpa menolak. Raisa langsung meminumnya. Bukan semakin membaik, akan tetapi Raisa malah tak bisa bernapas. Lelaki asing itu bergerak sangat cepat. Dia memukul bagian tengkuk Raisa. Beberapa kali cukup keras. Hingga Raisa terbatuk batuk. Dan tepukan terakhir kali. Raisa memuntahkan sesuatu berwarna hitam. Suaranya kencang seakan tengah berusaha mengeluarkan yang ada dalam mulutnya. "A-apa ini?" teriak Dian terbelalak. Kemudian, dia menoleh ke arah lelaki asing tadi. Yang kini tak terlihat. Sosoknya menghilang seketika. "Aneh?! Kemana Bapak-bapak tadi?" Tangan Raisa terus bergerak cepat. Dia menarik sesuatu berwarna hitam dari mulutnya. Air mata terus menetes. Tampak sekali dia sangat kesakitan. Hingga sesuatu itu bisa dikeluarkan semua dari ten
Keduanya terus berjalan. Hingga Raisa dan Dian, sudah berada di depan sebuah makam desa. Tepat di pintu gerbang masuk. Hanya ada lampu bohlam berukuran dua puluh watt. Akan tetapi tetap saja tak bisa membuat terang. "Di mana makamnya?" "Masuk ke dalam Mbak!" "Ki-kita?" "Iya, Mbak. Aku enggak mau lagi ada yang hilang, seperti Momoy. Aku benar-benar takut," sahut Raisa dengan ekspresi wajah penuh kecemasan. "Sa! Aku bener-bener ngerasanya kok serem sih?" "Mbak pegangan baju aku aja. Jangan dilepas!" "Iya, Sa." "Mbak Dian bawa HP?" Wanita cantik itu menggeleng. "Mbak, bawa HP enggak?" "Maaf tadi aku neggak fokus, Sa. HP aku di rumah. Kenapa?" "Ya, kalau Mbak bawa HP, 'kan senternya jadi dua." "Raisa, aku kok ngeri ya." "Kita ini baru mau masuk, Mbak. Tapi, MBak Dian sudah ketakutan kayak gini. Apa Mbak runggu di luar?" "Haaahhh? Sendirian di sini?" Seraya dia menoleh
aisa pun ikut berjongkok di sebelahnya. Dan mencoba menatap tajam pada wajah adiknya, yang diam mematung."Momoy kamu kenapa? Kok bisa ke sini?"Terdengar suara gemertak dari leher yang bergerak pelan. Kini, wajah Momoy telah menghadap wajah Raisa. Yang terlihat putih pucat. Dan ....Membuat Raisa terbelalak. Wajah Momoy penuh dengan make up tebal. Yang mengingatkan dirinya pada ...."Bu Sapto?"Raisa menggeleng."Bu-bukan! Kamu Momoy. Iya, kamu Momoy."***Mobil Harso berhenti tepat di depan pagar rumah yang terbuka lebar. Masih ada beberapa warga yang seperti sengaja menunggu kedatangan dirinya."Pak Harso!""Pak RT gimana dengan anak saya Momoy?""Beberapa warga masih berpencar mencari mereka, Pak.""Ta-tapi, di mana Raisa Pak?""Katanya tadi mau ke desa sebelah Pak. Cari Momoy," sahut Pak RT.Mendengar penjelasan itu, Harso semakin panik dan cemas."Ra-Raisa? Ke desa se
"Sepertinya kita akan cari di kuburan Bu Sapto, Pak," ujar Hamaz. "Apaaaa?!" teriak warga hampir bersamaan. Mendengar nama Bu Sapto membuat mereka mundur. Beberapa warga pun mengurungkan niat untuk menemani Harso mencari Raisa. "Ka-kami akan temani Momoy di sini aja, Pak. Kalau ke kuburan Bu Sapto, terus terang kita enggak berani," bisik Pak RT. Disambut anggukan warga yang lain. Harso hanya bisa pasrah, sembari tatapan mata mengarah pada Delon dan Hamaz. "Kita naik mobil saja ke sana Pak Harso. Lebih cepat kita berangkat lebih baik!" ajak Delon. "Ba-baiklah, Pak Delon. Biar saya saja yang nyetir." Delon memberikan kunci mobil pada Harso. Mereka bertiga akhirnya berangkat. Meninggal;kan Momoy bersama para tetangga. "Apa mereka segitu takutnya dengan sosok Bu Sapto ini, Mas Delon?" "Aku malah enggak paham Mas Hamaz. Mungkin Pak Harso lebih tau." "Kayaknya sih begtitu. Wong saya ini sebenarnya jarang di ruma
Sosok wanita itu tampak mengenakan gaun sebatas lutut dengan lengan pendek. Seperti pakaian di era delapan puluhan. Semakin mmebuat Raisa mengernyit keheranan.'Aku harus mendekati dia. Aku harus tahu siapa sosok wanita itu!' batin Raisa, tanpa ada rasa takut."Semakin kamu ikut campur urusan ini. Hidup keluarga kamu dalam bahaya. Tadi hanya sebuah peringatan kecil untukmu, Raisa!" Dengan suara yang terdengar aneh. Seperti berbisik akan tetapi Raisa bisa memahaminya.Sontak ancaman itu membuat Raisa terhenyak. Kedua lutut Raisa seperti tak bisa bergerak. Terasa lemas seketika."Kamu, mengancam aku?" Suara Raisa terdengar lirih."Semakin kamu ikut campur urusan ini. Hidup keluarga kamu dalam bahaya. Tadi hanya sebuah peringatan kecil untukmu, Raisa!" Sosok wanita itu, kembali mengulangi ancamannya. Hal ini membuat Raisa sadar. Bahwa ancaman ini tidak main-main. Hal ini, sudah dibuktikan dengan kejadian kepala monye