Suara Bu Aminah seperti mendesis lirih. Akan tetapi Raisa dan yang lain bisa mendengarnya. Sembari Bu Aminah menunjuk arah belakang Raisa.
Dan ....
Gelagat Bu Aminah membuat mereka bertiga menoleh ke belakang. Sontak ketiganya terperanjat. Saat melihat Mbok Yumna sudah tak berada di tempatnya lagi.
"Haaahhh! Di mana Mbok Yumna?!" teriak Raisa hampir menjerit.
"Sepertinya kita telah dikecoh sosok Bu Aminah itu!" lanjut Hamaz. "Coba kalian sosoknya telah menghilang."
"Sialan bener! Terus kita harus bagaimana ini, Mas Hamaz?"
"Terpaksa rencana kita gagal. Kita harus cari Mbok Yumna. Dan langsung mencari batangan emas yang menjadi mahar mereka."
"Ta-tapi, Mas Hamaz?"
"Kenapa Mbak Raisa?"
"Kita akan cari Mbok Yumna di mana?"
Hamaz terdiam sejenak.
"Sepertinya kita harus memasuki semua ruangan yang ada di rumah ini. Tanpa terkecuali!" tegas Hamaz. "Tapi usahakan jangan sampai berpencar."
"Ba-baik, Mas."<
Saat pandangan matanya berpendar. Raisa seperti melihat bayangan, yang melesat keluar. Lalu, berhenti did epan pintu kamar. Bayangan yang tak telihat jelas itu, seperti sedang mondar mandir. Membuat Raisa harus menarik napas panjang. Hamaz yang sedari tadi memperhatikan Raisa, mengernyitkan dahinya. Dia sudah menduga kalau Raisa melihat penampakan."Mbak Raisa! Mbak ... Raisa!"Raisa bagai tersentak, dan menoleh pada Hamaz. "Jangan melamun dan pikiran kosong, Mbak. Apalagi di tempat seperti ini!""I-iya, Mas. Aku tau, tapi--"Raisa menunjuk ke arah depan pintu kamar."Coba Mas Hamaz lihat sendiri! Apa aku salah lihat?"Saat Hamaz menoleh. Dia melihat sosok wanita, yang berwajah sama persis dengan yang ada dalam lukisan. "Lukisan itu, Mas Hamaz.""Iya, Mbak Raisa. Aku juga melihatnya.""Sekarang kita bagaimana, Mas? Terus Mas Hamaz ini mau sholat di mana?""Di ruang tengah. Itu ruangan sangat luas
"Allahu Akbar!" Pyaaaarrr!!! "Haaahhh!" Raisa tersentak. Dia sangat terkejut dengan apa yang dilihat dan didengar. Gadis itu benar-benar meringkuk. Raisa tak berani lagi untuk melihat suasana sekitarnya saat ini.Tak lama menunggu. Hamaz sudah mengakhiri sholatnya. Delon dan Hamaz langsung berputar ke arah Raisa yang masih tertunduk, tegang. "Mbak Raisa! Ada apa?" "Apa Mas Hamaz enggak bisa dengar?" Hamaz dan Delon saling berpandagan. "Suara apa Raisa?" "Banyak suara yang aku dengar. Aku bener-bener takut ini." Delon menghampiri Raisa. "Cobalah tenang dulu, Sa." Tanpa menoleh pada Delon. Raisa menunjuk pada lukisan itu lagi. Yang kini berceceran di lantai. "Aku lihat banyak darah di sana," bisik Raisa. Hamaz pun ikut memperhatikan pecahan kaca dan pigura yang tergeletak di lantai. 'Ternyata benar yang dikatakan Mbak Raisa. Cuman aku juga emang enggak denger apa-apa,' bat
Hamaz langsung menuju dua lemari yang berisi toples-toples. Lalu pandangan Hamaz tertuju pada sebuah toples cukup besar. Dengan ukuran yang berbeda dari yang lain."Mas Hamaz juga tertarik dengan toples besar itu juga ya?""Iya, Mas. Kenapa dia beda sendiri? Dan ada beberapa bagian tubuh di dalamnya?" tanya Raisa memindai setiap organ tubuh yang ada di dalamnya."Ini pun seperti pakai cairan pengawet. Kalau enggak udah belatung semua," sahut Delon."Ta-tapi, Mas. Lihat lemari yang satu ini!" seru Raisa dengan suara yang tertahan di tenggorokan.Seruan Raisa membuat Hamaz dan Delon mengalihkan pandangannya ke arah lemari yang satunya."Coba Mas Delon sama Mas Hamaz ada perbedaan?""Banyak, Sa. Sepertinya toples yang ini masih belum memakai pengawet. Baunya lebih busuk dan airnya sampai keruh kayak gitu.""Iya, Mas. Dan sampai ber-ulat."Ternyata apa yang dikatakan Raisa benar. Mereka melihat beberapa toples memang a
"Li-lihat ... itu Mas!"Delon meletakkan kembali toples itu pada lemari. Mereka berdua mulai memeprhatikan perlahan."Ini kah yang kamu maksud?" Sembari menunjuk ke arah sebuah kuku dengan bentuk yang besar. Mungkin kuku jempol. "Apa ini memang benar kuku Bu Sapto, Sa?""Mungkin saja, Mas." "Gila, Sa. Aku jadinya merinding parah ini.""Sa-sama, Mas."Mereka berdua masih terfokus pada lemari yang berisi toples."Jadi, menurut kamu Bu Sapto juga ada yang menumbalkan?""Iya, Mas. Makanya dia meminta pada Mas Delon untuk melepaskan ikatannya. Iya 'kan?"Saat mereka tengah asyik berdiskusi. Dan Raisa masih menghadap lemari kaca itu. Pandangan matanya melihat selintas bayangan hitam berkelebat. Sontak Raisa menoleh ke balakang."Ada apa, Sa?""A-aku kayak lihat ada orang melintas Mas.""Di mana?""Di belakang kita ini."Tengkuk mereka berdua serasa dingin dan bulu ku
"Jangan gegabah, Sa! Belum tentu dia Mbok Yumna yang sebenarnya," bisik Delon. Langkah Raisa pun tertahan. Apa yang dikatakan Delon ada benarnya. Dia memlih untuk waspada. "Kita hanya bisa melihat penampakan itu dari kaca lemari ini 'kan? Coba sekarang kamu berbalik, Sa!"Gadis itu mengikuti apa yang dikatakan oleh Delon. Ternyata benar. Kursi itu tampak kosong. Hanya begerak tanpa ada yang duduk di atasnya."Lalu sekarang apa yang harus kita lakukan Mas?""Sekarang perhatikan sosok itu, Sa! lewat kaca lemari. Lihat kedua tangannya yang di sandaran kursi!"Raisa mulai memperhatikan kedua jemari tangan Mbok Yumna. Yang memegang erat kayu berbentuk bulat di ujung sandaran kursi. Lalu, dia menoleh pada Delon. Dengan dahi yang berkerut."Enggak ada yang aneh, Mas. Memangnya kenapa sih?""Kamu lihat saja. kayaknya sosok itu berusaha melepaskan diri. Seperti ada yang sedang mengikat kedua tangannya itu."Kembali Raisa mengamatinya.
Pyaaaarrr!Seketika hancur berserakan. Begitu juga dengan beberapa toples yang bergelimpangan terjatuh ke lantai. Ada yang hancur dan ada yang tetap utuh. Membuat beberapa organ yang bernanah serta berlendir. Mengurai aroma yang sangat tak sedap. Teramat sangat busuk.Beberapa isi di dalam toples. Tumpah mengenai tubuh Raisa. Hingga jilbab dan bajunya ikut berbau anyir. Raisa pun mengusap wajahnya yang basah, oleh lendir busuk itu. Dia muntah-muntah tak tahan dengan bau yang begitu menyengat.Segera Delon bangkit dari lantai dan merangkak ke arah Raisa. Berusaha untuk menolongnya."Ka-kamu enggak apa-apa?"Raisa hanya menggeleng dengan raut wajah yang syok berat. Tangannya menunjuk ke arah kasur."Sebenarnya apa yang kamu lihat tadi Sa. Aku sampai kaget, ikut-ikutan lari.""Po-pocong, Mas. Tapi aku enggak tau, pocong siapa?" "Sialan bener tuh pocong!" Sembari Delon menoleh ke arah kasur, yang terlihat normal. Seperti sebelumny
Ide cerdas Delon diikuti oleh Raisa untuk membantunya. Setelah kosong, mereka lebih mudah menggeser lemari kaca itu."Geser terus, Sa!" teriak Delon."Iya, Mas."Sampai akhirnya mereka berhasil. Tepat di hadapan mereka terdapat sebuah lobang seperti pintu. Dengan ukuran yang lebih kecil dari lemari. Keduanya hanya bisa terpaku sesaat."Ini menuju ke mana Mas Delon?""Aku juga enggak tau, Sa. Tapi seperti ruang bawah tanah.""Ruang bawah tanah? Untuk apa? Siapa yang membuatnya?"Delon menoleh Pada Raisa. Lalu menggeleng."Aku juga enggak tau Mas. Bagaimana kita masuk ke dalamnya aja?"Sekian detik mereka saling beradu pandang. Tanpa di komando, Delon langsung bergerak mendahului Raisa.Sedangkan dalam waktu yang bersamaan. Hamaz berjalan pelan melintasi ruang tengah. Dia memperhatikan lukisan yang masih berserakan di lantai. Dengan ceceran darah."Sepertinya lukisan itu dibuat oleh warna darah di bagia
"Sudah cukup lama Bu Sapto meninggal. Yang aneh, dari keringnya kembang ini. Aku yakin umurnya baru sekitar semingguan. Lalu, siapa yang mempersiapkannya di sini?" Telapak tangan Hamaz diletakkan di atas tempat perapian kecil. Tempat yang biasa di gunakan untuk membakar kemenyan. Hamaz bisa merasakan hangatnya tempat itu. "Pasti ada seseorang yang sengaja meneruskan pesugihan ini. Aku harus segera menemukannya. Kalau enggak, dia pasti akan menumbalkan orang-orang yang berniat menghalangi dia. Termasuk ... Mbok Yumna? Kenapa aku baru sadari hal ini?" Hamaz kembali memperhatikan lukisan yang tergeletak di lantai, tak jauh darinya. Sejenak Hamaz seperti sedang berpikir. Lalu, kembali menarik lukisan itu ke dekatnya. Tanpa banyak pertimbangan lagi. Dia menyalakan korek dan mengambil kembang kering, yang ada di hadapan. Perlahan meletakkannya, tepat di atas wajah wanita penuh misterius itu. "Bismillah!" Seraya Hamaz membaca ayat-ayat suci Alquran, yang lai