Ide cerdas Delon diikuti oleh Raisa untuk membantunya. Setelah kosong, mereka lebih mudah menggeser lemari kaca itu.
"Geser terus, Sa!" teriak Delon.
"Iya, Mas."
Sampai akhirnya mereka berhasil. Tepat di hadapan mereka terdapat sebuah lobang seperti pintu. Dengan ukuran yang lebih kecil dari lemari. Keduanya hanya bisa terpaku sesaat.
"Ini menuju ke mana Mas Delon?"
"Aku juga enggak tau, Sa. Tapi seperti ruang bawah tanah."
"Ruang bawah tanah? Untuk apa? Siapa yang membuatnya?"
Delon menoleh Pada Raisa. Lalu menggeleng.
"Aku juga enggak tau Mas. Bagaimana kita masuk ke dalamnya aja?"
Sekian detik mereka saling beradu pandang. Tanpa di komando, Delon langsung bergerak mendahului Raisa.
Sedangkan dalam waktu yang bersamaan. Hamaz berjalan pelan melintasi ruang tengah. Dia memperhatikan lukisan yang masih berserakan di lantai. Dengan ceceran darah.
"Sepertinya lukisan itu dibuat oleh warna darah di bagia
"Sudah cukup lama Bu Sapto meninggal. Yang aneh, dari keringnya kembang ini. Aku yakin umurnya baru sekitar semingguan. Lalu, siapa yang mempersiapkannya di sini?" Telapak tangan Hamaz diletakkan di atas tempat perapian kecil. Tempat yang biasa di gunakan untuk membakar kemenyan. Hamaz bisa merasakan hangatnya tempat itu. "Pasti ada seseorang yang sengaja meneruskan pesugihan ini. Aku harus segera menemukannya. Kalau enggak, dia pasti akan menumbalkan orang-orang yang berniat menghalangi dia. Termasuk ... Mbok Yumna? Kenapa aku baru sadari hal ini?" Hamaz kembali memperhatikan lukisan yang tergeletak di lantai, tak jauh darinya. Sejenak Hamaz seperti sedang berpikir. Lalu, kembali menarik lukisan itu ke dekatnya. Tanpa banyak pertimbangan lagi. Dia menyalakan korek dan mengambil kembang kering, yang ada di hadapan. Perlahan meletakkannya, tepat di atas wajah wanita penuh misterius itu. "Bismillah!" Seraya Hamaz membaca ayat-ayat suci Alquran, yang lai
"Aku seperti merasa ada yang mengintip." Hamaz berbisik. "Keluarlah!" teriak Hamaz. Namun tetap saja tak ada yang muncul. Jemari tangannya terus memercikkan air dari botol, pada belas lukisan dan kemenyan."Mar ... Maaar!"Hamaz mendengar suara yang memanggil. Entah pada siapa?Sesaat Hamaz terdiam. Sengaja dia menunggu siapa yang datang. Suara langkahnya mulai terdengar. Seperti kaki yang diseret beradu dengan lantai. Tak lama dari sudut pembatas dinding yang menjorok. Terlihat sebuah bayangan yang terus bergerak.Ada desir halus yang mengusai hati Hamaz. Sampai akhirnya sosok itu mulai menampakkan wujudnya."Mbok Yumna?" desis Hamaz. Namun lubuk hatinya melawan. Tak mungkin yang ada di hadapannya saat ini Mbok Yumna. Lalu Hamaz mengambil sikap duduk bersila dengan mata yang terpejam. Dia mengolah mata batinnya.Perlahan Hamaz kembali membuka kedua mata. Kini, yang ada di hadapannya sosok Mariyati."Kamu jangan terkecoh oleh pengliha
Lalu lelaki itu, menarik lengan Naning dan mengajaknya ke suatu tempat. Seperti sebuah ruang kosong. Yang berbeda dari ruang sebelumnya. Tampak Mariman sedang memadu kasih dengan Naning. Di saat mereka hendak sampai pada puncaknya. Sekelebat bayangan hitam hadir juga di ruagan itu.Hamaz yang melihat ulah mereka hanya bisa menarik napas dalam-dalam. Sosok hitam tadi, seperti menyelinap masuk ke dalam raga Naning. Sesaat kepala wanita itu, seperti mendongak ke atas. Dengan kepala yang tertarik ke belakang.Setelah sekian detik berlalu. Tubuh Naning seperti bergetar sesaat. Setelah itu dia menyeringai tipis, mengarah pada Mariman yang juga tersenyum lebar. Kali ini, mereka berdua sama-sama menikmati hasrat yang menggebu dan semakin liar.Lidah Naning berubah sangat panjang. Menjilati tubuh Mariman seluruhnya. Sesekali dia menggigit kulit lelaki itu, sampai berdarah. Dan meratakan ke seluruh tubuh mereka.Cukup lama aksi erotis yang dipertontonkan. Hamaz yan
"Bagaimana kamu bisa di tangkap sama Bulek Mar? Bukannya kamu melarikan diri karena enggak mau menikah?" tanya Mariana (palsu)."Aku kelaparan dan enggak punya uang. Lalu, aku sembunyi di rumah Pak Lurah, Mar. Lah kok dia melaporkan aku ke Bapak. Ya, akhirnya aku diikat karena terus berontak.""Jadi Bapak yang ikat kamu?"Mariyati (palsu) menggeleng."Bulek yang mengikat aku, dengan alasan takut aku akan mengacau pernikahan kamu nanti.""Aku akan melindungi kamu. Enggak akan ada seorang pun yang tau kamu ada di kamar ini. Besok kamar ini akan aku lebarkan, dan aku buat sebuah ruang di bawah tanah. Cukup aku yang tahu saja. Bagaimana?""Baik, Mar. Dan boleh kah kita nantinya bertukar tempat. Karena aku ingin hirup udara segar juga.""Pastinya, Mariyati," bisik Mariana (palsu). Mereka berdua mengurai senyum penuh makna.Hamaz yang mendengar pembicaraan mereka semakin terhenyak."Ja-jadi selama ini mereka berdua hidup bersama.
"Mas, lihat apa sih? Ayo, kita masuk ruangan itu!""I-iya, Sa. Aku cuman lihat jendela itu. Apa berhubungan dengan luar atau tempat yang lain ya?""Nanti kita lihat lagi, Mas. Sekarang yang penting ke ruangan itu!""Tapi, perasaan aku enggak enak nih, Sa."Raisa pun berhenti. Tepat di depan sebuah pintu yang tertutup rapat. Dadanya mulai berdebar-debar. Lalu mendongak ke arah Delon yang berusaha untuk menarik handel pintu perlahan."Enggak dikunci ternyata, Sa.""Ehhh, iya Mas."Langkah kaki mereka menapaki lantai kamar yang berdebu, pengap dan lembab. Seperti tidak ada udah yang masuk. Kamar ini pun tak kalah luas. Tepat beberapa langkah. Terdapat beberapa tirai dari potongan kain yang dijajar pada sebuah tali yang memanjang."Ini apaan Mas? Kok dikasih ini segala? Jadi enggak bisa bebas kita lihat ke depan."Sejenak hening. Hanya terdengar deru napas mereka berdua. Yang terengah-engah karena kelelahan dan berkeri
"Ayo kita bergerak pelan-pelan, Sa.""I-iya, Mas."Akhirnya Delon dan Raisa kembali melanjutkan langkah mereka. Untuk bergerak maju. Selangkah demi selangkah. Menyibak tirai yang sangat mengganggu. Hingga mereka sampai di ruang yang lebih terbuka. Pandangan mereka berdua langsung tertuju pada sebuah ranjang yang tak terlalu besar."Mas, lihat itu!" Arah telunjuk Raisa tetruju pada sebuah kursi goyang. Yang bentuk dan motif ukirannya hampir sama dengan yang ada di kamar Mariyati."Jadi bunyi tadi berasal dari kursi ini, Sa.""Iya, Mas. Tapi, siapa?""Hemmm, ini merinding sudah enggak bisa dikondisikan lagi, Sa.""Sa-sama, Mas. Ta-tapi--"Raisa menunjuk ke ujung ruang. Lebih tepatnya di samping sebuah lemari. YTang berukuran sama dengan lemari kaca di kamar Mariyati. Hanya saja ini terbuat dari kayu jati coklat gelap."Lihat apa kamu?""A-apa Mas Delon enggak lihat kayak ada orang di situ?"Tampak Raisa mengg
Saat langkah Delon mendekati lemari. Dalam waktu yang bersamaan. Raisa melihat sosok yang tadi bersembunyi menampakkan wujudnya. Namun, Delon tak melihat. Bahkan Raisa seakan tak mampu untuk bersuara."Maaaas ... Mas Delon!" teriak Raisa. Akan tetapi suaranya berubah parau dan serak. Itu pun suaranya tercekat di tenggorokkan. Tak bisa mengeluarkan suara. Membuat Raisa berusaha untuk terus memanggil Delon. Yang masih terus berjalan menuju lemari itu.Raisa berusaha untuk bergerak, mendekati Delon. Namun tiba-tiba kedua lututnya sulit untuk digerakkan. Raisa merasa kakinya lemas untuk dibuat berjalan. Hanya tangan kanan yang melambai ke arah Delon. Dengan terus mencoba mengeluarkan suara. Akan tetapi sia-sia. Delon tak mendengar.Raisa semakin merasa terdesak. Manakala sosok wanita berkulit pucat. Seperti daging yang terendam air. Berbau anyir dan busuk mulai menebar aroma."Mas Delooon! Lihat kemari, Mas!" Tetap saja suara Raisa tak terdengar. Mmebua
Saat Raisa berusaha untuk mengejar. Tubuhnya bagai dihantam oleh sesuatu yang sangat keras. Membuat dirinya terpental jauh. Hingga tersungkur kembali ke ruangan yang sama. Namun, dia tak melihat Delon berada di tempat itu.Samar Raisa melihat seperti ada seorang wanita yang duduk di sebuah kursi goyang. Berusaha meronta dan berontak. Wanita itu pun, berusaha melepaskan ikatan pada kedua tangannya. Serta kaki yang terikat pada kaki kursi."Siapa wanita itu? Kenapa dia mirip dengan wanita pucat tadi?" bisik Raisa, dengan pandangan tanpa jeda mengarah pada sosok wanita itu. "Siapa yang mengikat dia di sana?" bisik Raisa.Perlahan langkahnya mencoba untuk menghampiri."Bu ... kenapa ada di sini?"Raisa bertanya dari jarak yang tak terlalu dekat. Wanita itu pun mendongak ke arah Raisa. Dengan tatap mata yang nanar. Tak ada sepatah kata yang terucap oleh sosok wanita itu. Dia kembali tertunduk.Raut wajah wanita paruh baya yang kurus kering.