"Bagaimana kamu bisa di tangkap sama Bulek Mar? Bukannya kamu melarikan diri karena enggak mau menikah?" tanya Mariana (palsu).
"Aku kelaparan dan enggak punya uang. Lalu, aku sembunyi di rumah Pak Lurah, Mar. Lah kok dia melaporkan aku ke Bapak. Ya, akhirnya aku diikat karena terus berontak."
"Jadi Bapak yang ikat kamu?"
Mariyati (palsu) menggeleng.
"Bulek yang mengikat aku, dengan alasan takut aku akan mengacau pernikahan kamu nanti."
"Aku akan melindungi kamu. Enggak akan ada seorang pun yang tau kamu ada di kamar ini. Besok kamar ini akan aku lebarkan, dan aku buat sebuah ruang di bawah tanah. Cukup aku yang tahu saja. Bagaimana?""Baik, Mar. Dan boleh kah kita nantinya bertukar tempat. Karena aku ingin hirup udara segar juga."
"Pastinya, Mariyati," bisik Mariana (palsu). Mereka berdua mengurai senyum penuh makna.
Hamaz yang mendengar pembicaraan mereka semakin terhenyak."Ja-jadi selama ini mereka berdua hidup bersama.
"Mas, lihat apa sih? Ayo, kita masuk ruangan itu!""I-iya, Sa. Aku cuman lihat jendela itu. Apa berhubungan dengan luar atau tempat yang lain ya?""Nanti kita lihat lagi, Mas. Sekarang yang penting ke ruangan itu!""Tapi, perasaan aku enggak enak nih, Sa."Raisa pun berhenti. Tepat di depan sebuah pintu yang tertutup rapat. Dadanya mulai berdebar-debar. Lalu mendongak ke arah Delon yang berusaha untuk menarik handel pintu perlahan."Enggak dikunci ternyata, Sa.""Ehhh, iya Mas."Langkah kaki mereka menapaki lantai kamar yang berdebu, pengap dan lembab. Seperti tidak ada udah yang masuk. Kamar ini pun tak kalah luas. Tepat beberapa langkah. Terdapat beberapa tirai dari potongan kain yang dijajar pada sebuah tali yang memanjang."Ini apaan Mas? Kok dikasih ini segala? Jadi enggak bisa bebas kita lihat ke depan."Sejenak hening. Hanya terdengar deru napas mereka berdua. Yang terengah-engah karena kelelahan dan berkeri
"Ayo kita bergerak pelan-pelan, Sa.""I-iya, Mas."Akhirnya Delon dan Raisa kembali melanjutkan langkah mereka. Untuk bergerak maju. Selangkah demi selangkah. Menyibak tirai yang sangat mengganggu. Hingga mereka sampai di ruang yang lebih terbuka. Pandangan mereka berdua langsung tertuju pada sebuah ranjang yang tak terlalu besar."Mas, lihat itu!" Arah telunjuk Raisa tetruju pada sebuah kursi goyang. Yang bentuk dan motif ukirannya hampir sama dengan yang ada di kamar Mariyati."Jadi bunyi tadi berasal dari kursi ini, Sa.""Iya, Mas. Tapi, siapa?""Hemmm, ini merinding sudah enggak bisa dikondisikan lagi, Sa.""Sa-sama, Mas. Ta-tapi--"Raisa menunjuk ke ujung ruang. Lebih tepatnya di samping sebuah lemari. YTang berukuran sama dengan lemari kaca di kamar Mariyati. Hanya saja ini terbuat dari kayu jati coklat gelap."Lihat apa kamu?""A-apa Mas Delon enggak lihat kayak ada orang di situ?"Tampak Raisa mengg
Saat langkah Delon mendekati lemari. Dalam waktu yang bersamaan. Raisa melihat sosok yang tadi bersembunyi menampakkan wujudnya. Namun, Delon tak melihat. Bahkan Raisa seakan tak mampu untuk bersuara."Maaaas ... Mas Delon!" teriak Raisa. Akan tetapi suaranya berubah parau dan serak. Itu pun suaranya tercekat di tenggorokkan. Tak bisa mengeluarkan suara. Membuat Raisa berusaha untuk terus memanggil Delon. Yang masih terus berjalan menuju lemari itu.Raisa berusaha untuk bergerak, mendekati Delon. Namun tiba-tiba kedua lututnya sulit untuk digerakkan. Raisa merasa kakinya lemas untuk dibuat berjalan. Hanya tangan kanan yang melambai ke arah Delon. Dengan terus mencoba mengeluarkan suara. Akan tetapi sia-sia. Delon tak mendengar.Raisa semakin merasa terdesak. Manakala sosok wanita berkulit pucat. Seperti daging yang terendam air. Berbau anyir dan busuk mulai menebar aroma."Mas Delooon! Lihat kemari, Mas!" Tetap saja suara Raisa tak terdengar. Mmebua
Saat Raisa berusaha untuk mengejar. Tubuhnya bagai dihantam oleh sesuatu yang sangat keras. Membuat dirinya terpental jauh. Hingga tersungkur kembali ke ruangan yang sama. Namun, dia tak melihat Delon berada di tempat itu.Samar Raisa melihat seperti ada seorang wanita yang duduk di sebuah kursi goyang. Berusaha meronta dan berontak. Wanita itu pun, berusaha melepaskan ikatan pada kedua tangannya. Serta kaki yang terikat pada kaki kursi."Siapa wanita itu? Kenapa dia mirip dengan wanita pucat tadi?" bisik Raisa, dengan pandangan tanpa jeda mengarah pada sosok wanita itu. "Siapa yang mengikat dia di sana?" bisik Raisa.Perlahan langkahnya mencoba untuk menghampiri."Bu ... kenapa ada di sini?"Raisa bertanya dari jarak yang tak terlalu dekat. Wanita itu pun mendongak ke arah Raisa. Dengan tatap mata yang nanar. Tak ada sepatah kata yang terucap oleh sosok wanita itu. Dia kembali tertunduk.Raut wajah wanita paruh baya yang kurus kering.
Setelah itu mereka segera keluar dari kamar yang menyeramkan itu. Sejenak Delon berdiri terpaku. Dari jarak tak jauh, dia melihat sosok Bu Aminah. Yang tampak aneh. Seperti bukan dia saat dulu pernah bertemu."Bu-Aminah?" cetus Raisa tercengang."Kalian tak akan bisa keluar dari rumah ini. Sama seperti Mariyati dan Mariana. Perjanjian itu tak akan pernah bisa putus, sampai kapan pun juga!" Lalu, tertawa melengking tinggi.Bu Aminah berjalan dengan kedua kaki yang menyeret lantai. Membuat keduanya mundur beberapa langkah. Kedua matanya melotot, membulat khitaman. Hingga tak tampak lagi bola mata yang putih. Sosok itu menyeringai dengan kepala yang sedikit miring. Seperti leher yang putus."Bagaimana ini, Mas?"Tiba-tiba, mereka mendengar seperti ada orang yang mencoba untuk membuka pintu depan. Dan tak hanya satu orang, terdengar lebih. Bersamaan dengan itu. Hanya dalam sekejap, sosok Bu Aminah telah meng hilang entah ke mana."Mas De
"Bagaimana kalau besok sekitar jam sepuluh an. Kalian main ke rumah saya?" tanya Abah Harun."Ba-baik, Abah."Lelaki berumur sekitaran 60 tahun itu, mengulurkan secarik kertas."Di situ ada alamat saya. Enggak jauh dari sini kok.""Ba-baik, Abah. Kami akan datang, Insyaallah," sahut Delon.Setelah kondisi Hamaz sedikit membaik. Mereka pun berpamitan untuk pulang. Sepanjang perjalanan. Tak ada sepatah kata yang terucap oleh mereka. Yang ada bayangan-bayangan yang masih melintas. Di antara mereka berempat.Hanya butuh waktu sepuluh menit. Mobil sudah sampai di depan rumah. Tampak mobil Harso sudah berada di garasi."Sebaiknya mas Delon sama Mas Hamaz tidur di sini aja. Karena besok kan kita harus ke rumah Abah Harun lagi. Iya 'kan?""Iya, Sa. Rencana aku juga gitu kok," sahut Delon."Ya, ayok! Turun kalau gitu!"Dengan langkah tertatih. Mbok Yumna dituntun oleh Raisa. Begitru juga dengan Hamaz yang masih merasakan p
Raisa mengambilkan baju kebaya dan kain jarik milik Emak Haji untuk dipakai oleh Mbok Yumna. Dia meletakkan di pinggiran ranjang dan mengajak Mbok Yumna untuk segera istirahat."Besok lagi, kita cerita-cerita lagi ya Mbok Yumna. Mending sekarang Mbok Yumna istirahat dibuat tidur nyenyak. Apa ada bagian badan yang sakit, Mbok?""Enggak ada, Nak. Cuman kepalaku ini kayaknya benjol.""Saya kasih minyak tawon ya, Mbok. Biar benjolnya sedikit kempes."Wanita tua itu pun mengangguk. Raisa sangat telaten menghadapinya. Lalu, Raisa hendak beranjak pergi. Namun Mbok Yumna mencekal lengganya sangat kuat."Ada apa, Mbok?""Mariana baru saja matinya. Dia baru saja matinya, Nak.""Maksud Mbok Yum?""Penampakan yang sering duduk di kursi goyang itu bukan Mariyati. Melainkan Mariana. Dia terlihat sangat kurus, seperti disiksa."Raisa mengurungkan niatnya untuk keluar kamar. Dia duduk kembali berhadapan dengan Mbok Yumna.&nb
"Mungkin saja pemikiran aku ini salah. Cuman aku tadi sempat berpikir, mereka berdua ini sering bertukar tempat. Jadi, sampai mereka meninggal pun kita juga enggak bisa tau yang mana Mariana dan Mariyati. Bisa saja 'kan seperti itu?""Ya, bisa juga sih. Mungkin kalau mereka berdua atau salah satu dari mereka ini masih hidup. Bisa dilihat dari tanda di tengkuk. Iya 'kan?" Delon memandang mereka berdua bergantian."Dan sekarang, menurut Mas Hamaz. Apa sebenarnya Naning ini masih hidup, Mas?""Sepertinya masih, Mbak. Cuman beberapa kali yang kita lihat di rumah Bu Sapto itu, bukan Bu Naning yang sebenarnya. Satu hal lagi yang sempat saya lihat. Sebelum ada seseorang yang memukul saya. Hemmm ... saya melihat Pak Mariman yang sedang bercinta dengan Bu Naning.""Haaaaa ...."Raisa dan Delon langsung melongo. Dengan mata yang melotot ke arah Hamaz. Yang masih melanjutkan ceritanya."Cuman kasihna sebenarnya Bu Naning itu, Mas Delon. Hanya dijadikan