"Ayo kita bergerak pelan-pelan, Sa."
"I-iya, Mas."
Akhirnya Delon dan Raisa kembali melanjutkan langkah mereka. Untuk bergerak maju. Selangkah demi selangkah. Menyibak tirai yang sangat mengganggu. Hingga mereka sampai di ruang yang lebih terbuka. Pandangan mereka berdua langsung tertuju pada sebuah ranjang yang tak terlalu besar.
"Mas, lihat itu!" Arah telunjuk Raisa tetruju pada sebuah kursi goyang. Yang bentuk dan motif ukirannya hampir sama dengan yang ada di kamar Mariyati.
"Jadi bunyi tadi berasal dari kursi ini, Sa."
"Iya, Mas. Tapi, siapa?"
"Hemmm, ini merinding sudah enggak bisa dikondisikan lagi, Sa."
"Sa-sama, Mas. Ta-tapi--"
Raisa menunjuk ke ujung ruang. Lebih tepatnya di samping sebuah lemari. YTang berukuran sama dengan lemari kaca di kamar Mariyati. Hanya saja ini terbuat dari kayu jati coklat gelap.
"Lihat apa kamu?"
"A-apa Mas Delon enggak lihat kayak ada orang di situ?"
Tampak Raisa mengg
Saat langkah Delon mendekati lemari. Dalam waktu yang bersamaan. Raisa melihat sosok yang tadi bersembunyi menampakkan wujudnya. Namun, Delon tak melihat. Bahkan Raisa seakan tak mampu untuk bersuara."Maaaas ... Mas Delon!" teriak Raisa. Akan tetapi suaranya berubah parau dan serak. Itu pun suaranya tercekat di tenggorokkan. Tak bisa mengeluarkan suara. Membuat Raisa berusaha untuk terus memanggil Delon. Yang masih terus berjalan menuju lemari itu.Raisa berusaha untuk bergerak, mendekati Delon. Namun tiba-tiba kedua lututnya sulit untuk digerakkan. Raisa merasa kakinya lemas untuk dibuat berjalan. Hanya tangan kanan yang melambai ke arah Delon. Dengan terus mencoba mengeluarkan suara. Akan tetapi sia-sia. Delon tak mendengar.Raisa semakin merasa terdesak. Manakala sosok wanita berkulit pucat. Seperti daging yang terendam air. Berbau anyir dan busuk mulai menebar aroma."Mas Delooon! Lihat kemari, Mas!" Tetap saja suara Raisa tak terdengar. Mmebua
Saat Raisa berusaha untuk mengejar. Tubuhnya bagai dihantam oleh sesuatu yang sangat keras. Membuat dirinya terpental jauh. Hingga tersungkur kembali ke ruangan yang sama. Namun, dia tak melihat Delon berada di tempat itu.Samar Raisa melihat seperti ada seorang wanita yang duduk di sebuah kursi goyang. Berusaha meronta dan berontak. Wanita itu pun, berusaha melepaskan ikatan pada kedua tangannya. Serta kaki yang terikat pada kaki kursi."Siapa wanita itu? Kenapa dia mirip dengan wanita pucat tadi?" bisik Raisa, dengan pandangan tanpa jeda mengarah pada sosok wanita itu. "Siapa yang mengikat dia di sana?" bisik Raisa.Perlahan langkahnya mencoba untuk menghampiri."Bu ... kenapa ada di sini?"Raisa bertanya dari jarak yang tak terlalu dekat. Wanita itu pun mendongak ke arah Raisa. Dengan tatap mata yang nanar. Tak ada sepatah kata yang terucap oleh sosok wanita itu. Dia kembali tertunduk.Raut wajah wanita paruh baya yang kurus kering.
Setelah itu mereka segera keluar dari kamar yang menyeramkan itu. Sejenak Delon berdiri terpaku. Dari jarak tak jauh, dia melihat sosok Bu Aminah. Yang tampak aneh. Seperti bukan dia saat dulu pernah bertemu."Bu-Aminah?" cetus Raisa tercengang."Kalian tak akan bisa keluar dari rumah ini. Sama seperti Mariyati dan Mariana. Perjanjian itu tak akan pernah bisa putus, sampai kapan pun juga!" Lalu, tertawa melengking tinggi.Bu Aminah berjalan dengan kedua kaki yang menyeret lantai. Membuat keduanya mundur beberapa langkah. Kedua matanya melotot, membulat khitaman. Hingga tak tampak lagi bola mata yang putih. Sosok itu menyeringai dengan kepala yang sedikit miring. Seperti leher yang putus."Bagaimana ini, Mas?"Tiba-tiba, mereka mendengar seperti ada orang yang mencoba untuk membuka pintu depan. Dan tak hanya satu orang, terdengar lebih. Bersamaan dengan itu. Hanya dalam sekejap, sosok Bu Aminah telah meng hilang entah ke mana."Mas De
"Bagaimana kalau besok sekitar jam sepuluh an. Kalian main ke rumah saya?" tanya Abah Harun."Ba-baik, Abah."Lelaki berumur sekitaran 60 tahun itu, mengulurkan secarik kertas."Di situ ada alamat saya. Enggak jauh dari sini kok.""Ba-baik, Abah. Kami akan datang, Insyaallah," sahut Delon.Setelah kondisi Hamaz sedikit membaik. Mereka pun berpamitan untuk pulang. Sepanjang perjalanan. Tak ada sepatah kata yang terucap oleh mereka. Yang ada bayangan-bayangan yang masih melintas. Di antara mereka berempat.Hanya butuh waktu sepuluh menit. Mobil sudah sampai di depan rumah. Tampak mobil Harso sudah berada di garasi."Sebaiknya mas Delon sama Mas Hamaz tidur di sini aja. Karena besok kan kita harus ke rumah Abah Harun lagi. Iya 'kan?""Iya, Sa. Rencana aku juga gitu kok," sahut Delon."Ya, ayok! Turun kalau gitu!"Dengan langkah tertatih. Mbok Yumna dituntun oleh Raisa. Begitru juga dengan Hamaz yang masih merasakan p
Raisa mengambilkan baju kebaya dan kain jarik milik Emak Haji untuk dipakai oleh Mbok Yumna. Dia meletakkan di pinggiran ranjang dan mengajak Mbok Yumna untuk segera istirahat."Besok lagi, kita cerita-cerita lagi ya Mbok Yumna. Mending sekarang Mbok Yumna istirahat dibuat tidur nyenyak. Apa ada bagian badan yang sakit, Mbok?""Enggak ada, Nak. Cuman kepalaku ini kayaknya benjol.""Saya kasih minyak tawon ya, Mbok. Biar benjolnya sedikit kempes."Wanita tua itu pun mengangguk. Raisa sangat telaten menghadapinya. Lalu, Raisa hendak beranjak pergi. Namun Mbok Yumna mencekal lengganya sangat kuat."Ada apa, Mbok?""Mariana baru saja matinya. Dia baru saja matinya, Nak.""Maksud Mbok Yum?""Penampakan yang sering duduk di kursi goyang itu bukan Mariyati. Melainkan Mariana. Dia terlihat sangat kurus, seperti disiksa."Raisa mengurungkan niatnya untuk keluar kamar. Dia duduk kembali berhadapan dengan Mbok Yumna.&nb
"Mungkin saja pemikiran aku ini salah. Cuman aku tadi sempat berpikir, mereka berdua ini sering bertukar tempat. Jadi, sampai mereka meninggal pun kita juga enggak bisa tau yang mana Mariana dan Mariyati. Bisa saja 'kan seperti itu?""Ya, bisa juga sih. Mungkin kalau mereka berdua atau salah satu dari mereka ini masih hidup. Bisa dilihat dari tanda di tengkuk. Iya 'kan?" Delon memandang mereka berdua bergantian."Dan sekarang, menurut Mas Hamaz. Apa sebenarnya Naning ini masih hidup, Mas?""Sepertinya masih, Mbak. Cuman beberapa kali yang kita lihat di rumah Bu Sapto itu, bukan Bu Naning yang sebenarnya. Satu hal lagi yang sempat saya lihat. Sebelum ada seseorang yang memukul saya. Hemmm ... saya melihat Pak Mariman yang sedang bercinta dengan Bu Naning.""Haaaaa ...."Raisa dan Delon langsung melongo. Dengan mata yang melotot ke arah Hamaz. Yang masih melanjutkan ceritanya."Cuman kasihna sebenarnya Bu Naning itu, Mas Delon. Hanya dijadikan
"Mariyati berarti Bu Sapto," ucap Raisa lirih. "Gimana bisa Mbok Yumna tau di luar ada Bu Sapto? Padahal jendela enggak kebuka sama sekali."Perlahan Raisa duduk di sebelahnya."Mbok Yumna, tau dari mana kalau Bu Sapto ada di depan?""Dia tadi ke sini. Tidur di sebelahku." Lalu Mbok Yumna terkikik lucu. Membuat Raisa merinding seketika. "Mbok Yumna jangan buat saya ngerasa seram begini deh.""Dia sekarang gemuk. Pakai make upnya tebal. Lipstiknya merah. Alisnya kayak bulan sabit. Apa semasa hidupnya dia kayak begitu, Nak?""Kata orang-orang sih begitu, Mbok.""Mungkin dengan make up begitu menyamarkan wajah mereka berdua. Terlihatnya sama."Raisa kembali menatap wanita tua itu. Yang dalam setiap perkataannya selalu menimbulkan sebuah tanya baru. Dan pemikiran baru."Jadi ... Bu Sapto tidur di situ?" ulang Raisa."Aku senang bisa melihat Mariyati lagi, Nak.""Mbok Yumna enggak takut?"Dia hanya mengg
Gadis itu mulai merasa ada yang salah dengan kamarnya. Dia merasa sedang tak sendiri saat ini. Seperti ada yang terus memperhatikan dirinya.Sontak Raisa menoleh ke arah meja rias. Dia mengarahkan pandangannya pada cermin. Sekilas Raisa bisa melihat sebuah bayangan yang bergerak. Berkelebat cepat dan kini seperti tengah mengamati diri Raisa."Bu-Bu Saptoooo ...!" desis Raisa.Dadanya berdebar-debar. Sama seperti pertama kali dia dihantui sosok ini."Kenapa Bu Sapto menghantui saya?" Suara Raisa terdengar bergetar."Cari jasad dia!""D-dia? Dia ... s-siapa?""Diaaaaa ...!" Suara Bu Sapto terdengar sangat nyaring di telinga Raisa. Sampai gadis itu menutup kedua telinganya dengan tangan. Sembari mulutnya yang terbuka lebar, seolah tak percaya dengan apa yang baru dia lihat dan dengar.Lalu, sosok itu menghilang begitu saja. Tanpa Raisa sadari Mbok Yumna sudah duduk di belakang dirinya. Tercium bau busuk seperti bangkai tikus. Memb
"Minumlah dulu kalian! Biar tenang."Perkataan lelaki itu membuat Raisa mengerutkan dahi."Apa Abah tahu yang menimpa perjalanan kita pulang?"Lelaki itu hanya terkekeh. Lalu dia mengangguk pelan."Kenapa mereka masih mengganggu kita lagi, Bah?""Minumlah dulu. Biar nanti saya cerita."Mereka pun akhirnya minum teh dan kopi yang sudah disediakan. Raisa berulang kali mengembuskan napasnya. Air teh yang diminum serasa mampu membuat tubuhnya yang tadi dingin."Habiskan! Biar kalian lebih tenang. Karena mobil kalian sedang membawa sesuatu yang enggak lombo." (Lombo = tidak wajar)Terutama Raisa dan Delon terperanjat saat mendengar perkataan Abah Harun."Enggak lombo?" ulang Raisa."Iya, Mbak. Kalian ikutlah kemari!"Mereka bertiga mengikuti langkah Abah Harun keluar rumah. Menuju mobil Delon yang ringsek bagian depan."Tolong buka bagian belakangnya Mas Delon!""Baik, Bah."Setelah membuka
"Perlu kita periksa lagi Mas Hamaz?""Udah ahhh, enggak usah! Perasaan aku enggak enak banget!" cetus Raisa melarang mereka turun lagi. "Kita jalan aja!"Pada akhirnya Hamaz dan Delon sepakat. Meneruskan perjalanan pulang yang penuh hambatan. Jalanan pun tampak lengang. Tak ada satu kendaraan yang terlihat. Hingga hidung Raisa terlihat bergerak-gerak. Seperti sedang mengendus sesuatu. Begitu juga Delon."Kalian bau enggak?" tanya Delon."Udah jalan aja Mas Hamaz!" pinta Raisa.Dalam waktu bersamaan. Tiba-tiba mesin mobil mati lagi."Loh, Mas Hamaz. Kok berhenti?" teriak Raisa."Enggak tau juga nih, Mbak.""Biar aku ganti yang nyetir. Mas capek mungkin," sahut Delon. Keduanya bertukar posisi. Delon pun mencoba untuk menyalakan mobil lagi. Lalu menggeleng mengarah pada Raisa dan Hamaz."Tetep enggak bisa nyala," sahut Delon kesal.Tampak dia mencoba untuk terus menyalakan mobil.
Tak lama dari kabar Pak Karjo. HP Raisa berdenting. Ada pesan masuk yang langsung dibaca Raisa."Tumben suami Bu Hariyani SMS ya, Mas?""Coba kamu baca, Sa!""Iya, bentar!"Seketika tangan Raisa bergetar hebat. Saat membaca pesan itu.{Assalamualaikum, Mbak Raisa. Kami kabarkan berita duka, bahwa adik kami yang bernama Sunandar telah meninggal dunia. Mohon dimaafkan bila Almarhum mempunyai kesalahan}Raisa hanya bisa terbelalak dan terperangah."Ja-jadi ...?"Ketiganya pun tak menyangka. Bila Sunandarlah yang selama ini telah membunuh Mariana. Dan telah dijadikan Naning sebagai penggantinya."Itulah sebabnya Mbok Yumna mendatanginya. Untuk memperingatkan. Dan dia juga pernah mendatangi gunung ini 'kan?" Raisa mulai mengingat kembali rangkaian cerita yang mereka dapatkan dari sang istri kala itu."Dan dia menjadi sakit. Karena menolak apa yang diperintahkan oleh Naning. Ada kemungkinan memang dia ingin mengak
"Jangan mengganggu! Kami hanya mengantarkan apa yang seharusnya pulang." Suara Hamaz sangat tegas. Terdengar suara tawa yang melengking. Kini, seperti berada di atas kepala mereka. Berputar-putar, membentuk sebuah bayangan kehitaman yang besar. Hamaz bergerak cepat. Dia menyiapkan butiran tasbih yanga masih berada dalam genggaman. "Ikuti langkah saya! Jangan emlihat ke mana-mana!" tegas Hamaz. Langkah Hamaz sedikit aneh. Dia berjalan berbelok-belok. Sesekali meloncat ke kiri dan ke kanan. "Kenapa harus meloncat-loncat dan berbelok-belok?" protes Raisa. Hingga gadis itu tak bisa mengendalikan tubuhnya hingga terjatuh. Bruuukkk! Tubuh Raisa berguling-guling ke bawah, melewati Delon yang terpaku melihatnya. "Aaaaaarghhh!" Saat Delon tersadar. Dia langsung melompat tinggi dan mulai mengejar Raisa. "Raisaaa!" teriak keduanya spontan. Hamaz dan Delon bergerak cepat, mengejar t
"Sekali lagi maafkan kami. Bagaimana dengan benda lain?"Belum sampai ada jawaban. Hamaz sudah mengeluarkan beberapa butiran tasbih yang berada di telapak tangannya. Lalu menunjukkan pada sosok ular itu."Pergilah kalian! Aku tidak ingin benda itu menyentuh sosokku!"Aroma lebus dan anyir semakin kuat melesak rongga hidung mereka bertiga."Bolehkah kami lewat, Nyai?""Baiklah. Pergilah kalian! Andai ini bulan kawin, aku ingin kamu menjadi suami aku, Kang!" ujar wanita siluman itu.Sosok sang ular, terus melihat arah Delon, yang terus menundukkan kepalanya."Jangan, Nyai. Dia sudah tak perjaka lagi. Milik seorang dedemit juga."Kemudian, terdengar suara tawa yang mendesis serta melengking."Baiklah, Kang. Aku lepaskan dia! Walau aku tau dari baunya, dia masih perjaka," ucap siluman ular dengan meliukkan tubuh. Dan akhirnya pergi menghilang."Terima kasih, Nyai!"Seketika Delon bergidik keras. Kedua matanya m
Suasana semakin bertambah gelap. Kanan kiri jalan kecil, yang mereka lewati, hanya pepohonan lebat. Untunglah penerangan tiga ponsel sangat membantu mereka. Napas ketiganya mulai terengah-engah, menyusuri jalan setapak. Yang sepertinya jarang dilewati. "Mas, berhenti sebentar. Kelihatannya dekat, tapi aku capek banget," ujar Raisa. Mereka pun ikut berhenti dan beristirahat sebenatr. Dalam tas yang dibawa Raisa, dia mengeluarkan sebotol teh yang ternyata yang masih hangat. "Apa itu, Sa?" "Tadi dikasih Bu RT. Ya aku bawa saja 'kan? Lagian perut aku lapar." Hamaz dan Delon mengikuti Raisa yang duduk di bebatuan. Dengan lahap ketiganya makan pisang goreng. Tak ada suara lain, keculai kunyahan mereka. Dan suara binatang malam yang mengiringi malam ini. "Yuk! Kita lanjut!" ajak Hamaz. "Jalan ini betul-betul enggak ada penerangan sama sekali," celetuk Delon. "HPku dah lobat nih." "Kayaknya dikit lagi kok Ma
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, menuju gunung K. Tampak Hamaz mengambil alih kemudi. Dia melihat Delon yang amsih sering meringis karena kesaitan. begitu juga dengan Raisa yang tampak kelelahan."Sebenarnya apa yang terjadi di dalam tadi?""Kita hampir mati dibunuh sosok makhluk itu, Mas.""Bagaimana ceritanya?""Tiba-tiba di hadapan kami itu banyak mayat yang bergelantungan. Tepat di atas kita Mas. Akhirnya kita ya lari ke kamar itu.""Kamar belakang?""Iya, Mas Hamaz.""Terus?"Raisa berhenti sebentar. Terkadang dia masih merasakan lehernya yang sakit."Sepertinya lukisan itu, gambar si sosok makhluk wanita iblis itu, Mas Hamaz.""Jadi dia yang menyuguhkan pesugihan pada Bapak Mariman?""Benar, Mas. Kalau penampakan saat normal, emang sangat cantik Mas. Tapi, sebenarnya wajah dia sangat mengerikan. Wajahnya hancur dan rusak. Baunya juga enggak enak lagi.""Menurut Raisa dan Mas Hamaz nih ya.
Secepat kilat. Abah Harun kembali menyerang, dengan menyambar tubuh Wilujeng dan melemparkannya hingga terpental sangat jauh. Seketika membuat raut wajah wanita itu berubah mengerikan.Bibir yang sobek dari ujung ke ujung, hingga di bawah telinga. Belum lagi aroma busuk yang menguar begitu kuat."Hei!"Sosok itu memutar lehernya hingga menghadap ke arah lelaki itu. Kesempatan baik, tak disia-siakan. Abah Harun langsung melempar tasbih yang tersisa dua di tangannya."Nih, ambil!"Dengan gerakan sangat cepat dan penuh keyakinan. Wilujeng langsung terbang meluncur ke arah Abah Harun. Dengan menyiapkan hantaman maut miliknya."Allahu Akbar!"Terdengar alunan ayat-ayat doa dari bibir Abah Harun yang masih berdiri tenang. Membuat raut wajah Wilujeng mulai memerah, bagai terbakar bara api. Tubuhnya semakin tertekan oleh cengkeraman sinar butiran tasbih yang berada dalam genggaman tangan lelaki itu.Tubuh Wilujeng perlahan mulai
"Kau tak akan bisa menang melawan aku, Manusia. Ini duniaku. Singgasanaku. Kau mau berbuat apa? Aku pastikan kau akan kalah!!!" seru Nyai Wilujeng dengan keras.Terlihat dari raut wajahnya yang selalu berubah-ubah. Dia sedang dalam keadaan murka.Kilatan cahaya seperti medan arus listrik, tergambar jelas diangkasa. Kian menyambar perbukitan yang ada di sekitar tempat ini."Petir itu akan terus berjalan mengejarmu lelaki tua? Dan, akan menuju arah sini!" ucap wanita itu, senang.Sekilas Abah Harun memeprhatikan gelegar dari petir yang menyambar. Sampai membuat terbakar beberapa titik. Saat Abah Harun berbalik, sosok wanita itu telah menghilang."Hemmm, aku harus mencarinya!"Lelaki paruh baya itu, langsung berlari walau tak mudah di tempat ini. Ilalang yang tingginya, seukuran manusia dewasa. Terasa bagai pagar yang menghalangi langkahnya berlari.Sejenak Abah Harun memejamkan kedua matanya. Dia mencoba untuk melesat sebaga