"Mariyati berarti Bu Sapto," ucap Raisa lirih. "Gimana bisa Mbok Yumna tau di luar ada Bu Sapto? Padahal jendela enggak kebuka sama sekali."
Perlahan Raisa duduk di sebelahnya.
"Mbok Yumna, tau dari mana kalau Bu Sapto ada di depan?"
"Dia tadi ke sini. Tidur di sebelahku." Lalu Mbok Yumna terkikik lucu. Membuat Raisa merinding seketika.
"Mbok Yumna jangan buat saya ngerasa seram begini deh."
"Dia sekarang gemuk. Pakai make upnya tebal. Lipstiknya merah. Alisnya kayak bulan sabit. Apa semasa hidupnya dia kayak begitu, Nak?"
"Kata orang-orang sih begitu, Mbok."
"Mungkin dengan make up begitu menyamarkan wajah mereka berdua. Terlihatnya sama."
Raisa kembali menatap wanita tua itu. Yang dalam setiap perkataannya selalu menimbulkan sebuah tanya baru. Dan pemikiran baru.
"Jadi ... Bu Sapto tidur di situ?" ulang Raisa.
"Aku senang bisa melihat Mariyati lagi, Nak."
"Mbok Yumna enggak takut?"
Dia hanya mengg
Gadis itu mulai merasa ada yang salah dengan kamarnya. Dia merasa sedang tak sendiri saat ini. Seperti ada yang terus memperhatikan dirinya.Sontak Raisa menoleh ke arah meja rias. Dia mengarahkan pandangannya pada cermin. Sekilas Raisa bisa melihat sebuah bayangan yang bergerak. Berkelebat cepat dan kini seperti tengah mengamati diri Raisa."Bu-Bu Saptoooo ...!" desis Raisa.Dadanya berdebar-debar. Sama seperti pertama kali dia dihantui sosok ini."Kenapa Bu Sapto menghantui saya?" Suara Raisa terdengar bergetar."Cari jasad dia!""D-dia? Dia ... s-siapa?""Diaaaaa ...!" Suara Bu Sapto terdengar sangat nyaring di telinga Raisa. Sampai gadis itu menutup kedua telinganya dengan tangan. Sembari mulutnya yang terbuka lebar, seolah tak percaya dengan apa yang baru dia lihat dan dengar.Lalu, sosok itu menghilang begitu saja. Tanpa Raisa sadari Mbok Yumna sudah duduk di belakang dirinya. Tercium bau busuk seperti bangkai tikus. Memb
Mas Delon! Mas Hamaz!"Namun suaranya seperti tidak keluar. Raisa kembali menggedor pintu kamar. Tetapi tidak satu pun yang bisa mendengar Raisa."Bapaaak! Momooooy!"Raisa terus berusaha menggedor pintu kamarnya. Namun tampak sia-sia. Saat ini sosok Mbok Yumna bergerak mengikuti Raisa. Dia mulai merangkak turun ke lantai. Sosok itu mendekati Raisa dengan terus merangkak. Membuat Raisa semakin ketakutan."Aaaarghhh! Bapaaak ... Momoooy!"Bersamaan dengan teriakan Raisa. Di kamar sebelah. Momoy terlihat gelisah dalam tidurnya."Mbak Raisa ... Mbaaaak!"Momoy terus mengigau memanggil nama kakaknya."Mbak Raisaaaa!"Sontak teriakan itu membuat Harso dan Momoy langsung terbangun bersamaan."Kamu kenapa Moy?"Bocah lelaki itu, tak menjawab pertanyaan sang bapak. Membuat Harso menjadi keheranan. Dia terus melihat ke arah Momoy yang kini tengtah membuka pintu."Kamu mau ke mana, Moy?"Gel
"Bu Sapto ... iya, aku ingat ada sosok Bu Sapto di cermin."Mereka terdiam saat Raisa bicara. Momoy tampak ketakutan langsung memeluk Harso kuat."Kata Bu Sapto, CARI JASAD DIA! Tapi, DIA di sini ini siapa?" lanjut Raisa. Pandangannya bergantian mengarah pada Delon, Harso dan Hamaz. "Apa mungkin Mas Hamaz tau?"Mereka masih terdiam, begitu juga Hamaz. Lalu, Raisa melirik pada sang adik yang terus memeluk Harso."Kamu kok bisa tau kalau Mbak lagi ada yang gangguin, Moy?""Aku denger suara Mbak Raisa.""Padahal, Mbak enggak bisa bersuara sama sekali lho Moy tadi."Bocah itu hanya manggut-manggut."Kalau menurut Mbak Raisa sendiri, DIA itu siapa?""Otakku masih blang, Mas.""Kenapa aku mikirnya si DIA ini Mariana?" sahut Delon. "Sampai sini, kita hanya menebak saja. Tapi, keberadaan dia ada di mana, enggak ada yang tau. Dan, satu hal lagi. Mbok Yumna bilang, kalau dia m
Di sepanjang perjalanan Raisa masih memikirkan tentang kecelakaan itu."Apa itu menjadi peringatan dan ancaman buat kita?""Maksud kamu apa, Sa?" sahut Delon."Ya, kalau kita tak mneghentikan sekarang apa yang tengah kita lakukan. Maka akan ada kecelakaan baru. Di luar permintaan dari sosok itu. Yang setahun minta tiga kali 'kan?"Tak ada yang bisa memebrikan komentar. Hamaz yang masih merasakan kepala yang cenut-cenut. Hanya terdiam. Sesekali meringis.Dalam waktu lima belas menit. Mobil Delon sudah berada di depan rumah Abah Harun. Bergegas mereka berempat turun. Tampak pagar sudah terbuka lebar. Sepertinya Abah Harun menunggu kedatangan mereka."Assalamualaikum!""Waalaikumsalam. Masuklah, Mas!"Mereka berempat langsung masuk. Lalu, lelaki itu memberi tanda agar Hamaz duduk di dekatnya. Hamas dan Delon langsung mencium tangan lelaki itu."Mas Hamaz, Abahnya siapa?"Setelah menjawab dan menceritakan sekelu
"Yang kedua, kalian cari wanita yang menjadi penyambung antara makhluk dan Bapak Mariman dulu. Kasihan ini orangnya antara hidup segan mati tak mau. Sangat kasihan. Setelah kalian dapatkan orang ini. Bawa ke rumah Bu Sapto. Dari dia nanti kalian bisa tau di mana keberadaan emas dua batang itu.""Setelahnya bagaimana, Abah?" tanya Hamaz."Kalian pasti sudah tau hal ini. Saya nanti akan bantu membersihkan rumah Bu Sapto. Ada beberapa benda yang harus dikuburkan dan di bakar. Saya akan bantu! Tunggu sebentar!" Lelaki itu pergi meninggalkan mereka.Raisa mencolek lengan Delon. "Berarti apa yang jadi rencana kita selama ini sudah benar.""Iya, Sa."Tak lama, suara langkah Abah Harun mendekat. Dia memberikan sebuah bungkusan pada Hamaz. "Saat kalian datang ke rumah itu. Mulai dari pertigaan jalan, halaman dan sekeliling rumah beri taburan garam itu! Mas Hamaz pasti sudah paham. Karena Mas Hamaz punya kemampuan untuk mengalahkan mereka. Ti
Seraya berlari kecil, Raisa menuju mobil Delon."Gimana?""Naik lurus aja, Mas. Nanti ada pertigaan, belok kanan. Jalannya agak sempit kata Bapaknya tadi.""Apa itu langsung desanya?""Bukan, Mas Delon. Sekitar tiga kilo, baru ada gapura masuk desa. Nanti disuruh tanya lagi.""Hemmm, lumayan jauh juga ya?" tanya Delon."Memang jauh, Nak. Aku dulu aja jalannya kayak lama buanget."Mobil mulai melaju perlahan. Hingga sampai di sebuah pertigaan. Delon pun mengambil arah kanan. Dipandu oleh Raisa."Kita masih lurus aja nih, Sa?""Iya, Mas. Cuman mereka tadi rada aneh, waktu aku tanya rumah Bu Naning.""Aneh gimana?" lanjut Delon."Mereka kayak enggak suka waktu aku sebut namanya. Katak ada yang disembunyikan.""Apa kamu enggak tanya, Sa?""Sudahlah, Mas. Tapi, mereka malah memalingkan mukanya itu dari Raisa. Anehlah pokoknya."Mbok Yumna memandang Raisa yang masih merasa heran.
Cukup lama mereka menunggu. Sampai akhirnya bocah cilik tadi datang dengan seorang wanita seumuran Delon. Kisaran 28 tahun. Tatap matanya penuh curiga pada mereka berempat. "Cari siapa ya Mas e ini?" "Kita cari Bapak Kamituwo, Mbak." "Bapak masih di sawah." "Boleh kami tunggu?" lanjut Hamaz santun. Tampak wanita itu ragu saat ingin menjawab. Dia terdiam seraya berpikir untuk menerima mereka. Melihat kegelisahan wanita itu, Raisa berjalan mendekat. "Kami cuman ingin bertanya sama Bapak kok Mbak. Bukan urusan yang serius kok," ujar Raisa yang bisa membaca kecemasan wanita itu. "T-tapi, tunggunya di luar saja ya?" "Enggak apa-apa kok Mbak. Kita tunggu di sini saja," sahut Raisa. Wanita itu meninggalkan mereka. Sesekali masih menoleh seolah tak percaya dengan ucapan Raisa. Bila mereka orang baik-baik. "Sepertinya dia takut," cetus Delon. "Mungkin pernah ada kejadian yang buat dia bersikap waspada seperti itu
"Tidak boleh membuang makanan yang dia berikan. Apa pun itu. Kami pun malah bersuka cita. Dan menganggap dia sangat baik. Ternyata kebaikan dia bukan baik yang sebenarnya, Mas, Mbak. Dia melakukan itu pada target tumbal yang dia mau.""Hooooo ... Jadi seperti cerita Mbok Yumna. Kalau ikan akan utuh masaknya. Ayam pun juga seperti itu?""Benar sekali, Mbak. Kematian mulai banyak terjadi, pada desa kami. Yang aneh, kematian ini hanya terjadi pada para perjaka dan perawan. Kami pun semakin curiga. Sampai akhirnya kami marah. Membakar semua sawah dan kebunnya. Sampai tanpa sisa. Kecuali rumah, yang dia huni sekarang.""Tanpa warga mencari tau dulu atau memang sudah tau, Pak?" tanya Delon."Walah kalau soal mencari tau, Mas. Warga itu sudah ke sana kemari tanya soal Naning ini. Dan, hampir semua jawabannya sama.""Lalu, apa yang terjadi sama Naning, Pak?"Lelaki itu mengembuskan napas panjang. Berulang-ulang."Saat itu, warga hampir saja m