Di sepanjang perjalanan Raisa masih memikirkan tentang kecelakaan itu.
"Apa itu menjadi peringatan dan ancaman buat kita?"
"Maksud kamu apa, Sa?" sahut Delon.
"Ya, kalau kita tak mneghentikan sekarang apa yang tengah kita lakukan. Maka akan ada kecelakaan baru. Di luar permintaan dari sosok itu. Yang setahun minta tiga kali 'kan?"
Tak ada yang bisa memebrikan komentar. Hamaz yang masih merasakan kepala yang cenut-cenut. Hanya terdiam. Sesekali meringis.
Dalam waktu lima belas menit. Mobil Delon sudah berada di depan rumah Abah Harun. Bergegas mereka berempat turun. Tampak pagar sudah terbuka lebar. Sepertinya Abah Harun menunggu kedatangan mereka.
"Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam. Masuklah, Mas!"
Mereka berempat langsung masuk. Lalu, lelaki itu memberi tanda agar Hamaz duduk di dekatnya. Hamas dan Delon langsung mencium tangan lelaki itu.
"Mas Hamaz, Abahnya siapa?"
Setelah menjawab dan menceritakan sekelu
"Yang kedua, kalian cari wanita yang menjadi penyambung antara makhluk dan Bapak Mariman dulu. Kasihan ini orangnya antara hidup segan mati tak mau. Sangat kasihan. Setelah kalian dapatkan orang ini. Bawa ke rumah Bu Sapto. Dari dia nanti kalian bisa tau di mana keberadaan emas dua batang itu.""Setelahnya bagaimana, Abah?" tanya Hamaz."Kalian pasti sudah tau hal ini. Saya nanti akan bantu membersihkan rumah Bu Sapto. Ada beberapa benda yang harus dikuburkan dan di bakar. Saya akan bantu! Tunggu sebentar!" Lelaki itu pergi meninggalkan mereka.Raisa mencolek lengan Delon. "Berarti apa yang jadi rencana kita selama ini sudah benar.""Iya, Sa."Tak lama, suara langkah Abah Harun mendekat. Dia memberikan sebuah bungkusan pada Hamaz. "Saat kalian datang ke rumah itu. Mulai dari pertigaan jalan, halaman dan sekeliling rumah beri taburan garam itu! Mas Hamaz pasti sudah paham. Karena Mas Hamaz punya kemampuan untuk mengalahkan mereka. Ti
Seraya berlari kecil, Raisa menuju mobil Delon."Gimana?""Naik lurus aja, Mas. Nanti ada pertigaan, belok kanan. Jalannya agak sempit kata Bapaknya tadi.""Apa itu langsung desanya?""Bukan, Mas Delon. Sekitar tiga kilo, baru ada gapura masuk desa. Nanti disuruh tanya lagi.""Hemmm, lumayan jauh juga ya?" tanya Delon."Memang jauh, Nak. Aku dulu aja jalannya kayak lama buanget."Mobil mulai melaju perlahan. Hingga sampai di sebuah pertigaan. Delon pun mengambil arah kanan. Dipandu oleh Raisa."Kita masih lurus aja nih, Sa?""Iya, Mas. Cuman mereka tadi rada aneh, waktu aku tanya rumah Bu Naning.""Aneh gimana?" lanjut Delon."Mereka kayak enggak suka waktu aku sebut namanya. Katak ada yang disembunyikan.""Apa kamu enggak tanya, Sa?""Sudahlah, Mas. Tapi, mereka malah memalingkan mukanya itu dari Raisa. Anehlah pokoknya."Mbok Yumna memandang Raisa yang masih merasa heran.
Cukup lama mereka menunggu. Sampai akhirnya bocah cilik tadi datang dengan seorang wanita seumuran Delon. Kisaran 28 tahun. Tatap matanya penuh curiga pada mereka berempat. "Cari siapa ya Mas e ini?" "Kita cari Bapak Kamituwo, Mbak." "Bapak masih di sawah." "Boleh kami tunggu?" lanjut Hamaz santun. Tampak wanita itu ragu saat ingin menjawab. Dia terdiam seraya berpikir untuk menerima mereka. Melihat kegelisahan wanita itu, Raisa berjalan mendekat. "Kami cuman ingin bertanya sama Bapak kok Mbak. Bukan urusan yang serius kok," ujar Raisa yang bisa membaca kecemasan wanita itu. "T-tapi, tunggunya di luar saja ya?" "Enggak apa-apa kok Mbak. Kita tunggu di sini saja," sahut Raisa. Wanita itu meninggalkan mereka. Sesekali masih menoleh seolah tak percaya dengan ucapan Raisa. Bila mereka orang baik-baik. "Sepertinya dia takut," cetus Delon. "Mungkin pernah ada kejadian yang buat dia bersikap waspada seperti itu
"Tidak boleh membuang makanan yang dia berikan. Apa pun itu. Kami pun malah bersuka cita. Dan menganggap dia sangat baik. Ternyata kebaikan dia bukan baik yang sebenarnya, Mas, Mbak. Dia melakukan itu pada target tumbal yang dia mau.""Hooooo ... Jadi seperti cerita Mbok Yumna. Kalau ikan akan utuh masaknya. Ayam pun juga seperti itu?""Benar sekali, Mbak. Kematian mulai banyak terjadi, pada desa kami. Yang aneh, kematian ini hanya terjadi pada para perjaka dan perawan. Kami pun semakin curiga. Sampai akhirnya kami marah. Membakar semua sawah dan kebunnya. Sampai tanpa sisa. Kecuali rumah, yang dia huni sekarang.""Tanpa warga mencari tau dulu atau memang sudah tau, Pak?" tanya Delon."Walah kalau soal mencari tau, Mas. Warga itu sudah ke sana kemari tanya soal Naning ini. Dan, hampir semua jawabannya sama.""Lalu, apa yang terjadi sama Naning, Pak?"Lelaki itu mengembuskan napas panjang. Berulang-ulang."Saat itu, warga hampir saja m
"Sepertinya dia dendam sama warga sini. Tapi si dia ini bukanlah Naning. Dia ini adalah makhluk itu, Mbak Raisa, Mas Delon. Sepertinya dia merasuki raga Bu Naning ini." "Jadi, kita enggak mungkin bisa membawa Bu Naning sama-sama," cetus Raisa. "Aku takutnya malah akan berbahaya. Iya 'kan?" Delon dan Hamaz, membenarkan apa yang dikatakan oleh gadis itu. Kemudian, Hamaz kembali bertanya pada Bapak Kamituwo lagi. "Bukannya dulu ada seorang gadis yang ikut sama dia Pak. Sekarang di mana gadis itu? Mungkin saja Bapak tau?" "Seorang gadis? Namanya kalau enggak salah Mariana. Dia dinikahkan paksa sama Bapaknya. Untuk gantiin saudara kembarnya. Cuman yang aneh lagi. Kadang-kadang, ada yang masih melihat gadis itu di lantai atas. Dari jendela dalam kamarnya." "Barusan apa dulu Pak?" "Barusan ini aja. Ya 'kan Nduk?" "Bener, Mbak, Mas. Tetangga yang rumahnya dekat sama rumah Bu Naning. Pernah melihat sampai beberapa kali. Dia berdir
"Aku masih ingat! Ini memang rumahnya. Dulu bagus, sekarang kayak enggak berpenghuni. Mana bekas terbakar gitu. Kalau hujan apa enggak masuk airnya, Nak?" tanya Mbok Yumna."Pastinya begitu, Mbok. Hampir separuh bangunan yang terbakar. Hahhhh ... bulu kudukku sampai merinding ini, Mas," resah Raisa."Ayo kita turun. Mumpung masih jam dua. Satu jam lagi Ashar 'kan?""Iya, Mas Hamaz," sahut Raisa."Ayo agak cepat aja!" ajak Delon mengikuti langkah Hamaz. Raisa pun menggandeng Mbok Yumna.Kini, Mereka berempat telah berdiri di depan rumah Naning. Lebih tepatnya di luar pagar. Rumah ini benar-benar terlihat angker, suram, dan seperti tak berpenghuni.Berulang kali Raisa menelan salivanya. Seketika dia merasakan tenggorokkan yang kering dan tercekat."Aku bisa merasakan aura yang hampir sama dengan rumah Bu Sapto," bisik Raisa."Iya, aku juga, Sa. Bahkan ini tuh kayak jauh lebih seram. Mungkin karena rumahnya yang sudah
"Kalau begitu dzikir yang banyak. Takbir, takhmid, berulang-ulang Mbak! Jangan lepas!" tandas Hamaz.Namun, Raisa tetap saja merasa khawatir. Pandangannya selalu mengarah ke lantai dua. Ada keinginan yang besar untuk segera naik ke atas sana. Tapi ....Delon yang melihat Raisa langsug menarik pergelangan tangan gadis itu."Ayo, ikut masuk!"Raisa hanya manggut-mangut."Ke lantai duanya, bareng-bareng saja," bisik Delon."Iya."Selepas dari pandangan pada bunga di pintu. Hamaz mulai memutar handle pintu pelan-pelan. Tak bisa dikatakan lagi bagaimana perasaan mereka saat ini. Dada yang terus berdebar-debar. Dengan tenggorokan yang seolah kering mencekat.Kriiiieeeet!Suara pintu yang berderit membuat rasa mencekam semakin menjadi-jadi. Tangan Raisa pun tak melepas pergelangan tangan Mbok Yumna sama sekali.Langkah kaki Hamaz mulai menapaki kamar pengantin yang mulai terbuka. Aroma lembab dan busuk langsung men
Raisa yang semula berada di luar kamar, penasaran dengan kondisi Naning. Dia pun akhirnya kembali masuk. Langkahnya bergerak mendekat menuju ranjang. Berdiri di tengah antara Hamaz dan Delon. "Sudah enggak pengen muntah?" tanya Delon, melirik ke arah Raisa. "M-masih, Mas." Seraya menutupkan ujung jilbab pada hidungnya. Menutup aroma yang tak bisa untuk dikatakan baunya. Dari jarak satu meter. Gadis itu bisa melihat sosok Naning yanga kedua matanya masih bisa mengerjap. Seolah ingin mengenali siapa mereka yang datang saat ini. Rahangnya terlihat sangat kaku dengan mulut yang terus terbuka. Memperlihatkan gigi yang menguning. Bibirnya pun terlihat sangat kering, sampai hampir mengelupas. Seluruh tubuh Naning bergetar parah. Namun wanita itu masih bisa merespon kedatangan mereka. Jemarinya seperti hendak dia angkat, tapi tak kuasa. Mulutnya pun seperti hendak bicara sesuatu pada mereka. Namun yang ada hanya erangan kesakitan. "Bagaimana i
"Minumlah dulu kalian! Biar tenang."Perkataan lelaki itu membuat Raisa mengerutkan dahi."Apa Abah tahu yang menimpa perjalanan kita pulang?"Lelaki itu hanya terkekeh. Lalu dia mengangguk pelan."Kenapa mereka masih mengganggu kita lagi, Bah?""Minumlah dulu. Biar nanti saya cerita."Mereka pun akhirnya minum teh dan kopi yang sudah disediakan. Raisa berulang kali mengembuskan napasnya. Air teh yang diminum serasa mampu membuat tubuhnya yang tadi dingin."Habiskan! Biar kalian lebih tenang. Karena mobil kalian sedang membawa sesuatu yang enggak lombo." (Lombo = tidak wajar)Terutama Raisa dan Delon terperanjat saat mendengar perkataan Abah Harun."Enggak lombo?" ulang Raisa."Iya, Mbak. Kalian ikutlah kemari!"Mereka bertiga mengikuti langkah Abah Harun keluar rumah. Menuju mobil Delon yang ringsek bagian depan."Tolong buka bagian belakangnya Mas Delon!""Baik, Bah."Setelah membuka
"Perlu kita periksa lagi Mas Hamaz?""Udah ahhh, enggak usah! Perasaan aku enggak enak banget!" cetus Raisa melarang mereka turun lagi. "Kita jalan aja!"Pada akhirnya Hamaz dan Delon sepakat. Meneruskan perjalanan pulang yang penuh hambatan. Jalanan pun tampak lengang. Tak ada satu kendaraan yang terlihat. Hingga hidung Raisa terlihat bergerak-gerak. Seperti sedang mengendus sesuatu. Begitu juga Delon."Kalian bau enggak?" tanya Delon."Udah jalan aja Mas Hamaz!" pinta Raisa.Dalam waktu bersamaan. Tiba-tiba mesin mobil mati lagi."Loh, Mas Hamaz. Kok berhenti?" teriak Raisa."Enggak tau juga nih, Mbak.""Biar aku ganti yang nyetir. Mas capek mungkin," sahut Delon. Keduanya bertukar posisi. Delon pun mencoba untuk menyalakan mobil lagi. Lalu menggeleng mengarah pada Raisa dan Hamaz."Tetep enggak bisa nyala," sahut Delon kesal.Tampak dia mencoba untuk terus menyalakan mobil.
Tak lama dari kabar Pak Karjo. HP Raisa berdenting. Ada pesan masuk yang langsung dibaca Raisa."Tumben suami Bu Hariyani SMS ya, Mas?""Coba kamu baca, Sa!""Iya, bentar!"Seketika tangan Raisa bergetar hebat. Saat membaca pesan itu.{Assalamualaikum, Mbak Raisa. Kami kabarkan berita duka, bahwa adik kami yang bernama Sunandar telah meninggal dunia. Mohon dimaafkan bila Almarhum mempunyai kesalahan}Raisa hanya bisa terbelalak dan terperangah."Ja-jadi ...?"Ketiganya pun tak menyangka. Bila Sunandarlah yang selama ini telah membunuh Mariana. Dan telah dijadikan Naning sebagai penggantinya."Itulah sebabnya Mbok Yumna mendatanginya. Untuk memperingatkan. Dan dia juga pernah mendatangi gunung ini 'kan?" Raisa mulai mengingat kembali rangkaian cerita yang mereka dapatkan dari sang istri kala itu."Dan dia menjadi sakit. Karena menolak apa yang diperintahkan oleh Naning. Ada kemungkinan memang dia ingin mengak
"Jangan mengganggu! Kami hanya mengantarkan apa yang seharusnya pulang." Suara Hamaz sangat tegas. Terdengar suara tawa yang melengking. Kini, seperti berada di atas kepala mereka. Berputar-putar, membentuk sebuah bayangan kehitaman yang besar. Hamaz bergerak cepat. Dia menyiapkan butiran tasbih yanga masih berada dalam genggaman. "Ikuti langkah saya! Jangan emlihat ke mana-mana!" tegas Hamaz. Langkah Hamaz sedikit aneh. Dia berjalan berbelok-belok. Sesekali meloncat ke kiri dan ke kanan. "Kenapa harus meloncat-loncat dan berbelok-belok?" protes Raisa. Hingga gadis itu tak bisa mengendalikan tubuhnya hingga terjatuh. Bruuukkk! Tubuh Raisa berguling-guling ke bawah, melewati Delon yang terpaku melihatnya. "Aaaaaarghhh!" Saat Delon tersadar. Dia langsung melompat tinggi dan mulai mengejar Raisa. "Raisaaa!" teriak keduanya spontan. Hamaz dan Delon bergerak cepat, mengejar t
"Sekali lagi maafkan kami. Bagaimana dengan benda lain?"Belum sampai ada jawaban. Hamaz sudah mengeluarkan beberapa butiran tasbih yang berada di telapak tangannya. Lalu menunjukkan pada sosok ular itu."Pergilah kalian! Aku tidak ingin benda itu menyentuh sosokku!"Aroma lebus dan anyir semakin kuat melesak rongga hidung mereka bertiga."Bolehkah kami lewat, Nyai?""Baiklah. Pergilah kalian! Andai ini bulan kawin, aku ingin kamu menjadi suami aku, Kang!" ujar wanita siluman itu.Sosok sang ular, terus melihat arah Delon, yang terus menundukkan kepalanya."Jangan, Nyai. Dia sudah tak perjaka lagi. Milik seorang dedemit juga."Kemudian, terdengar suara tawa yang mendesis serta melengking."Baiklah, Kang. Aku lepaskan dia! Walau aku tau dari baunya, dia masih perjaka," ucap siluman ular dengan meliukkan tubuh. Dan akhirnya pergi menghilang."Terima kasih, Nyai!"Seketika Delon bergidik keras. Kedua matanya m
Suasana semakin bertambah gelap. Kanan kiri jalan kecil, yang mereka lewati, hanya pepohonan lebat. Untunglah penerangan tiga ponsel sangat membantu mereka. Napas ketiganya mulai terengah-engah, menyusuri jalan setapak. Yang sepertinya jarang dilewati. "Mas, berhenti sebentar. Kelihatannya dekat, tapi aku capek banget," ujar Raisa. Mereka pun ikut berhenti dan beristirahat sebenatr. Dalam tas yang dibawa Raisa, dia mengeluarkan sebotol teh yang ternyata yang masih hangat. "Apa itu, Sa?" "Tadi dikasih Bu RT. Ya aku bawa saja 'kan? Lagian perut aku lapar." Hamaz dan Delon mengikuti Raisa yang duduk di bebatuan. Dengan lahap ketiganya makan pisang goreng. Tak ada suara lain, keculai kunyahan mereka. Dan suara binatang malam yang mengiringi malam ini. "Yuk! Kita lanjut!" ajak Hamaz. "Jalan ini betul-betul enggak ada penerangan sama sekali," celetuk Delon. "HPku dah lobat nih." "Kayaknya dikit lagi kok Ma
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, menuju gunung K. Tampak Hamaz mengambil alih kemudi. Dia melihat Delon yang amsih sering meringis karena kesaitan. begitu juga dengan Raisa yang tampak kelelahan."Sebenarnya apa yang terjadi di dalam tadi?""Kita hampir mati dibunuh sosok makhluk itu, Mas.""Bagaimana ceritanya?""Tiba-tiba di hadapan kami itu banyak mayat yang bergelantungan. Tepat di atas kita Mas. Akhirnya kita ya lari ke kamar itu.""Kamar belakang?""Iya, Mas Hamaz.""Terus?"Raisa berhenti sebentar. Terkadang dia masih merasakan lehernya yang sakit."Sepertinya lukisan itu, gambar si sosok makhluk wanita iblis itu, Mas Hamaz.""Jadi dia yang menyuguhkan pesugihan pada Bapak Mariman?""Benar, Mas. Kalau penampakan saat normal, emang sangat cantik Mas. Tapi, sebenarnya wajah dia sangat mengerikan. Wajahnya hancur dan rusak. Baunya juga enggak enak lagi.""Menurut Raisa dan Mas Hamaz nih ya.
Secepat kilat. Abah Harun kembali menyerang, dengan menyambar tubuh Wilujeng dan melemparkannya hingga terpental sangat jauh. Seketika membuat raut wajah wanita itu berubah mengerikan.Bibir yang sobek dari ujung ke ujung, hingga di bawah telinga. Belum lagi aroma busuk yang menguar begitu kuat."Hei!"Sosok itu memutar lehernya hingga menghadap ke arah lelaki itu. Kesempatan baik, tak disia-siakan. Abah Harun langsung melempar tasbih yang tersisa dua di tangannya."Nih, ambil!"Dengan gerakan sangat cepat dan penuh keyakinan. Wilujeng langsung terbang meluncur ke arah Abah Harun. Dengan menyiapkan hantaman maut miliknya."Allahu Akbar!"Terdengar alunan ayat-ayat doa dari bibir Abah Harun yang masih berdiri tenang. Membuat raut wajah Wilujeng mulai memerah, bagai terbakar bara api. Tubuhnya semakin tertekan oleh cengkeraman sinar butiran tasbih yang berada dalam genggaman tangan lelaki itu.Tubuh Wilujeng perlahan mulai
"Kau tak akan bisa menang melawan aku, Manusia. Ini duniaku. Singgasanaku. Kau mau berbuat apa? Aku pastikan kau akan kalah!!!" seru Nyai Wilujeng dengan keras.Terlihat dari raut wajahnya yang selalu berubah-ubah. Dia sedang dalam keadaan murka.Kilatan cahaya seperti medan arus listrik, tergambar jelas diangkasa. Kian menyambar perbukitan yang ada di sekitar tempat ini."Petir itu akan terus berjalan mengejarmu lelaki tua? Dan, akan menuju arah sini!" ucap wanita itu, senang.Sekilas Abah Harun memeprhatikan gelegar dari petir yang menyambar. Sampai membuat terbakar beberapa titik. Saat Abah Harun berbalik, sosok wanita itu telah menghilang."Hemmm, aku harus mencarinya!"Lelaki paruh baya itu, langsung berlari walau tak mudah di tempat ini. Ilalang yang tingginya, seukuran manusia dewasa. Terasa bagai pagar yang menghalangi langkahnya berlari.Sejenak Abah Harun memejamkan kedua matanya. Dia mencoba untuk melesat sebaga