"Berisi potongan tubuh korban kecelakaan. Yang selalu terjadi di depan rumah Bu Sapto."
Seketika Hamaz terdiam. Semakin membuat tanya pada Delon dan Raisa. Yang terus memandang ke arahnya.
"Rumah itu pasti menympan banyak tragedi hitam di dalamnya. Pasti aura hitam tergambar di rumah itu."
"Apa nanti Mas Hamaz juga akan melihat ke sana?" tanya Raisa penuh harap.
"Ada kemungkinan itu, Mbak. Kalau seperti yang Mbak Raisa bilang. Kalau rumah itu memang satu tempat yang sama. Aku harus ke sana. Tapi, setelah kita selesaikan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi."
"Tapi, aku takut Mas Hamaz."
"Takut kenapa Mbak Raisa?"
Sejenak dia terdiam. Tak langsung menjawab pertanyaan Hamaz. Yang tampak penasaran sama halnya dengan Delon.
"Iya, Sa. Kamu takut ini, soal apa?" Delon mengulang dengan pertanyaan yang sama.
"Tentang Bu Marto, Mas. Aku mendengar cerita dari Mbak Dian itu terus buat kepikiran. Biasanya seseorang yang selalu d
"T-tumbal, Bu?" "Iya, secara tak langsung kita membunuh orang-orang itu, Mariyati." "Mariyati takut, Bu! Gimana caranya agar tanda ini hilang, Bu?" Marsinah menarik pergelangan tangan anaknya. Untuk mendekat. Lalu dia berbisik, "Kau juga harus pergi meninggalkan rumah ini! Ikuti Mariana bersama Naning." "Bulek Naning?" "Iya. Kamu--" Suara Marsinah bagai tercekat, saat hendak melanjutkan kalimatnya. Dia melihat bayangan Mariman yang sudah berdiri di belakang Mariyati. "Apa yang kau bisikkan pada Mariyati, Mar?" "Aku enggak bilang apa-apa. Tanya aja sama anaknya!" Sontak Mariman menarik pundak Mariyati. Gadis itu tertunduk. Dia terlihat ketakutan dengan sang bapak. Kedua bola mata Mariman melotot ke arahnya. Semakin membuat Mariyati ketakutan. Sampai gadis itu mundur beberapa langkah. Tubuhnya membentur dinding kamar. Melihat hal ini, tubuh lemah Marsinah terbangun dari pembaringannya. "Jangan kau
Memberitahukan aib keluarga sangat pantang bagi Mariman. Apalagi itu pada anak mereka sendiri. Lalu dia berjalan mendekat, lantas berbisik, "Jangan pernah kau ulangi ini lagi, Mar. Atau kau yang akan mati!" Ancaman sang bapak. Membuat gadis itu memeluk tubuh Marsinah. Yang terkulai lemas. Keributan yang terjadi membuat pelayan mereka terbangun. Dia langsung menghampiri tubuh Marsinah yang lemah. Raut wajah pelayan itu terlihat sangat tegang. Saat melihat Mariyati yang terus terisak. Dan juga melihat Marsinah yang tubuhnya semakin parah. "Bawa dia ke kamarnya sekarang juga, Yum!" Suara Mariman terdengar garang. "Ba-baik, Pak." Setelah kejadian itu. Mariman pun pergi meninggalkan rumah. Dengan langkah yang tergesa-gesa. Saat ini, mereka yang berada tepat di depan kamar belakang. Seketika semua menjadi hening dan sunyi. Keduanya hanya diam, tanpa tahu harus berkata apa? "Tolong bawa aku ke sumur, Yum." Suara Marsinah benar-benar h
"Jangan! Mbak tetap lah di sini!"Dia terus menahan lengan dan tubuh Yumna. Agar tetap menemaninya di kamar."Jangan pergi, Mbak!""Iya, Mariyati. Aku tetap temani kamu."Bersamaan dengan itu. Suara gaduh yang berasal dari arah belakang, semakin nyaring terdengar. Namun dari dalam kamar Marsinah. Wanita itu tampak sangat khusyuk. Tak mengindahkan apa pun yang terjadi.Suaranya pun lamat-lamat terdengar. Bacaan doa sholat kian mengalun syahdu dari bibirnya. Isak tangis tak bisa dia bendung lagi."Allahu Akbar!" Terdengar kembali takbir di rakaat ketiga.Entah kenapa? Tiba-tiba tubuh Marsinah seperti terangkat perlahan. Yumna yang terus memperhatikannya bagai tersentak. Segera dia menarik lengan Mariyati untuk mengikuti dia.Pandangan mereka terhenyak. Manakala Yumna dan Mariyati bisa melihat sosok bayangan hitam yang berada tak jauh dari Marsinah. Sepertinya sosok wanita yang mereka lihat tak menyukai jika Marsinah melakukan sho
"Aaaarghhh!" Terdengar Marsinah yang terus mengerang. Yumna yang melihat segelas air putih. Langsung menyambarnya. Dia memberikan air putih itu pada Marsinah untuk segera di minum. "Minumlah, Bu!" Tangannya bergerak meraih gelas yang diberikan oleh Yumna. Saat bibir gelas hendak menyentuh bibir Marsinah. Tiba-tiba .... Pyaaarrrr! Gelas kaca yang dia pegang, meletup. Dan pecah berkeping-keping. Mariyati, Yumna dan Marsinah berteriak keras. Pecahan kaca menembus di bibir bawah, dagu, dan pipi Marsinah. Tak ayal lagi. Darah segar menetes deras dari pecahan kaca yang menembus wajahnya. "Ibuuuu ... ibu, kenapa bisa kayak gini?" Tangis Mariyati terdengar meraung-raung. Tak berhenti samapi di situ. Sosok bayangan hitam, yang berupa kain. Kini sudah berada di lantai. Tepat berada di hadapan mereka. Hanya berjarak empat meter. Lalu sehelai kain hitam itu seperti berdiri tegak. Dengan bagian bawah terseret dilantai saat bergerak. Hanya d
"Sholat kau bilang aneh?" sentak Marsinah. "Iya!" Matanya membulat lebar memandang sosok Mariman dari arah belakang. Ingin rasa hatinya membunuh sosok wanita iblis itu, agar sang suami kembali kepadanya. Seperti dulu lagi. Walau pun keadaan serba kekurangan. "Kau pun sudah jadi iblis, Pak!" seru Marsinah geram. Kedua tangannya mengepal erat. Seraya terus digosokkan di atas paha. Tampak Marsinah menahan kemarahan yang kian terpendam dalam dada. "Diam, Mar! Berjuta kali aku bilang diam! Jangan pernah lagi melawan aku, atau kau--" "Lanjutkan Pak, kalimat kamu itu! Atau apa?" teriak Marsinah. Mariman berusaha mengendalikan amarah yang kian membuncah. Raut wajahnya terlihat tegang, dengan rahang yang mengeras. Sesekali bibir bagian bawah dia gigit. Hingga berdarah. Mariyati yang melihat gelagat sang bapak. Terus mengarahkan pandangan kepada lelaki paruh baya itu. Lalu melihat ke arah sang Ibu. Yang menyandarkan tubuhnya di jok
"Sepertinya ini tinggal lembar-lembar terakhir. Mungkin ini lembaran yang dia tulis pada akhir hayatnya," ucap Hamaz. "Ohhh!" Seketika Raisa dan Delon berucap bersamaan. "Aku bacakan tulisan Bu Marsinah Ya?" "Iya, Mas Hamaz. Dilanjut aja, tinggal sedikit lagi," cetus Raisa. Hamaz manggut-manggut. * "Sudah tiga hari sejak dari rumah sakit aku tak pernah melihat Mas Mariman. Entah dia ada di mana? Dan sudah tiga hari ini juga aku selalu bermimpi buruk. Mimpi yang aku gambarkan sejak dari awal. Seperti di lembar pertama itu. Entah kenapa, aku ingin menggambarnya." _Marsinah_ Tatap matanya semakin redup dan sayu. Dia masih bisa melihat Mariyati dan Yumna yang duduk di dekat dirinya. "Bapak kamu ke mana?" Mariyati hanya menggeleng. "Bapak sudah tiga hari ini enggak pulang, Bu. Entah ke mana?" "Dadaku sering sesak. Sampai kadang aku sulit buat bernapas, Mariyati. Sepertinya umur Ibu sudah tak
Hamaz menutup buku lusuh itu. Hingga membuat pandangan Raisa dan Delon bertanya-tanya. Lalu Delon menunjuk buku itu."Apa sudah selesai Mas Hamaz?""Sudah tak ada lagi tulisan di lembar terakhir ini Mas Delon. Sepertinya sejak malam itu, terjadi peristiwa yang mengenaskan. Jadi Bu Marsinah enggak bisa menulis lagi di buku ini.""Maksud Mas Hamaz?" lanjut Raisa."Ada kemungkinan dia tewas di bunuh atau memang sengaja dijadikan tumbal oleh suaminya sendiri.""Haaahhh, kejam sekali," desis Raisa."Karena dalam tulisannya, dia bilang selalu mimpi seolah akan dibunuh sama suaminya 'kan?""Benar kayaknya Mas Hamaz. Lalu setelah ini kita ke mana Mas?" tanya Delon."Kalau pun kita ke gunung K, akan percuma juga. KIta tak akan mudah menemukan dengan siapa Mariman mengabdikan dirinya. Karena di gunung itu, berbagai macam jenis makhluk lelembut ada di sana. Malah kita bisa tertipu dan ditipu oleh mereka.""Lalu, M
Raisa manggut-manggut."Rumah dia? Maksudnya DIA siapa ini Mas Hamaz?""Kemungkinan cuman satu. Yaitu rumah Bu Sapto!""Lantas wanita tua tadi siapa?" Raisa masih mengejar dengan banyak pertanyaan.Hamaz kembali memutar tubuhnya mengarah depan."Saya juga enggak tau. Bisa saja memang seseorang yang bisa melihat dan mengerti apa yang nanti akan dihadapi oleh Mbak Raisa."Setidaknya jawaban Hamaz membuat Raisa sedikit lega. Hanya berjarak dua kilometer dari tempat pemberhentian mereka. Rumah Pak Karyono sudah terlihat."Kalau hari biasa pasti orangnya enggak di rumah, Mas Hamaz. Karena ini minggu, semoga dia ada," lanjut Delon.Mobil pun berhenti tepat di luar pahalaman rumah itu. Yang terlihat sunyi dan sepi. Tak ada seseorang yang tampak. Baik tetangga kanan kiri. Hanya saja pintu rumah terbuka lebar."Sepertinya, dia ada di rumah, Mas Hamaz," cetus Delon."Kita turun aja!" ajak Hamaz sembari memb
"Minumlah dulu kalian! Biar tenang."Perkataan lelaki itu membuat Raisa mengerutkan dahi."Apa Abah tahu yang menimpa perjalanan kita pulang?"Lelaki itu hanya terkekeh. Lalu dia mengangguk pelan."Kenapa mereka masih mengganggu kita lagi, Bah?""Minumlah dulu. Biar nanti saya cerita."Mereka pun akhirnya minum teh dan kopi yang sudah disediakan. Raisa berulang kali mengembuskan napasnya. Air teh yang diminum serasa mampu membuat tubuhnya yang tadi dingin."Habiskan! Biar kalian lebih tenang. Karena mobil kalian sedang membawa sesuatu yang enggak lombo." (Lombo = tidak wajar)Terutama Raisa dan Delon terperanjat saat mendengar perkataan Abah Harun."Enggak lombo?" ulang Raisa."Iya, Mbak. Kalian ikutlah kemari!"Mereka bertiga mengikuti langkah Abah Harun keluar rumah. Menuju mobil Delon yang ringsek bagian depan."Tolong buka bagian belakangnya Mas Delon!""Baik, Bah."Setelah membuka
"Perlu kita periksa lagi Mas Hamaz?""Udah ahhh, enggak usah! Perasaan aku enggak enak banget!" cetus Raisa melarang mereka turun lagi. "Kita jalan aja!"Pada akhirnya Hamaz dan Delon sepakat. Meneruskan perjalanan pulang yang penuh hambatan. Jalanan pun tampak lengang. Tak ada satu kendaraan yang terlihat. Hingga hidung Raisa terlihat bergerak-gerak. Seperti sedang mengendus sesuatu. Begitu juga Delon."Kalian bau enggak?" tanya Delon."Udah jalan aja Mas Hamaz!" pinta Raisa.Dalam waktu bersamaan. Tiba-tiba mesin mobil mati lagi."Loh, Mas Hamaz. Kok berhenti?" teriak Raisa."Enggak tau juga nih, Mbak.""Biar aku ganti yang nyetir. Mas capek mungkin," sahut Delon. Keduanya bertukar posisi. Delon pun mencoba untuk menyalakan mobil lagi. Lalu menggeleng mengarah pada Raisa dan Hamaz."Tetep enggak bisa nyala," sahut Delon kesal.Tampak dia mencoba untuk terus menyalakan mobil.
Tak lama dari kabar Pak Karjo. HP Raisa berdenting. Ada pesan masuk yang langsung dibaca Raisa."Tumben suami Bu Hariyani SMS ya, Mas?""Coba kamu baca, Sa!""Iya, bentar!"Seketika tangan Raisa bergetar hebat. Saat membaca pesan itu.{Assalamualaikum, Mbak Raisa. Kami kabarkan berita duka, bahwa adik kami yang bernama Sunandar telah meninggal dunia. Mohon dimaafkan bila Almarhum mempunyai kesalahan}Raisa hanya bisa terbelalak dan terperangah."Ja-jadi ...?"Ketiganya pun tak menyangka. Bila Sunandarlah yang selama ini telah membunuh Mariana. Dan telah dijadikan Naning sebagai penggantinya."Itulah sebabnya Mbok Yumna mendatanginya. Untuk memperingatkan. Dan dia juga pernah mendatangi gunung ini 'kan?" Raisa mulai mengingat kembali rangkaian cerita yang mereka dapatkan dari sang istri kala itu."Dan dia menjadi sakit. Karena menolak apa yang diperintahkan oleh Naning. Ada kemungkinan memang dia ingin mengak
"Jangan mengganggu! Kami hanya mengantarkan apa yang seharusnya pulang." Suara Hamaz sangat tegas. Terdengar suara tawa yang melengking. Kini, seperti berada di atas kepala mereka. Berputar-putar, membentuk sebuah bayangan kehitaman yang besar. Hamaz bergerak cepat. Dia menyiapkan butiran tasbih yanga masih berada dalam genggaman. "Ikuti langkah saya! Jangan emlihat ke mana-mana!" tegas Hamaz. Langkah Hamaz sedikit aneh. Dia berjalan berbelok-belok. Sesekali meloncat ke kiri dan ke kanan. "Kenapa harus meloncat-loncat dan berbelok-belok?" protes Raisa. Hingga gadis itu tak bisa mengendalikan tubuhnya hingga terjatuh. Bruuukkk! Tubuh Raisa berguling-guling ke bawah, melewati Delon yang terpaku melihatnya. "Aaaaaarghhh!" Saat Delon tersadar. Dia langsung melompat tinggi dan mulai mengejar Raisa. "Raisaaa!" teriak keduanya spontan. Hamaz dan Delon bergerak cepat, mengejar t
"Sekali lagi maafkan kami. Bagaimana dengan benda lain?"Belum sampai ada jawaban. Hamaz sudah mengeluarkan beberapa butiran tasbih yang berada di telapak tangannya. Lalu menunjukkan pada sosok ular itu."Pergilah kalian! Aku tidak ingin benda itu menyentuh sosokku!"Aroma lebus dan anyir semakin kuat melesak rongga hidung mereka bertiga."Bolehkah kami lewat, Nyai?""Baiklah. Pergilah kalian! Andai ini bulan kawin, aku ingin kamu menjadi suami aku, Kang!" ujar wanita siluman itu.Sosok sang ular, terus melihat arah Delon, yang terus menundukkan kepalanya."Jangan, Nyai. Dia sudah tak perjaka lagi. Milik seorang dedemit juga."Kemudian, terdengar suara tawa yang mendesis serta melengking."Baiklah, Kang. Aku lepaskan dia! Walau aku tau dari baunya, dia masih perjaka," ucap siluman ular dengan meliukkan tubuh. Dan akhirnya pergi menghilang."Terima kasih, Nyai!"Seketika Delon bergidik keras. Kedua matanya m
Suasana semakin bertambah gelap. Kanan kiri jalan kecil, yang mereka lewati, hanya pepohonan lebat. Untunglah penerangan tiga ponsel sangat membantu mereka. Napas ketiganya mulai terengah-engah, menyusuri jalan setapak. Yang sepertinya jarang dilewati. "Mas, berhenti sebentar. Kelihatannya dekat, tapi aku capek banget," ujar Raisa. Mereka pun ikut berhenti dan beristirahat sebenatr. Dalam tas yang dibawa Raisa, dia mengeluarkan sebotol teh yang ternyata yang masih hangat. "Apa itu, Sa?" "Tadi dikasih Bu RT. Ya aku bawa saja 'kan? Lagian perut aku lapar." Hamaz dan Delon mengikuti Raisa yang duduk di bebatuan. Dengan lahap ketiganya makan pisang goreng. Tak ada suara lain, keculai kunyahan mereka. Dan suara binatang malam yang mengiringi malam ini. "Yuk! Kita lanjut!" ajak Hamaz. "Jalan ini betul-betul enggak ada penerangan sama sekali," celetuk Delon. "HPku dah lobat nih." "Kayaknya dikit lagi kok Ma
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, menuju gunung K. Tampak Hamaz mengambil alih kemudi. Dia melihat Delon yang amsih sering meringis karena kesaitan. begitu juga dengan Raisa yang tampak kelelahan."Sebenarnya apa yang terjadi di dalam tadi?""Kita hampir mati dibunuh sosok makhluk itu, Mas.""Bagaimana ceritanya?""Tiba-tiba di hadapan kami itu banyak mayat yang bergelantungan. Tepat di atas kita Mas. Akhirnya kita ya lari ke kamar itu.""Kamar belakang?""Iya, Mas Hamaz.""Terus?"Raisa berhenti sebentar. Terkadang dia masih merasakan lehernya yang sakit."Sepertinya lukisan itu, gambar si sosok makhluk wanita iblis itu, Mas Hamaz.""Jadi dia yang menyuguhkan pesugihan pada Bapak Mariman?""Benar, Mas. Kalau penampakan saat normal, emang sangat cantik Mas. Tapi, sebenarnya wajah dia sangat mengerikan. Wajahnya hancur dan rusak. Baunya juga enggak enak lagi.""Menurut Raisa dan Mas Hamaz nih ya.
Secepat kilat. Abah Harun kembali menyerang, dengan menyambar tubuh Wilujeng dan melemparkannya hingga terpental sangat jauh. Seketika membuat raut wajah wanita itu berubah mengerikan.Bibir yang sobek dari ujung ke ujung, hingga di bawah telinga. Belum lagi aroma busuk yang menguar begitu kuat."Hei!"Sosok itu memutar lehernya hingga menghadap ke arah lelaki itu. Kesempatan baik, tak disia-siakan. Abah Harun langsung melempar tasbih yang tersisa dua di tangannya."Nih, ambil!"Dengan gerakan sangat cepat dan penuh keyakinan. Wilujeng langsung terbang meluncur ke arah Abah Harun. Dengan menyiapkan hantaman maut miliknya."Allahu Akbar!"Terdengar alunan ayat-ayat doa dari bibir Abah Harun yang masih berdiri tenang. Membuat raut wajah Wilujeng mulai memerah, bagai terbakar bara api. Tubuhnya semakin tertekan oleh cengkeraman sinar butiran tasbih yang berada dalam genggaman tangan lelaki itu.Tubuh Wilujeng perlahan mulai
"Kau tak akan bisa menang melawan aku, Manusia. Ini duniaku. Singgasanaku. Kau mau berbuat apa? Aku pastikan kau akan kalah!!!" seru Nyai Wilujeng dengan keras.Terlihat dari raut wajahnya yang selalu berubah-ubah. Dia sedang dalam keadaan murka.Kilatan cahaya seperti medan arus listrik, tergambar jelas diangkasa. Kian menyambar perbukitan yang ada di sekitar tempat ini."Petir itu akan terus berjalan mengejarmu lelaki tua? Dan, akan menuju arah sini!" ucap wanita itu, senang.Sekilas Abah Harun memeprhatikan gelegar dari petir yang menyambar. Sampai membuat terbakar beberapa titik. Saat Abah Harun berbalik, sosok wanita itu telah menghilang."Hemmm, aku harus mencarinya!"Lelaki paruh baya itu, langsung berlari walau tak mudah di tempat ini. Ilalang yang tingginya, seukuran manusia dewasa. Terasa bagai pagar yang menghalangi langkahnya berlari.Sejenak Abah Harun memejamkan kedua matanya. Dia mencoba untuk melesat sebaga