"Jangan! Mbak tetap lah di sini!"
Dia terus menahan lengan dan tubuh Yumna. Agar tetap menemaninya di kamar.
"Jangan pergi, Mbak!"
"Iya, Mariyati. Aku tetap temani kamu."
Bersamaan dengan itu. Suara gaduh yang berasal dari arah belakang, semakin nyaring terdengar. Namun dari dalam kamar Marsinah. Wanita itu tampak sangat khusyuk. Tak mengindahkan apa pun yang terjadi.
Suaranya pun lamat-lamat terdengar. Bacaan doa sholat kian mengalun syahdu dari bibirnya. Isak tangis tak bisa dia bendung lagi.
"Allahu Akbar!" Terdengar kembali takbir di rakaat ketiga.
Entah kenapa? Tiba-tiba tubuh Marsinah seperti terangkat perlahan. Yumna yang terus memperhatikannya bagai tersentak. Segera dia menarik lengan Mariyati untuk mengikuti dia.
Pandangan mereka terhenyak. Manakala Yumna dan Mariyati bisa melihat sosok bayangan hitam yang berada tak jauh dari Marsinah. Sepertinya sosok wanita yang mereka lihat tak menyukai jika Marsinah melakukan sho
"Aaaarghhh!" Terdengar Marsinah yang terus mengerang. Yumna yang melihat segelas air putih. Langsung menyambarnya. Dia memberikan air putih itu pada Marsinah untuk segera di minum. "Minumlah, Bu!" Tangannya bergerak meraih gelas yang diberikan oleh Yumna. Saat bibir gelas hendak menyentuh bibir Marsinah. Tiba-tiba .... Pyaaarrrr! Gelas kaca yang dia pegang, meletup. Dan pecah berkeping-keping. Mariyati, Yumna dan Marsinah berteriak keras. Pecahan kaca menembus di bibir bawah, dagu, dan pipi Marsinah. Tak ayal lagi. Darah segar menetes deras dari pecahan kaca yang menembus wajahnya. "Ibuuuu ... ibu, kenapa bisa kayak gini?" Tangis Mariyati terdengar meraung-raung. Tak berhenti samapi di situ. Sosok bayangan hitam, yang berupa kain. Kini sudah berada di lantai. Tepat berada di hadapan mereka. Hanya berjarak empat meter. Lalu sehelai kain hitam itu seperti berdiri tegak. Dengan bagian bawah terseret dilantai saat bergerak. Hanya d
"Sholat kau bilang aneh?" sentak Marsinah. "Iya!" Matanya membulat lebar memandang sosok Mariman dari arah belakang. Ingin rasa hatinya membunuh sosok wanita iblis itu, agar sang suami kembali kepadanya. Seperti dulu lagi. Walau pun keadaan serba kekurangan. "Kau pun sudah jadi iblis, Pak!" seru Marsinah geram. Kedua tangannya mengepal erat. Seraya terus digosokkan di atas paha. Tampak Marsinah menahan kemarahan yang kian terpendam dalam dada. "Diam, Mar! Berjuta kali aku bilang diam! Jangan pernah lagi melawan aku, atau kau--" "Lanjutkan Pak, kalimat kamu itu! Atau apa?" teriak Marsinah. Mariman berusaha mengendalikan amarah yang kian membuncah. Raut wajahnya terlihat tegang, dengan rahang yang mengeras. Sesekali bibir bagian bawah dia gigit. Hingga berdarah. Mariyati yang melihat gelagat sang bapak. Terus mengarahkan pandangan kepada lelaki paruh baya itu. Lalu melihat ke arah sang Ibu. Yang menyandarkan tubuhnya di jok
"Sepertinya ini tinggal lembar-lembar terakhir. Mungkin ini lembaran yang dia tulis pada akhir hayatnya," ucap Hamaz. "Ohhh!" Seketika Raisa dan Delon berucap bersamaan. "Aku bacakan tulisan Bu Marsinah Ya?" "Iya, Mas Hamaz. Dilanjut aja, tinggal sedikit lagi," cetus Raisa. Hamaz manggut-manggut. * "Sudah tiga hari sejak dari rumah sakit aku tak pernah melihat Mas Mariman. Entah dia ada di mana? Dan sudah tiga hari ini juga aku selalu bermimpi buruk. Mimpi yang aku gambarkan sejak dari awal. Seperti di lembar pertama itu. Entah kenapa, aku ingin menggambarnya." _Marsinah_ Tatap matanya semakin redup dan sayu. Dia masih bisa melihat Mariyati dan Yumna yang duduk di dekat dirinya. "Bapak kamu ke mana?" Mariyati hanya menggeleng. "Bapak sudah tiga hari ini enggak pulang, Bu. Entah ke mana?" "Dadaku sering sesak. Sampai kadang aku sulit buat bernapas, Mariyati. Sepertinya umur Ibu sudah tak
Hamaz menutup buku lusuh itu. Hingga membuat pandangan Raisa dan Delon bertanya-tanya. Lalu Delon menunjuk buku itu."Apa sudah selesai Mas Hamaz?""Sudah tak ada lagi tulisan di lembar terakhir ini Mas Delon. Sepertinya sejak malam itu, terjadi peristiwa yang mengenaskan. Jadi Bu Marsinah enggak bisa menulis lagi di buku ini.""Maksud Mas Hamaz?" lanjut Raisa."Ada kemungkinan dia tewas di bunuh atau memang sengaja dijadikan tumbal oleh suaminya sendiri.""Haaahhh, kejam sekali," desis Raisa."Karena dalam tulisannya, dia bilang selalu mimpi seolah akan dibunuh sama suaminya 'kan?""Benar kayaknya Mas Hamaz. Lalu setelah ini kita ke mana Mas?" tanya Delon."Kalau pun kita ke gunung K, akan percuma juga. KIta tak akan mudah menemukan dengan siapa Mariman mengabdikan dirinya. Karena di gunung itu, berbagai macam jenis makhluk lelembut ada di sana. Malah kita bisa tertipu dan ditipu oleh mereka.""Lalu, M
Raisa manggut-manggut."Rumah dia? Maksudnya DIA siapa ini Mas Hamaz?""Kemungkinan cuman satu. Yaitu rumah Bu Sapto!""Lantas wanita tua tadi siapa?" Raisa masih mengejar dengan banyak pertanyaan.Hamaz kembali memutar tubuhnya mengarah depan."Saya juga enggak tau. Bisa saja memang seseorang yang bisa melihat dan mengerti apa yang nanti akan dihadapi oleh Mbak Raisa."Setidaknya jawaban Hamaz membuat Raisa sedikit lega. Hanya berjarak dua kilometer dari tempat pemberhentian mereka. Rumah Pak Karyono sudah terlihat."Kalau hari biasa pasti orangnya enggak di rumah, Mas Hamaz. Karena ini minggu, semoga dia ada," lanjut Delon.Mobil pun berhenti tepat di luar pahalaman rumah itu. Yang terlihat sunyi dan sepi. Tak ada seseorang yang tampak. Baik tetangga kanan kiri. Hanya saja pintu rumah terbuka lebar."Sepertinya, dia ada di rumah, Mas Hamaz," cetus Delon."Kita turun aja!" ajak Hamaz sembari memb
Dia pun terperanjat. Saat antara sadar atau mimpi, gadis itu melihat seraut wajah yang menyembul dari balik tirai kain. Rambutnya terlihat menjuntai hingga ke lantai. Hanya saja dia tak melihat kedua kaki yang menapak."Wa-wajah ... siapa itu?" bisik Raisa.Dia terpaku dengan pandangan yang kosong. Terus menatap ke arah tirai kain yang masih bergerak. Hingga sebuah sapaan mengejutkan Raisa."Mbaaak!"Raisa masih tercengang dengan apa yang dia lihat saat ini."Mbaaaakkk!""Haaahhh!" Sontak Raisa terkejut setngah berjingkat. Dia membalikkan tubuhnya. Dan terkejut saat melihat Pak Karyono dan Bu Hariyani sudah berdiri di belakangnya. Bahkan suara bentor yang begitu memekakkan telinga sampai tak terdengar olehnya."Ma-maaf, Pak, Bu. Saya sampai enggak dengar.""Ka-mu, 'kan Mbak Raisa?"Raisa pun mengangguk. Seraya dia membantu lelaki itu membawa tas dan mengikuti mereka masuk rumah. Gadis itu takjub saat melihat Bu Hariyani
Sontak Raisa terperangah dengan kedua mata yang membulat lebar. “Ba-bagaimana bisa, Pak?” “Aku pernah enggak sengaja mendengar percakapan seorang wanita. Yang aku duga dialah yang bernama Naning. Itu sekitar lima belas tahun yang lalu. Lupa juga aku, Mbak. Aku melihat mertua saya menemui seorang wanita. Yang katanya pelayan setia Bu Sapto di jaman dulu.” “Bisa saja itu Yumna, Pak?” “Bisa juga, Mbak. Tapi enggak tahu kenapa aku malah menebak dia itu pengasuh Mariana sewaktu gadis dulu.” “Ooooohhh!” Raisa menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Dia tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh lelaki yang duduk di hadapannya. Sampai terdengar suara salam dari arah luar rumah. “Assalamualaikum!” “Waalaikumsalam,” sahut Raisa dengan membalikkan tubuhnya. “Silakan masuk Mas Delon. Mari masuk saja, Mas!” ujar Karyono ramah. Hamaz dan Delon langsung masuk. Dan menghampiri mereka. “Ini teman saya
Bergegas Raisa mengambil kain jarik yang berada di samping kakinya. Dengan gesit dan cekatan Raisa segera menahan dengan kedua tangan. Lalu menekan kuat agar tak terlepas. Walau tenaga Bu Hariyani sangat kuat. Ternyata gadis itu mampu mengalahkannya. Kini Bu Hariyani hanya bisa berteriak. Sesekali dia menarik paksa tangan yang dicekal oleh sang suami dan Delon. “Lepaskan aku!” teriaknya mulai tak terkendali. Hamaz langsung memercikan air dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sontak Hariyani berteriak histeris. Dia terus meronta dan berusaha berontak dari cekalan tangan Delon dan suaminya. "Eeerghhh!" Dia pun terus menggeram serak. "Mbak Raisa tolong minumkan air ini!" "Baik, Mas." Segera gadis itu memberikan air minum pada Bu Hariyani. "Eeeerghhh! Berani kau berikan air ini. Mati kauuuu!" teriak Hariyani dengan kencang. Membuat Raisa sedikit ragu, lalu menoleh pada Hamaz. Yang mengangguk, dalam artian menyuruh ag