Bergegas Raisa mengambil kain jarik yang berada di samping kakinya. Dengan gesit dan cekatan Raisa segera menahan dengan kedua tangan. Lalu menekan kuat agar tak terlepas. Walau tenaga Bu Hariyani sangat kuat. Ternyata gadis itu mampu mengalahkannya.
Kini Bu Hariyani hanya bisa berteriak. Sesekali dia menarik paksa tangan yang dicekal oleh sang suami dan Delon.
“Lepaskan aku!” teriaknya mulai tak terkendali.
Hamaz langsung memercikan air dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sontak Hariyani berteriak histeris. Dia terus meronta dan berusaha berontak dari cekalan tangan Delon dan suaminya.
"Eeerghhh!"
Dia pun terus menggeram serak.
"Mbak Raisa tolong minumkan air ini!"
"Baik, Mas."
Segera gadis itu memberikan air minum pada Bu Hariyani.
"Eeeerghhh! Berani kau berikan air ini. Mati kauuuu!" teriak Hariyani dengan kencang. Membuat Raisa sedikit ragu, lalu menoleh pada Hamaz. Yang mengangguk, dalam artian menyuruh ag
Mereka tercengang dengan cerita Bu Hariyani. "Lalu, setelah itu apa yang biasanya terjadi, Bu?" Raisa terus mengejarnya. Tampak sekali dia sangat penasaran. Tak hanya Raisa, akan tetapi Delon juga. "Mataku enggak bisa buat lihat yang lain, Mbak. Hanya bisa ngelihat ke atas. Kalau sudah kayak gitu, aku sudah enggak bisa bergerak sama sekali, Mbak Raisa." "Jadi gini, Pak, Bu. Kami sudah baca habis buku yang Bapak berikan. Hanya saja kami masih belum bisa menemukan bagaimana caranya melepaskan ikatan perjanjian itu. Dan, lagi masih banyak hal yang belum kami ketahui. Hanya ada saksi entah mereka masih hidup apa sudah meninggal. Yaitu, Yumna, Mariana dan Naning," ucap Hamaz. Mendengar perkataan itu. Karyono melirik ke arah istrinya. Yang tertunduk dalam. "Sebenarnya Ibu saya itu Mariana, Mas. Bukan Mariyati!" Sontak mendengar hal itu Delon terperanjat. Begitu juga dengan Hamaz. Saat melihat Raisa yang tak bereaksi apa pun. Membuat Delon pe
"Kalau, Ibu dan adik tak mau meneruskan pesugihan ini. Lantas siapa yang sudah menjalankannya?" Delon tiba-tiba membuat pertanyaan yang membuat mereka terkesiap."Ka-kami, malah enggak tau Mas. Kami hanya ingin menghindar dari Ibu dan sosok menyeramkan itu. Tapi ternyata sulit."Hamaz hanya bisa menghela napas panjang."Sepertinya kita harus mencari tahu informasi dari Ibu Yumna dan Bu Naning.""Kalau Bu Yumna, adik saya sulu sebelum sakit pernah tau rumahnya. Waktu itu dia juga mencari informasi tentang pesugihan ini."Lalu Karyono menyodorkan secarik kertas pada Hamaz."Semoga kalian bisa menyelesaikan ini semua.""Iya, Pak. Kalau tidak selesai, semakin banyak korban yang berguguran. Termasuk Mbak Raisa dan Mas Delon yang juga ikut diteror makhluk itu.""Mumpung belum Maghrib, kita pulang dulu, Pak, Bu," ucap Raisa berpamitan.Hamaz mendekati Karyono."Tolong, Bapak adzan kan di setiap sudut rumah sebelum Maghri
"Raisaaa!" teriak Delon keras. Hingga lelaki tampan itu berlari kecil menghampiri."Ngapain kamu di sini? Mana gelap lagi. Ayo ke mobil!" Dari Suaranya terdengar Delon sedikit marah. "Kamu jangan suka jalan sendiri kayak tadi! Kalau ada apa-apa gimana?" sentak Delon."Ma-maaf, Mas Delon. Aku tadi dengar suara aneh.""Aneh gimana Mbak Raisa?"Hamaz berusaha menengahi kemarahan Delon."Serius Mas Hamaz. Aku dengar jendela mobil kayak ada yang ketuk-ketuk gitu. Awalnya aku biarin, ehhhh ... kok malah makin menjadi Mas. Suaranya pindah ke body samping. Malah lebih kenceng.""Iya, tapi kan enggak harus jalan sendirian ke tempat gelap kayak gitu. Kalau ada apa-apa gimana coba?" Tampaknya Delon masih belum bisa menghilangkan rasa kesalnya."Maaf, Mas Delon. Raisa enggak akan berbuat gitu lagi kok.""Maksud Mas Delon benar Mbak Raisa. Karena Mbak Raisa dua hari lalu sudah pernah dirasuki makhluk itu. Takutnya kejadian itu akan berulang
Setelah selesai menghabiskan semua makanan yang dipesan. Bergegas langkah mereka menuju mobil. Tampaknya Hamaz menggantikan posisi Delon."Saya lebih tahu medan jalannya Mas Delon. Enggak usah sungkan. Santai aja," ujar Hamaz."Memangnya dari sini masih jauh, Mas?" sahut Raisa."Ehmmm, enggak juga sih. Mungkin satu jam lah, kalau jalanan lancar, Mbak Raisa. Soalnya jalan memasuki arah gapura keraton Gunung K, jalannya agak sempit kita enggak bisa kencang-kencang.""Apa ... jalannya curam Mas Hamaz?" ."Enggak kok, Mas Delon. Malah pemandangannya bagus dan indah. Di sekelilingnya itu hutan pinus. Jadi aromanya segar sekali.""Wahhh, keren itu Mas Hamaz. Sayangnya malam ya. Enggak kelihatan apa-apa deh."Hamaz hanya tersenyum, menanggapi celoteh Raisa."Emang pengen lihat apa?""Yah, kan setidaknya pemandangannya itu loh Mas Delon.""Kadang di pinggiran jalan ada beberpa penjual. Tapi, kalau malam enggak terlalu ban
"Udah, Mbak tunggu di dekat musholla aja. Jangan di sini!" Perintah lelaki itu tanpa menoleh lagi pada Raisa yang terheran-heran."Tunggu dulu, Pak!" teriak Raisa.Dia pun mengejar lelaki paruh baya itu."Apa Bapak juga melihat cewek yang tadi naik bolak balik dari sini?"Tampak lelaki itu gusar. Melihat kebandelan Raisa yang terus saja bertanya. Dia pun akhirnya berbalik dan berjalan menghampiri Raisa."Sampean ini apa enggak tau, kalau yang kamu lihat tadi itu bukan manusia?"Raisa menggeleng."Ta-tapi dia kelihatan kayak manusia, Pak.""Hati-hati dengan penglihatan kamu, Mbak."Tiba-tiba ...."Raisa!" Suara Delon terdengar kencang. Mereka berdua berlari ke arah Raisa. Lelaki paruh baya itu menatap tajam ke arah mereka bertiga. Sampai mengernyitkan dahi, seolah penuh dengan tatap mata yang menyelidik."Ada apa Raisa?"Lelaki itu langsung menghampiri Delon dan Hamaz."Kalian malam-malam begin
"Masuk akal, apa yang dipikirkan Mbak Raisa. Coba kita keluar dari kawasan kraton ini menuju sekitaran hutan.""Baik, Mas Hamaz," jawab Delon dan Raisa kompak."Berarti melewati petilasan Prabu Kameswara?" lanjut Raisa."Benar, Mbak. Tapi, agak berkabut kawasan itu!" ujar Hamaz menunjuk ke arah yang sangat gelap.Tiba-tiba ...."Hei!" Terdengar suara teriakan seseorang. Setelah mereka mendongak ke atas. Ternyata lelaki tadi yang memanggil ke arah mereka. Langkahnya terburu-buru menuruni anak tangga."Kalian ini mau ke mana? Di sana itu sudah menuju hutan ke arah atas gunung.""Kami memang sengaja ingin menelusuri petilasan Prabu Kameswara, Pak.""Tapi di sana hutan. Dan banyak makhluk yang bisa mengganggu kalian. Kecuali kalian memang ingin melakukan satu hal."Mereka langsung memperhatikan lelaki itu."Satu hal apa ini, Pak?" lanjut Delon."Kalian ingin mencari pesugihan," bisik lelaki itu."Di mana
"Maksud kalian berniat mencari tahu bagaimana cara memutuskan ilmu setan ini?"Mereka mengangguk bersamaan. Sang lelaki itu, hanya tersenyum kecut. Sembari menggeleng."Kenapa, Pak?" Raisa penasaran dengan bahasa tubuh lelaki asing ini."Akan sulit, Mbak. Kecuali, pelaku itu mati.""Ta-tapi, Pak. Pelakunya ini kan emang sudah mati." Raisa tak mau kalah."Berarti masih ada seseorang yang menjalankannya. Mungkin saudara atau orang lain yang mengubah perjanjian itu. Bisa saja. Cuman kalau kalian ingin menghapus ikatan itu, sangat mustahi. Sangat sulit!""Kecuali, seseorang yang baru ini juga mati?" lanjut Hamaz."Iya!"Mereka bertiga langsung terdiam."Katanya dulu ada sosok wanita iblis yang sangat cantik. Dia selalu mengenakan pakaian serba hitam. Rambutnya sangat panjang. Kalau seseorang bertemu dengan dia secara tidak sengaja. Maka dia akan kaya turun temurun. Hanya saja, harus jadi suaminya wanita itu kalau laki-laki."
Malam ini ketegangan terjadi di antara mereka. Delon langsung menyambar tubuh Raisa yang hendak roboh ke tanah. Lalu menggendongnya. Saat hendak melintas. Sebuah pohon pinus yang paling tinggi tiba-tiba merunduk hingga dedaunannya menyentuh tanah. Seolah sedang menghalangi langkah mereka. "Kita harus gimana Mas Hamas. Pohon ini seperti menghalangi kita." "Putar balik, Mas Delon! Ikuti saya!" seru Hamaz. Saat langkah mereka hendak memutar balik. Terdengar suara yang berteriak ke arah mereka. "Heiiii!" Sontak mereka berdua berhenti. Lalu menoleh ke arah asal suara. Delon dan Hamaz melihat bayangan seseorang yang melambaikan tangan ke arah mereka. "Bu-bukannya itu lelaki yang tadi, Mas?" "Iya, Mas Delon." "Kok dia berteriak ke kita?" "Coba kita lihat dulu!" Sosok lelaki asing itu menggoyangkan ponselnya, dengan tangan yang terangkat tinggi di atas kepala. "Memang beneran itu dia, Mas Delon."