Sejak peristiwa itu, Marsinah lebih banyak mengurung diri dalam kamar. Dia semakin sering menentang suaminya snediri.
"Sekarang katakan padaku, Pak! Siapa tumbal berikutnya yang kau lihat di dalam sumur itu?"
Hening, tak ada jawaban yang terdengar. Bahkan Mariman menghindari dari Marsinah yang terus mengajukan pertanyaan tentang hal itu.
"Kenapa, Pak? Bapak bingung untuk menjawab? Atau jangan-jangan tumbal berikutnya yang Bapak lihat itu ... aku?"
"Ngomong apa kamu ini, Bu?!" sentak Mariman kasar.
"Jawab Pak! Apa benar yang aku bilang tadi?"
"Salah besar! Kamu ngawur, kalau ngomong. Lagian aku tak mungkin menumbalkan anggota keluarga aku sendiri."
Tiba-tiba ....
Bruaaakkk!
Suara pintu terbanting sangat keras. Membuat Marsinah dan Mariman terhenyak. Lalu Mariman segera beranjak pergi menuju ruang belakang. Tanpa sepengetahuannya. Marsinah pun mengikuti.
Dia melihat sendiri, Mariman memasuki kamar penuh ra
"Berisi potongan tubuh korban kecelakaan. Yang selalu terjadi di depan rumah Bu Sapto."Seketika Hamaz terdiam. Semakin membuat tanya pada Delon dan Raisa. Yang terus memandang ke arahnya."Rumah itu pasti menympan banyak tragedi hitam di dalamnya. Pasti aura hitam tergambar di rumah itu.""Apa nanti Mas Hamaz juga akan melihat ke sana?" tanya Raisa penuh harap."Ada kemungkinan itu, Mbak. Kalau seperti yang Mbak Raisa bilang. Kalau rumah itu memang satu tempat yang sama. Aku harus ke sana. Tapi, setelah kita selesaikan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.""Tapi, aku takut Mas Hamaz.""Takut kenapa Mbak Raisa?"Sejenak dia terdiam. Tak langsung menjawab pertanyaan Hamaz. Yang tampak penasaran sama halnya dengan Delon."Iya, Sa. Kamu takut ini, soal apa?" Delon mengulang dengan pertanyaan yang sama."Tentang Bu Marto, Mas. Aku mendengar cerita dari Mbak Dian itu terus buat kepikiran. Biasanya seseorang yang selalu d
"T-tumbal, Bu?" "Iya, secara tak langsung kita membunuh orang-orang itu, Mariyati." "Mariyati takut, Bu! Gimana caranya agar tanda ini hilang, Bu?" Marsinah menarik pergelangan tangan anaknya. Untuk mendekat. Lalu dia berbisik, "Kau juga harus pergi meninggalkan rumah ini! Ikuti Mariana bersama Naning." "Bulek Naning?" "Iya. Kamu--" Suara Marsinah bagai tercekat, saat hendak melanjutkan kalimatnya. Dia melihat bayangan Mariman yang sudah berdiri di belakang Mariyati. "Apa yang kau bisikkan pada Mariyati, Mar?" "Aku enggak bilang apa-apa. Tanya aja sama anaknya!" Sontak Mariman menarik pundak Mariyati. Gadis itu tertunduk. Dia terlihat ketakutan dengan sang bapak. Kedua bola mata Mariman melotot ke arahnya. Semakin membuat Mariyati ketakutan. Sampai gadis itu mundur beberapa langkah. Tubuhnya membentur dinding kamar. Melihat hal ini, tubuh lemah Marsinah terbangun dari pembaringannya. "Jangan kau
Memberitahukan aib keluarga sangat pantang bagi Mariman. Apalagi itu pada anak mereka sendiri. Lalu dia berjalan mendekat, lantas berbisik, "Jangan pernah kau ulangi ini lagi, Mar. Atau kau yang akan mati!" Ancaman sang bapak. Membuat gadis itu memeluk tubuh Marsinah. Yang terkulai lemas. Keributan yang terjadi membuat pelayan mereka terbangun. Dia langsung menghampiri tubuh Marsinah yang lemah. Raut wajah pelayan itu terlihat sangat tegang. Saat melihat Mariyati yang terus terisak. Dan juga melihat Marsinah yang tubuhnya semakin parah. "Bawa dia ke kamarnya sekarang juga, Yum!" Suara Mariman terdengar garang. "Ba-baik, Pak." Setelah kejadian itu. Mariman pun pergi meninggalkan rumah. Dengan langkah yang tergesa-gesa. Saat ini, mereka yang berada tepat di depan kamar belakang. Seketika semua menjadi hening dan sunyi. Keduanya hanya diam, tanpa tahu harus berkata apa? "Tolong bawa aku ke sumur, Yum." Suara Marsinah benar-benar h
"Jangan! Mbak tetap lah di sini!"Dia terus menahan lengan dan tubuh Yumna. Agar tetap menemaninya di kamar."Jangan pergi, Mbak!""Iya, Mariyati. Aku tetap temani kamu."Bersamaan dengan itu. Suara gaduh yang berasal dari arah belakang, semakin nyaring terdengar. Namun dari dalam kamar Marsinah. Wanita itu tampak sangat khusyuk. Tak mengindahkan apa pun yang terjadi.Suaranya pun lamat-lamat terdengar. Bacaan doa sholat kian mengalun syahdu dari bibirnya. Isak tangis tak bisa dia bendung lagi."Allahu Akbar!" Terdengar kembali takbir di rakaat ketiga.Entah kenapa? Tiba-tiba tubuh Marsinah seperti terangkat perlahan. Yumna yang terus memperhatikannya bagai tersentak. Segera dia menarik lengan Mariyati untuk mengikuti dia.Pandangan mereka terhenyak. Manakala Yumna dan Mariyati bisa melihat sosok bayangan hitam yang berada tak jauh dari Marsinah. Sepertinya sosok wanita yang mereka lihat tak menyukai jika Marsinah melakukan sho
"Aaaarghhh!" Terdengar Marsinah yang terus mengerang. Yumna yang melihat segelas air putih. Langsung menyambarnya. Dia memberikan air putih itu pada Marsinah untuk segera di minum. "Minumlah, Bu!" Tangannya bergerak meraih gelas yang diberikan oleh Yumna. Saat bibir gelas hendak menyentuh bibir Marsinah. Tiba-tiba .... Pyaaarrrr! Gelas kaca yang dia pegang, meletup. Dan pecah berkeping-keping. Mariyati, Yumna dan Marsinah berteriak keras. Pecahan kaca menembus di bibir bawah, dagu, dan pipi Marsinah. Tak ayal lagi. Darah segar menetes deras dari pecahan kaca yang menembus wajahnya. "Ibuuuu ... ibu, kenapa bisa kayak gini?" Tangis Mariyati terdengar meraung-raung. Tak berhenti samapi di situ. Sosok bayangan hitam, yang berupa kain. Kini sudah berada di lantai. Tepat berada di hadapan mereka. Hanya berjarak empat meter. Lalu sehelai kain hitam itu seperti berdiri tegak. Dengan bagian bawah terseret dilantai saat bergerak. Hanya d
"Sholat kau bilang aneh?" sentak Marsinah. "Iya!" Matanya membulat lebar memandang sosok Mariman dari arah belakang. Ingin rasa hatinya membunuh sosok wanita iblis itu, agar sang suami kembali kepadanya. Seperti dulu lagi. Walau pun keadaan serba kekurangan. "Kau pun sudah jadi iblis, Pak!" seru Marsinah geram. Kedua tangannya mengepal erat. Seraya terus digosokkan di atas paha. Tampak Marsinah menahan kemarahan yang kian terpendam dalam dada. "Diam, Mar! Berjuta kali aku bilang diam! Jangan pernah lagi melawan aku, atau kau--" "Lanjutkan Pak, kalimat kamu itu! Atau apa?" teriak Marsinah. Mariman berusaha mengendalikan amarah yang kian membuncah. Raut wajahnya terlihat tegang, dengan rahang yang mengeras. Sesekali bibir bagian bawah dia gigit. Hingga berdarah. Mariyati yang melihat gelagat sang bapak. Terus mengarahkan pandangan kepada lelaki paruh baya itu. Lalu melihat ke arah sang Ibu. Yang menyandarkan tubuhnya di jok
"Sepertinya ini tinggal lembar-lembar terakhir. Mungkin ini lembaran yang dia tulis pada akhir hayatnya," ucap Hamaz. "Ohhh!" Seketika Raisa dan Delon berucap bersamaan. "Aku bacakan tulisan Bu Marsinah Ya?" "Iya, Mas Hamaz. Dilanjut aja, tinggal sedikit lagi," cetus Raisa. Hamaz manggut-manggut. * "Sudah tiga hari sejak dari rumah sakit aku tak pernah melihat Mas Mariman. Entah dia ada di mana? Dan sudah tiga hari ini juga aku selalu bermimpi buruk. Mimpi yang aku gambarkan sejak dari awal. Seperti di lembar pertama itu. Entah kenapa, aku ingin menggambarnya." _Marsinah_ Tatap matanya semakin redup dan sayu. Dia masih bisa melihat Mariyati dan Yumna yang duduk di dekat dirinya. "Bapak kamu ke mana?" Mariyati hanya menggeleng. "Bapak sudah tiga hari ini enggak pulang, Bu. Entah ke mana?" "Dadaku sering sesak. Sampai kadang aku sulit buat bernapas, Mariyati. Sepertinya umur Ibu sudah tak
Hamaz menutup buku lusuh itu. Hingga membuat pandangan Raisa dan Delon bertanya-tanya. Lalu Delon menunjuk buku itu."Apa sudah selesai Mas Hamaz?""Sudah tak ada lagi tulisan di lembar terakhir ini Mas Delon. Sepertinya sejak malam itu, terjadi peristiwa yang mengenaskan. Jadi Bu Marsinah enggak bisa menulis lagi di buku ini.""Maksud Mas Hamaz?" lanjut Raisa."Ada kemungkinan dia tewas di bunuh atau memang sengaja dijadikan tumbal oleh suaminya sendiri.""Haaahhh, kejam sekali," desis Raisa."Karena dalam tulisannya, dia bilang selalu mimpi seolah akan dibunuh sama suaminya 'kan?""Benar kayaknya Mas Hamaz. Lalu setelah ini kita ke mana Mas?" tanya Delon."Kalau pun kita ke gunung K, akan percuma juga. KIta tak akan mudah menemukan dengan siapa Mariman mengabdikan dirinya. Karena di gunung itu, berbagai macam jenis makhluk lelembut ada di sana. Malah kita bisa tertipu dan ditipu oleh mereka.""Lalu, M