Aku memperlambat pergerakan ketika suara Abram memanggil, bersamaan tanganku diraih, pun tubuhnya muncul menyejari langkahku. Ah, anak ini benar-benar jauh lebih peka, perhatian, dan penyayang dibanding papanya. Dadaku seakan membesar menahan buncah atas sikapnya di saat-saat genting. Aku langsung menggenggam tangan mungil itu, lalu kami bergandengan tangan tanpa memerdulikan suara-suara perdebatan di belakang yang mulai lagi terbawa angin, kupastikan penyebabnya karena Abram memilih ikut denganku. Hufft, sekuat apapun diri berusaha menciptakan situasi kondusif di masa tumbuh kembangnya, keadaan tak selalu sesuai dengan cita-cita. Buktinya, dua manusia terpelajar itu, tak bisa menjadi teladan.“Abram kuat jalan sampai ke perempatan itu, kan?” Aku menunjuk ke depan, sekitar lima ratus meter sampai ke jalanan umum dengan melewati penurunan sekarang. Aku tak yakin ada taksi atau kendaraan umun di sana, memperhatikan kondisi yang sangat lengan. Nantilah dipikir.Abram mengangguk cepat,
Setelah mereka turun, tanpa sadar kaki ke arah balkon, untuk melihat jelas kedua sejoli itu. Aku rasa masih penasaran kegaduhan yang ditimbulkannya tadi. Ataukah spontanitas ini adalah rasa cemburu? Kalau tidak, kenapa hatiku terasa kembali perih?”Maaf, Bu. Saya tak menyangka wanita itu naik, kirain hanya pembeli tadi,” suara Tuti mengalihkan pandanganku ke roda empat yang telah berbaur dengan pengendara lain. ”Dia seorang dokter, seprofesi dengan Mas Rian,” kataku menarik nafas dalam, lalu membuangnya gundah. Aku rasa saat inilah dia harus tahu siapa mereka dan status wanita yang ditempatinya bekerja.“Keduanya menjalin hubungan sebelum aku hadir, lalu bertemu setelah perpisahan lama. Mereka pasangan ideal. Sementara aku adalah orang ketiga.” Kepala mendongak ke atas di akhir kalimatku, menahan sesak selalu saja tak bisa terbendung mengingat keadaan yang tak berpihak. ”Tapi …, kemarin Pak Dokter ….?” Tuti menjeda kalimatnya. Aku menautkan alis melihat anak itu seakan loading denga
"Bagaimana kabar kalian?" tanya Mas Rian tergesa menghentikan langkahku."Alhamdulillah baik," jawabku setelah berbalik. Aku rasa tak mengapa meladeninya. Dia memang berhak tahu keadaan putranya. "Aku belum sempat ketemu Abram. Kare-""Kami sibuk dan baru semalam datang dari luar negeri." Sosok Dokter Juwita tiba-tiba muncul, lantas memotong ucapan Mas Rian. Kedua tangannya bergelayut ke lengan lelaki yang berpakaian biru itu.Jangan tanya keadaanku sekarang! Andai punya laci ajaib Doraemon, tentu sudah menghilang secepatnya. Bukan saja cemburu dan sedih yang mesti kutekan. Tapi tatap Bu Jenni, karyawannya dan karyawan toko lain yang sedang berbenah, bahkan pelanggan yang mulai berdatangan, pun orang-orang lewat, membuat lukaku berdarah-darah. Sekejam itu dua sejoli menginjak harga diri wanita tak ada daya di depan orang banyak. Setidak itu yang kurasakan dari semua netra yang menyorot."Tak apa, terima kasih atas infonya," ujarku berusaha tegar, lalu berlalu sambil melempar senyu
Aku menatap langit-langit kamar. Mengenang momen-momen pertama kali bertemu Mas Rian. Tak ada gurat kacau selayak raut frustasi atau down pada pemilik wajah memesona itu ketika dia datang melamar langsung di hadapan bapak dan emak. Justru di mata kami sekeluarga, dia begitu jantan.Walau pada akhirnya, aku tahu diri hanya pelarian. Tetap saja tak mengubah persepsiku tentang semua budi yang telah ditanamnya.Ah, bagaimana kabar emak dan bapak? Bila tahu menantu yang sangat disanjung dan disayangi, telah meninggalkan putrinya? Demi bersama cinta pertamanya?Ya, Rabb ....Hamba tahu semua hanya titipan. Tapi, titipanMu yang satu ini, sangat sulit untuk diikhlaskan. Huft .... Bila aku saja tak rela? Bagaimana orang yang telah melahirkanku? Bukankah kesedihan seorang anak akan terpental keras pada kedua orang tuanya?Emak .... Bapak .... Maafkan anakmu yang malang ini."Abram dibawa sama papanya, kan, Ti?" Kali ini nadaku benar-benar meninggi. Tuti yang masih sibuk menata buah-buah di a
Aku meminta Tuti memasukkan amplop lebar warna putih itu ke dalam tas setelah membaca luarnya saja. Toh, buat apa membuka? Isi sudah pasti tentang gugatan di pengadilan sesuai yang dikatakan sang pengantar tadi.Pelan aku menarik oksigen dari hidung, lalu membuangnya lewat mulut. Berharap gumpalan sesak, gelisah, dan luka dalam dada, terbuang lewat udara. Aku tak bisa bayangkan andai hak asuh Abram, benar-benar jatuh ke tangan mereka. Yang notabene aku sadar, akan kalah dalam segala hal dalam memperjuangkan putra semata wayang itu."Sabar dan shalat, ya, Mbak." Aku mengangguk ke arah Anggi dan Tuti saat ke duanya menggenggam tanganku. Meski awan terus berarak di pelupuk mataku, nasehat tersebut membuat hujan tak jadi luruh di sana. Semestinya dua kata nasehat itu membuat setiap hamba tegar dalam menjalani takdirnya. Bukankah dunia memang hanya panggung ujian bagi semua makhluk yang bernyawa?Ya, Rabb .... Selama ini aku lalai. Lupa memohon cinta lelaki itu dariMu. Terlalu menggantung
Aku menggunakan sisa waktu sebaik mungkin dengan Abram setelah kepulangan Anggi. Mulai dari melanjutkan bacaan iqra' yang memang rutinitas kami, saling berbagi cerita, bermain sambil menonton TV, berebut remot, gantian melempar bantal, dan berakhir tertidur pulas setelah menceritakan kisah-kisah teladan.Mungkin akulah seorang ibu yang paling munafik di muka bumi ini, mengharap anak menjadi shaleh, tapi tak memberi contoh yang baik. Perpisahan ke dua orang tua di depan mata ini contohnya.Sepertiga malam aku memanjangkan sujud dan doa kepada Rabb pemilik segala di samping Abram. Bukan meminta hati lelaki yang memang tak pernah untukku, tapi menengadah keikhlasan pada luka yang ditanamnya, pun pada takdir perpisahan yang tak pernah teringin meski dalam mimpi.'Ya, Rabb ... Raibkan dendam dan cinta di hati ini pada lelaki yang pernah Engkau jodohkan. Dan jadikan rasa sakit, luka, perih, dan sesak yang ditinggalkannya, sebagai pelebur dosaku yang menggunung. Amin.'Hati kembali teriris
"Ada kiriman saya letakkan di atas meja, Bu." Tuti meletakkan bokong di depan meja kasir seusai melayani pelanggan yang baru saja pulang. Jam hampir menunjuk angka 12 siang. Aku rasa perut mulai sudah keroncongan. Wajarlah, waktu segini, semua pegawai dan karyawan diistirahatkan."Dari?" tanyaku mengangkat wajah sejenak, lalu kembali ke pembukuan. Sebenarnya tidak bisa fokus total. Mengingat Abram, apalagi wajahnya kemarin. Inilah salah satu caraku mengalihkan resah dan gundah yang berkepanjangan."Dari Mbak Anggi, Bu.""Kamu kok manggil aku Ibu? Sedang Anggi, Mbak? Padahal kami hanya selisih bulan, loh. Apa wajahku terlihat boros, ya?" Tuti menaikkan bahu, lantas tertawa melihatku melipat alis, lalu berlari ke atas tanpa menanggapi ucapanku. Ck! Anak ini mulai main teka-teki dengan atasannya.Tak cukup lima menit, terdengar derap Tuti menenteng dos makanan, bersamaan dering ponsel yang membuatku mengalih. Emak!"Assalamu alaikum, Mak. Tari belum sempat berkunjung. Gimana keadaan Bap
Mobil melaju cepat saat Mas Langit mendengar percakapanku dengan Emak. Bapak kembali kambuh penyakitnya, tapi tak ingin dirawat. Semoga hanya menungguku seperti dulu saat jantung beliau memburuk. Kadang sebagian orang tua merasa nyaman, bila anak sendiri yang memberi keputusan dan merawat ketika tak berdaya. Dan bapak, salah satu dari mereka. Benar saja. Mata lelaki cinta pertama itu yang sedang berbaring lemah, berkaca-kaca melihatku membuka pintu. Tangannya terulur seperti waktu kecil dulu saat beliau pulang kerja untuk melepas rindu. Aku rasa masih kerinduan yang sama, meski kondisi yang berbeda."Maafkan Tari, Pak. Yuk, kita ke rumah sakit," bujukku menumpahkan tangis di punggung tangan beliau. Denyut jantungnya berdetak tak beratur ketika kuletakkan kepala di dada kurusnya.Ini kebiasaan kami ketika bertemu. Walau di mana dan sampai sedewasa sekarang, tak pernah berubah. Menenggelamkan ke wajah di dada yang dulu bidang itu adalah ketenangan sendiri. Aku rasa semua putri melaku