Pov : ArinaDua tetangga membantu memukul si ular dan memasukkannya ke dalam karung. Mas Feri pun mengucapkan banyak terima kasih karena sudah mau membantu menyingkirkan hewan berbahaya yang ternyata cukup melata itu, karena bukan ular biasa namun ular berbisa. Sebelum mereka pulang, Mas Feri memberikan amplop berisi uang entah berapa nominalnya untuk kedua tetanggaku itu. Awalnya mereka menolak, namun setelah kami memohon agar mereka mau menerima akhirnya mereka pun menganggukkan kepala. "Mas ... buka cctv nya. Aku dulu masang cctv di sini supaya-- "Supaya apa, Rin?" Mbak Vina ikut penasaran dengan lanjutan kalimatku. Aku hanya tersenyum tipis. Nggak mungkin melanjutkan kalimatnya karena berhubungan dengan Bang Sony. Menyebut nama itu hanya akan membuka kembali sakit hati dan rasa kecewa dalam dada Mbak Vina. Dan aku tak menginginkan itu terjadi. "Nggak apa-apa, Mbak. Ah pokoknya biar Mas Feri coba buka dulu, semoga saja masih bisa dipakai karena cukup lama nggak aku cek ulang,
Mentari baru saja merangkak naik saat Mas Feri mengajakku ke rumah Pak Gilang-- tetangga depan rumah. Dia yang memiliki cctv di depan rumahnya. Kemungkinan besar akan terlihat siapa sebenarnya pengirim kado misterius itu. Kebetulan Pak Gilang masih otak-atik vespanya di depan rumah. Aku dan Mas Feri segera ke ke sana untuk minta tolong cek cctv depan rumah. Lebih cepat terbongkar siapa dalangnya akan jauh lebih baik daripada berlarut-larut. Takutnya pelaku benar-benar memiliki rencana lain untuk membalas karena rencana sebelumnya gagal total. "Permisi, Pak Gilang. Lagi sibuk nih sepertinya," ucap Mas Feri saat kami sampai di halaman rumah. Pak Gilang menoleh ke arah kami lalu tersenyum ramah. Dia pun segera mencuci tangan, ada bekas oli di telapak tangannya. "Pak Feri dan Bu Arin. Tumben ini pagi-pagi ke sini. Ada yang bisa saya bantu?" tanya lelaki itu lagi. Aku mengangguk kecil, diikuti Mas Feri."Maaf sebelumnya kalau sudah mengganggu waktu bapak," ucap Mas Feri sembari menyalam
"Permisi, Pak. Kami ingin bertemu dengan Bu Delima. Ibu Delimanya ada?" tanya Mas Feri pada seorang tukang rumput yang bekerja di halaman rumah bercat abu muda itu. "Oh, ibunya ada di dalam, Pak. Silakan duduk, Mas. Tunggu sebentar biar saya panggilkan Ibu Delima dulu," ucap bapak paruh baya itu lalu gegas masuk ke dalam rumah. Tak selang lama perempuan dengan pasmina merah mudanya itu menghampiri Mas Feri yang sudah duduk di bangku teras, tak jauh dari mobil merah milik Delima."Ada apa ya, Mas? Tumben datang ke sini," ucap perempuan itu dengan ramah dan senyum tipisnya."Iya, maaf kalau mengganggu. Aku ingin tanya, kamu kenal bapak itu, kan?" tunjuk Mas Feri pada Pak Muslih yang baru saja sampai bersama Pak Gilang. Wajah Delima berubah seketika. Dia tampak pucat pasi saat melihat Pak Muslih sudah berada tak jauh dari tempatnya berdiri."Kenapa kamu tega mengirimkan kado ular berbisa untuk Arina, ha!" Bentak Mas Feri dengan tatapan tajam. Delima semakin salah tingkah. Wajahnya yang
Pov : Sony Perpisahanku dengan Vina yang kupikir akan berujung bahagia, justru membuatku nelangsa. Apalagi saat Siska mengajakku tinggal bersama ibunya. Ibu mertuaku yang kini amat sangat berbeda dengan mertuaku yang dulu. Ibunya Vina jarang sekali menjelek-jelekkanku di depan umum. Bahkan dia sering membelaku jika aku sedang cekcok dengan anaknya. Bukan membela karena yakin aku yang benar, hanya saja dia menengahi agar percekcokan tak terus terjadi. Ibu meminta anaknya untuk memaklumiku yang saat itu menganggur dan masih merangkak mencari pekerjaan. Padahal memang saat itu aku sudah memiliki uang namun kuberikan pada Siska yang baru kunikahi secara siri dan kebetulan hamil muda. Kupikir, adik iparku sudah mencukupi kebutuhan Vina dan anak-anak, sementara Siska tak ada. Dia tak lagi bekerja sebagai SPG karena malu selalu disebut pelakor oleh teman-temannya. Aku yang memintanya resign dan aku yang berjanji akan mencukupi kebutuhannya. Seminggu sampai sebulan di rumah mertua memang
Malam sudah berganti pagi. Suara kokok ayam terdengar di kejauhan. Rasanya mataku teramat berat karena nggak bisa tidur semalaman. Kulihat di dinding, jarum jam menunjuk angka empat, sebentar lagi adzan subuh berkumandang dengan perkasa. Perut rasanya benar-benar mules tak karuan. Bolak-balik kamar mandi tapi nggak ada tanda-tanda buang air besar. Mas Feri pun tampak kebingungan. Dia berusaha membuatkan minuman hangat, memijit kaki dan punggung bahkan membacakan ayat-ayat Qur'an di samping perut, namun makin lama justru makin mulas. Mas Feri pamit ke mushola. Aku pun mengiyakan sembari kelimpungan di kasur. Air bening mulai merembes ke kaki tepat saat Mas Feri baru pulang dari mushola melaksanakan salat berjamaah. Gegas dia menelepon Mbak Vina dan ibu, mengatakan kalau aku sepertinya akan segera melahirkan. "Feri mau antar Arina ke rumah sakit Khadijah ya, Bu. Ibu di rumah saja dulu sama anak-anak. Kalau Mbak Vina mau ke sana pagi atau siang saja nggak apa. Nanti kalau mau jenguk A
Perempuan itu kembali tersenyum lalu merogoh tas hitamnya. Entah apa yang akan diambilnya kini, hatiku berdebar hingga sedikit menciptakan ketakutan kembali. Mas Feri pun menolehku, tampak keheranan di wajahnya yang tampan. Dia mengangkat-angkat kedua alisnya sementara aku hanya angkat bahu. "Maaf ya, Mas, Rin. Ini untuk kalian, datang, ya?" Pinta Delima sembari menyerahkan selembar undangan pernikahan. Kubaca calon mempelainya, nama Delima dan Rizal tertera jelas di sana."Kamu mau nikah, Mbak?" tanyaku dengan mata membulat karena kaget. Kulihat wajah Delima cukup berbinar lalu mengangguk pelan. "Iya, Rin. Aku mau nikah dengan Mas Rizal itu, kami sudah ta'aruf enam mingguan. Setelah istikharah, aku semakin yakin jika dia memang terbaik buatku," balas Delima lagi."MasyaAllah. Alhamdulillah kabar membahagiakan." Aku pun bernapas lega. Akhirnya Delima mundur juga dan segera menambatkan hatinya pada lelaki pilihannya."Alhamdulillah setelah perjalanan panjang. Ohya, aku ke sini sekali
Laki-laki itu masih tergeletak di tengah jalan. Sepertinya dia pingsan. Orang-orang yang tadi sibuk menikmati jajanan, ada yang berselfie atau ngobrol santai dengan pasangan mendadak berhamburan ke sana. Mereka ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi. Siapa yang tertabrak dan siapa yang menabrak. Tak terkecuali Abang penjual bubur ayam tempatku memesan. Fano yang tadi tak jadi ikut mamanya mengejar Fian tampak ketakutan melihat orang-orang berlarian. "Kita nggak ikut ke sana, Tante?" tanyanya dengan suara bergetar di balik jilbab panjangku. "Di sini saja, Fano. Kasihan Dek Bian kalau berdesak-desakan," balasku kemudian, meski dalam hati rasanya aku ingin melihat sendiri apa yang sebenarnya terjadi. Entah mengapa hatiku mulai berdebar tak tenang. Ada rasa gelisah dan takut yang tiba-tiba menyergap begitu saja. Aku sendiri tak tahu, kenapa kegelisahan itu datang tiba-tiba.Suara tangis mulai terdengar lebih kencang. Sepertinya suara itu tak terlalu asing. Ah mungkinkah? Bukannya s
Pov : Alvin Berita kecelakaan Mas Feri benar-benar membuatku shock. Pagi-pagi sekali aku dan papa sudah siap ke rumah sakit, aku berkewajiban mengurus semua administrasinya. Selain dia karyawan terbaik di kantor, dia juga sudah kuanggap seperti keluarga karena sebagai suami Arina-- sahabat kecilku dan anak angkat papa. Bayangan buruk kembali muncul di benak. Cerita-cerita Mas Feri beberapa bulan terakhir membuatku mulai gelisah dan sedikit takut. Jangan-jangan itu sebuah firasat dia akan benar-benar pergi? Astaghfirullah, jangan. Aku selalu berdoa agar dia sembuh, bisa menua bersama Arina dan buah hatinya. Aku tahu mereka saling mencintai tulus satu sama lain, tak tega rasanya jika secepat ini dipisahkan. Kemarin-kemarin aku khawatir dengan sakitnya, kini justru dia kritis bukan karena itu melainkan karena kecelakaan. Memang semua tak pernah bisa ditebak. Apa pun itu sudah menjadi takdir yang tak bisa dirubah seenak kehendak. "Pak Alvin, saya ingin cerita satu hal penting. Keluar
Tahun Berganti"Ibu dan Feri kecelakaan, Rin. Sekarang mereka masih di Rumah Sakit Husada Keluarga. Kamu dan Bian bisa ke sini sekarang, kan? Aku tak tahu apa yang harus kulakukan detik ini. Tulang-tulang dalam tubuhku rasanya lolos begitu saja."Suara Mbak Vina di tengah isaknya detik ini membuatku shock dan luruh ke lantai begitu saja. Secangkir kopi yang belum sedikitpun kusesap jatuh berceceran, tercipta kepingan-kepingan kecil yang tajam.Pasca Bian wisuda, sengaja kuajak dia berlibur ke Jogja. Kupikir libur bersama kali ini bisa membuat keluarga kecilku semakin hangat dan bahagia, bisa saling berbagi cerita satu sama lain setelah sekian lama tak bersua dan bersama. Namun ternyata impianku tak sesuai kenyataan yang ada. Semua harapan itu pun luluh lantah tak bersisa. Kulihat Bian berlari kecil ke arahku yang masih tertunduk lesu di samping meja makan. Kembali mendengarkan cerita Mbak Vina yang penuh jeda karena dia juga tak kuasa menahan rasa sesak dalam dadanya."Ibu dan Feri gi
Rumah produksi aneka fashion berdiri di depan mata. Mas Feri memberikan nama yang cukup unik untuknya. Perpaduan namanya dengan namaku. Iya, Ferina Fashion. Konveksi rumahan yang ternyata sudah berjalan nyaris enam bulan lamanya. Mas Feri merintis usaha ini saat kami masih sama-sama di Jogja. Tak kusangka dia merencanakan kepindahan ini dengan cukup matang. Lagi-lagi aku tercengang saat dia memintaku masuk ke sebuah ruangan khusus. Ruangan yang sangat nyaman dengan fasilitasnya yang lengkap. Seolah bukan kantor melainkan tempat istirahat yang menenangkan dan tempat mencari inspirasi yang mengasyikkan. "Kamu mungkin sudah melupakan mimpi ini, Dek. Mimpi untuk memiliki ruangan tersendiri dan kembali melatih jari-jarimu untuk berkreasi," ucap Mas Feri setelah memintaku duduk di sofa samping jendela. Ada taman kecil di luar jendela yang bisa kunikmati keindahannya. "Mimpi apa, Mas? Aku sudah tak memiliki mimpi apa-apa karena bagiku semua mimpi itu telah terwujud. Aku sangat menikma
Hari ini aku dan Mas Feri akan menghadiri acara perpisahan kelulusan Bian. Setelah melewati serangkaian ujian, akhirnya surat tanda lulus pun bisa digenggam. Raut bahagia tampak begitu jelas di wajahnya yang tampan. Berulang kali mengucapkan syukur atas karuniaNya, berulang kali pula dia mengucapkan terima kasih padaku karena sudah mendoakan dan memberikan support terbaik untuknya. Bian adalah anakku yang pintar. Dia mendapatkan peringkat pertama dalam kelulusan ini. Bukan itu saja yang membuatku bangga, tapi sikap dan unggah-ungguhnya selama ini pun membuatku begitu bersyukur memilikinya. Dia tak neko-neko, sederhana, taat pada agama dan cukup selektif memilih teman bergaul dan tak sembarangan hingga membuat pergaulannya terjaga. Dia bisa memilah mana yang terbaik untuknya dan mana yang hanya menciptakan dampak negatif untuk kehidupannya. "Aku juara bukan semata-mata karena usaha kerasku, tapi karena mama yang tak pernah lupa mendoakanku di setiap sujudnya. Mama adalah wanit
~14 tahun Kemudian ~Waktu terus bergulir. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Bulan pun berganti tahun. Tak terasa tahun demi tahun telah terlewati, mengurangi jatah usia yang telah ditetapkanNya. Setiap detik, aku selalu mensyukuri apapun yang DIA karuniakan untuk hidupku. Aku yakin, takdirNya akan selalu indah.Masa-masa suram itu terlewati dengan sempurna juga berkat karuniaNya. DIA tak akan pernah meninggalkanku begitu saja setelah deretan ujian yang dijatuhkan ke pundakku. DIA tetap akan membantu dan menarikku dari lubang duka itu untuk kembali menemukan kata bahagia.Seperti inilah sekarang, setelah berhasil melewati segala ujianNya, kini aku mendapatkan hadiah spesial dariNya. Aku memiliki keluarga kecil yang bahagia. Suami, anak dan keluarga yang penuh kasih dan cinta adalah salah satu anugerah terbesar yang kupunya dan aku begitu mensyukurinya.Arbian Bagaskara. Anak lelakiku itu tumbuh menjadi anak yang tampan, penyayang dan periang. Dia adalah malaikat kecil kami
Luka dan bahagia silih berganti. Ada banyak sekali ujianNya yang terlewati. Bermacam caraNya untuk menguji setiap hamba agar mereka semakin teguh dalam Iman dan taqwa. Tak terkecuali hidupku dan Mas Feri. Beginilah hidup di dunia, seperti roda yang berputar. Kadang di bawah, kadang pula di atas. Tangis, sedih, luka dan bahagia silih berganti sebagai pertanda kita naik tangga. Setiap ujian yang dia berikan, anggap saja sebagai tangga untuk memperkokoh Iman. Tak pernah ada kata sia-sia di setiap tetes perjuangan. Tak pernah ada kata percuma di setiap pengorbanan. Semua alur yang kita lalui itu adalah bagian dari ketetapanNya, bukan sebuah ketidak sengajaan semata. Karena setiap daun yang jatuh pun atas kehendakNya. Begitu pula sakit yang dialami Mas Feri, aku yakin memang semua sudah menjadi ujianNya. Ujian agar aku dan dia lebih mengerti apa arti kesabaran, perjuangan dan pengorbanan. Ada banyak hal yang kami dapatkan setelah sakit itu, rasa sayang yang semakin bertambah, rasa cin
Saat masih asyik ngobrol panjang lebar, terdengar salam dari luar. Mbak Vina pun izin untuk melihat siapa yang datang. Sepertinya suara Bang Sony. Dia duduk di ruang tamu bersama Mbak Vina, sementara Fano dan Fian sudah ke sana karena panggilan mamanya. "Mau apalagi kamu ke sini, Bang?" Kudengar pertanyaan keluar dari bibir Mbak Vina. Aku tahu, Mbak Vina memang belum sepenuhnya ikhlas dengan pengkhianatan Bang Sony selama ini. Wajar saja, tak mudah bagi seorang istri untuk melupakan pengkhianatan suaminya sendiri. "Maafkan aku, Vin. Maafkan aku sudah mengkhianati cinta dan rumah tangga kita," balas Bang Sony sedikit gugup. Dia menundukkan kepala, seolah tak berani menatap sorot mata Mbak Vina yang tajam."Sudah berulang kali kamu ngomong begitu. Aku capek dengarnya, Bang. Gara-gara kamu, nyawa Feri dan Fian terancam. Perempuanmu itu memang keterlaluan. Biar saja sekarang membusuk di penjara!" Ucap Mbak Vina ketus. Dia begitu geram saat tahu dalang yang membuat Fian dan Mas Feri ce
Pagi ini, aku dan Mas Feri siap-siap ke rumah ibu. Sengaja membawa beberapa potong baju, barang kali nanti tiba-tiba pengin nginep di sana. Mas Feri tampak lebih bersemangat menjalani hari-harinya setelah berhasil melewati prediksi dokter itu. Aku dan Mas Feri diantar Mang Edi ke rumah ibu. Beberapa hari belakangan kami memang tak main ke sana. Ibu dan Mbak Vina sepertinya juga cukup sibuk, jadi tak ada waktu luang untuk menjenguk Bian.Akhir-akhir ini Mas Feri juga sering ke resto untuk melihat perkembangan usaha baru kami itu. Usaha yang sudah menampakkan hasilnya. Di luar dugaan, semua seolah dimudahkan olehNya. Alhamdulillah. Keuntungan yang didapat tiap bulannya pun semakin bertambah. Aku selalu mendengarkan cerita-cerita Mas Feri tentang perkembangan resto kami setiap dia pulang kerja. Lelah yang selama ini selalu terlihat di wajahnya itu berganti dengan senyum dan semangat yang kian meningkat dari hari ke hari. Tak hanya soal duniawi, Mas Feri juga meningkatkan ibadahnya, se
Aku benar-benar tak menyangka jika Mas Alvin akan menikah secepat ini. Bukan masalah iri, cemburu atau apa seperti yang dituduhkan Mas Feri, hanya saja selama ini Mas Alvin memang tak pernah cerita apapun soal rencana pernikahannya. Aku juga tak pernah tahu siapa teman dekatnya akhir-akhir ini. Wajar jika aku sangat kaget mendengar kabar bahagianya itu, kan?Mas Alvin memang jarang menceritakan tentang hidupnya. Dia agak tertutup sejak aku menikah dengan Mas Feri. Meski begitu dia masih sering menanyakan kabar keluarga kecilku, termasuk menanyakan soal perkembangan Bian. Namun lagi-lagi dia tak pernah cerita soal asmaranya, apalagi calon istri dan tanggal pernikahannya. Aku juga tak tahu kenapa dia menutupi kabar bahagia itu dariku, sementara pada Mas Feri dia justru cerita semuanya. Padahal dulu akulah yang menjadi tempatnya berkeluh kesah.Ah ya, dulu. Kini aku pun maklum, dia begitu karena terlalu menghargai statusku. Mungkin karena tak ingin ada fitnah diantara aku dan dia makany
Waktu terus bergulir, Mas Feri sepertinya sudah bisa 'berteman' dengan sakitnya. Tak seperti bulan lalu yang masih sering menjerit sakit kepala tiba-tiba, tapi sekarang dia sudah bisa mengontrol diri saat sakit itu tiba-tiba datang menyerang. Entah mengapa, aku jarang melihat Mas Feri kesakitan. Atau dia memang sengaja menyembunyikan segala sakitnya, hanya demi terlihat baik-baik saja di depanku dan keluarga besarnya? Mas Feri sering izin ke resto untuk sekadar cuci mata. Aku pun mengizinkan asalkan dia janji banyak istirahat di sana. Ada ruangan khusus untuk Mas Feri melepas lelah. Sejak Mas Feri sakit, kami memang menyewa sopir untuk mengantar jemput dia saat ingin pergi ke sana-sini. Tak kuizinkan Mas Feri menyetir mobil sendirian. Penglihatan Mas Feri mulai kabur, kadang dia juga sering lemah. "Mas, gimana sakitmu? Sudah membaik atau ada keluhan lain yang mungkin bertambah sakit?" tanyaku lagi saat dia tampak begitu lelah saat pulang dari resto. "Alhamdulillah sudah mendinga