Laki-laki itu masih tergeletak di tengah jalan. Sepertinya dia pingsan. Orang-orang yang tadi sibuk menikmati jajanan, ada yang berselfie atau ngobrol santai dengan pasangan mendadak berhamburan ke sana. Mereka ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi. Siapa yang tertabrak dan siapa yang menabrak. Tak terkecuali Abang penjual bubur ayam tempatku memesan. Fano yang tadi tak jadi ikut mamanya mengejar Fian tampak ketakutan melihat orang-orang berlarian. "Kita nggak ikut ke sana, Tante?" tanyanya dengan suara bergetar di balik jilbab panjangku. "Di sini saja, Fano. Kasihan Dek Bian kalau berdesak-desakan," balasku kemudian, meski dalam hati rasanya aku ingin melihat sendiri apa yang sebenarnya terjadi. Entah mengapa hatiku mulai berdebar tak tenang. Ada rasa gelisah dan takut yang tiba-tiba menyergap begitu saja. Aku sendiri tak tahu, kenapa kegelisahan itu datang tiba-tiba.Suara tangis mulai terdengar lebih kencang. Sepertinya suara itu tak terlalu asing. Ah mungkinkah? Bukannya s
Pov : Alvin Berita kecelakaan Mas Feri benar-benar membuatku shock. Pagi-pagi sekali aku dan papa sudah siap ke rumah sakit, aku berkewajiban mengurus semua administrasinya. Selain dia karyawan terbaik di kantor, dia juga sudah kuanggap seperti keluarga karena sebagai suami Arina-- sahabat kecilku dan anak angkat papa. Bayangan buruk kembali muncul di benak. Cerita-cerita Mas Feri beberapa bulan terakhir membuatku mulai gelisah dan sedikit takut. Jangan-jangan itu sebuah firasat dia akan benar-benar pergi? Astaghfirullah, jangan. Aku selalu berdoa agar dia sembuh, bisa menua bersama Arina dan buah hatinya. Aku tahu mereka saling mencintai tulus satu sama lain, tak tega rasanya jika secepat ini dipisahkan. Kemarin-kemarin aku khawatir dengan sakitnya, kini justru dia kritis bukan karena itu melainkan karena kecelakaan. Memang semua tak pernah bisa ditebak. Apa pun itu sudah menjadi takdir yang tak bisa dirubah seenak kehendak. "Pak Alvin, saya ingin cerita satu hal penting. Keluar
Pov : ArinaAir mataku semakin deras mengalir. Betapa tidak? Dokter bilang, Mas Feri sudah melewati masa kritisnya akibat kecelakaan itu tapi dia justru sedang sakit parah. Kanker stadium empat, dengan prediksi dokter hanya sekitar empat bulan saja usianya. Shock itu pasti. Khawatir, takut, sedih dan entah apalagi yang kini berkecamuk di otakku. Mas Alvin pun tampak menunduk saja, sesekali menatapku iba. Aku yakin dia tahu soal sakit Mas Feri ini jauh-jauh hari, tapi kenapa mereka tega menyembunyikan ini semua padaku.Kenapa mereka setega itu? Bagaimana jika memang prediksi dokter itu benar, usia Mas Feri tak lama lagi? Betapa hancurnya aku yang hanya memiliki waktu sekian minggu untuk mengabdi padanya? Anda aku tahu lebih lama, pasti aku juga memiliki kesempatan yang lebih untuk berbakti padanya. Tapi sekarang? Aku hanya bisa menangis. Diam. Menangis. Diam dan berdoa saja tanpa bisa berbuat apa-apa. Kenapa pula Mas Feri tak mau kemoterapi atau operasi saat dia tahu kanker otaknya m
Pov : Arina Jarum jam sudah menunjuk angka tujuh pagi. Aku baru saja mandi dan membereskan meja rias yang cukup berantakan. Ponsel di atas ranjang bergetar. Sebuah pesan masuk di sana. Gegas aku mengusap layar dan membuka pesan di sana. |Rin, Mbak sama Ibu belum bisa ke rumah. Ada tetangga hajatan. Mungkin lusa baru kita datang, ya? Kamu dan Feri sudah makan, kan? Kalau belum, biar Mbak pesankan. Bagaimana?| Aku tersenyum tipis membaca pesan dari Mbak Vina. Sejak Mas Feri dinyatakan mengidap kanker otak stadium empat bahkan diprediksi dokter usianya tinggal beberapa minggu lagi, ibu dan Mbak Vina semakin perhatian. Tak hanya pada Mas Feri, tapi padaku juga. Mereka juga bergantian menginap di rumah untuk membantuku jika sewaktu-waktu membutuhkan pertolongan. Sikap mereka benar-benar membaik, sesuai dengan doa dan harapan yang kupanjatkan selama beberapa tahun belakangan. |Nggak apa-apa, Mbak. Kami sudah makan kok. Aku selesai memasak bakda subuh tadi. Mbak Vina tak perlu khawatir
Pov : Arina Pagi ini, Mas Feri begitu bersemangat. Dia tampak berbeda dibandingkan sebelumnya. Ada kilatan semangat dalam sorot matanya. Semangatnya untuk sembuh semakin kuat. Mas Feri semakin rajin olah raga. Dia juga tak lagi makan makanan penyebab kanker, terutama makanan instan yang seringkali dinikmati banyak orang. Suami terhebatku itu menerapkan hidup sehat dalam dirinya. Belum lama, tepatnya setelah dokter menyatakan ada kanker dalam tubuhnya. Bahkan memprediksi usianya tinggal menghitung bulan saja. "Mas, mau ke mana sih? Rapi dan wangi banget?" tanyaku pada Mas Feri yang masih bersiul santai sembari memakai kemeja salurnya. Mas Feri membalikkan badannya lalu melambaikan tangan ke arahku. "Sini, Dek. Sudah pas belum?" tanyanya singkat. Aku mengangguk lagi sembari membenarkan kancing kemejanya yang terlepas."Kamu mau ke mana sih, Mas? Ketemu perempuan cantik di luar sanakah? Rapi dan wangi banget," ucapku menggodanya lalu mencubit pinggangnya. Cemburu. Mas Feri terkeke
Waktu terus bergulir, Mas Feri sepertinya sudah bisa 'berteman' dengan sakitnya. Tak seperti bulan lalu yang masih sering menjerit sakit kepala tiba-tiba, tapi sekarang dia sudah bisa mengontrol diri saat sakit itu tiba-tiba datang menyerang. Entah mengapa, aku jarang melihat Mas Feri kesakitan. Atau dia memang sengaja menyembunyikan segala sakitnya, hanya demi terlihat baik-baik saja di depanku dan keluarga besarnya? Mas Feri sering izin ke resto untuk sekadar cuci mata. Aku pun mengizinkan asalkan dia janji banyak istirahat di sana. Ada ruangan khusus untuk Mas Feri melepas lelah. Sejak Mas Feri sakit, kami memang menyewa sopir untuk mengantar jemput dia saat ingin pergi ke sana-sini. Tak kuizinkan Mas Feri menyetir mobil sendirian. Penglihatan Mas Feri mulai kabur, kadang dia juga sering lemah. "Mas, gimana sakitmu? Sudah membaik atau ada keluhan lain yang mungkin bertambah sakit?" tanyaku lagi saat dia tampak begitu lelah saat pulang dari resto. "Alhamdulillah sudah mendinga
Aku benar-benar tak menyangka jika Mas Alvin akan menikah secepat ini. Bukan masalah iri, cemburu atau apa seperti yang dituduhkan Mas Feri, hanya saja selama ini Mas Alvin memang tak pernah cerita apapun soal rencana pernikahannya. Aku juga tak pernah tahu siapa teman dekatnya akhir-akhir ini. Wajar jika aku sangat kaget mendengar kabar bahagianya itu, kan?Mas Alvin memang jarang menceritakan tentang hidupnya. Dia agak tertutup sejak aku menikah dengan Mas Feri. Meski begitu dia masih sering menanyakan kabar keluarga kecilku, termasuk menanyakan soal perkembangan Bian. Namun lagi-lagi dia tak pernah cerita soal asmaranya, apalagi calon istri dan tanggal pernikahannya. Aku juga tak tahu kenapa dia menutupi kabar bahagia itu dariku, sementara pada Mas Feri dia justru cerita semuanya. Padahal dulu akulah yang menjadi tempatnya berkeluh kesah.Ah ya, dulu. Kini aku pun maklum, dia begitu karena terlalu menghargai statusku. Mungkin karena tak ingin ada fitnah diantara aku dan dia makany
Pagi ini, aku dan Mas Feri siap-siap ke rumah ibu. Sengaja membawa beberapa potong baju, barang kali nanti tiba-tiba pengin nginep di sana. Mas Feri tampak lebih bersemangat menjalani hari-harinya setelah berhasil melewati prediksi dokter itu. Aku dan Mas Feri diantar Mang Edi ke rumah ibu. Beberapa hari belakangan kami memang tak main ke sana. Ibu dan Mbak Vina sepertinya juga cukup sibuk, jadi tak ada waktu luang untuk menjenguk Bian.Akhir-akhir ini Mas Feri juga sering ke resto untuk melihat perkembangan usaha baru kami itu. Usaha yang sudah menampakkan hasilnya. Di luar dugaan, semua seolah dimudahkan olehNya. Alhamdulillah. Keuntungan yang didapat tiap bulannya pun semakin bertambah. Aku selalu mendengarkan cerita-cerita Mas Feri tentang perkembangan resto kami setiap dia pulang kerja. Lelah yang selama ini selalu terlihat di wajahnya itu berganti dengan senyum dan semangat yang kian meningkat dari hari ke hari. Tak hanya soal duniawi, Mas Feri juga meningkatkan ibadahnya, se