Di malam yang pekatAngin berembus syahduDaku bagai tersekatApabila teringat sosok SyahduAkankah dia menjadi jawabanAtas segala doa yang kami pinta?Apakah terkabul sebuah harapanApabila Syahdu menjadi perantara?Hati merasa gamangJiwa pun tak lagi tentramTeringat rupanya yang menawanJuga bibir yang begitu ranumSekelumit kisah tentang kamiYang selalu harapkan buah hatiHaruskah ikhlas berbagiMerelakan dia hadir di antara kami?Sekalipun mata terpejam,luka tak pernah mau beranjakSekalipun bibir mengukir senyum,sesak di dada tak henti membelengguAku terluka, tetapi harus menerimaBerharap kelak ada buah di balik kesabaranku~~~"Istri mas lagi ngapain?" tegur Mas Hanan membuatku segera menyimpan kembali buku itu.Sebuah buku yang selalu menjadi tempat pelarianku selama ini. Di dalamnya berisi banyak puisi sebagai bentuk curahan hati.Jam sudah menunjuk angka sembilan, tetapi aku masih belum mengantuk. Bagaimana bisa sementara hati terus memikirkan omongan Bu Wenda."Mas,
Kami duduk berhadapan dengan jarak yang tidak terlampau jauh. Syahdu berwajah ceria, mungkin dia belum bisa menebak kenapa aku mengajaknya bertemu secara tiba-tiba. Beruntung saat ke sini tadi, Bu Arin sudah tidak berdiri di depan rumah. Mungkin dia kesal karena tidak menemukan topik baru. "Syahdu, aku dengar-dengar kamu mencintai Mas Hanan?" Perempuan di depanku terperanjat. Dia pasti tidak menduga aku akan bertanya demikian. Akan tetapi, jika terus mendiamkan juga bisa menjadi fitnah. "Kenapa Mbak Yumna ngomong kayak gitu? Aku ndak berani suka sama Gus Hanan." "Syahdu, kamu memang berkata demikian, tetapi matamu menyiratkan cinta yang besar." Syahdu membuang pandangan. Suaranya yang lembut tentu saja bisa membuat lelaki mana pun jatuh cinta. Matanya yang teduh mungkin memang benar pernah dipandang Mas Hanan. Kalau saja aku bukan istrinya, pasti suamiku akan langsung melamar Syahdu. Perempuan cantik yang sangat menjaga kehormatan. "Aku mau minta tolong sama kamu, Syahdu." Aku
Suara pintu utama terdengar, pasti Mas Hanan sudah pulang dari masjid. Aku langsung ke luar dan menghambur dalam pelukannya."Senang amat, ada apa, ya?" tanya Mas Hanan dengan nada menggoda."Syahdu bersedia, Mas!" pekikku bahagia.Tiba-tiba saja senyum di wajah Mas Hanan sirna. Rembulan di wajahnya seakan tertutup awan tebal. Aku sudah mengenal Mas Hanan cukup lama dan tahu kalau hati kecilnya terukir luka."Benarkah? Benarkah kamu bahagia dengan kabar itu?""Aku bahagia, Mas. Sekarang masuk kamar karena aku sudah tidak sabar untuk meminta restu ibu.""Tapi aku belum menjawab, Dek. Kamu bahkan belum tahu aku mau apa tidak.""Mas, aku bahagia jika kamu menikahi Syahdu. Rasa cemburu itu hanya ada sebentar, nanti akan sirna jika aku sudah lebih ikhlas. Perempuan yang dipoligami bukan cuma aku dan kita punya alasan kuat. Pokoknya Mas harus menuruti keinginanku ini. Oke?""Terserah kamu lah!" ketus Mas Hanan.Aku meloncat kegirangan. Sekalipun nada bicaranya terdengar ketus, tetap saja ta
Alhamdulillah," ucapku diselingi tawa yang terdengar sumbang. "Apa kamu sungguh-sungguh, Nak Gus?" tanya ibu dengan raut wajah khawatir. Matanya bahkan sekilas melirik padaku sebagai tanda tidak percaya. "Jika ini yang diinginkan Yumna, aku bisa apa, Bu? Sudah sering kuingatkan untuk bersabar, memberitahunya kalau aku tidak pernah mau menikah lagi. Akan tetapi, dia selalu memaksakan kehendak bahkan ...." "Sudah, Mas. Ini keputusan terbaik, aku yakin sebentar lagi kita sekeluarga akan bahagia," sambungku cepat begitu Mas Hanan menunduk dalam. Ayah dan ibu hanya bisa diam serta menatap penuh tanda tanya. Aku menautkan ibu jari dan telunjuk sebagai isyarat kalau hati sedang baik-baik saja. Tidak sabar rasanya menyampaikan berita baik ini pada Syahdu. Aku pun pamit masuk kamar seraya merogoh ponsel dalam saku gamis. "Assalamualaikum, Syahdu. Kamu apa kabar?" sapaku via telepon. "Waalaikumussalam, Mbak. Alhamdulillah aku baik-baik saja. Mbak gimana kabarnya?" "Alhamdulillah, Syahdu.
[Kalau hal ini melukai hati Mbak Yumna, maka tolong jangan biarkan Gus Hanan menikah lagi. Aku tidak bisa menjadi orang ketiga yang akan berbahagia di hari pernikahan sementara Mbak menahan luka. Tolong dipikir ulang sebelum semuanya menyesal.]"Mas, Syahdu." Aku menyodorkan ponsel pada Mas Hanan. Dia menerimanya lantas membaca pesan tersebut."Syahdu benar, jangan gegabah mengambil keputusan atau kamu menyesal nanti. Jujur saja mas merasa ragu kalau harus menikah sama dia. Kamu mau kan memikirkan ulang perkara ini sambil berdoa sama Allah biar kamu cepet hamil?""Keputusanku sudah bulat, Mas. Kalian memang harus menikah dan aku ikhlas." Getar di dada semakin mengganggu.Tidak ada jawaban, Mas Hanan hanya bisa melipat bibir. Sebenarnya aku pun sama dengan perempuan lainnya, tidak ingin berbagi hati. Namun, bagaimana jika semesta seakan menuntutku melakukan hal ini?Aku mungkin bisa berusaha menjadi istri terbaik untuk Mas Hanan, mengurus makan dan tidurnya. Tidak dengan memberinya seo
Mereka kembali melanjutkan perbincangan yang tertunda. Aku tidak bisa mendengar betul kecuali seorang lelaki tua bertanya dengan nada pelan, tetapi penuh penekanan, "apa Gus Hanan bisa berlaku adil pada Syahdu?" Sekilas matanya melirik pada tangan kami yang saling menggenggam dengan erat. "Atau hanya mewujudkan mimpi kalian?""Kedatangan kami ke sini serius, Pak, bukan untuk memanfaatkan saja. Maafkan suamiku kalau ada salah tadi atau diri ini yang mendadak keluar rumah. Sekali lagi maafkan kami," balas Yumna dengan suara bergetar menahan perih di dada."Aku tidak melihat Gus Hanan mencintai Syahdu.""Akan tetapi, cinta akan tumbuh karena seringnya bersama, Pak." Gus Qabil menjawab cepat, pandangannya mengarah padaku sehingga kami saling menatap."Lalu kenapa Gus Hanan cuma diam?" Mata lelaki tua itu sedikit memicing, lantas menampilkan gigi yang berderet rapi. "Maaf, kalian jangan salah paham. Tentu bapak-bapak di luar sana pasti menginginkan anaknya mendapat keadilan jika menjadi is
Lepas salat dzuhur, Mas Hanan benar-benar sudah datang, aku langsung mencium punggung tangannya takzim.Setelah kami duduk di karpet depan kamar, aku membuang napas kasar untuk melonggarkan dada yang terasa sesak. Jujur saja, kaki dan tangan sudah gemetaran duluan."Mas, aku lihat kamu tidak pernah ada niat mencintai Syahdu.""Tentu, kenapa?""Kalau kalian menikah, Syahdu berhak mendapat cinta kamu, Mas. Kamu harus tahu, aku itu ikhlas dimadu. Kita sama-sama ingin punya anak, tetapi sampai tujuh tahun berlalu ... nihil."Mas Hanan mengalihkan pandangan sejenak, sebelum kedua tangannya benar-benar mencengkram bahuku. "Yumna, sampai kapan pun aku akan selalu mencintaimu. Sampai kapan pun hanya kamu yang akan menjadi pengisi hatiku dan tolong, kalau boleh meminta, jangan paksa aku menikahi Syahdu. Tolong, aku ingin hidup berdua sama kamu!""Mas, jangan mengedepankan ego. Aku tahu mas cinta dan sayang sama aku, tapi kita butuh seorang anak. Mungkin Syahdu itu memang jodoh kamu."Tidak ada
Suasana mengharu biru melihat Mas Dika mendekat pada ayah seakan membisikkan sesuatu. Ya, aku berontak dalam pelukan Mas Hanan. Entah kenapa dia tidak membiarkanku dekat dengan ayah.Sialnya, Mas Dika malah menuntun ayah mengucapkan lafaz tauhid. "Mas, kamu apa-apaan, sih?"Dia tidak menjawab, masih terus menuntun ayah sampai tangan lemah berkeriput itu lepas dari genggamannya. Tangis ibu pecah, segera Mas Dika mendekat dan membawanya dalam pelukan."Innalillahi wainnailaihi raajiun," lirih Mas Hanan tepat di dekat telingaku."Mas, kamu ngomong apa sih?" tanyaku masih memberontak.Mas Hanan membawaku keluar dari kamar, masih tidak mau melepas pelukannya. Mata itu sudah basah. "Kamu harus kuat, Yum. Ayah sudah tenang.""Maksudnya gimana?" Aku memaksa melepaskan diri."Ayah sudah mendahului kita.""Apa?" Aku terpukul mendengar jawaban Mas Hanan. Kakiku kembali melangkah cepat langsung menemui ayah yang sudah tidak,lagi bernapas.Beribu maaf kugaungkan, tetapi tidak peroleh jawaban. Pipi