Mereka kembali melanjutkan perbincangan yang tertunda. Aku tidak bisa mendengar betul kecuali seorang lelaki tua bertanya dengan nada pelan, tetapi penuh penekanan, "apa Gus Hanan bisa berlaku adil pada Syahdu?" Sekilas matanya melirik pada tangan kami yang saling menggenggam dengan erat. "Atau hanya mewujudkan mimpi kalian?"
"Kedatangan kami ke sini serius, Pak, bukan untuk memanfaatkan saja. Maafkan suamiku kalau ada salah tadi atau diri ini yang mendadak keluar rumah. Sekali lagi maafkan kami," balas Yumna dengan suara bergetar menahan perih di dada.
"Aku tidak melihat Gus Hanan mencintai Syahdu."
"Akan tetapi, cinta akan tumbuh karena seringnya bersama, Pak." Gus Qabil menjawab cepat, pandangannya mengarah padaku sehingga kami saling menatap.
"Lalu kenapa Gus Hanan cuma diam?" Mata lelaki tua itu sedikit memicing, lantas menampilkan gigi yang berderet rapi. "Maaf, kalian jangan salah paham. Tentu bapak-bapak di luar sana pasti menginginkan anaknya mendapat keadilan jika menjadi istri kedua, betul?"
Kami semua diam, seharusnya ayah juga membuka suara andai saja Mas Hanan itu anak bukan menantunya karena yang berhak di sini mungkin Gus Qabil selaku kakak kandung. Kalau aku ... sebenarnya sedikit bisa bersuara, hanya saja enggan.
Aku tidak ingin terlalu banyak menjawab pertanyaan dalam acara lamaran ini karena bisa jadi berubah pikiran sehingga nekat memulangkan Mas Hanan. Keluarga besar Syahdu akan malu besar seperti aku dulu.
"Tidak, ini tidak boleh terjadi!" kataku sedikit bergumam.
"Apa, Sayang?" bisik Mas Hanan.
Sekali lagi aku tidak menanggapi karena malu pada keluarga Syahdu yang menatap kami. Pertanyaan tadi saja belum terjawab dan aku sudah membuat ulah yang bisa membuat mereka berprasangka buruk.
Aku tahu nama pesantren juga akan ikut tercemar karena Gus Qabil andil dalam acara lamaran ini. Nasi sudah menjadi bubur, aku tidak bisa lagi melarang kalau misal mereka akan menikah. Terlambat sudah.
"Insya Allah, Pak. Aku akan berusaha untuk bersikap adil." Mas Hanan menjawab dengan suara terbata.
"Kalau begitu, Syahdu silakan menjawab!" perintahnya pada sang anak yang terus menunduk.
Kini, gantian aku yang menggenggam erat tangan Mas Hanan karena takut mendengar jawaban Syahdu sekalipun aku tahu ....
"Aku bersedia."
Suara pelan, tetapi begitu keras menghantam kalbu. Pandanganku mengabur, segera kepala menunduk untuk menyembunyikan air mata. Entah bagaimana aku menjalani hari-hari selanjutnya nanti terlebih ketika Syahdu sudah sah menjadi adik madu.
Mereka kembali berbincang sambil menikmati jamuan yang ada. Sesekali aku mendengar tanggal pernikahan. Entah kapan, indra pendengaran ini seperti berkurang fungsinya.
Genggaman tanganku mengendur karena tubuh terasa lemas, tetapi dieratkan kembali oleh Mas Hanan. Aku tahu dia sengaja memintaku duduk di sisinya untuk tetap menjadi pelindung, penyemangat serta penyokong dalam keadaan apa pun.
Aku tidak tahu apakah harus sedih atau bahagia merasakan perhatian Mas Hanan yang tidak berubah. Sekali lagi telingaku ini samar mendengar nama Syahdu disandingkan dengan Mas Hanan.
"Minum, Dek!" Mas Hanan memberiku segelas minuman.
"Mas saja, aku tidak haus."
Entah untuk menunjukkan kalau di hatinya hanya ada aku, Mas Hanan kembali berkata, "minum dulu, kemudian mas."
Gelas itu aku raih, kemudian meneguknya sedikit. Semua orang tengah sibuk menikmati hidangan, Mas Hanan pun mengambil kesempatan meminum air tadi tepat di bekas bibirku.
Syahdu langsung tersedak minuman. Sepertinya tidak memperhatikan kami secara diam-diam. Kalau sudah begini jadinya, maka berarti dia merasakan cemburu.
***
Jam sebelas siang kami sudah tiba di rumah, kini hanya ada aku dan Mas Hanan karena yang lain ada di rumah ibu. Begitu suamiku masuk kamar mandi, lekas aku menemui Gus Qabil yang sudah menunggu di teras depan.
Dua lelaki berbincang di sana, dengan tatapan serius yang membuatku merasa was-was. Aku mendekat dengan langkah sangat perlahan kemudian Mas Dika memberi satu kursi kosong.
"Yumna, memiliki adik madu itu berat resikonya. Bukan hanya kamu yang harus ikhlas, tetapi juga Hanan dan Syahdu. Kalian sama-sama berkorban. Hanan akan berusaha berlaku adil karena itu merupakan tuntunan dari agama, tetapi dia harus selalu menjaga perasaanmu. Apa kamu yakin kelak bisa ikhlas kalau saja Hanan mencintai Syahdu? Kita semua tahu bahwa cinta bisa tumbuh karena sering bersama," jelas Gus Qabil tanpa basa-basi.
Aku tidak langsung menjawab karena bingung juga. Ini bukan hal sepele dan memang sebuah resiko yang besar. Terutama ketika kami tinggal dalam satu atap. Sungguh aku akan kesulitan mengelabui hati, memaksa diri untuk tidak menaruh cemburu.
"Bagaimana, Dek? Kamu sanggup? Kalau tidak, Gus Qabil akan mencari pengganti terbaik untuk Syahdu," tambah Mas Dika.
"Mas." Aku menatapnya dengan air mata berlinang. "Semua sudah telat, aku harus mengikhlaskan suamiku menikah lagi."
"Hanan tidak akan bisa berlaku adil kalau kamu belum ikhlas dan seorang perempuan akan sulit menjalaninya. Apalagi ...." Gus Qabil menjeda sedikit. "Kamu jangan tersinggung, apalagi kalau Hanan ternyata lebih fokus mengurus Syahdu kalau dia ... mengandung."
Belum mengandung dan melihat Mas Hanan mengurusnya saja air mata sudah jatuh membentuk anak sungai, bagaimana kalau sudah nyata di depan mata?
Aku melipat bibir karena gemetaran. Gus Qabil pun mengulangi pertanyaan walau dengan kalimat berbeda. "Kamu yakin bisa ikhlas menerima Hanan kalau cintanya terbagi? Itu sebuah keharusan sebenarnya, maka jangan gegabah."
"Yakin, Gus," jawabku asal.
"Tapi matamu mengatakan yang lain. Hanan itu adikku, aku tahu kalau dia sudah suka terhadap sesuatu, maka sulit untuk berpaling. Bahkan tidak jarang aku mengalah demi dia."
"Dan kamu adik mas, Yum. Mas tahu kamu tulus, tetapi sangat mudah menangis. Kamu rapuh, tetapi selalu berusaha kuat. Mas khawatir nanti kamu salah dalam melangkah." Mas Dika menambahkan.
Aku jadi semakin dilema, tetapi tanggal pernikahan mereka sudah ditentukan. Walau tidak akan ramai dan hanya melangsungkan akad, tetap saja akan menjadi buah bibir kalau benar-benar batal.
"Insya Allah aku ikhlas, Gus, Mas."
Keduanya mengembus napas berat bersamaan, kemudian aku pamit kembali ke rumah karena khawatir Mas Hanan salah paham kalau melihat kami.
"Jaga hatimu, Yum. Kalau mau menangis, luahkan saja. Jangan biasakan memendam sendiri, pasangan itu harus saling terbuka!" pinta Mas Dika.
Aku menoleh dan menundukkan kepala sekilas sebagai pertanda setuju. Mereka berdua begitu baik, aku merasakan kasih sayangnya sebagai saudara dan semoga tidak ada prasangka buruk dalam diri.
Ketika masuk kamar, Mas Hanan juga sudah selesai mandi. Aku lega karena dia tidak tahu kalau aku habis ke rumah ibu tadi.
"Mas, abis ngajar nanti langsung balik, ya. Aku mau bicara sesuatu."
Mas Hanan langsung menatapku lekat sebelum akhirnya mengangguk. "Nanti mas liburkan saja mereka biar bisa bicara leluasa. Sepertinya kita harus bicara banyak hal."
"Terimakasih, Mas. Sekarang bersiaplah ke masjid, aku sekalian mau memasak nanti."
Lelaki itu mendekat, dia langsung mendekapku erat sehingga desiran hebat menyambar dalam dada, mengalir di setiap aliran darah. Pelukan yang begitu hangat, aku sampai menitikkan air mata.
"Sampai kapan pun, hanya kamu yang akan ada di hati mas. Kamu jangan pernah mengira aku akan berpindah ke lain hati. Ingat, lamaran ini terjadi atas desakan kamu dan kalau kamu mau, aku bisa batalkan detik ini juga."
Aku langsung meletakkan jari telunjuk di bibir Mas Hanan yang lembut dan tipis. "Jangan bicara seperti itu. Aku ikhlas, Mas!" ujarku tersenyum.
Lepas salat dzuhur, Mas Hanan benar-benar sudah datang, aku langsung mencium punggung tangannya takzim.Setelah kami duduk di karpet depan kamar, aku membuang napas kasar untuk melonggarkan dada yang terasa sesak. Jujur saja, kaki dan tangan sudah gemetaran duluan."Mas, aku lihat kamu tidak pernah ada niat mencintai Syahdu.""Tentu, kenapa?""Kalau kalian menikah, Syahdu berhak mendapat cinta kamu, Mas. Kamu harus tahu, aku itu ikhlas dimadu. Kita sama-sama ingin punya anak, tetapi sampai tujuh tahun berlalu ... nihil."Mas Hanan mengalihkan pandangan sejenak, sebelum kedua tangannya benar-benar mencengkram bahuku. "Yumna, sampai kapan pun aku akan selalu mencintaimu. Sampai kapan pun hanya kamu yang akan menjadi pengisi hatiku dan tolong, kalau boleh meminta, jangan paksa aku menikahi Syahdu. Tolong, aku ingin hidup berdua sama kamu!""Mas, jangan mengedepankan ego. Aku tahu mas cinta dan sayang sama aku, tapi kita butuh seorang anak. Mungkin Syahdu itu memang jodoh kamu."Tidak ada
Suasana mengharu biru melihat Mas Dika mendekat pada ayah seakan membisikkan sesuatu. Ya, aku berontak dalam pelukan Mas Hanan. Entah kenapa dia tidak membiarkanku dekat dengan ayah.Sialnya, Mas Dika malah menuntun ayah mengucapkan lafaz tauhid. "Mas, kamu apa-apaan, sih?"Dia tidak menjawab, masih terus menuntun ayah sampai tangan lemah berkeriput itu lepas dari genggamannya. Tangis ibu pecah, segera Mas Dika mendekat dan membawanya dalam pelukan."Innalillahi wainnailaihi raajiun," lirih Mas Hanan tepat di dekat telingaku."Mas, kamu ngomong apa sih?" tanyaku masih memberontak.Mas Hanan membawaku keluar dari kamar, masih tidak mau melepas pelukannya. Mata itu sudah basah. "Kamu harus kuat, Yum. Ayah sudah tenang.""Maksudnya gimana?" Aku memaksa melepaskan diri."Ayah sudah mendahului kita.""Apa?" Aku terpukul mendengar jawaban Mas Hanan. Kakiku kembali melangkah cepat langsung menemui ayah yang sudah tidak,lagi bernapas.Beribu maaf kugaungkan, tetapi tidak peroleh jawaban. Pipi
Jam sudah menunjuk angka sepuluh pagi, para tetangga juga kerabat jauh dan dekat sudah mulai berdatangan sejak tadi. Beberapa santri juga sudah selesai membaca al-qur'an untuk ayah. Aku sedih, sekaligus bahagia karena almarhum didoakan oleh anak-anak penghafal al-qur'an.Sejak tadi ibu menyibukkan diri di dapur karena kalau duduk di sisi jenazah, air matanya tidak bisa berhenti mengalir khawatir menjadi dosa karena meratapi mayat. Sebenarnya aku pun sama terlukanya melihat sosok yang sangat aku cintai kini terbujur kaku."Kamu yang sabar, Mbak. Jangan larut dalam kesedihan, nanti hatinya ndak ikhlas," kata Andin yang sejak tadi bersedia menemaniku.Aku membuang napas berat, rasanya masih sulit menerima takdir dari Tuhan. Bukan aku menentang, hanya saja semua terlalu cepat. Rasanya baru kemarin aku menjadi anak ayah, sekarang sudah harus berpisah.Luka seorang anak yang ditinggal orangtua itu sangat dalam apalagi aku belum bisa membalas pengorbanannya selama ini. Aku terlalu bodoh dan
POV AUTHORMereka sudah tiba di rumah, Yumna tetap tidak bisa tersenyum walau sedikit. Sekalipun dihibur suami dan kakak sendiri, dia selalu memalingkan wajah. Terlebih ketika mengingat tentang Syahdu.Bolehkah gadis itu menangis dan meminta suaminya untuk tidak perlu menikah dengan Syahdu? Atau sikap itu hanyalah keegoisan yang bisa merusak keharmonisan rumah tangga?Yumna sadar dirinya masih belum pernah hamil barang sekali, jadi sangat sedikit kemungkinan untuk memiliki anak. Kini air matanya telah tumpah tanpa mampu dia bendung lagi.Hatinya merintih, bertanya kepada Tuhan, dosa berat apa yang pernah dia lakukan sehingga mendapat ujian seperti itu? Kehilangan ayah, menikah tanpa keturunan serta harus mengikhlaskan suami menikah lagi meskipun itu atas dasar keinginannya."Yumna, ikhlaskan ayah. Kalau ayah melihat kamu sedih, pasti ayah juga bakal sedih," hibur Mas Dika."Ikhlas? Kenapa aku selalu dituntut untuk ikhlas, Mas?""Karena kamu pernah berdoa sama Tuhan agar sabarmu diluas
"Yum, kamu gak bisa melihat atau merasakannya? Sedetik pun?" tanya Gus Hanan lagi."Aku sangat bisa melihat dan merasakannya, Mas. Tadi aku nanya kayak gitu cuma mau mendapat pengakuan aja. Aku yakin kamu bisa berlaku adil, Mas."Gus Hanan memejamkan mata, dia merasa sedikit kesal pada pola pikir istrinya. Sebenarnya dia sediri merasa baik-baik saja sekalipun belum dikaruniai anak, tetapi masalah bermula ketika Yumna diledek oleh para tetangga.Tetangga yang juga meng-gibahi-nya di masa lalu ketika lamaran diputus sepihak oleh Mas Ilham. Sebenarnya Gus Hanan sudah mencoba mengajak Yumna untuk pindah rumah saja, tetapi gadis itu tidak mau meninggalkan ibunya.Apalagi sekarang, ibunya adalah seorang single parent. Meskipun ada Mas Dika, tetapi beliau akan tetap tinggal sendirian kalau anaknya berangkat kerja. Gus Hanan juga tidak ingin tinggal di pesantren sebagaimana tujuannya sejak awal untuk mengajari mereka yang tidak berkesempatan duduk di bangku pesantren.Namun, siapa sangka, tuj
Tadi malam, Gus Hanan sudah istikharah untuk ke lima kalinya dan selalu muncul wajah Syahdu bahkan hatinya sedikit tergerak untuk menikahi gadis itu. Dia sengaja melakukannya berulang kali karena mau jawaban yang lain, teryata sama saja.Lelaki berwajah tampan itu pasrah kepada Tuhan, mungkin memang sudah takdirnya untuk menikah lagi. Air mata Gus Hanan keluar, dia merasa tidak sanggup menjalani perintah Tuhan.Dia melangkah lesu menemui sang istri yang baru saja membereskan peralatan makan. Gus Hanan sengaja tidak mengatakan itu lebih awal karena takut nafsu makan istrinya kembali hilang.Gus Hanan sangat paham bahwa sekalipun perempuan tersenyum, bisa jadi itu pertanda hatinya sangat terluka. Sebagaimana sejak dulu sudah diketahui kalau perempuan sangat pandai memendam perasaannya dan sulit untuk dipahami."Dek, mas mau bicara sama kamu.""Bicara apa, Mas?"Yumna mengikuti langkah suaminya menuju ruang tengah. Hatinya sedikit berdegup kencang karena belum bisa menebak apa yang akan
Hari pertama, hari kedua, hari ke tiga bahkan sampai ke seratus, kesedihan itu tidak pernah hilang. Yumna selalu mengingat mendiang ayahnya juga masalah dalam rumah tangganya.Seperti sebuah perayaan, kini dia mengantarkan sang suami menuju rumah Syahdu untuk menikah. Bagi sebagian orang, dia beranggapan kalau Yumna adalah gadis bodoh karena mengizinkan suaminya menikah lagi padahal Gus Hanan sendiri menerima keadaan mereka yang belum dikaruniai anak.Yumna mendesah dalam keputus-asaan, bagaimana pun juga, tidak mungkin membatalkan acara itu karena akan membuat malu pihak perempuan. Yumna tahu rasanya disakiti, maka enggan untuk menyakiti orang lain."Kamu harus kuat, ini bukan akhir dari segalanya. Dengan melihatmu sedih akan menjadi kebahagiaan tersendiri untuk orang-orang yang membencimu. Kuat, sekuat terumbu karang!" ucap Mas Dika begitu mereka sampai di tempat tujuan.Mas Dika tahu kalau hati adiknya sedang hancur karena bulan kemarin dia juga merasakan hal yang sama. Gadis yang
Yumna terjaga begitu mendengar pintu rumahnya terketuk, tetapi dia tidak langsung membukanya. Gadis itu terlalu lemah sehingga hanya bisa terbaring menunggu seseorang itu masuk.Dalam hitungan menit saja, Gus Hanan sudah muncul dengan pakaian pengantinnya sendirian. Hal itu lantas membuat Yumna terusik untuk menanyakan keberadaan sang adik madu."Kita harus bicara berdua, Mas Dika bilang ada sesuatu yang harus kamu beritahu padaku tanpa kehadiran Syahdu.""Syahdu ada di mana?""Di rumah ibu." Gus Hanan langsung duduk di tepi ranjang. "Katakan, apa yang mau kamu sampaikan, Dek? Dan kenapa tadi sampai pingsan?"Meskipun berat, Yumna juga harus memberitahu perkara besar itu pada suaminya. Dia tidak boleh menyimpan sendiri atau akan disalahkan jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan."Mas, aku hamil."Gus Hanan terpengarah, dia ragu dengan apa yang didengarnya. Apakah dia salah dengar karena terlalu menginginkan anak dari istri tercintanya itu?Akhirnya dia bertanya, "apa? Tadi kamu ng
EXTRA PART!!!____Cinta mengubah kekasaran menjadi kelembutan, mengubah orang tak berpendirian menjadi teguh berpendirian, mengubah pengecut menjadi pemberani, mengubah penderitaan menjadi kebahagiaan, dan cinta membawa perubahan-perubahan bagi siang dan malam.Ketahuilah, apapun yang menjadikanmu tergetar, itulah yang terbaik untukmu! Dan karena itulah, qalbu seorang pecinta-Nya lebih besar daripada Singgasana-Nya.Air berkata kepada yang kotor, "Kemarilah." Maka yang kotor akan berkata, "Aku sungguh malu." Air berkata, "Bagaimana malumu akan dapat dibersihkan tanpa aku?Singa terlihat paling tampan ketika sedang mencari mangsa. Jualah kepandaianmu dan belilah kebingunganmu. Jika Anda jengkel terhadap setiap gesekan, bagaimana cermin Anda akan dipoles.Anda dilahirkan memiliki sayap, mengapa lebih memilih hidup merangkak. Cinta dan kelembutan adalah sifat manusia, amarah dan gairah nafsu adalah sifat binatang. Kau harus hidup di dalam cinta, sebab manusia yang mati tidak dapat melak
Bu Wenda terus berjoget ria sambil berteriak kalau dia adalah fans Yumna. Tidak ada yang mau menghentikan Bu Wenda yang semakin kehilangan kendali itu bahkan anaknya saja sudah menjauh ketika Nurul memberi isyarat."Kalian tahu? Aku sudah memfitnah Yumna mengatakan dia hamil, makanya Ilham memutus lamaran itu. Aku bilang dia mandul sampai stres dan keguguran. Kira-kira Yumna mau maafin aku nggak, ya? Ada yang tahu jawabannya?"Lagi, dia tertawa keras."Di sini ada yang bernama Yumna? Ah, aku rindu setengah mati kepada Yumna. Sebenarnya aku mengakui semua kesalahan itu dan mau meminta maaf, tetapi sudah keburu gengsi duluan. Andai tidak ada yang berdiri di sisi Yumna, aku pasti bisa meminta maaf sama dia. Aku malu karena ada Nurul, Amel dan suaminya.Kalian tahu kalau suami Yumna itu putra Kyai Sholeh? Makanya aku tidak suka kalau Yumna bahagia. Sekarang saja aku mau mencekik lehernya biar dia mati atau kita bawa bermain-main di taman. Aduh, Syahdu kasihan sekali karena dia harus menin
Hari selasa yang cerah ketika Gus Hanan baru pulang mengajar di masjid, Yumna langsung menariknya masuk kamar dengan wajah berseri-seri."Mas, hari ini ingat hari apa?""Hari selasa?"Yumna menggeleng. Gus Hanan mencoba menebak bahkan hampir sepuluh kali tebakan, tetapi belum juga berhasil. Dengan sedikit kesal, Yumna memberi tahu kalau hari ini Gus Hanan genap berusia 27 tahun."Ah iya, mas udah 27 tahun hari ini. Aduh, kok sampai lupa ya?""Daaaan ... aku punya hadiah ulang tahun buat Mas Hanan.""Hadiah? Qur'an? Kitab? Atau kecupan lagi kayak tahun kemarin?"Sekali lagi Yumna menggeleng. Gus Hanan menyerah tidak mampu menebak. Dia akhirnya memeluk sang istri, berusaha membujuk untuk langsung menunjukkan hadiah itu saja.Yumna mengurai pelukan suaminya, dia merogoh saku gamis dan menunjukkan sebuah benda berwarna putih dan biru. "Aku hamil, Mas. Selamat, kamu akan menjadi ayah!""Alhamdulillah, kamu serius, Dek?"Yumna mengangguk, sesuatu yang sejuk mengalir membasahi pipinya. "Dan
Mereka sudah tiba, tetapi Amel tidak bisa singgah karena Ozil sudah mencarinya sejak tadi. Begitu mobil hitam itu sudah melaju pergi, seseorang kemudian menghampiri mereka berempat."Aku turut bahagia karena melihat Nurul kembali. Ternyata dia yang menyebar berita itu, tetapi aku yang harus diusir." Bu Wenda datang bersama anak gadisnya.Nurul melihat ponsel gadis itu menyalah, dia pun tersenyum tipis dan memberitahu Yumna lewat isyarat sementara Mas Dika dan Gus Hanan diminta masuk saja karena bisa menangani mereka berdua.Begitu tinggal mereka berempat saja di pinggir jalan, Nurul langsung mendekat ke gadis itu agar suaranya lebih jelas dalam rekaman. "Ya, aku yang menyebarkan berita itu. Gimana rasanya harus disalahkan padahal bukan kita yang melakukannya?""Kurang ajar!""Tidak, aku tidak kurang ajar Bu Wenda. Semua orang sudah tahu kalau dalang di balik semua masalah yang ada adalah Bu Wenda sendiri karena sangat iri pada Yumna. Kesalahan Bu Wenda kan bukan hanya gosip, tetapi su
Pada hari pernikahan Mas Ilham tepat hari sabtu, mereka semua berkumpul di rumah Yumna dengan baju seragam meskipun Amel dan Kevin beda motif asalkan warnanya sama. Mereka telat pesan atau mungkin sebut saja Nurul terlalu cepat memesan karena tidak mau ayahnya ingkar janji.Untuk ketiga perempuan itu semuanya membawa kado, sementara laki-laki mengantongi amplop saja. Mereka semua memakai baju yang hampir sama. Hari ini Nurul terlihat sangat cantik.Sebelum berangkat, dia meminum segelas air dulu untuk menenangkan diri. Luka dalam hatinya dibalut sedemikian rupa. Mereka berpasang-pasangan kecuali Mas Dika yang harus kembali memerankan perannya.Jika dulu dia pura-pura berpasangan dengan Yumna, sekarang bersama Nurul. Mas Dika tersenyum pada adiknya yang selama ini dia benci, tetapi kini mulai membuka hati untuk menerimanya."Nanti sama Mas Dika aja biar mereka mengira kamu juga punya pasangan. Pokoknya nanti jangan pernah masang muka sedih, harus mengalihkan pikiranmu dari Mas Ilham. J
Sesampainya di rumah, mereka berdua terkejut oleh kedatangan Amel. Sepertinya hari akan semakin panjang karena kedatangan Amel yang membawa banyak makanan. Sekalipun mereka sudah dewasa, tetapi yang namanya perempuan kadang bertingkah seperti anak-anak."Ozil mana, Mel?""Sama neneknya, dia gak mau ikut tadi karena keasyikan main sama sepupunya."Yumna mengangguk, dia senang sekali melihat banyak gorengan termasuk ayam geprek di depannya. Mereka kumpul di ruang tengah karena tidak mau diganggu oleh tamu. Hari yang menyenangkan setelah bertemu Mas Ilham.Masalah itu Yumna ceritakan pada Amel bukan untuk memancing amarahnya, tetapi seorang perempuan sangat sulit untuk menyimpan masalahnya sendiri apalagi jika sudah lama dan terbiasa saling berbagi cerita dengan sahabat."Mas Ilham kok bego banget, ya? Masa dia mau jatuh ke jurang yang sama?""Gak tahu tuh. Udah aku bilangin juga karena aku sebagai orang ketiga di masa lalu itu serius, nyeselnya sampe sekarang, nyeseknya sampe ke hati. A
"Ide apa, Mas?""Nah, sebagian perempuan kan kalau mendapat darah keluar lebih lima belas hari itu langsung menentukan bahwa 15 hari haid dan selebihnya istihadhoh, ya kan?"Yumna mengangguk."Nah, kamu adakan hari khusus untuk membahas masalah darah itu biar mereka yang tadinya bingung dan ragu, menjadi yakin dan tahu darah apa yang keluar itu. Mas tidak bisa ngejelasinnya karena nanti ada pertanyaan pasti malu untuk dipertanyakan. Nah kalau sesama perempuan kan enak. Gimana?""Ya boleh, Mas, tapi aku mau pahami ulang dulu dan latihan menjelaskan di depan kamu. Kalau ada salah-salah kan aku yang kena dosanya juga, Mas.""Woke siap, kalau gitu mas mau menyiapkan materi khutbah dulu buat hari jumat nanti. Kamu ngelakuin apa aja deh bebas."Yumna mengangguk cepat, dia lalu menemui Nurul di rumah ibunya karena merasa bosan dan jenuh sendirian. Makanya dia memiliki ide untuk menjual makanan saja daripada tidak ada kegiatan seperti sekarang toh lokasi di depan rumah lumayan luas apalagi ka
Di malam hari, Gus Hanan duduk dengan istrinya di meja makan padahal makanan sudah tidak terhidang lagi di sana. Lelaki itu menopang wajah dengan kedua tangannya karena merasa kurang komunikasi dengan para murid yang keluar begitu saja.Padahal seharusnya seorang guru harus menanyakan keadaan muridnya juga yang apabila tidak hadir atau malah memilih mengundurkan diri. Saat itu memang Gus Hanan bertanya, tetapi mereka hanya diam, lalu besoknya tidak ada kabar lagi."Mungkin bagusnya kala ngajar di rumah aja biar gak ada cerita miring lagi?""Jangan dulu, Mas. Kamu harus bicara sama panitia masjid dulu. Bisa jadi bukan mereka pelakunya, tetapi jamaah atau orang lain yang mau nama kamu buruk di mata semua orang, Mas. Baru satu orang, kan, yang ngomong kayak gitu?""Entah sejak kapan iuran pengajian itu diadakan. Mas jadi semaki kepikiran padahal selama ini ikhlas dan tidak pernah berpikir untuk memintai mereka bayaran walau sekali dalam setahun."Yumna juga bingung sendiri, ingin mencari
Pernyataan Cinta—Jalaluddin Rumi—Kau yang telah menutup rapat bibirku, tariklah misaiku ke dekat-MuApakah maksud-Mu? Mana kutahu?Aku hanya tahu bahwa aku siap dalam iringan ini selaluKukunyah lagi memamah kepedihan mengenang-MuBagai unta memamah biak makanannya, dan bagai unta yang geram mulutku berbusaMeskipun aku tinggal tersembunyi dan tidak bicara, di hadirat kasih aku jelas nyataAku bagai benih di bawah tanah, aku menanti tanda musim semiHingga tanpa nafasku sendiri aku dapat bernafas wangi***Nurul tersadar dari kesedihannya setelah Yumna mengingatkan kalau dia harus memperbaiki hubungan dengan Allah agar rasa kecewa dari berharap lebih itu beringsut hilang.Dia menyeka air matanya, menelan kesedihan itu dan mengganti dengan senyuman. Nurul kembali merasakan bagaimana menjadi Yumna ketika harus ditinggalkan oleh orang yang sudah lama ditunggu untuk bersatu.Karma itu tidak ada, tetapi balasan atas perbuatan selalu ada. Nurul menyesal dan sekali lagi merintih memohon ma