Mereka kembali melanjutkan perbincangan yang tertunda. Aku tidak bisa mendengar betul kecuali seorang lelaki tua bertanya dengan nada pelan, tetapi penuh penekanan, "apa Gus Hanan bisa berlaku adil pada Syahdu?" Sekilas matanya melirik pada tangan kami yang saling menggenggam dengan erat. "Atau hanya mewujudkan mimpi kalian?"
"Kedatangan kami ke sini serius, Pak, bukan untuk memanfaatkan saja. Maafkan suamiku kalau ada salah tadi atau diri ini yang mendadak keluar rumah. Sekali lagi maafkan kami," balas Yumna dengan suara bergetar menahan perih di dada.
"Aku tidak melihat Gus Hanan mencintai Syahdu."
"Akan tetapi, cinta akan tumbuh karena seringnya bersama, Pak." Gus Qabil menjawab cepat, pandangannya mengarah padaku sehingga kami saling menatap.
"Lalu kenapa Gus Hanan cuma diam?" Mata lelaki tua itu sedikit memicing, lantas menampilkan gigi yang berderet rapi. "Maaf, kalian jangan salah paham. Tentu bapak-bapak di luar sana pasti menginginkan anaknya mendapat keadilan jika menjadi istri kedua, betul?"
Kami semua diam, seharusnya ayah juga membuka suara andai saja Mas Hanan itu anak bukan menantunya karena yang berhak di sini mungkin Gus Qabil selaku kakak kandung. Kalau aku ... sebenarnya sedikit bisa bersuara, hanya saja enggan.
Aku tidak ingin terlalu banyak menjawab pertanyaan dalam acara lamaran ini karena bisa jadi berubah pikiran sehingga nekat memulangkan Mas Hanan. Keluarga besar Syahdu akan malu besar seperti aku dulu.
"Tidak, ini tidak boleh terjadi!" kataku sedikit bergumam.
"Apa, Sayang?" bisik Mas Hanan.
Sekali lagi aku tidak menanggapi karena malu pada keluarga Syahdu yang menatap kami. Pertanyaan tadi saja belum terjawab dan aku sudah membuat ulah yang bisa membuat mereka berprasangka buruk.
Aku tahu nama pesantren juga akan ikut tercemar karena Gus Qabil andil dalam acara lamaran ini. Nasi sudah menjadi bubur, aku tidak bisa lagi melarang kalau misal mereka akan menikah. Terlambat sudah.
"Insya Allah, Pak. Aku akan berusaha untuk bersikap adil." Mas Hanan menjawab dengan suara terbata.
"Kalau begitu, Syahdu silakan menjawab!" perintahnya pada sang anak yang terus menunduk.
Kini, gantian aku yang menggenggam erat tangan Mas Hanan karena takut mendengar jawaban Syahdu sekalipun aku tahu ....
"Aku bersedia."
Suara pelan, tetapi begitu keras menghantam kalbu. Pandanganku mengabur, segera kepala menunduk untuk menyembunyikan air mata. Entah bagaimana aku menjalani hari-hari selanjutnya nanti terlebih ketika Syahdu sudah sah menjadi adik madu.
Mereka kembali berbincang sambil menikmati jamuan yang ada. Sesekali aku mendengar tanggal pernikahan. Entah kapan, indra pendengaran ini seperti berkurang fungsinya.
Genggaman tanganku mengendur karena tubuh terasa lemas, tetapi dieratkan kembali oleh Mas Hanan. Aku tahu dia sengaja memintaku duduk di sisinya untuk tetap menjadi pelindung, penyemangat serta penyokong dalam keadaan apa pun.
Aku tidak tahu apakah harus sedih atau bahagia merasakan perhatian Mas Hanan yang tidak berubah. Sekali lagi telingaku ini samar mendengar nama Syahdu disandingkan dengan Mas Hanan.
"Minum, Dek!" Mas Hanan memberiku segelas minuman.
"Mas saja, aku tidak haus."
Entah untuk menunjukkan kalau di hatinya hanya ada aku, Mas Hanan kembali berkata, "minum dulu, kemudian mas."
Gelas itu aku raih, kemudian meneguknya sedikit. Semua orang tengah sibuk menikmati hidangan, Mas Hanan pun mengambil kesempatan meminum air tadi tepat di bekas bibirku.
Syahdu langsung tersedak minuman. Sepertinya tidak memperhatikan kami secara diam-diam. Kalau sudah begini jadinya, maka berarti dia merasakan cemburu.
***
Jam sebelas siang kami sudah tiba di rumah, kini hanya ada aku dan Mas Hanan karena yang lain ada di rumah ibu. Begitu suamiku masuk kamar mandi, lekas aku menemui Gus Qabil yang sudah menunggu di teras depan.
Dua lelaki berbincang di sana, dengan tatapan serius yang membuatku merasa was-was. Aku mendekat dengan langkah sangat perlahan kemudian Mas Dika memberi satu kursi kosong.
"Yumna, memiliki adik madu itu berat resikonya. Bukan hanya kamu yang harus ikhlas, tetapi juga Hanan dan Syahdu. Kalian sama-sama berkorban. Hanan akan berusaha berlaku adil karena itu merupakan tuntunan dari agama, tetapi dia harus selalu menjaga perasaanmu. Apa kamu yakin kelak bisa ikhlas kalau saja Hanan mencintai Syahdu? Kita semua tahu bahwa cinta bisa tumbuh karena sering bersama," jelas Gus Qabil tanpa basa-basi.
Aku tidak langsung menjawab karena bingung juga. Ini bukan hal sepele dan memang sebuah resiko yang besar. Terutama ketika kami tinggal dalam satu atap. Sungguh aku akan kesulitan mengelabui hati, memaksa diri untuk tidak menaruh cemburu.
"Bagaimana, Dek? Kamu sanggup? Kalau tidak, Gus Qabil akan mencari pengganti terbaik untuk Syahdu," tambah Mas Dika.
"Mas." Aku menatapnya dengan air mata berlinang. "Semua sudah telat, aku harus mengikhlaskan suamiku menikah lagi."
"Hanan tidak akan bisa berlaku adil kalau kamu belum ikhlas dan seorang perempuan akan sulit menjalaninya. Apalagi ...." Gus Qabil menjeda sedikit. "Kamu jangan tersinggung, apalagi kalau Hanan ternyata lebih fokus mengurus Syahdu kalau dia ... mengandung."
Belum mengandung dan melihat Mas Hanan mengurusnya saja air mata sudah jatuh membentuk anak sungai, bagaimana kalau sudah nyata di depan mata?
Aku melipat bibir karena gemetaran. Gus Qabil pun mengulangi pertanyaan walau dengan kalimat berbeda. "Kamu yakin bisa ikhlas menerima Hanan kalau cintanya terbagi? Itu sebuah keharusan sebenarnya, maka jangan gegabah."
"Yakin, Gus," jawabku asal.
"Tapi matamu mengatakan yang lain. Hanan itu adikku, aku tahu kalau dia sudah suka terhadap sesuatu, maka sulit untuk berpaling. Bahkan tidak jarang aku mengalah demi dia."
"Dan kamu adik mas, Yum. Mas tahu kamu tulus, tetapi sangat mudah menangis. Kamu rapuh, tetapi selalu berusaha kuat. Mas khawatir nanti kamu salah dalam melangkah." Mas Dika menambahkan.
Aku jadi semakin dilema, tetapi tanggal pernikahan mereka sudah ditentukan. Walau tidak akan ramai dan hanya melangsungkan akad, tetap saja akan menjadi buah bibir kalau benar-benar batal.
"Insya Allah aku ikhlas, Gus, Mas."
Keduanya mengembus napas berat bersamaan, kemudian aku pamit kembali ke rumah karena khawatir Mas Hanan salah paham kalau melihat kami.
"Jaga hatimu, Yum. Kalau mau menangis, luahkan saja. Jangan biasakan memendam sendiri, pasangan itu harus saling terbuka!" pinta Mas Dika.
Aku menoleh dan menundukkan kepala sekilas sebagai pertanda setuju. Mereka berdua begitu baik, aku merasakan kasih sayangnya sebagai saudara dan semoga tidak ada prasangka buruk dalam diri.
Ketika masuk kamar, Mas Hanan juga sudah selesai mandi. Aku lega karena dia tidak tahu kalau aku habis ke rumah ibu tadi.
"Mas, abis ngajar nanti langsung balik, ya. Aku mau bicara sesuatu."
Mas Hanan langsung menatapku lekat sebelum akhirnya mengangguk. "Nanti mas liburkan saja mereka biar bisa bicara leluasa. Sepertinya kita harus bicara banyak hal."
"Terimakasih, Mas. Sekarang bersiaplah ke masjid, aku sekalian mau memasak nanti."
Lelaki itu mendekat, dia langsung mendekapku erat sehingga desiran hebat menyambar dalam dada, mengalir di setiap aliran darah. Pelukan yang begitu hangat, aku sampai menitikkan air mata.
"Sampai kapan pun, hanya kamu yang akan ada di hati mas. Kamu jangan pernah mengira aku akan berpindah ke lain hati. Ingat, lamaran ini terjadi atas desakan kamu dan kalau kamu mau, aku bisa batalkan detik ini juga."
Aku langsung meletakkan jari telunjuk di bibir Mas Hanan yang lembut dan tipis. "Jangan bicara seperti itu. Aku ikhlas, Mas!" ujarku tersenyum.
Lepas salat dzuhur, Mas Hanan benar-benar sudah datang, aku langsung mencium punggung tangannya takzim.Setelah kami duduk di karpet depan kamar, aku membuang napas kasar untuk melonggarkan dada yang terasa sesak. Jujur saja, kaki dan tangan sudah gemetaran duluan."Mas, aku lihat kamu tidak pernah ada niat mencintai Syahdu.""Tentu, kenapa?""Kalau kalian menikah, Syahdu berhak mendapat cinta kamu, Mas. Kamu harus tahu, aku itu ikhlas dimadu. Kita sama-sama ingin punya anak, tetapi sampai tujuh tahun berlalu ... nihil."Mas Hanan mengalihkan pandangan sejenak, sebelum kedua tangannya benar-benar mencengkram bahuku. "Yumna, sampai kapan pun aku akan selalu mencintaimu. Sampai kapan pun hanya kamu yang akan menjadi pengisi hatiku dan tolong, kalau boleh meminta, jangan paksa aku menikahi Syahdu. Tolong, aku ingin hidup berdua sama kamu!""Mas, jangan mengedepankan ego. Aku tahu mas cinta dan sayang sama aku, tapi kita butuh seorang anak. Mungkin Syahdu itu memang jodoh kamu."Tidak ada
Suasana mengharu biru melihat Mas Dika mendekat pada ayah seakan membisikkan sesuatu. Ya, aku berontak dalam pelukan Mas Hanan. Entah kenapa dia tidak membiarkanku dekat dengan ayah.Sialnya, Mas Dika malah menuntun ayah mengucapkan lafaz tauhid. "Mas, kamu apa-apaan, sih?"Dia tidak menjawab, masih terus menuntun ayah sampai tangan lemah berkeriput itu lepas dari genggamannya. Tangis ibu pecah, segera Mas Dika mendekat dan membawanya dalam pelukan."Innalillahi wainnailaihi raajiun," lirih Mas Hanan tepat di dekat telingaku."Mas, kamu ngomong apa sih?" tanyaku masih memberontak.Mas Hanan membawaku keluar dari kamar, masih tidak mau melepas pelukannya. Mata itu sudah basah. "Kamu harus kuat, Yum. Ayah sudah tenang.""Maksudnya gimana?" Aku memaksa melepaskan diri."Ayah sudah mendahului kita.""Apa?" Aku terpukul mendengar jawaban Mas Hanan. Kakiku kembali melangkah cepat langsung menemui ayah yang sudah tidak,lagi bernapas.Beribu maaf kugaungkan, tetapi tidak peroleh jawaban. Pipi
Jam sudah menunjuk angka sepuluh pagi, para tetangga juga kerabat jauh dan dekat sudah mulai berdatangan sejak tadi. Beberapa santri juga sudah selesai membaca al-qur'an untuk ayah. Aku sedih, sekaligus bahagia karena almarhum didoakan oleh anak-anak penghafal al-qur'an.Sejak tadi ibu menyibukkan diri di dapur karena kalau duduk di sisi jenazah, air matanya tidak bisa berhenti mengalir khawatir menjadi dosa karena meratapi mayat. Sebenarnya aku pun sama terlukanya melihat sosok yang sangat aku cintai kini terbujur kaku."Kamu yang sabar, Mbak. Jangan larut dalam kesedihan, nanti hatinya ndak ikhlas," kata Andin yang sejak tadi bersedia menemaniku.Aku membuang napas berat, rasanya masih sulit menerima takdir dari Tuhan. Bukan aku menentang, hanya saja semua terlalu cepat. Rasanya baru kemarin aku menjadi anak ayah, sekarang sudah harus berpisah.Luka seorang anak yang ditinggal orangtua itu sangat dalam apalagi aku belum bisa membalas pengorbanannya selama ini. Aku terlalu bodoh dan
POV AUTHORMereka sudah tiba di rumah, Yumna tetap tidak bisa tersenyum walau sedikit. Sekalipun dihibur suami dan kakak sendiri, dia selalu memalingkan wajah. Terlebih ketika mengingat tentang Syahdu.Bolehkah gadis itu menangis dan meminta suaminya untuk tidak perlu menikah dengan Syahdu? Atau sikap itu hanyalah keegoisan yang bisa merusak keharmonisan rumah tangga?Yumna sadar dirinya masih belum pernah hamil barang sekali, jadi sangat sedikit kemungkinan untuk memiliki anak. Kini air matanya telah tumpah tanpa mampu dia bendung lagi.Hatinya merintih, bertanya kepada Tuhan, dosa berat apa yang pernah dia lakukan sehingga mendapat ujian seperti itu? Kehilangan ayah, menikah tanpa keturunan serta harus mengikhlaskan suami menikah lagi meskipun itu atas dasar keinginannya."Yumna, ikhlaskan ayah. Kalau ayah melihat kamu sedih, pasti ayah juga bakal sedih," hibur Mas Dika."Ikhlas? Kenapa aku selalu dituntut untuk ikhlas, Mas?""Karena kamu pernah berdoa sama Tuhan agar sabarmu diluas
"Yum, kamu gak bisa melihat atau merasakannya? Sedetik pun?" tanya Gus Hanan lagi."Aku sangat bisa melihat dan merasakannya, Mas. Tadi aku nanya kayak gitu cuma mau mendapat pengakuan aja. Aku yakin kamu bisa berlaku adil, Mas."Gus Hanan memejamkan mata, dia merasa sedikit kesal pada pola pikir istrinya. Sebenarnya dia sediri merasa baik-baik saja sekalipun belum dikaruniai anak, tetapi masalah bermula ketika Yumna diledek oleh para tetangga.Tetangga yang juga meng-gibahi-nya di masa lalu ketika lamaran diputus sepihak oleh Mas Ilham. Sebenarnya Gus Hanan sudah mencoba mengajak Yumna untuk pindah rumah saja, tetapi gadis itu tidak mau meninggalkan ibunya.Apalagi sekarang, ibunya adalah seorang single parent. Meskipun ada Mas Dika, tetapi beliau akan tetap tinggal sendirian kalau anaknya berangkat kerja. Gus Hanan juga tidak ingin tinggal di pesantren sebagaimana tujuannya sejak awal untuk mengajari mereka yang tidak berkesempatan duduk di bangku pesantren.Namun, siapa sangka, tuj
Tadi malam, Gus Hanan sudah istikharah untuk ke lima kalinya dan selalu muncul wajah Syahdu bahkan hatinya sedikit tergerak untuk menikahi gadis itu. Dia sengaja melakukannya berulang kali karena mau jawaban yang lain, teryata sama saja.Lelaki berwajah tampan itu pasrah kepada Tuhan, mungkin memang sudah takdirnya untuk menikah lagi. Air mata Gus Hanan keluar, dia merasa tidak sanggup menjalani perintah Tuhan.Dia melangkah lesu menemui sang istri yang baru saja membereskan peralatan makan. Gus Hanan sengaja tidak mengatakan itu lebih awal karena takut nafsu makan istrinya kembali hilang.Gus Hanan sangat paham bahwa sekalipun perempuan tersenyum, bisa jadi itu pertanda hatinya sangat terluka. Sebagaimana sejak dulu sudah diketahui kalau perempuan sangat pandai memendam perasaannya dan sulit untuk dipahami."Dek, mas mau bicara sama kamu.""Bicara apa, Mas?"Yumna mengikuti langkah suaminya menuju ruang tengah. Hatinya sedikit berdegup kencang karena belum bisa menebak apa yang akan
Hari pertama, hari kedua, hari ke tiga bahkan sampai ke seratus, kesedihan itu tidak pernah hilang. Yumna selalu mengingat mendiang ayahnya juga masalah dalam rumah tangganya.Seperti sebuah perayaan, kini dia mengantarkan sang suami menuju rumah Syahdu untuk menikah. Bagi sebagian orang, dia beranggapan kalau Yumna adalah gadis bodoh karena mengizinkan suaminya menikah lagi padahal Gus Hanan sendiri menerima keadaan mereka yang belum dikaruniai anak.Yumna mendesah dalam keputus-asaan, bagaimana pun juga, tidak mungkin membatalkan acara itu karena akan membuat malu pihak perempuan. Yumna tahu rasanya disakiti, maka enggan untuk menyakiti orang lain."Kamu harus kuat, ini bukan akhir dari segalanya. Dengan melihatmu sedih akan menjadi kebahagiaan tersendiri untuk orang-orang yang membencimu. Kuat, sekuat terumbu karang!" ucap Mas Dika begitu mereka sampai di tempat tujuan.Mas Dika tahu kalau hati adiknya sedang hancur karena bulan kemarin dia juga merasakan hal yang sama. Gadis yang
Yumna terjaga begitu mendengar pintu rumahnya terketuk, tetapi dia tidak langsung membukanya. Gadis itu terlalu lemah sehingga hanya bisa terbaring menunggu seseorang itu masuk.Dalam hitungan menit saja, Gus Hanan sudah muncul dengan pakaian pengantinnya sendirian. Hal itu lantas membuat Yumna terusik untuk menanyakan keberadaan sang adik madu."Kita harus bicara berdua, Mas Dika bilang ada sesuatu yang harus kamu beritahu padaku tanpa kehadiran Syahdu.""Syahdu ada di mana?""Di rumah ibu." Gus Hanan langsung duduk di tepi ranjang. "Katakan, apa yang mau kamu sampaikan, Dek? Dan kenapa tadi sampai pingsan?"Meskipun berat, Yumna juga harus memberitahu perkara besar itu pada suaminya. Dia tidak boleh menyimpan sendiri atau akan disalahkan jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan."Mas, aku hamil."Gus Hanan terpengarah, dia ragu dengan apa yang didengarnya. Apakah dia salah dengar karena terlalu menginginkan anak dari istri tercintanya itu?Akhirnya dia bertanya, "apa? Tadi kamu ng