Suasana mengharu biru melihat Mas Dika mendekat pada ayah seakan membisikkan sesuatu. Ya, aku berontak dalam pelukan Mas Hanan. Entah kenapa dia tidak membiarkanku dekat dengan ayah.Sialnya, Mas Dika malah menuntun ayah mengucapkan lafaz tauhid. "Mas, kamu apa-apaan, sih?"Dia tidak menjawab, masih terus menuntun ayah sampai tangan lemah berkeriput itu lepas dari genggamannya. Tangis ibu pecah, segera Mas Dika mendekat dan membawanya dalam pelukan."Innalillahi wainnailaihi raajiun," lirih Mas Hanan tepat di dekat telingaku."Mas, kamu ngomong apa sih?" tanyaku masih memberontak.Mas Hanan membawaku keluar dari kamar, masih tidak mau melepas pelukannya. Mata itu sudah basah. "Kamu harus kuat, Yum. Ayah sudah tenang.""Maksudnya gimana?" Aku memaksa melepaskan diri."Ayah sudah mendahului kita.""Apa?" Aku terpukul mendengar jawaban Mas Hanan. Kakiku kembali melangkah cepat langsung menemui ayah yang sudah tidak,lagi bernapas.Beribu maaf kugaungkan, tetapi tidak peroleh jawaban. Pipi
Jam sudah menunjuk angka sepuluh pagi, para tetangga juga kerabat jauh dan dekat sudah mulai berdatangan sejak tadi. Beberapa santri juga sudah selesai membaca al-qur'an untuk ayah. Aku sedih, sekaligus bahagia karena almarhum didoakan oleh anak-anak penghafal al-qur'an.Sejak tadi ibu menyibukkan diri di dapur karena kalau duduk di sisi jenazah, air matanya tidak bisa berhenti mengalir khawatir menjadi dosa karena meratapi mayat. Sebenarnya aku pun sama terlukanya melihat sosok yang sangat aku cintai kini terbujur kaku."Kamu yang sabar, Mbak. Jangan larut dalam kesedihan, nanti hatinya ndak ikhlas," kata Andin yang sejak tadi bersedia menemaniku.Aku membuang napas berat, rasanya masih sulit menerima takdir dari Tuhan. Bukan aku menentang, hanya saja semua terlalu cepat. Rasanya baru kemarin aku menjadi anak ayah, sekarang sudah harus berpisah.Luka seorang anak yang ditinggal orangtua itu sangat dalam apalagi aku belum bisa membalas pengorbanannya selama ini. Aku terlalu bodoh dan
POV AUTHORMereka sudah tiba di rumah, Yumna tetap tidak bisa tersenyum walau sedikit. Sekalipun dihibur suami dan kakak sendiri, dia selalu memalingkan wajah. Terlebih ketika mengingat tentang Syahdu.Bolehkah gadis itu menangis dan meminta suaminya untuk tidak perlu menikah dengan Syahdu? Atau sikap itu hanyalah keegoisan yang bisa merusak keharmonisan rumah tangga?Yumna sadar dirinya masih belum pernah hamil barang sekali, jadi sangat sedikit kemungkinan untuk memiliki anak. Kini air matanya telah tumpah tanpa mampu dia bendung lagi.Hatinya merintih, bertanya kepada Tuhan, dosa berat apa yang pernah dia lakukan sehingga mendapat ujian seperti itu? Kehilangan ayah, menikah tanpa keturunan serta harus mengikhlaskan suami menikah lagi meskipun itu atas dasar keinginannya."Yumna, ikhlaskan ayah. Kalau ayah melihat kamu sedih, pasti ayah juga bakal sedih," hibur Mas Dika."Ikhlas? Kenapa aku selalu dituntut untuk ikhlas, Mas?""Karena kamu pernah berdoa sama Tuhan agar sabarmu diluas
"Yum, kamu gak bisa melihat atau merasakannya? Sedetik pun?" tanya Gus Hanan lagi."Aku sangat bisa melihat dan merasakannya, Mas. Tadi aku nanya kayak gitu cuma mau mendapat pengakuan aja. Aku yakin kamu bisa berlaku adil, Mas."Gus Hanan memejamkan mata, dia merasa sedikit kesal pada pola pikir istrinya. Sebenarnya dia sediri merasa baik-baik saja sekalipun belum dikaruniai anak, tetapi masalah bermula ketika Yumna diledek oleh para tetangga.Tetangga yang juga meng-gibahi-nya di masa lalu ketika lamaran diputus sepihak oleh Mas Ilham. Sebenarnya Gus Hanan sudah mencoba mengajak Yumna untuk pindah rumah saja, tetapi gadis itu tidak mau meninggalkan ibunya.Apalagi sekarang, ibunya adalah seorang single parent. Meskipun ada Mas Dika, tetapi beliau akan tetap tinggal sendirian kalau anaknya berangkat kerja. Gus Hanan juga tidak ingin tinggal di pesantren sebagaimana tujuannya sejak awal untuk mengajari mereka yang tidak berkesempatan duduk di bangku pesantren.Namun, siapa sangka, tuj
Tadi malam, Gus Hanan sudah istikharah untuk ke lima kalinya dan selalu muncul wajah Syahdu bahkan hatinya sedikit tergerak untuk menikahi gadis itu. Dia sengaja melakukannya berulang kali karena mau jawaban yang lain, teryata sama saja.Lelaki berwajah tampan itu pasrah kepada Tuhan, mungkin memang sudah takdirnya untuk menikah lagi. Air mata Gus Hanan keluar, dia merasa tidak sanggup menjalani perintah Tuhan.Dia melangkah lesu menemui sang istri yang baru saja membereskan peralatan makan. Gus Hanan sengaja tidak mengatakan itu lebih awal karena takut nafsu makan istrinya kembali hilang.Gus Hanan sangat paham bahwa sekalipun perempuan tersenyum, bisa jadi itu pertanda hatinya sangat terluka. Sebagaimana sejak dulu sudah diketahui kalau perempuan sangat pandai memendam perasaannya dan sulit untuk dipahami."Dek, mas mau bicara sama kamu.""Bicara apa, Mas?"Yumna mengikuti langkah suaminya menuju ruang tengah. Hatinya sedikit berdegup kencang karena belum bisa menebak apa yang akan
Hari pertama, hari kedua, hari ke tiga bahkan sampai ke seratus, kesedihan itu tidak pernah hilang. Yumna selalu mengingat mendiang ayahnya juga masalah dalam rumah tangganya.Seperti sebuah perayaan, kini dia mengantarkan sang suami menuju rumah Syahdu untuk menikah. Bagi sebagian orang, dia beranggapan kalau Yumna adalah gadis bodoh karena mengizinkan suaminya menikah lagi padahal Gus Hanan sendiri menerima keadaan mereka yang belum dikaruniai anak.Yumna mendesah dalam keputus-asaan, bagaimana pun juga, tidak mungkin membatalkan acara itu karena akan membuat malu pihak perempuan. Yumna tahu rasanya disakiti, maka enggan untuk menyakiti orang lain."Kamu harus kuat, ini bukan akhir dari segalanya. Dengan melihatmu sedih akan menjadi kebahagiaan tersendiri untuk orang-orang yang membencimu. Kuat, sekuat terumbu karang!" ucap Mas Dika begitu mereka sampai di tempat tujuan.Mas Dika tahu kalau hati adiknya sedang hancur karena bulan kemarin dia juga merasakan hal yang sama. Gadis yang
Yumna terjaga begitu mendengar pintu rumahnya terketuk, tetapi dia tidak langsung membukanya. Gadis itu terlalu lemah sehingga hanya bisa terbaring menunggu seseorang itu masuk.Dalam hitungan menit saja, Gus Hanan sudah muncul dengan pakaian pengantinnya sendirian. Hal itu lantas membuat Yumna terusik untuk menanyakan keberadaan sang adik madu."Kita harus bicara berdua, Mas Dika bilang ada sesuatu yang harus kamu beritahu padaku tanpa kehadiran Syahdu.""Syahdu ada di mana?""Di rumah ibu." Gus Hanan langsung duduk di tepi ranjang. "Katakan, apa yang mau kamu sampaikan, Dek? Dan kenapa tadi sampai pingsan?"Meskipun berat, Yumna juga harus memberitahu perkara besar itu pada suaminya. Dia tidak boleh menyimpan sendiri atau akan disalahkan jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan."Mas, aku hamil."Gus Hanan terpengarah, dia ragu dengan apa yang didengarnya. Apakah dia salah dengar karena terlalu menginginkan anak dari istri tercintanya itu?Akhirnya dia bertanya, "apa? Tadi kamu ng
Tentu akan marah, tapi mas juga bingung harus gimana, Dek. Selama ini mas gak ada niat buat menikah lagi dan selalu mau menanti sampai belasan tahun, kamu gak sabaran. Sekarang lihat, kamu hamil dan mas sudah menikah lagi."Yumna tahu hal itu sangat menyakiti hati suaminya, maka dia meminta maaf dan mengaku tidak menyesal dengan keputusan itu. Sebagai bentuk permintaan maafnya, dia akan selalu setuju apapun keputusan sang suami asal bukan menceraikan Syahdu."Baiklah, mas akan meminta Syahdu tinggal di rumah ibu dulu dan meminta untuk diam sampai keadaan kita membaik. Aku sendiri yang akan bicara sama dia, kamu lebih baik istirahat dulu." Gus Hanan mengusap kepala Yumna lembut, setelah itu kembali ke luar rumah menemui Syahdu.Di rumah Mas Dika, Syahdu duduk di ruang tamu, mengobrol dengan Mas Dika dan sang ibu. Gus Hanan langsung duduk di antara mereka yang kebetulan hendak menyampaikan maksud.Dia merasa mereka berdua akan setuju karena ini demi kebaikan Yumna sendiri. Maka Gus Hana