Alhamdulillah," ucapku diselingi tawa yang terdengar sumbang.
"Apa kamu sungguh-sungguh, Nak Gus?" tanya ibu dengan raut wajah khawatir. Matanya bahkan sekilas melirik padaku sebagai tanda tidak percaya.
"Jika ini yang diinginkan Yumna, aku bisa apa, Bu? Sudah sering kuingatkan untuk bersabar, memberitahunya kalau aku tidak pernah mau menikah lagi. Akan tetapi, dia selalu memaksakan kehendak bahkan ...."
"Sudah, Mas. Ini keputusan terbaik, aku yakin sebentar lagi kita sekeluarga akan bahagia," sambungku cepat begitu Mas Hanan menunduk dalam.
Ayah dan ibu hanya bisa diam serta menatap penuh tanda tanya. Aku menautkan ibu jari dan telunjuk sebagai isyarat kalau hati sedang baik-baik saja.
Tidak sabar rasanya menyampaikan berita baik ini pada Syahdu. Aku pun pamit masuk kamar seraya merogoh ponsel dalam saku gamis.
"Assalamualaikum, Syahdu. Kamu apa kabar?" sapaku via telepon.
"Waalaikumussalam, Mbak. Alhamdulillah aku baik-baik saja. Mbak gimana kabarnya?"
"Alhamdulillah, Syahdu." Aku tersenyum kecut karena jauh di lubuk hati tersimpan perih yang meraja. "Ada kabar baik juga nih untuk kamu."
"Kabar apa, Mbak?"
Sebelum menjawab pertanyaan Syahdu, aku melipat bibir yang berujung embusan napas panjang berulang kali karena dada terasa sesak. Perempuan mana pun akan merasakan luka jika menyadari sebentar lagi suaminya akan berbagi hati.
Walau ini permintaan aku sendiri, tetap saja tidak bisa mengelabui hati untuk merasa senang dan bersikap seolah semuanya baik-baik saja. Namun, mengingat kebahagiaan Mas Hanan adalah prioritas, bibir kembali mengukir senyum.
"Mas Hanan setuju akan melamarmu."
"Alhamdulillah," gumam Syahdu di balik telepon, kemudian dia meralat karena rasa bersalah, "maaf, Mbak. Apa Gus Hanan mau melamar aku? Em, aku ndak pantas."
Jauh di lubuk hati Syahdu pasti ada rasa bahagia karena akan menikah dengan lelaki yang mengisi hatinya. Cinta memang butuh pengorbanan. Diri ini harus tersenyum melihat sang kekasih bahagia sekalipun bukan dengan kita.
Aku menelan saliva, lalu mengukir senyum mengusik pikiran buruk yang menaungi jiwa. Syahdu tidak bersalah, dia juga bukan perebut suami orang.
"Syahdu, Allah tahu kamu pantas untuk Mas Hanan makanya beliau setuju menikah sama kamu. Nanti aku kabari lagi kapan lamarannya dilangsungkan karena harus berunding dulu dan tolong jaga rahasia ini, jangan sampai orang lain tahu dulu. Oke?"
"Insya Allah, Mbak," jawab Syahdu lirih.
Panggilan telepon terputus, aku meletakkan ponsel di nakas. Kedua kaki aku peluk dan menenggelamkan wajah di kedua lutut.
Berat sekali rasanya menjalani kehidupan yang sama sekali tidak pernah aku inginkan. Kalau saja boleh, aku ingin hidup berdua dengan Mas Hanan selamanya.
Kehadiran perempuan lain dalam pernikahan kita memang hal yang boleh bahkan termasuk sunnah terutama jika ada masalah syariat seperti aku yang belum juga hamil. Pertanyaannya adalah, adakah hati mampu menerima dengan lapang?
"Sayang."
Aku mendongak begitu mendengar suara Mas Hanan dari dekat. Benar saja, dia tengah berdiri di depanku dengan raut wajah sedih.
Hujan di luar memang sudah sedikit reda, tetapi petir terus menyambar dalam hati memporak-porandakan segala yang terpatri di sana. Aku menghela napas panjang begitu Mas Hanan beralih duduk di depanku.
Tangannya dengan lembut menyentuh pipi yang tidak lagi menitikkan air mata. Ada binar cinta yang terpancar di kedua netranya, bahkan bisa dilihat dari jarak jauh sekali pun.
"Jangan khawatir, Mas. Aku baik-baik saja."
Mas Hanan menggeleng pelan. "Matamu menyiratkan kesedihan." Kemudian mencium keningku beralih pada dua kelopak mata.
"Aku sudah dewasa, Mas. Tentu sangat mudah memanajemen hati."
Berlinang air mata Mas Hanan ketika aku menyuguhkan seulas senyum. Apalagi suaraku tadi kian parau. Dia lelaki setia bahkan sejak dulu selalu mengalah dan menerima sikapku yang kadang posesif.
Selain mencoba ikhlas pada takdir yang diberi Tuhan, aku tidak tahu harus melakukan apa. Ingin menua berdua tanpa sosok anak juga rasanya tidak mungkin.
Aku takut menunggu belasan tahun untuk memiliki seorang anak karena jangan sampai berujung kecewa dan penyesalan. Memang di luar sana ada yang hamil setelah sepuluh tahun menikah, tetapi tidak sedikit pula yang selamanya hanya berdua.
Harapan yang terlalu melambung tinggi bisa mendatangkan kecewa yang luar biasa sakitnya. Mas Hanan bukan milikku seutuhnya, mungkin memang Tuhan menciptakan suamiku untuk dua istri.
Aku dan Syahdu.
"Syahdu sudah tahu?" tanya Mas Hanan lagi.
"Tentu saja, Mas. Dia pasti sangat bahagia, begitu juga denganku karena punya teman yang bisa mengurus kamu. Misalnya aku bersih-bersih rumah, Syahdu menyiapkan makan dan pakaian untukmu."
Mas Hanan menggeleng pelan. "Kalau saja boleh, aku tidak akan pernah membiarkanmu dimadu. Akan tetapi, Syahdu pun sudah tahu, mas tidak bisa berbuat banyak." Dia menghela napas berat. "Mas tidak mau kalian tinggal dalam satu rumah."
"Mas, aku baik-baik saja. Lihat, apa aku sedang menangis?" Dengan susah payah kubalut luka dan tersenyum bahagia di depan Mas Hanan.
"Coba tertawa!" perintahnya. Aku menurut, Mas Hanan langsung menggeleng. "Terdengar sumbang."
Air mata langsung mengalir deras karena sudah ketahuan. Mas Hanan membawaku dalam pelukannya, mengelus belakang ini lembut serta berbisik bahwa dia tidak akan pernah menikah lagi.
Aku mengurai pelukan. "Mas, aku bahagia. Air mataku ini pertanda bahagia. Kamu jangan bilang begitu karena Syahdu sudah bahagia."
Mas Hanan tidak menjawab, dia mengalihkan pandangan ke luar jendela yang terbuka. Mungkin sedang menghitung rintik hujan yang jatuh membasahi bumi.
"Memang benar usiaku lebih mudah darimu, tetapi aku bukan anak kecil lagi yang tidak tahu mana air mata bahagia dan mana yang menyiratkan luka. Jangan mencoba menutupinya dariku, Yum!"
Lekas aku memeluk Mas Hanan. Hati seketika merasa damai di posisi sekarang sekalipun hanya detak jantung yang terdengar merdu.
Apakah Syahdu sedang berbunga-bunga? batinku penasara.
"Syahdu tidak sepenuhnya bahagia, Sayang. Dia tidak mungkin bahagia di atas penderitaan kamu."
"Mas?" Aku sedikit terkejut. Mas Hanan hanya diam tanpa menatapku. Entah dia yang bisa mendengar isi hati orang atau aku yang mudah dibaca gerak-geriknya.
Notifikasi Whats*pp berbunyi, ada pesan dari Syahdu.
[Kalau hal ini melukai hati Mbak Yumna, maka tolong jangan biarkan Gus Hanan menikah lagi. Aku tidak bisa menjadi orang ketiga yang akan berbahagia di hari pernikahan sementara Mbak menahan luka. Tolong dipikir ulang sebelum semuanya menyesal.]"Mas, Syahdu." Aku menyodorkan ponsel pada Mas Hanan. Dia menerimanya lantas membaca pesan tersebut."Syahdu benar, jangan gegabah mengambil keputusan atau kamu menyesal nanti. Jujur saja mas merasa ragu kalau harus menikah sama dia. Kamu mau kan memikirkan ulang perkara ini sambil berdoa sama Allah biar kamu cepet hamil?""Keputusanku sudah bulat, Mas. Kalian memang harus menikah dan aku ikhlas." Getar di dada semakin mengganggu.Tidak ada jawaban, Mas Hanan hanya bisa melipat bibir. Sebenarnya aku pun sama dengan perempuan lainnya, tidak ingin berbagi hati. Namun, bagaimana jika semesta seakan menuntutku melakukan hal ini?Aku mungkin bisa berusaha menjadi istri terbaik untuk Mas Hanan, mengurus makan dan tidurnya. Tidak dengan memberinya seo
Mereka kembali melanjutkan perbincangan yang tertunda. Aku tidak bisa mendengar betul kecuali seorang lelaki tua bertanya dengan nada pelan, tetapi penuh penekanan, "apa Gus Hanan bisa berlaku adil pada Syahdu?" Sekilas matanya melirik pada tangan kami yang saling menggenggam dengan erat. "Atau hanya mewujudkan mimpi kalian?""Kedatangan kami ke sini serius, Pak, bukan untuk memanfaatkan saja. Maafkan suamiku kalau ada salah tadi atau diri ini yang mendadak keluar rumah. Sekali lagi maafkan kami," balas Yumna dengan suara bergetar menahan perih di dada."Aku tidak melihat Gus Hanan mencintai Syahdu.""Akan tetapi, cinta akan tumbuh karena seringnya bersama, Pak." Gus Qabil menjawab cepat, pandangannya mengarah padaku sehingga kami saling menatap."Lalu kenapa Gus Hanan cuma diam?" Mata lelaki tua itu sedikit memicing, lantas menampilkan gigi yang berderet rapi. "Maaf, kalian jangan salah paham. Tentu bapak-bapak di luar sana pasti menginginkan anaknya mendapat keadilan jika menjadi is
Lepas salat dzuhur, Mas Hanan benar-benar sudah datang, aku langsung mencium punggung tangannya takzim.Setelah kami duduk di karpet depan kamar, aku membuang napas kasar untuk melonggarkan dada yang terasa sesak. Jujur saja, kaki dan tangan sudah gemetaran duluan."Mas, aku lihat kamu tidak pernah ada niat mencintai Syahdu.""Tentu, kenapa?""Kalau kalian menikah, Syahdu berhak mendapat cinta kamu, Mas. Kamu harus tahu, aku itu ikhlas dimadu. Kita sama-sama ingin punya anak, tetapi sampai tujuh tahun berlalu ... nihil."Mas Hanan mengalihkan pandangan sejenak, sebelum kedua tangannya benar-benar mencengkram bahuku. "Yumna, sampai kapan pun aku akan selalu mencintaimu. Sampai kapan pun hanya kamu yang akan menjadi pengisi hatiku dan tolong, kalau boleh meminta, jangan paksa aku menikahi Syahdu. Tolong, aku ingin hidup berdua sama kamu!""Mas, jangan mengedepankan ego. Aku tahu mas cinta dan sayang sama aku, tapi kita butuh seorang anak. Mungkin Syahdu itu memang jodoh kamu."Tidak ada
Suasana mengharu biru melihat Mas Dika mendekat pada ayah seakan membisikkan sesuatu. Ya, aku berontak dalam pelukan Mas Hanan. Entah kenapa dia tidak membiarkanku dekat dengan ayah.Sialnya, Mas Dika malah menuntun ayah mengucapkan lafaz tauhid. "Mas, kamu apa-apaan, sih?"Dia tidak menjawab, masih terus menuntun ayah sampai tangan lemah berkeriput itu lepas dari genggamannya. Tangis ibu pecah, segera Mas Dika mendekat dan membawanya dalam pelukan."Innalillahi wainnailaihi raajiun," lirih Mas Hanan tepat di dekat telingaku."Mas, kamu ngomong apa sih?" tanyaku masih memberontak.Mas Hanan membawaku keluar dari kamar, masih tidak mau melepas pelukannya. Mata itu sudah basah. "Kamu harus kuat, Yum. Ayah sudah tenang.""Maksudnya gimana?" Aku memaksa melepaskan diri."Ayah sudah mendahului kita.""Apa?" Aku terpukul mendengar jawaban Mas Hanan. Kakiku kembali melangkah cepat langsung menemui ayah yang sudah tidak,lagi bernapas.Beribu maaf kugaungkan, tetapi tidak peroleh jawaban. Pipi
Jam sudah menunjuk angka sepuluh pagi, para tetangga juga kerabat jauh dan dekat sudah mulai berdatangan sejak tadi. Beberapa santri juga sudah selesai membaca al-qur'an untuk ayah. Aku sedih, sekaligus bahagia karena almarhum didoakan oleh anak-anak penghafal al-qur'an.Sejak tadi ibu menyibukkan diri di dapur karena kalau duduk di sisi jenazah, air matanya tidak bisa berhenti mengalir khawatir menjadi dosa karena meratapi mayat. Sebenarnya aku pun sama terlukanya melihat sosok yang sangat aku cintai kini terbujur kaku."Kamu yang sabar, Mbak. Jangan larut dalam kesedihan, nanti hatinya ndak ikhlas," kata Andin yang sejak tadi bersedia menemaniku.Aku membuang napas berat, rasanya masih sulit menerima takdir dari Tuhan. Bukan aku menentang, hanya saja semua terlalu cepat. Rasanya baru kemarin aku menjadi anak ayah, sekarang sudah harus berpisah.Luka seorang anak yang ditinggal orangtua itu sangat dalam apalagi aku belum bisa membalas pengorbanannya selama ini. Aku terlalu bodoh dan
POV AUTHORMereka sudah tiba di rumah, Yumna tetap tidak bisa tersenyum walau sedikit. Sekalipun dihibur suami dan kakak sendiri, dia selalu memalingkan wajah. Terlebih ketika mengingat tentang Syahdu.Bolehkah gadis itu menangis dan meminta suaminya untuk tidak perlu menikah dengan Syahdu? Atau sikap itu hanyalah keegoisan yang bisa merusak keharmonisan rumah tangga?Yumna sadar dirinya masih belum pernah hamil barang sekali, jadi sangat sedikit kemungkinan untuk memiliki anak. Kini air matanya telah tumpah tanpa mampu dia bendung lagi.Hatinya merintih, bertanya kepada Tuhan, dosa berat apa yang pernah dia lakukan sehingga mendapat ujian seperti itu? Kehilangan ayah, menikah tanpa keturunan serta harus mengikhlaskan suami menikah lagi meskipun itu atas dasar keinginannya."Yumna, ikhlaskan ayah. Kalau ayah melihat kamu sedih, pasti ayah juga bakal sedih," hibur Mas Dika."Ikhlas? Kenapa aku selalu dituntut untuk ikhlas, Mas?""Karena kamu pernah berdoa sama Tuhan agar sabarmu diluas
"Yum, kamu gak bisa melihat atau merasakannya? Sedetik pun?" tanya Gus Hanan lagi."Aku sangat bisa melihat dan merasakannya, Mas. Tadi aku nanya kayak gitu cuma mau mendapat pengakuan aja. Aku yakin kamu bisa berlaku adil, Mas."Gus Hanan memejamkan mata, dia merasa sedikit kesal pada pola pikir istrinya. Sebenarnya dia sediri merasa baik-baik saja sekalipun belum dikaruniai anak, tetapi masalah bermula ketika Yumna diledek oleh para tetangga.Tetangga yang juga meng-gibahi-nya di masa lalu ketika lamaran diputus sepihak oleh Mas Ilham. Sebenarnya Gus Hanan sudah mencoba mengajak Yumna untuk pindah rumah saja, tetapi gadis itu tidak mau meninggalkan ibunya.Apalagi sekarang, ibunya adalah seorang single parent. Meskipun ada Mas Dika, tetapi beliau akan tetap tinggal sendirian kalau anaknya berangkat kerja. Gus Hanan juga tidak ingin tinggal di pesantren sebagaimana tujuannya sejak awal untuk mengajari mereka yang tidak berkesempatan duduk di bangku pesantren.Namun, siapa sangka, tuj
Tadi malam, Gus Hanan sudah istikharah untuk ke lima kalinya dan selalu muncul wajah Syahdu bahkan hatinya sedikit tergerak untuk menikahi gadis itu. Dia sengaja melakukannya berulang kali karena mau jawaban yang lain, teryata sama saja.Lelaki berwajah tampan itu pasrah kepada Tuhan, mungkin memang sudah takdirnya untuk menikah lagi. Air mata Gus Hanan keluar, dia merasa tidak sanggup menjalani perintah Tuhan.Dia melangkah lesu menemui sang istri yang baru saja membereskan peralatan makan. Gus Hanan sengaja tidak mengatakan itu lebih awal karena takut nafsu makan istrinya kembali hilang.Gus Hanan sangat paham bahwa sekalipun perempuan tersenyum, bisa jadi itu pertanda hatinya sangat terluka. Sebagaimana sejak dulu sudah diketahui kalau perempuan sangat pandai memendam perasaannya dan sulit untuk dipahami."Dek, mas mau bicara sama kamu.""Bicara apa, Mas?"Yumna mengikuti langkah suaminya menuju ruang tengah. Hatinya sedikit berdegup kencang karena belum bisa menebak apa yang akan