Di malam yang pekat
Angin berembus syahduDaku bagai tersekatApabila teringat sosok SyahduAkankah dia menjadi jawaban
Atas segala doa yang kami pinta?Apakah terkabul sebuah harapanApabila Syahdu menjadi perantara?Hati merasa gamang
Jiwa pun tak lagi tentramTeringat rupanya yang menawanJuga bibir yang begitu ranumSekelumit kisah tentang kami
Yang selalu harapkan buah hatiHaruskah ikhlas berbagiMerelakan dia hadir di antara kami?Sekalipun mata terpejam,
luka tak pernah mau beranjakSekalipun bibir mengukir senyum,sesak di dada tak henti membelengguAku terluka, tetapi harus menerima
Berharap kelak ada buah di balik kesabaranku~~~
"Istri mas lagi ngapain?" tegur Mas Hanan membuatku segera menyimpan kembali buku itu.
Sebuah buku yang selalu menjadi tempat pelarianku selama ini. Di dalamnya berisi banyak puisi sebagai bentuk curahan hati.
Jam sudah menunjuk angka sembilan, tetapi aku masih belum mengantuk. Bagaimana bisa sementara hati terus memikirkan omongan Bu Wenda.
"Mas, aku mau nanya sesuatu sama kamu."
"Nanya apa?"
Aku beranjak dari kursi, kemudian duduk di samping Mas Hanan yang bersandar pada kepala ranjang. Jantung berdegup tidak normal, ada rasa ragu dan takut mendominasi jiwa.
"Mas tahu Syahdu?"
"Tahu. Dia salah satu perempuan yang belajar lughoh dan syariah. Kenapa?"
"Di-dia anu, Mas. Syahdu itu mencintaimu." Aku memejamkan mata, kemudian menggigit bibir setelah mengucapkan kalimat tadi agar bulir bening tidak jatuh membasahi pipi.
Seperti inilah cara setiap perempuan menahan luka. Walau sulit dan butuh perjuangan, paling tidak aku sudah berusaha menyampaikan maksud pada suami.
"Lalu kenapa kalau Syahdu mencintai mas?"
Aku membuka mata, kemudian menatap netranya yang indah. Lelaki bermata teduh itu selalu berhasil mengirim angin sejuk dalam dada. Akhirnya bibir mengukir senyum beriring air mata.
Tanpa kata. Kini aku menatap suami tanpa tahu harus menjawab apa. Biasanya setiap malam dia memintaku menceritakan semua hal yang sudah terjadi siang tadi, begitu pun sebaliknya. Kini berbeda karena ada yang mengganjal dalam hati.
"Nikahi Syahdu, Mas. Aku yakin dia bisa memberimu anak yang lucu dan juga taat pada Tuhan. Syahdu gadis yang baik, aku rasa bisa menerimanya sebagai adik madu."
"Baiklah, mas akan menikahinya."
Ucapan Mas Hanan bagai belati yang menusuk jantung. Aku terpengarah mendengarnya, bahkan sampai sulit menyembunyikan raut cemburu di wajah.
Bibir ingin mengukir senyum, tetapi sulit. Aku seketika beku dengan perasaan hampa. Jantung rasanya ingin berhenti berdegup, entah mengapa sesakit ini mendengar jawaban yang memang ingin kudengar.
"Mas bercanda. Mas hanya ingin melihat apa kamu benar bisa menerima Syahdu sebagai adik madu atau tidak. Nyatanya tidak, 'kan?" Mas Hanan meraih tubuhku membawa dalam pelukannya. "Mas tahu kamu cemburu."
Aku meremas baju karena tersulut emosi. Ibu benar, aku tidak ikhlas berbagi. "Aku ikhlas, Mas. Mungkin di awal akan sulit, tetapi nanti juga pasti terbiasa."
"Sampai kapan pun, mas hanya akan punya satu istri dan itu kamu. Mas gak mau menikahi Syahdu. Biar saja kita hidup menua berdua, dengan itu kamu bisa mengurusku dengan baik, 'kan? Kita bisa leluasa ke mana-mana, hanya berdua."
"Tidak, Mas. Aku memahami nalurimu yang ingin menjadi seorang ayah. Apa mas mengira aku tidak peka ketika meminta Fatimah memanggilmu Abi Hanan dan bukan lagi paman?"
Air mata mengucur deras, Mas Hanan tahu aku sedang menangis karena bahu terguncang hebat. Dia mengurai pelukan, kemudian kedua ibu jarinya menyeka air mataku.
Rasa takut kehilangan semakin menjadi. Aku dilema terutama mengetahui Mas Hanan menolak permintaan ini. Entah bagaimana Tuhan menjawab doa kami.
***
"Kenapa kamu tidak coba beli tespeck lagi, Dek?" tanya Mas Hanan begitu kami selesai sarapan.
Hari jumat pengajiannya diliburkan, maka Mas Hanan senantiasa membantuku mengurus rumah. Dia mencuci piring sementara aku sibuk menyapu dan mengepel lantai atau sebaliknya.
"Aku lagi dapet, Mas," jawabku lesu.
"Biar mas saja!" Mas Hanan menyambar piring kotor di kedua tanganku, lalu membawanya ke wastafel.
Dia dengan cekatan membersihkan itu semua. Aku kembali duduk di meja makan karena rasa semangat sudah hilang. Sepanjang malam aku memikirkan Syahdu dan Mas Hanan.
Selain perempuan itu, masih banyak yang menaruh hati pada suamiku. Akan tetapi, aku merasa hanya Syahdu yang tidak genit. Selama ini tidak pernah ada gosip berlebih tentangnya kecuali hanya rumor tetangga.
Syahdu begitu menjaga harga diri sebagai perempuan. Aku juga bingung bagaimana bisa tetangga lain tahu mengenai isi hati Syahdu.
"Mas, tolong pikirkan sekali lagi. Syahdu mencintaimu, kenapa kamu tidak mau menikah dengannya?"
"Syahdu, Syahdu, Syahdu." Mas Hanan meletakkan sapu asal. "Kenapa kamu selalu menyebut nama itu?"
"Karena Mas harus menikah dengannya."
Mas Hanan membuang pandang. Sebelum aku sampai memeluknya, dia sudah melangkah ke luar rumah. Entah ke mana dia dalam suasana hati yang kacau itu.
Aku jadi semakin merasa bersalah karena mendesaknya menikah lagi. Bukan mengekang, tetapi Mas Hanan berhak mendapat kebahagiaan.
Bingung sendiri di rumah, aku memilih duduk di teras untuk menenangkan pikiran. Akan tetapi, sepertinya nasib buruk kembali menimpa karena harus bertemu Bu Arin.
"Kenapa dengan Gus Hanan, Yum? Apa dia mulai marah karena kamu belum hamil juga?"
"Mas Hanan gak apa-apa, Bu. Tidak usah kepo dengan rumah tangga orang. Jujur ya, Bu, mohon maaf ... kenapa sih kalian selalu hadir di saat seperti ini?" Aku bertanya sedikit dongkol.
"Memang benar kamu gak ngebiarin Gus Hanan menikahi Syahdu? Kasihan loh suami kamu itu, dia pasti mau punya anak juga."
"Bu Arin, urusan rumah tanggaku bukan urusan ibu."
"Padahal di masjid, Gus Hanan beberapa kali beradu pandang dengan Syahdu. Pasti ada bunga-bunga cinta yang mekar di antara mereka karena setelah memandang, ada senyuman di wajahnya."
Aku mengusap wajah pelan. Entah yang dikatakan Bu Arin itu benar atau tidak, sudah pasti melukai hati. Tanpa merespon, aku segera masuk rumah merogoh ponsel dan mencari sebuah nama di aplikasi F******k.
[Assalamualaikum, Syahdu. Bisa kita bertemu di pelataran masjid?] Sengaja aku mengirim pesan itu padanya untuk memecahkan teka-teki. Untung saja dia sedang online.
[Wa'alaikumussalam, nggih boleh, Mbak.]
[Sekarang aku ke sana!]
Rumah nenek Syahdu berada di samping masjid sehingga tidak perlu menunggu lama. Aku mengganti jilbab, kemudian melangkah cepat ke masjid.
Hati merasa gundah, tidak henti-hentinya lisan melafazkan zikir sebagai penenang hati. Beberapa ibu-ibu melirik sinis padaku ketika kami berpapasan, tetapi itu tidak penting sekarang.
Sesampainya di lokasi tujuan, aku sudah melihat Syahdu berdiri dengan gamis lebar berwarna abu basah. Dia cantik, apalagi setelah mengukir sebuah senyum yang melukai hati.
Kami duduk berhadapan dengan jarak yang tidak terlampau jauh. Syahdu berwajah ceria, mungkin dia belum bisa menebak kenapa aku mengajaknya bertemu secara tiba-tiba. Beruntung saat ke sini tadi, Bu Arin sudah tidak berdiri di depan rumah. Mungkin dia kesal karena tidak menemukan topik baru. "Syahdu, aku dengar-dengar kamu mencintai Mas Hanan?" Perempuan di depanku terperanjat. Dia pasti tidak menduga aku akan bertanya demikian. Akan tetapi, jika terus mendiamkan juga bisa menjadi fitnah. "Kenapa Mbak Yumna ngomong kayak gitu? Aku ndak berani suka sama Gus Hanan." "Syahdu, kamu memang berkata demikian, tetapi matamu menyiratkan cinta yang besar." Syahdu membuang pandangan. Suaranya yang lembut tentu saja bisa membuat lelaki mana pun jatuh cinta. Matanya yang teduh mungkin memang benar pernah dipandang Mas Hanan. Kalau saja aku bukan istrinya, pasti suamiku akan langsung melamar Syahdu. Perempuan cantik yang sangat menjaga kehormatan. "Aku mau minta tolong sama kamu, Syahdu." Aku
Suara pintu utama terdengar, pasti Mas Hanan sudah pulang dari masjid. Aku langsung ke luar dan menghambur dalam pelukannya."Senang amat, ada apa, ya?" tanya Mas Hanan dengan nada menggoda."Syahdu bersedia, Mas!" pekikku bahagia.Tiba-tiba saja senyum di wajah Mas Hanan sirna. Rembulan di wajahnya seakan tertutup awan tebal. Aku sudah mengenal Mas Hanan cukup lama dan tahu kalau hati kecilnya terukir luka."Benarkah? Benarkah kamu bahagia dengan kabar itu?""Aku bahagia, Mas. Sekarang masuk kamar karena aku sudah tidak sabar untuk meminta restu ibu.""Tapi aku belum menjawab, Dek. Kamu bahkan belum tahu aku mau apa tidak.""Mas, aku bahagia jika kamu menikahi Syahdu. Rasa cemburu itu hanya ada sebentar, nanti akan sirna jika aku sudah lebih ikhlas. Perempuan yang dipoligami bukan cuma aku dan kita punya alasan kuat. Pokoknya Mas harus menuruti keinginanku ini. Oke?""Terserah kamu lah!" ketus Mas Hanan.Aku meloncat kegirangan. Sekalipun nada bicaranya terdengar ketus, tetap saja ta
Alhamdulillah," ucapku diselingi tawa yang terdengar sumbang. "Apa kamu sungguh-sungguh, Nak Gus?" tanya ibu dengan raut wajah khawatir. Matanya bahkan sekilas melirik padaku sebagai tanda tidak percaya. "Jika ini yang diinginkan Yumna, aku bisa apa, Bu? Sudah sering kuingatkan untuk bersabar, memberitahunya kalau aku tidak pernah mau menikah lagi. Akan tetapi, dia selalu memaksakan kehendak bahkan ...." "Sudah, Mas. Ini keputusan terbaik, aku yakin sebentar lagi kita sekeluarga akan bahagia," sambungku cepat begitu Mas Hanan menunduk dalam. Ayah dan ibu hanya bisa diam serta menatap penuh tanda tanya. Aku menautkan ibu jari dan telunjuk sebagai isyarat kalau hati sedang baik-baik saja. Tidak sabar rasanya menyampaikan berita baik ini pada Syahdu. Aku pun pamit masuk kamar seraya merogoh ponsel dalam saku gamis. "Assalamualaikum, Syahdu. Kamu apa kabar?" sapaku via telepon. "Waalaikumussalam, Mbak. Alhamdulillah aku baik-baik saja. Mbak gimana kabarnya?" "Alhamdulillah, Syahdu.
[Kalau hal ini melukai hati Mbak Yumna, maka tolong jangan biarkan Gus Hanan menikah lagi. Aku tidak bisa menjadi orang ketiga yang akan berbahagia di hari pernikahan sementara Mbak menahan luka. Tolong dipikir ulang sebelum semuanya menyesal.]"Mas, Syahdu." Aku menyodorkan ponsel pada Mas Hanan. Dia menerimanya lantas membaca pesan tersebut."Syahdu benar, jangan gegabah mengambil keputusan atau kamu menyesal nanti. Jujur saja mas merasa ragu kalau harus menikah sama dia. Kamu mau kan memikirkan ulang perkara ini sambil berdoa sama Allah biar kamu cepet hamil?""Keputusanku sudah bulat, Mas. Kalian memang harus menikah dan aku ikhlas." Getar di dada semakin mengganggu.Tidak ada jawaban, Mas Hanan hanya bisa melipat bibir. Sebenarnya aku pun sama dengan perempuan lainnya, tidak ingin berbagi hati. Namun, bagaimana jika semesta seakan menuntutku melakukan hal ini?Aku mungkin bisa berusaha menjadi istri terbaik untuk Mas Hanan, mengurus makan dan tidurnya. Tidak dengan memberinya seo
Mereka kembali melanjutkan perbincangan yang tertunda. Aku tidak bisa mendengar betul kecuali seorang lelaki tua bertanya dengan nada pelan, tetapi penuh penekanan, "apa Gus Hanan bisa berlaku adil pada Syahdu?" Sekilas matanya melirik pada tangan kami yang saling menggenggam dengan erat. "Atau hanya mewujudkan mimpi kalian?""Kedatangan kami ke sini serius, Pak, bukan untuk memanfaatkan saja. Maafkan suamiku kalau ada salah tadi atau diri ini yang mendadak keluar rumah. Sekali lagi maafkan kami," balas Yumna dengan suara bergetar menahan perih di dada."Aku tidak melihat Gus Hanan mencintai Syahdu.""Akan tetapi, cinta akan tumbuh karena seringnya bersama, Pak." Gus Qabil menjawab cepat, pandangannya mengarah padaku sehingga kami saling menatap."Lalu kenapa Gus Hanan cuma diam?" Mata lelaki tua itu sedikit memicing, lantas menampilkan gigi yang berderet rapi. "Maaf, kalian jangan salah paham. Tentu bapak-bapak di luar sana pasti menginginkan anaknya mendapat keadilan jika menjadi is
Lepas salat dzuhur, Mas Hanan benar-benar sudah datang, aku langsung mencium punggung tangannya takzim.Setelah kami duduk di karpet depan kamar, aku membuang napas kasar untuk melonggarkan dada yang terasa sesak. Jujur saja, kaki dan tangan sudah gemetaran duluan."Mas, aku lihat kamu tidak pernah ada niat mencintai Syahdu.""Tentu, kenapa?""Kalau kalian menikah, Syahdu berhak mendapat cinta kamu, Mas. Kamu harus tahu, aku itu ikhlas dimadu. Kita sama-sama ingin punya anak, tetapi sampai tujuh tahun berlalu ... nihil."Mas Hanan mengalihkan pandangan sejenak, sebelum kedua tangannya benar-benar mencengkram bahuku. "Yumna, sampai kapan pun aku akan selalu mencintaimu. Sampai kapan pun hanya kamu yang akan menjadi pengisi hatiku dan tolong, kalau boleh meminta, jangan paksa aku menikahi Syahdu. Tolong, aku ingin hidup berdua sama kamu!""Mas, jangan mengedepankan ego. Aku tahu mas cinta dan sayang sama aku, tapi kita butuh seorang anak. Mungkin Syahdu itu memang jodoh kamu."Tidak ada
Suasana mengharu biru melihat Mas Dika mendekat pada ayah seakan membisikkan sesuatu. Ya, aku berontak dalam pelukan Mas Hanan. Entah kenapa dia tidak membiarkanku dekat dengan ayah.Sialnya, Mas Dika malah menuntun ayah mengucapkan lafaz tauhid. "Mas, kamu apa-apaan, sih?"Dia tidak menjawab, masih terus menuntun ayah sampai tangan lemah berkeriput itu lepas dari genggamannya. Tangis ibu pecah, segera Mas Dika mendekat dan membawanya dalam pelukan."Innalillahi wainnailaihi raajiun," lirih Mas Hanan tepat di dekat telingaku."Mas, kamu ngomong apa sih?" tanyaku masih memberontak.Mas Hanan membawaku keluar dari kamar, masih tidak mau melepas pelukannya. Mata itu sudah basah. "Kamu harus kuat, Yum. Ayah sudah tenang.""Maksudnya gimana?" Aku memaksa melepaskan diri."Ayah sudah mendahului kita.""Apa?" Aku terpukul mendengar jawaban Mas Hanan. Kakiku kembali melangkah cepat langsung menemui ayah yang sudah tidak,lagi bernapas.Beribu maaf kugaungkan, tetapi tidak peroleh jawaban. Pipi
Jam sudah menunjuk angka sepuluh pagi, para tetangga juga kerabat jauh dan dekat sudah mulai berdatangan sejak tadi. Beberapa santri juga sudah selesai membaca al-qur'an untuk ayah. Aku sedih, sekaligus bahagia karena almarhum didoakan oleh anak-anak penghafal al-qur'an.Sejak tadi ibu menyibukkan diri di dapur karena kalau duduk di sisi jenazah, air matanya tidak bisa berhenti mengalir khawatir menjadi dosa karena meratapi mayat. Sebenarnya aku pun sama terlukanya melihat sosok yang sangat aku cintai kini terbujur kaku."Kamu yang sabar, Mbak. Jangan larut dalam kesedihan, nanti hatinya ndak ikhlas," kata Andin yang sejak tadi bersedia menemaniku.Aku membuang napas berat, rasanya masih sulit menerima takdir dari Tuhan. Bukan aku menentang, hanya saja semua terlalu cepat. Rasanya baru kemarin aku menjadi anak ayah, sekarang sudah harus berpisah.Luka seorang anak yang ditinggal orangtua itu sangat dalam apalagi aku belum bisa membalas pengorbanannya selama ini. Aku terlalu bodoh dan
EXTRA PART!!!____Cinta mengubah kekasaran menjadi kelembutan, mengubah orang tak berpendirian menjadi teguh berpendirian, mengubah pengecut menjadi pemberani, mengubah penderitaan menjadi kebahagiaan, dan cinta membawa perubahan-perubahan bagi siang dan malam.Ketahuilah, apapun yang menjadikanmu tergetar, itulah yang terbaik untukmu! Dan karena itulah, qalbu seorang pecinta-Nya lebih besar daripada Singgasana-Nya.Air berkata kepada yang kotor, "Kemarilah." Maka yang kotor akan berkata, "Aku sungguh malu." Air berkata, "Bagaimana malumu akan dapat dibersihkan tanpa aku?Singa terlihat paling tampan ketika sedang mencari mangsa. Jualah kepandaianmu dan belilah kebingunganmu. Jika Anda jengkel terhadap setiap gesekan, bagaimana cermin Anda akan dipoles.Anda dilahirkan memiliki sayap, mengapa lebih memilih hidup merangkak. Cinta dan kelembutan adalah sifat manusia, amarah dan gairah nafsu adalah sifat binatang. Kau harus hidup di dalam cinta, sebab manusia yang mati tidak dapat melak
Bu Wenda terus berjoget ria sambil berteriak kalau dia adalah fans Yumna. Tidak ada yang mau menghentikan Bu Wenda yang semakin kehilangan kendali itu bahkan anaknya saja sudah menjauh ketika Nurul memberi isyarat."Kalian tahu? Aku sudah memfitnah Yumna mengatakan dia hamil, makanya Ilham memutus lamaran itu. Aku bilang dia mandul sampai stres dan keguguran. Kira-kira Yumna mau maafin aku nggak, ya? Ada yang tahu jawabannya?"Lagi, dia tertawa keras."Di sini ada yang bernama Yumna? Ah, aku rindu setengah mati kepada Yumna. Sebenarnya aku mengakui semua kesalahan itu dan mau meminta maaf, tetapi sudah keburu gengsi duluan. Andai tidak ada yang berdiri di sisi Yumna, aku pasti bisa meminta maaf sama dia. Aku malu karena ada Nurul, Amel dan suaminya.Kalian tahu kalau suami Yumna itu putra Kyai Sholeh? Makanya aku tidak suka kalau Yumna bahagia. Sekarang saja aku mau mencekik lehernya biar dia mati atau kita bawa bermain-main di taman. Aduh, Syahdu kasihan sekali karena dia harus menin
Hari selasa yang cerah ketika Gus Hanan baru pulang mengajar di masjid, Yumna langsung menariknya masuk kamar dengan wajah berseri-seri."Mas, hari ini ingat hari apa?""Hari selasa?"Yumna menggeleng. Gus Hanan mencoba menebak bahkan hampir sepuluh kali tebakan, tetapi belum juga berhasil. Dengan sedikit kesal, Yumna memberi tahu kalau hari ini Gus Hanan genap berusia 27 tahun."Ah iya, mas udah 27 tahun hari ini. Aduh, kok sampai lupa ya?""Daaaan ... aku punya hadiah ulang tahun buat Mas Hanan.""Hadiah? Qur'an? Kitab? Atau kecupan lagi kayak tahun kemarin?"Sekali lagi Yumna menggeleng. Gus Hanan menyerah tidak mampu menebak. Dia akhirnya memeluk sang istri, berusaha membujuk untuk langsung menunjukkan hadiah itu saja.Yumna mengurai pelukan suaminya, dia merogoh saku gamis dan menunjukkan sebuah benda berwarna putih dan biru. "Aku hamil, Mas. Selamat, kamu akan menjadi ayah!""Alhamdulillah, kamu serius, Dek?"Yumna mengangguk, sesuatu yang sejuk mengalir membasahi pipinya. "Dan
Mereka sudah tiba, tetapi Amel tidak bisa singgah karena Ozil sudah mencarinya sejak tadi. Begitu mobil hitam itu sudah melaju pergi, seseorang kemudian menghampiri mereka berempat."Aku turut bahagia karena melihat Nurul kembali. Ternyata dia yang menyebar berita itu, tetapi aku yang harus diusir." Bu Wenda datang bersama anak gadisnya.Nurul melihat ponsel gadis itu menyalah, dia pun tersenyum tipis dan memberitahu Yumna lewat isyarat sementara Mas Dika dan Gus Hanan diminta masuk saja karena bisa menangani mereka berdua.Begitu tinggal mereka berempat saja di pinggir jalan, Nurul langsung mendekat ke gadis itu agar suaranya lebih jelas dalam rekaman. "Ya, aku yang menyebarkan berita itu. Gimana rasanya harus disalahkan padahal bukan kita yang melakukannya?""Kurang ajar!""Tidak, aku tidak kurang ajar Bu Wenda. Semua orang sudah tahu kalau dalang di balik semua masalah yang ada adalah Bu Wenda sendiri karena sangat iri pada Yumna. Kesalahan Bu Wenda kan bukan hanya gosip, tetapi su
Pada hari pernikahan Mas Ilham tepat hari sabtu, mereka semua berkumpul di rumah Yumna dengan baju seragam meskipun Amel dan Kevin beda motif asalkan warnanya sama. Mereka telat pesan atau mungkin sebut saja Nurul terlalu cepat memesan karena tidak mau ayahnya ingkar janji.Untuk ketiga perempuan itu semuanya membawa kado, sementara laki-laki mengantongi amplop saja. Mereka semua memakai baju yang hampir sama. Hari ini Nurul terlihat sangat cantik.Sebelum berangkat, dia meminum segelas air dulu untuk menenangkan diri. Luka dalam hatinya dibalut sedemikian rupa. Mereka berpasang-pasangan kecuali Mas Dika yang harus kembali memerankan perannya.Jika dulu dia pura-pura berpasangan dengan Yumna, sekarang bersama Nurul. Mas Dika tersenyum pada adiknya yang selama ini dia benci, tetapi kini mulai membuka hati untuk menerimanya."Nanti sama Mas Dika aja biar mereka mengira kamu juga punya pasangan. Pokoknya nanti jangan pernah masang muka sedih, harus mengalihkan pikiranmu dari Mas Ilham. J
Sesampainya di rumah, mereka berdua terkejut oleh kedatangan Amel. Sepertinya hari akan semakin panjang karena kedatangan Amel yang membawa banyak makanan. Sekalipun mereka sudah dewasa, tetapi yang namanya perempuan kadang bertingkah seperti anak-anak."Ozil mana, Mel?""Sama neneknya, dia gak mau ikut tadi karena keasyikan main sama sepupunya."Yumna mengangguk, dia senang sekali melihat banyak gorengan termasuk ayam geprek di depannya. Mereka kumpul di ruang tengah karena tidak mau diganggu oleh tamu. Hari yang menyenangkan setelah bertemu Mas Ilham.Masalah itu Yumna ceritakan pada Amel bukan untuk memancing amarahnya, tetapi seorang perempuan sangat sulit untuk menyimpan masalahnya sendiri apalagi jika sudah lama dan terbiasa saling berbagi cerita dengan sahabat."Mas Ilham kok bego banget, ya? Masa dia mau jatuh ke jurang yang sama?""Gak tahu tuh. Udah aku bilangin juga karena aku sebagai orang ketiga di masa lalu itu serius, nyeselnya sampe sekarang, nyeseknya sampe ke hati. A
"Ide apa, Mas?""Nah, sebagian perempuan kan kalau mendapat darah keluar lebih lima belas hari itu langsung menentukan bahwa 15 hari haid dan selebihnya istihadhoh, ya kan?"Yumna mengangguk."Nah, kamu adakan hari khusus untuk membahas masalah darah itu biar mereka yang tadinya bingung dan ragu, menjadi yakin dan tahu darah apa yang keluar itu. Mas tidak bisa ngejelasinnya karena nanti ada pertanyaan pasti malu untuk dipertanyakan. Nah kalau sesama perempuan kan enak. Gimana?""Ya boleh, Mas, tapi aku mau pahami ulang dulu dan latihan menjelaskan di depan kamu. Kalau ada salah-salah kan aku yang kena dosanya juga, Mas.""Woke siap, kalau gitu mas mau menyiapkan materi khutbah dulu buat hari jumat nanti. Kamu ngelakuin apa aja deh bebas."Yumna mengangguk cepat, dia lalu menemui Nurul di rumah ibunya karena merasa bosan dan jenuh sendirian. Makanya dia memiliki ide untuk menjual makanan saja daripada tidak ada kegiatan seperti sekarang toh lokasi di depan rumah lumayan luas apalagi ka
Di malam hari, Gus Hanan duduk dengan istrinya di meja makan padahal makanan sudah tidak terhidang lagi di sana. Lelaki itu menopang wajah dengan kedua tangannya karena merasa kurang komunikasi dengan para murid yang keluar begitu saja.Padahal seharusnya seorang guru harus menanyakan keadaan muridnya juga yang apabila tidak hadir atau malah memilih mengundurkan diri. Saat itu memang Gus Hanan bertanya, tetapi mereka hanya diam, lalu besoknya tidak ada kabar lagi."Mungkin bagusnya kala ngajar di rumah aja biar gak ada cerita miring lagi?""Jangan dulu, Mas. Kamu harus bicara sama panitia masjid dulu. Bisa jadi bukan mereka pelakunya, tetapi jamaah atau orang lain yang mau nama kamu buruk di mata semua orang, Mas. Baru satu orang, kan, yang ngomong kayak gitu?""Entah sejak kapan iuran pengajian itu diadakan. Mas jadi semaki kepikiran padahal selama ini ikhlas dan tidak pernah berpikir untuk memintai mereka bayaran walau sekali dalam setahun."Yumna juga bingung sendiri, ingin mencari
Pernyataan Cinta—Jalaluddin Rumi—Kau yang telah menutup rapat bibirku, tariklah misaiku ke dekat-MuApakah maksud-Mu? Mana kutahu?Aku hanya tahu bahwa aku siap dalam iringan ini selaluKukunyah lagi memamah kepedihan mengenang-MuBagai unta memamah biak makanannya, dan bagai unta yang geram mulutku berbusaMeskipun aku tinggal tersembunyi dan tidak bicara, di hadirat kasih aku jelas nyataAku bagai benih di bawah tanah, aku menanti tanda musim semiHingga tanpa nafasku sendiri aku dapat bernafas wangi***Nurul tersadar dari kesedihannya setelah Yumna mengingatkan kalau dia harus memperbaiki hubungan dengan Allah agar rasa kecewa dari berharap lebih itu beringsut hilang.Dia menyeka air matanya, menelan kesedihan itu dan mengganti dengan senyuman. Nurul kembali merasakan bagaimana menjadi Yumna ketika harus ditinggalkan oleh orang yang sudah lama ditunggu untuk bersatu.Karma itu tidak ada, tetapi balasan atas perbuatan selalu ada. Nurul menyesal dan sekali lagi merintih memohon ma