Mereka berdua mengobrol sambil memandang Wirota dengan pandangan iba."Aku mau mengatakannya tapi aku tak tega," ujar tetangganya."Aku juga tidak berani mengatakannya, terlalu mengerikan untuk diceritakan," kata temannya lagi.Seorang Bhiksu tua lewat di depan rumah Wirota, tangannya memegang mangkuk tanah liat, ketika lewat di depan rumah Wirota, tiba-tiba langkahnya terhenti dan menoleh ke halaman. Wajahnya berubah, dia masuk halaman rumah dan menegur Wirota"Amitabha.... Ngger, adakah makanan untukku?"Wirota berhenti mendorong ayunan, namun tindakannya membuat Gendhis tidak suka, Wajahnya berubah ketika melihat seorang bhiksu memasuki halamn rumah."Romo, usir pengemis itu, aku tidak suka dia di sini!" Seru Gendhis dengan marah menunjuk Bhiksu itu.Wirota tertegun, dia tak menyangka Gendhis berbicara kasar terhadap seorang tokoh agama. Walaupun Wirota beragama Hindu, tetapi dia tak ingin anaknya bersikap intoleran."Gendhis, jaga mulutmu kualat kamu mengatai seorang bhiksu sebaga
Dengan lirih Wirota bertanya“Bhiksu, mengapa bisa begitu?”Wirota berbalik memandang rumahnya kembali, rumah itu terlihat asri, bersih dan rapi. Terlihat Larasati sedang menyuapi Gendhis di teras rumahnya. Tetapi ketika dia melihat dari sela-sela kakinya rumah itu terlihat kotor dan tak terawat seolah sudah lama tidak dihuni. Pantas saja ketika dia datang dia hanya menemukan anak dan isterinya saja, sementara para penjaga rumah dan para pelayan sudah tidak ada lagi. Baru sekarang dia menyadarinya, saat dia datang kemarin dia sama sekali tidak menyadari keadaan rumahnya yang sudah berubah karena rasa senangnya bertemu kembali dengan isteri dan anaknya.“Amithaba, isterimu masih belum ikhlas berpisah denganmu, dia tidak sabar menunggu untuk terlahir kembali dan memilih jalan ini agar tetap dapat bersamamu,” kata Bhiksu itu.Tak lama kemudian beberapa orang kampung datang bersama Kepala Desa, setelah memberi hormat pada Bhiksu dan memberikan bekal makanan, Kepala Desa berkata pada Wir
Wirota tertegun, sampai di sini barulah dia tersadar, Mbok Sinem telah melihat sesuatu yang seharusnya tidak terlihat. Dengan hati-hati Wirota bertanya“Mbok apa yang kau lihat?”Mbok Sinem segera menggandeng tangan Wirota keluar rumah lalu berkata“Jangan makan masakan isterimu, yang kulihat di meja hanyalah daun kering dan cacing. Tadi aku juga melihat Larasati dan anaknya duduk di pojokan. Kondisinya persis sama seperti waktu kami menemukan mereka dulu. Ngger, sebaiknya kau suruh bhiksu itu mendoakan arwahnya agar tidak bergentayangan lagi, Kau juga harus ikhlas menerima kematian mereka agar perjalanan mereka ke alam baka lebih ringan tanpa beban.”Wirota mengangguk dan tersenyum getir“Terimakasih Mbok, tapi biarlah untuk malam ini saja aku ingin tetap begini dulu, besok aku akan meminta bhiksu itu untuk mendoakan mereka.”*****Malam itu Wirota tidur bersama anak dan isterinya, dia tidak ingin tertidur sampai pagi agar dapat tetap menikmati kebersamaan bersama keluarganya. Wirota
Sementara itu di Majapahit, Mapatih Majapahit Nambi mendapat berita bahwa Pranaraja ayahnya telah meninggal dunia. Maka segera pulang ke Lamajang untuk melayat. Berita kematian Pranaraja segera tersebar di seluruh Majapahit dan Tigangjuru karena Pranaraja saat ini bermukim di Lamajang.Saat sedang berada di kedai makan Wirota mendengar orang-orang membicarakan Pranaraja. Mendengar berita itu, Wirota segera pergi melayat ke kediaman Pranaraja di Lamajang.****** Di saat yang sama, Warang sang Pemimpin Gerakan Wukir Polaman menemui Halayuda secara diam-diam di sebuah kedai tuak.“Ini saatnya bagimu untuk merebut jabatan Mahapatih Majapahit, Nambi sedang pergi melayat ke Lamajang, jabatan Mapatih Majapahit untuk sementara kosong, kau bisa memanfaatkan situasi ini. Mintalah pada Jayanegara untuk memberikan jabatan Mahapatih kepadamu. Percayalah Raja bodoh itu pasti lebih menurut kepadamu karena kau adalah Pamannya,” ujar Warang.Halayuda terdiam sejenak, sudah lama jabatan itu diincarny
Tak lama kemudian dari arah semak belukar munculah seorang wanita yang mengenakan pakaian hijau ketat dengan motif seperti sisik ular. Pakaian itu begitu ketat menempel di badannya seperti kulit kedua. Kehadiran wanita itu secara tiba-tiba membuat Wirota terkejutSial ternyata ular ini ada pemiliknya, wanita di depanku ini memang cantik tetapi jangan-jangan dia bukan orang, batin Wirota.“Nyi Sanak siapa anda?”Wanita itu tak menjawab, dia langsung menghunus pedangnya dan menyerang Wirota“Pembunuh, kau telah membunuh piaraanku!”Pedang wanita itu berkelebat membabat Wirota yang masih bengong di tempatnya.Buru-buru Wirota menangkis serangan wanita itu lalu berseru marah“Ularmu telah menyerangku, ular itu sangat besar dan menakutkan mengapa kau tidak mengurungnya saja agar tidak mencelakai orang lain!” Seru Wirota dengan marah.“Dia sedang berburu mencari makan, wajar jika dia menyerangmu!” kata wanita itu dengan ngeyel.“Gila kau, ular itu berburu manusia bukan hewan, pasti sudah b
“Untuk membuat keris pusaka diperlukan waktu sekitar 3 bulan untuk membuatnya, tetapi untuk membuat keris dari batu pusaka ini perlu waktu sekitar 6 bulan untuk membuatnya. Batu ini tuahnya sungguh luar biasa memancar begitu kuat dan memiliki energi yang jika orang tahu cara memanfaatkannya dapat digunakan untuk membantu pekerjaan manusia,” ungkap Empu Supa. “Ya, Mpu Sengkala pernah bercerita kepadaku bahwa di masa lalu energi dari batu pusaka ini juga dapat menggerakan sebuah kereta tanpa kuda. Tetapi aku masih belum tahu persis bagaimana cara kerjanya,” kata Wirota. “Peradaban manusia di masa itu sudah tinggi , tetapi karena mereka larut dalam kemaksiatan, Sang Hyang Widhi menghukum mereka dengan menenggelamkan sebagian pulau-pulau yang ada di bumi ini, memusnahkan suatu bangsa dan menciptakan bangsa yang baru dengan peradaban yang sederhana,” ungkap Empu Supa. Malam itu Wirota menginap di rumah Empu Supa dan keesokan harinya dia sudah kembali lagi ke Lamajang. **** Dalam perja
Wirota bersama pasukan Tigangjuru mulai bergerak menyusun strategi peperangan. Wirota telah mengerahkan pasukan Keta yang berkedudukan di Argopura untuk membantu Lamajang melawna Majapahit. Para penduduk Kota Arnon yang masih tersisa segera diungsikan ke tempat yang aman. Setelah kota dokosongkan dari penduduk sipil, pasukan Tigangjuru telah menunggu kedatangan pasukan Majapahit di dalam benteng. Selama tiga hari pasukan Tigangjuru menunggu serangan dari Majapahit. Di hari kedua saat sedang menunggu kedatangan pasukan musuh, Wirota kembali bertemu dengan Nambi. “Gusti Nambi, saya ikut berduka cita atas gugurnya anak dan isteri Gusti Nambi di Pajarakan. Maafkan saya tidak dapat membantu karena sedang mendapat tugas dari Gusti Wiraraja.” Wajah Nambi saat itu tampak berduka namun dia tampak berusaha tetap tegar “Terimakasih Wirota, benar katamu, Halayuda telah memfitnahku dengan mengatakan bahwa aku tidak bersedia kembali ke Majapahit karena merencanakan pemberontakan. Kalau saja
Wajah Nambi tampak pucat setelah berjuang melawan ketiga mantan anak buahnya. Wirota menatapnya dengan iba, seorang Mapatih Majapahit akhirnya harus bertarung melawan anak buahnya sendiri karena Raja telah menganggapnya berkhianat. Wirota tahu Nambi bukanlah ahli bertarung seperti dirinya, Nambi dipilih menjadi Mahapatih Majapahit oleh Prabu Wijaya karena kemampuannya dalam mengelola dan membangun negara bukan karena kemampuan bertarungnya. Tak heran Ranggalawe seringkali menyepelekannya ketika mereka berjuang bersama Prabu Wijaya di Alas Tarik.“Gusti Nambi, anda sudah terluka parah, pergilah bersama Ra Windan mengungsi ke Keta untuk mendapatkan pengobatan yang lebih baik,” Wirota menyarankan.“Wiro, sakitnya luka ini tidak seberapa dibandingkan sakit hatiku terhadap Prabu Jayanegara yang menuduhku mengkhianatinya karena hasutan Halayuda. Dia memang benar-benar tidak pantas menjadi seorang Raja, pantas saja banyak orang diam-diam ingin melengserkannya. Aku akan tetap di tempat ini