Ranggalawe berdiri di halaman dengan keris terhunus, kemarahan masih membayang di wajah Ranggalawe. Orang-orang yang berada di dalam Bale Manguntur berlarian keluar dan melihat dari jauh apa yang akan dilakukan Ranggalawe selanjutnya. Semua orang berdebar manakala Lembu Sora dengan langkah pasti dan tanpa rasa takut menghampiri Ranggalawe. “Mana Nambi? Bawa dia kemari!” Seru Ranggalawe dengan gusar.Dia menyangka Nambi yang akan datang menghadapinya namun ternyata yang datang justru Lembu Sora. Namun Lembu Sora tanpa rasa takut mendekat dan mulai membujuk keponakannya dengan kata-kata yang lemah lembut seperti seorang ayah membujuk anaknya yang sedang ngambek.“Lawe, sabarlah apa pantas kau menantang Nambi berkelahi di depan Gusti Prabu, Pengageng dan para Nayaka Praja di saat acara penobatan Gusti Prabu Wijaya? Bukankah kau sendiri pernah bilang bahwa kau sangat menyayangi Gusti Wijaya seperti saudara kandungmu sendiri? Apa kau tidak mengerti betapa sakitnya hati Gusti Prabu melih
Ranggalawe telah tiba di rumahnya di Tuban, kedua isterinya Martaraga dan Tirtawati kebingungan melihat Ranggalawe pulang dengan wajah galau. “Kangmas Lawe, apa yang terjadi dengamu?” Tanya Martaraga.Ranggalawe tidak menjawab dan langsung menuju ke belakang membersihkan diri.“Sudahlah, biarkan saja dia nanti setelah makan dan beristirahat baru kita tanyai lagi,” kata Tirtawati.Sampai pagi harinya, Ranggalawe belum masih terlihat murung, bahkan ketika sarapan dia juga hanya berdiam diri tidak mengatakan apa-apa pada kedua isterinya. Dia hanya meladeni kemanjaan Kuda Anjampiani, anaknya dengan Martaraga yang saat itu masih berusia 3 tahun.“Anjampiani, pergilah bermain dengan Mbok Mbanmu di luar sana ya,” kata Ranggalawe setelah bermain sejenak dengan anaknya.Anak itu berlari ke halaman bermain bersama Mbok Mbannya. Tak lama kemudian terdengar teriakan Kuda Anjampiani“Horeee…kakek datang!”Martaraga dan Tirtawati buru-buru ke depan melihat siapa yang datang.“Romo, silahkan masuk,
Setelah mereka duduk berhadapan, Halayuda mulai bercerita“Maaf jika saya mengganggu anda Mpu Lawe, kedatangan saya kemari adalah untuk menyampaikan kabar bahwa setelah anda pergi dari Bale Manguntur, Nambi masih tidak terima dikatakan sebagai orang bodoh dan pengecut padahal kenyataannya dia sudah ikut berjuang bersama Gusti Prabu melawan Jayakatwang dan pasukan Mongol.”Ranggalawe terkejut mendengar berita dari Halayuda, darahnya kembali mendidih“Benarkah itu Mpu Halayuda?”“Saya berada di pihak anda, buat apa saya berbohong. Nambi juga telah menghasut Gusti Prabu untuk menegakan aturan dalam kitab Undang-Undang Kutara Manawa Darma Sastra tentang fitnah karena dianggap telah menyebarkan berita yang tidak benar tentang dirinya. Padahal fitnah sendiri adalah lebih kejam daripada pembunuhan. Padahal masalah itu juga bersinggungan dengan pasal Asta Dusta, dimana pelaku pembunuhan hukumannya adalah mati. Tampaknya dia benar-benar ingin menghabisi anda” kata Halayuda.Rupanya Halay
Kedua isterinya masih saja terus menangis, dalam hatinya dia sebenarnya tidak tega meninggalkan kedua isterinya. Namun tekadnya sudah bulat, perang tetap harus ada agar dia dapat mati secara ksatria dan terlahir kembali dengan raga yang lebih suci.Ranggalawe masuk ke kamarnya mencari Karambalangan Manik yaitu baju zirah dari tembaga berhiaskan batu-batu permata pemberian Wijaya. Karambalangan Manik yang diberikan Wijaya kepada Ranggalawe untuk membantunya menumpas musuh-musuhnya, kini digunakan oleh Ranggalawe untuk menyerang Wijaya. Setelah memakai Karambalangan Manik, dia mencari Mbok Mban Kuda Anjampiani dan minta agar Kuda Anjampiani di bawa kepadanya”Bawa Anjampiani kemari, aku mau berpamitan kepadanya.Tak lama kemudian Mbok Mban itu sudah kembali dengan membawa Kuda Anjampiani dalam gendongannya. Melihat kedua ibunya menangis, Kuda Anjampianipun ikut menangis. Seolah tak rela jika ayahnya pergi berperang. Ranggalawe menggendong anaknya dan menciumnya dengan penuh kasih saya
Kehilangan para pemimpin pasukan membuat formasi pasukan Majapahit semakin kacau, perlahan mereka mulai terdesak mundur. Pasukan lapis pertama segera kembali ke pasukan induk untuk bergabung dengan pasukan lapis kedua di bawah pimpinan Nambi. Kali ini dengan bergabungnya pasukan, Gingsir dengan Nambi, pasukan Majapahit semakin kuat mendesak maju ke arah Tuban. Nambi di atas kereta perangnya memanahi pasukan Tuban yang mencoba menghadang Majapahit.Para pimpinan pasukan Tuban yaitu Tamenggita dan Wiraksara segera menggabungkan pasukan mereka bersama Jaran Pikatan menyerang pasukan Majapahit. Tetapi belum lagi mereka bergerak lebih jauh, panah Nambi sudah menghajar dada Wiraksara sehingga gugurlah Wiraksara. Melihat temannya gugur karena panah Nambi, Tamenggita langsung mencari posisi Nambi dan mendekatinya, namun panah Nambi sudah meluncur membunuhnya. Tetabuhan gong dan kendang pasukan Majapahit mulai ramai berbunyi memberikan kabar bahwa Majapahit berhasil membunuh para perwira pasu
Dia adalah Hansa, Senopati terakhir yang berhasil melarikan diri dari kejaran pihak Tuban. Sambil menangis Hansa bercerita“Ampuni saya Gusti Prabu, saya benar-benar tidak berguna sebagai abdi Majapahit, setiap saat saya hanya tahu menerima pemberian Paduka tanpa bisa membalasnya, jadi untuk apa saya tetap hidup!”Lembu Sora berusaha menenangkan Hansa“Tenangkan dulu pikiranmu Hansa, tidak apa-apa, Gusti Prabu memaklumi apa yang sedang terjadi. Sekarang pelan-pelan ceritakan bagaimana kondisi peperangan tadi?”Setelah menenangkan diri Hansa mulai bercerita“Gusti Prabu, awalnya kami dapat membunuh Senopati mereka, namun setelah pasukan lapis kedua mereka turun gelanggang, banyak senopati dan prajurit kita yang terluka parah dan gugur. Ra Wira, Jagarudita, Brahma Cikur, Tosan dan banyak lagi lainnya sudah gugur. Sementara Jaran Wahana, Gingsir, Brajasela dan banyak lagi sudah terluka parah.”“Lalu di mana Nambi sekarang?”“Saya tidak tahu di mana Gusti Nambi berada, yang jelas kereta p
Keesokan paginya Para Senopati sudah bersiap menyambut kedatangan Sang Nata yang berangkat dari istana. Barisan para perwira pertama dan menengah bersama pasukannya masing-masing berbaris di barisan depan, sedangkan para Tumenggung berada di belakangnya dengan kereta perangnya masing-masing. Di belakngnya ada Kebo Anabrang bersama pasukannya yang semuanya mengenakan baju zirah dan berwajah sangar. Barisan kereta yang mengangkut juru tetabuhan berada di belakang pasukan sambil menabuh gong dan gendering perang, memberikan semangat pada pasukan.Di barisan paling belakang tampak Sang Nata bersama para Dharmaputra dan pasukan Bhayangkara, naik gajah menuju medan perang. Di tepi Tambak Beras, Wirota dengan Putra Angasak dan Juru Prakosa telah menunggu kedatangan Sang Nata.Ketika dari kejauhan rombongan Sang Nata mulai tampak Juru Prakosa berseru“Sang Nata datang!”Wirota melihat ke arah yang ditunjuk Juru Prakosa barisan pasukan Majapahit bergerak menuju Tambak Beras, debu tebal mengep
Pasukan Majapahit segera menyambut datangnya pasukan Tuban di tepi sungai. Pihak Majapahit mengerahkan pasukan infanteri dan berkuda untuk berperang dalam jarak dekat. Tumenggung Ula Bandotan dari pihak Majapahit menerjang pasukan Tuban dan mengacak-acak barisan pasukan Tuban. Mantripura Tuban, Gagarangan Tambak Baya tidak tinggal diam, dia dan pasukannya langsung menghadang pasukan Ula Bandotan. Kini justru Ula Bandotan dan pasukannya terjebak dalam kepungan pasukan Tuban. Mereka saling beradu senjata dan akhirnya Ula Bandotan gugur di tangan Tambak Baya.Sorak-sorai pasukan Tuban membahana ketika melihat salah satu perwira Majapahit berhasil mereka bunuh. Dengan penuh semangat mereka kembali maju menerjang Majapahit. Sementara itu sungai Tambak Beras sudah penuh dengan mayat-mayat prajurit yang mengambang dari kedua belah pihak. Beberapa mayat prajurit itu ada yang perlahan terseret arus sungai menuju ke laut.Gugurnya Ula Bandotan membuat Setan Kober murka, dia segera mencari p
Namun sebelum sampai pada sasarannya, tiba-tiba terdengar suara berkelebat dan kesiur angin melewati tubuhnya. Belum sempat Wirota menyadari, seseorang telah menangkis pukulannya. "Wiro, hentikan!" Wirota menoleh, ternyata Mahesa Wagal yang menangkis serangannya. Di belakangnya menyusul Gajah Mada, Gayatri dan Banyak Wungu. "Gusti Wirota, tunggu!" Seru Banyak Wungu. Wirota terkejut melihat kedatangan Banyak Wungu bersama Gajah Mada dan Gayatri. Sebuah pikiran buruk terlintas di benaknya. Jangan-jangan, Majapahit sudah membantai seluruh pasukan Sadeng dan Keta lalu mereka menyandera Banyak Wungu batin Wirota cemas. "Banyak Wungu, apa yang terjadi? Mengapa kamu bisa bersama mereka?"Tanya Wirota. "Gusti Wirota, Gusti Ratu Tribuana telah memerintahkan tabib Majapahit untuk mengobati para prajurit kita yang terluka. Dia mengatakan bahwa dia ingin Gusti Wirota kembali ke Majapahit. Beliau berjanji akan memberi anda jabatan Juru Demung atau Patih di Daha," ujar Banyak Wungu.
Ditantang seperti itu membuat darah Wirota seketika mendidih. Tapi dia tak ingin terlihat emosional di depan Ra Kembar. Setelah menghela nafas panjang untuk meredakan amarahnya barulah Wirota menjawab "Siapa takut?! Aku bukan laki-laki pengecut. Baik, kuterima tantanganmu!" Saat itu hari sudah menjelang maghrib,, namun situasi di sekitar gelanggang masih terang benderang bagai di siang hari bolong. Energi batu pusaka dari Gunung Padang yang dibuat menjadi tombak Naga langit begitu kuat dan seolah tak ada habisnya. Cahayanya masih terus berpendar tanpa meredup sedikitpun. Wirota menancapkan pedangnya ke tanah, lalu berjalan mendekati Ra Kembar dan memasang sikap kuda-kuda. Ra Kembar tersenyum, dia sangat yakin akan menang. Sepanjang karirnya sebagai prajurit, Ajian Balung Ireng tak pernah gagal membunuh musuhnya hanya dalam satu dua jurus Ra Kembar berjalan mendekati Wirota, kini mereka sudah berdiri berhadapan siap bertarung. Ra Kembar mengatupkan kedua tangannya di dep
Suara derap kaki kuda di belakangnya semakin dekat. Siapa itu, mungkinkah Lembu Peteng, Ikal-ikalan Bang atau Jabung Taraweskah? Hanya mereka yang tahu jalur yang kulewati ini, batin Ra Kembar. Hatinya mulai tenang merasa ada yang menemani. Ra Kembar sengaja mengambil jalur yang berbeda, sebuah jalur tersembunyi, bukan jalan yang biasa dilewati para prajurit Majapahit untuk pulang menuju Trowulan. Jalur itu jalannya lebih sempit dan melewati hutan belantara. Ra Kembar menoleh, dilihatnya ada seorang penunggang kuda mengejarnya. Terkesiap Ra Kembar ketika melihat penunggangnya, dari pakaian dan wajahnya dia dapat mengenali penunggang kuda yang mengejarnya adalah Wirota. "Sial, gara-gara harus membebaskan diri dari totokan Resi tua tadi, waktuku terbuang di pondok itu. Sekarang Wirota sudah menemukanku. Aku lupa dia juga tahu jalur ini ketika melarikan diri bersama Prabu Wijaya ke Madura," gerutu Ra Kembar. Ra Kembar kembali memacu kudanya. Tiba-tiba terdengar suara kelebatan d
RA Kembar terkejut, ketika menoleh dilihatnya seorang bhiksuni berdiri di belakangnya "Siapa kamu? Tak usah ikut campur, sebaiknya kamu pergi bertapa saja. Tempat ini bukan untuk wanita sepertimu!" Ra Kembar ternyata tidak mengenali sosok Gayatri yang kini menjadi bhiksuni. Beberapa prajurit Araraman yang berjaga di tepi hutan segera menghadang Gayatri melindungi Ra Kembar. Gayatri mendengus marah "Aku akan pergi jika tombak itu kamu kembalikan pada pemiliknya! Usai berkata Gayatri berkelebat dengan cepat melompati para prajurit yang menghadangnya lalu mencoba merebut tombak. Ra Kembar panik, tangan kanannya masih kebas karena totokan Mahesa Wagal. Membuatnya tak bebas bergerak. Tetapi dia masih sempat menghindar sehingga Gayatri gagal merebut tombak. "Siapa kamu? Beraninya kamu melawanku.Baiklah aku akan membuatmu seperti para bhiksu di Kasogatan Bajraka!" "Prajurit, bereskan dia!" perintah Ra Kembar. Spontan para prajurit Araraman segera mengeroyok Gayatri. Terpaksa
Mahesa Wagal dan Gajah Mada terkejut karena hal ini jauh di luar rencana mereka. "Mada, siapa yang mengacaukan pertemuan ini?" Tanya Mahesa Wagal. Gajah Mada menggeleng, dia juga bingung melihat kejadian yang berlangsung di depannya. Mendadak Wirota menarik tubuh Gajah Mada dan mulai memukulinya. Sontak Gajah Mada berusaha menghindar dan membela diri. Wirota terus menerjang, sehingga pertarungan keduanya berlangsung sengit, namun Gajah Mada tidak pernah membalas serangan Wirota, hanya menghindar saja. Hal ini membuat Wirota semakin gusar, "Ayolah Mada, jangan jadi pengecut! Lawan aku, jangan hanya menghindar saja!" "Paman Wirota, sabar dulu...kami tidak tahu tentang serangan ini. Gusti Ratu tidak pernah memerintahkan penyerangan ini!" Seru Gajah Mada sambil berusaha menghindari serangan Wirota. "Bohong...jangan harap aku akan percaya pada kalian!" Wirota kembali menyabetkan pedang ke.leher Gajah Mada. Wirota yang sudah terlanjur marah, tangannya bergerak mencabut pedang Na
"Aneh. tak biasanya mereka begini. Baiklah, aku akan menemui mereka," kata Wirota. Setibanya di tepi hutan, Wirota terkejut ketika mendapati tamunya ternyata adalah Gajah Mada dan seorang lelaki tua berpakaian seperti seorang Resi/ pertapa yang berjalan tertatih dengan tongkat. Mereka berdua memberi salam setelah itu Gajah Mada berkata "Paman, saya mengantar Paman Mahesa Wagal kemari karena dia sangat ingin bertemu dengan anda. Kemarin dia mendatangi kemah kami dan minta diajak menemui anda." Wirota tampak terkejut, tak disangkanya Resi tua yang berjalan terpincang itu adalah rekannya di masa masih berjuang melawan pemberontakan Jayakatwang. Mahesa Wagal adalah seniornya di masa mereka masih berdinas di Singasari. Ah, waktu sudah lama berlalu, Mahesa Wagal sekarang hanyalah seorang lelaki tua yang sakit-sakitan, batin Wirota. Namun Wirota tak mau memperlakukan Mahesa Wagal layaknya seorang sahabat lama. Di mata Wirota siapapun yang bekerjasama dengan Majapahit adalah musuh.
Suara langkah kaki itu berhenti. Wirota berkelebat menghampiri asal suara. Dalam keremangan sinar bulan dia melihat satu sosok yang sangat dikenalnya. Gayatri, bagaimana dia bisa tahu aku ada di sini? pikir Wirota. Masa muda telah berlalu, namun Gayatri masih tetap memberikan atensi kepadanya, berada di sisinya di saat dia memerlukan teman. Di lubuk hatinya yang paling dalam, sesungguhnya dulu Wirota juga tertarik kepada Gayatri. Namun dia cukup tahu diri dan tak ingin menyakiti hati sahabatnya Dyah Wijaya walaupun di saat itu Gayatri selalu mencoba menarik perhatiannya. Mendadak Wirota salah tingkah, dadanya berdebar, tapi dia tak ingin Gayatri mengetahui apa yang sedang dirasakannya. Maka dia berusaha bersikap wajar dengan bertanya "Banthe? Bagaimana anda bisa tahu saya berada di sini?" Gayatri hanya tersenyum dan menjawab "Wirota, hutan bagaikan rumahku. Aku sudah tiga bulan bertapa di sekitar hutan ini, dan aku juga sudah melihat peperangan kalian." Ah. Gayatri. aku
"Siapa kamu dan mengapa kamu ada di sini?" gertak Banyak Wungu. "Ssa...saya penduduk di sini, Eeeh...saya mencari kucing saya yang lari ke sini, " jawab orang itu ketakutan. Banyak Wungu mengamati orang itu dengan seksama lalu bertanya lagi "Bukankah para penduduk yang masih ada di sini seharusnya beristirahat karena besok dini hari kalian sudah harus pergi dari sini!" Orang itu tampaknya sudah terlalu lemas dan sulit berkata-kata lagi. mungkin karena seluruh wajahnya sudah bengkak sehingga untuk bicarapun terasa sakit. "Baiklah, mungkin kamu perlu sedikit disiksa supaya mau bicara!" Banyak Wungu mengeluarkan sebilah pisau, bersiap mengiris kulit tawanannnya. Tiba-tiba Wirota mendengar suara kelebatan di balik pepohonan di antara para prajurit yang berkerumun. Sejurus kemudian, dia merasakan desir angin tipis melaju di depannya. Begitu samar sehingga hanya orang yang berilmu kanuragan tingkat tinggi saja yang bisa merasakannya. Mendadak Wirota menyadari sesuatu, tapi ter
Seketika Ra Kembar tersentak. Dia seolah mendapatkan energi baru."Blaaar...blaar...blaaar!"Suara ledakan dari hulu meriam rampasan dari pasukan Mongol, menembakan pelurunya ke arah dinding benteng. Setelah beberapa kali menembakan peluru meriam, benteng batu bata setinggi 10 meter itupun tak lama kemudian roboh. Beberapa prajurit yang berdiri di dekat tembok benteng seketika tertimbun reruntuhan batu tembok.Terdengar teriakan pasukan Majapahit menyerbu kota. Ra Kembar dengan semangat baru menghajar pasukan Tigangjuru yang mencoba mendekatinya dengan cambuknya. Beberapa prajurit Tigangjuru yang terkena sabetan cambuknya yang berujung pisau tajam terlempar dengan luka-luka di sekujur tubuh mereka. ujung-ujung pisau itu telah dilumuri ramuan racun. Sehingga dalam sekejap para prajurit itu sekarat dan gugur."Ha ha ha ha sekarang kalian sudah terkepung seperti tikus sawah yang digropyok petani!" Ra Kembar berseru sambil menyabetkan cambuknya ke segala arah.Celaka, mereka membawa meria