Saat subuh, Tribuaneswari akhirnya bisa tertidur setelah lama menanti kedatangan Gayatri. Saat matahari sudah mulai tinggi, seorang abdi datang membangunkan Tribuaneswari“Gusti Prameswari, Gusti Putri Gayatri sudah kembali.”Tribuaneswari bangun dengan terkejut“Gayatri, di mana dia?”Dia sedang mandi kembang setaman dan luluran, sebentar lagi dia sudah siap,” kata abdi dalem itu.Tribuaneswari merasa lega akhirnya Gayatri sudah kembali, hari itu pesta pernikahan Wijaya dan Gayatri berjalan lancar. Setidaknya dia bisa mencegah langkah Dara Pethak menguasai Wijaya.Malamnya salah satu utusan Warang dari Gerakan Wukir Polaman menemui Halayuda.“Besok lusa sudah upacara penobatan Wijaya, apakah kau sudah mulai bergerak mempengaruhi orang-orang terdekatnya agar mereka tidak bersatu dan saling membenci?”“Sabar dulu, aku belum tahu siapa saja yang akan menempati jabatan-jabatan strategis di Majapahit,” jelas Halayuda.“Kami berharap kau dapat menjadi seorang Rakryan Mapatih Amangkubumi Ma
Ranggalawe berdiri di halaman dengan keris terhunus, kemarahan masih membayang di wajah Ranggalawe. Orang-orang yang berada di dalam Bale Manguntur berlarian keluar dan melihat dari jauh apa yang akan dilakukan Ranggalawe selanjutnya. Semua orang berdebar manakala Lembu Sora dengan langkah pasti dan tanpa rasa takut menghampiri Ranggalawe. “Mana Nambi? Bawa dia kemari!” Seru Ranggalawe dengan gusar.Dia menyangka Nambi yang akan datang menghadapinya namun ternyata yang datang justru Lembu Sora. Namun Lembu Sora tanpa rasa takut mendekat dan mulai membujuk keponakannya dengan kata-kata yang lemah lembut seperti seorang ayah membujuk anaknya yang sedang ngambek.“Lawe, sabarlah apa pantas kau menantang Nambi berkelahi di depan Gusti Prabu, Pengageng dan para Nayaka Praja di saat acara penobatan Gusti Prabu Wijaya? Bukankah kau sendiri pernah bilang bahwa kau sangat menyayangi Gusti Wijaya seperti saudara kandungmu sendiri? Apa kau tidak mengerti betapa sakitnya hati Gusti Prabu melih
Ranggalawe telah tiba di rumahnya di Tuban, kedua isterinya Martaraga dan Tirtawati kebingungan melihat Ranggalawe pulang dengan wajah galau. “Kangmas Lawe, apa yang terjadi dengamu?” Tanya Martaraga.Ranggalawe tidak menjawab dan langsung menuju ke belakang membersihkan diri.“Sudahlah, biarkan saja dia nanti setelah makan dan beristirahat baru kita tanyai lagi,” kata Tirtawati.Sampai pagi harinya, Ranggalawe belum masih terlihat murung, bahkan ketika sarapan dia juga hanya berdiam diri tidak mengatakan apa-apa pada kedua isterinya. Dia hanya meladeni kemanjaan Kuda Anjampiani, anaknya dengan Martaraga yang saat itu masih berusia 3 tahun.“Anjampiani, pergilah bermain dengan Mbok Mbanmu di luar sana ya,” kata Ranggalawe setelah bermain sejenak dengan anaknya.Anak itu berlari ke halaman bermain bersama Mbok Mbannya. Tak lama kemudian terdengar teriakan Kuda Anjampiani“Horeee…kakek datang!”Martaraga dan Tirtawati buru-buru ke depan melihat siapa yang datang.“Romo, silahkan masuk,
Setelah mereka duduk berhadapan, Halayuda mulai bercerita“Maaf jika saya mengganggu anda Mpu Lawe, kedatangan saya kemari adalah untuk menyampaikan kabar bahwa setelah anda pergi dari Bale Manguntur, Nambi masih tidak terima dikatakan sebagai orang bodoh dan pengecut padahal kenyataannya dia sudah ikut berjuang bersama Gusti Prabu melawan Jayakatwang dan pasukan Mongol.”Ranggalawe terkejut mendengar berita dari Halayuda, darahnya kembali mendidih“Benarkah itu Mpu Halayuda?”“Saya berada di pihak anda, buat apa saya berbohong. Nambi juga telah menghasut Gusti Prabu untuk menegakan aturan dalam kitab Undang-Undang Kutara Manawa Darma Sastra tentang fitnah karena dianggap telah menyebarkan berita yang tidak benar tentang dirinya. Padahal fitnah sendiri adalah lebih kejam daripada pembunuhan. Padahal masalah itu juga bersinggungan dengan pasal Asta Dusta, dimana pelaku pembunuhan hukumannya adalah mati. Tampaknya dia benar-benar ingin menghabisi anda” kata Halayuda.Rupanya Halay
Kedua isterinya masih saja terus menangis, dalam hatinya dia sebenarnya tidak tega meninggalkan kedua isterinya. Namun tekadnya sudah bulat, perang tetap harus ada agar dia dapat mati secara ksatria dan terlahir kembali dengan raga yang lebih suci.Ranggalawe masuk ke kamarnya mencari Karambalangan Manik yaitu baju zirah dari tembaga berhiaskan batu-batu permata pemberian Wijaya. Karambalangan Manik yang diberikan Wijaya kepada Ranggalawe untuk membantunya menumpas musuh-musuhnya, kini digunakan oleh Ranggalawe untuk menyerang Wijaya. Setelah memakai Karambalangan Manik, dia mencari Mbok Mban Kuda Anjampiani dan minta agar Kuda Anjampiani di bawa kepadanya”Bawa Anjampiani kemari, aku mau berpamitan kepadanya.Tak lama kemudian Mbok Mban itu sudah kembali dengan membawa Kuda Anjampiani dalam gendongannya. Melihat kedua ibunya menangis, Kuda Anjampianipun ikut menangis. Seolah tak rela jika ayahnya pergi berperang. Ranggalawe menggendong anaknya dan menciumnya dengan penuh kasih saya
Kehilangan para pemimpin pasukan membuat formasi pasukan Majapahit semakin kacau, perlahan mereka mulai terdesak mundur. Pasukan lapis pertama segera kembali ke pasukan induk untuk bergabung dengan pasukan lapis kedua di bawah pimpinan Nambi. Kali ini dengan bergabungnya pasukan, Gingsir dengan Nambi, pasukan Majapahit semakin kuat mendesak maju ke arah Tuban. Nambi di atas kereta perangnya memanahi pasukan Tuban yang mencoba menghadang Majapahit.Para pimpinan pasukan Tuban yaitu Tamenggita dan Wiraksara segera menggabungkan pasukan mereka bersama Jaran Pikatan menyerang pasukan Majapahit. Tetapi belum lagi mereka bergerak lebih jauh, panah Nambi sudah menghajar dada Wiraksara sehingga gugurlah Wiraksara. Melihat temannya gugur karena panah Nambi, Tamenggita langsung mencari posisi Nambi dan mendekatinya, namun panah Nambi sudah meluncur membunuhnya. Tetabuhan gong dan kendang pasukan Majapahit mulai ramai berbunyi memberikan kabar bahwa Majapahit berhasil membunuh para perwira pasu
Dia adalah Hansa, Senopati terakhir yang berhasil melarikan diri dari kejaran pihak Tuban. Sambil menangis Hansa bercerita“Ampuni saya Gusti Prabu, saya benar-benar tidak berguna sebagai abdi Majapahit, setiap saat saya hanya tahu menerima pemberian Paduka tanpa bisa membalasnya, jadi untuk apa saya tetap hidup!”Lembu Sora berusaha menenangkan Hansa“Tenangkan dulu pikiranmu Hansa, tidak apa-apa, Gusti Prabu memaklumi apa yang sedang terjadi. Sekarang pelan-pelan ceritakan bagaimana kondisi peperangan tadi?”Setelah menenangkan diri Hansa mulai bercerita“Gusti Prabu, awalnya kami dapat membunuh Senopati mereka, namun setelah pasukan lapis kedua mereka turun gelanggang, banyak senopati dan prajurit kita yang terluka parah dan gugur. Ra Wira, Jagarudita, Brahma Cikur, Tosan dan banyak lagi lainnya sudah gugur. Sementara Jaran Wahana, Gingsir, Brajasela dan banyak lagi sudah terluka parah.”“Lalu di mana Nambi sekarang?”“Saya tidak tahu di mana Gusti Nambi berada, yang jelas kereta p
Keesokan paginya Para Senopati sudah bersiap menyambut kedatangan Sang Nata yang berangkat dari istana. Barisan para perwira pertama dan menengah bersama pasukannya masing-masing berbaris di barisan depan, sedangkan para Tumenggung berada di belakangnya dengan kereta perangnya masing-masing. Di belakngnya ada Kebo Anabrang bersama pasukannya yang semuanya mengenakan baju zirah dan berwajah sangar. Barisan kereta yang mengangkut juru tetabuhan berada di belakang pasukan sambil menabuh gong dan gendering perang, memberikan semangat pada pasukan.Di barisan paling belakang tampak Sang Nata bersama para Dharmaputra dan pasukan Bhayangkara, naik gajah menuju medan perang. Di tepi Tambak Beras, Wirota dengan Putra Angasak dan Juru Prakosa telah menunggu kedatangan Sang Nata.Ketika dari kejauhan rombongan Sang Nata mulai tampak Juru Prakosa berseru“Sang Nata datang!”Wirota melihat ke arah yang ditunjuk Juru Prakosa barisan pasukan Majapahit bergerak menuju Tambak Beras, debu tebal mengep