Tak lama kemudian terdengar suara petir menggelegar, langit mulai menghitam dan turunlah hujan yang sangat lebat disertai badai.“Cepat kembali ke tempat persembunyian!” Seru Resi Ajiraga.“Hei kalian cepat masuk kita harus segera pergi dari sini, banjir sebentar lagi menerjang kuil kita!” Seru Pendeta memanggil orang-orangnya yang masih berada di luar.Setelah berkumpul di dalam ruang Kuil di bawah tanah Pendeta berkata kepada orang-orang di tempat itu.“Sesuai wisik gaib yang kuterima banjir besar itu akhirnya datang juga, kita akan segera pergi dari sini. Sekarang bersiaplah kita akan naik Vimana kembali ke tempat asal kita. Tidak ada waktu lagi, kita harus berangkat sekarang!”Orang-orang kembali ribut membicarakan banjir besar dan rencana kembali ke tempat asal mereka. “Sekarang juga kita harus pergi ke tempat peluncuran Vimana, tidak ada waktu lagi!”Orang-orang segera bergegas menuju ruang peluncuran Vimana.“Aku ingin melihat seperti apa bentuk Vimana dari dekat dan ruang pel
Wirota dan Macan Garung tertegun sejenak"Kami hanya ke gunung Padang di Tanah Sunda. Hanya sebentar saja kami pergi. Memangnya ada apa?" Tanya Wirota."Kalian pergi selama 7 tahun, kami bahkan mengira kalian sudah mati. Kemana saja kalian selama ini?" Tanya orang itu dengan heran.Wirota mendadak teringat pesan Resi Ajiraga yang mengatakan bahwa mereka telah pergi ke dimensi lain selama 7 tahun. Maka buru-buru Wirota berkata"Kami akan menghadap Gusti Wiraraja, ceritanya panjang."****Di bale manguntur Wirota dan rombongannya telah menghadap Wiraraja. Raja Tigang Juru itu tampak.gembira melihat Wirota pulang dengan selamat."Wirota, Garung akhirnya kalian pulang dengan selamat. Aku mengira kalian sudah mati dalam pencarian batu pusaka itu. Apa yang terjadi sehingga kalian pergi begitu lama? Apakah kalian ditawan orang yang juga menghendaki batu pusaka itu?"Tiba-tiba Aria Wiraraja tampak terkejut, dia menoleh pada Wirota"Wiro, apa yang kau bawa bersamamu? Pancaran energi dari ben
Mereka berdua mengobrol sambil memandang Wirota dengan pandangan iba."Aku mau mengatakannya tapi aku tak tega," ujar tetangganya."Aku juga tidak berani mengatakannya, terlalu mengerikan untuk diceritakan," kata temannya lagi.Seorang Bhiksu tua lewat di depan rumah Wirota, tangannya memegang mangkuk tanah liat, ketika lewat di depan rumah Wirota, tiba-tiba langkahnya terhenti dan menoleh ke halaman. Wajahnya berubah, dia masuk halaman rumah dan menegur Wirota"Amitabha.... Ngger, adakah makanan untukku?"Wirota berhenti mendorong ayunan, namun tindakannya membuat Gendhis tidak suka, Wajahnya berubah ketika melihat seorang bhiksu memasuki halamn rumah."Romo, usir pengemis itu, aku tidak suka dia di sini!" Seru Gendhis dengan marah menunjuk Bhiksu itu.Wirota tertegun, dia tak menyangka Gendhis berbicara kasar terhadap seorang tokoh agama. Walaupun Wirota beragama Hindu, tetapi dia tak ingin anaknya bersikap intoleran."Gendhis, jaga mulutmu kualat kamu mengatai seorang bhiksu sebaga
Dengan lirih Wirota bertanya“Bhiksu, mengapa bisa begitu?”Wirota berbalik memandang rumahnya kembali, rumah itu terlihat asri, bersih dan rapi. Terlihat Larasati sedang menyuapi Gendhis di teras rumahnya. Tetapi ketika dia melihat dari sela-sela kakinya rumah itu terlihat kotor dan tak terawat seolah sudah lama tidak dihuni. Pantas saja ketika dia datang dia hanya menemukan anak dan isterinya saja, sementara para penjaga rumah dan para pelayan sudah tidak ada lagi. Baru sekarang dia menyadarinya, saat dia datang kemarin dia sama sekali tidak menyadari keadaan rumahnya yang sudah berubah karena rasa senangnya bertemu kembali dengan isteri dan anaknya.“Amithaba, isterimu masih belum ikhlas berpisah denganmu, dia tidak sabar menunggu untuk terlahir kembali dan memilih jalan ini agar tetap dapat bersamamu,” kata Bhiksu itu.Tak lama kemudian beberapa orang kampung datang bersama Kepala Desa, setelah memberi hormat pada Bhiksu dan memberikan bekal makanan, Kepala Desa berkata pada Wir
Wirota tertegun, sampai di sini barulah dia tersadar, Mbok Sinem telah melihat sesuatu yang seharusnya tidak terlihat. Dengan hati-hati Wirota bertanya“Mbok apa yang kau lihat?”Mbok Sinem segera menggandeng tangan Wirota keluar rumah lalu berkata“Jangan makan masakan isterimu, yang kulihat di meja hanyalah daun kering dan cacing. Tadi aku juga melihat Larasati dan anaknya duduk di pojokan. Kondisinya persis sama seperti waktu kami menemukan mereka dulu. Ngger, sebaiknya kau suruh bhiksu itu mendoakan arwahnya agar tidak bergentayangan lagi, Kau juga harus ikhlas menerima kematian mereka agar perjalanan mereka ke alam baka lebih ringan tanpa beban.”Wirota mengangguk dan tersenyum getir“Terimakasih Mbok, tapi biarlah untuk malam ini saja aku ingin tetap begini dulu, besok aku akan meminta bhiksu itu untuk mendoakan mereka.”*****Malam itu Wirota tidur bersama anak dan isterinya, dia tidak ingin tertidur sampai pagi agar dapat tetap menikmati kebersamaan bersama keluarganya. Wirota
Sementara itu di Majapahit, Mapatih Majapahit Nambi mendapat berita bahwa Pranaraja ayahnya telah meninggal dunia. Maka segera pulang ke Lamajang untuk melayat. Berita kematian Pranaraja segera tersebar di seluruh Majapahit dan Tigangjuru karena Pranaraja saat ini bermukim di Lamajang.Saat sedang berada di kedai makan Wirota mendengar orang-orang membicarakan Pranaraja. Mendengar berita itu, Wirota segera pergi melayat ke kediaman Pranaraja di Lamajang.****** Di saat yang sama, Warang sang Pemimpin Gerakan Wukir Polaman menemui Halayuda secara diam-diam di sebuah kedai tuak.“Ini saatnya bagimu untuk merebut jabatan Mahapatih Majapahit, Nambi sedang pergi melayat ke Lamajang, jabatan Mapatih Majapahit untuk sementara kosong, kau bisa memanfaatkan situasi ini. Mintalah pada Jayanegara untuk memberikan jabatan Mahapatih kepadamu. Percayalah Raja bodoh itu pasti lebih menurut kepadamu karena kau adalah Pamannya,” ujar Warang.Halayuda terdiam sejenak, sudah lama jabatan itu diincarny
Tak lama kemudian dari arah semak belukar munculah seorang wanita yang mengenakan pakaian hijau ketat dengan motif seperti sisik ular. Pakaian itu begitu ketat menempel di badannya seperti kulit kedua. Kehadiran wanita itu secara tiba-tiba membuat Wirota terkejutSial ternyata ular ini ada pemiliknya, wanita di depanku ini memang cantik tetapi jangan-jangan dia bukan orang, batin Wirota.“Nyi Sanak siapa anda?”Wanita itu tak menjawab, dia langsung menghunus pedangnya dan menyerang Wirota“Pembunuh, kau telah membunuh piaraanku!”Pedang wanita itu berkelebat membabat Wirota yang masih bengong di tempatnya.Buru-buru Wirota menangkis serangan wanita itu lalu berseru marah“Ularmu telah menyerangku, ular itu sangat besar dan menakutkan mengapa kau tidak mengurungnya saja agar tidak mencelakai orang lain!” Seru Wirota dengan marah.“Dia sedang berburu mencari makan, wajar jika dia menyerangmu!” kata wanita itu dengan ngeyel.“Gila kau, ular itu berburu manusia bukan hewan, pasti sudah b
“Untuk membuat keris pusaka diperlukan waktu sekitar 3 bulan untuk membuatnya, tetapi untuk membuat keris dari batu pusaka ini perlu waktu sekitar 6 bulan untuk membuatnya. Batu ini tuahnya sungguh luar biasa memancar begitu kuat dan memiliki energi yang jika orang tahu cara memanfaatkannya dapat digunakan untuk membantu pekerjaan manusia,” ungkap Empu Supa. “Ya, Mpu Sengkala pernah bercerita kepadaku bahwa di masa lalu energi dari batu pusaka ini juga dapat menggerakan sebuah kereta tanpa kuda. Tetapi aku masih belum tahu persis bagaimana cara kerjanya,” kata Wirota. “Peradaban manusia di masa itu sudah tinggi , tetapi karena mereka larut dalam kemaksiatan, Sang Hyang Widhi menghukum mereka dengan menenggelamkan sebagian pulau-pulau yang ada di bumi ini, memusnahkan suatu bangsa dan menciptakan bangsa yang baru dengan peradaban yang sederhana,” ungkap Empu Supa. Malam itu Wirota menginap di rumah Empu Supa dan keesokan harinya dia sudah kembali lagi ke Lamajang. **** Dalam perja