Raras beserta beberapa orang karyawan Rimbu tengah sama-sama sibuk mengantar makanan dan minuman ke meja para pengunjung. Sementara si Pemilik Kafe sendiri malah duduk santai di kursinya, sembari terus-menerus bercermin, seolah cemas akan ada rontokan maskara di sekitar matanya.
Hari itu merupakan kali pertama tangan-tangan Rimbu tidak memegang nampan, gepokan uang, pun kertas-kertas bon, melainkan cermin bermotif bunga sakura. Gelagat aneh Rimbu tidak berhenti sampai di situ. Wajah Rimbu tiba-tiba berubah menjadi semerah kepiting setelah dia menyudahi kegiatan bercerminnya.
TAK!
Semangkok jumbo mi kuah bertabur bon cabe level lima puluh baru saja didaratkan dengan penuh emosional oleh karyawati terbaik sekaligus mantan santriwati Pondok Pesantren Tebu Ireng, Putri Kaniraras (Raras). Gadis berpashmina itu menyendok makan siangnya sambil menatap serius ke arah Rimbu yang masih saja sibuk bercermin.
"Lu abis ngapain sama Babang Roti Sobek?
Spontan Rimbu tersentak. "Aha, ternyata beneran abis ngapa-ngapain. Cerita dong. Gimana-gimana," imbuh Raras.
"Gak. Apaan sih lu. Cepetan makannya, terus datain komik-komik yang covernya udah pada lecek."
Raras mendekatkan wajahnya pada Rimbu seraya berbisik, "Abis ciuman ya lu?"
"Ih, apaan sih. Bisa banget ya jebolan pesantren tapi pikirannya ngeres banget."
"Aha. Jadi bener abis ciuman. So, gimana rasanya? Biar mungkin bukan ciuman pertama, tapi kayanya berkesan ngelebihin ciuman pertama ciyeeee," balas Raras pada Rimbu.
Rimbu menyumpal mulut Raras dengan potongan kerupuk. "Iya, gue abis ciuman. Udah cepetan makan. Terus balik kerja."
"Ceritain dulu dong kronologinya. Tanggung udah kepo nih. Dari dulu kan lu sama dia sama-sama kuat iman tuh. Tapi kok bisa kok bisa?"
"Bukan sama Aksara," jawab Rimbu malas.
Kunyahan lahap Raras seketika terhenti saat mendengar jawaban Rimbu. Rimbu yang tampak sangat enggan melanjutkan ceritanya, membuat Raras semakin tertantang untuk berpikir keras. Satu nama seorang pria terlintas di benak Raras, pria selain Aksara yang paling mungkin melakukan kontak fisik dengan Rimbu.
"Jangan bilang sama Bang Theo?"
Rimbu mengangguk malas menanggapi Raras. "Niatnya gue pengen nampar itu anak, tapi tiba-tiba dia nyium gue."
"Widih, kaya drama korea ya bunda. Tapi ntar dulu deh, gue tadi bilang 'Babang Roti Sobek' loh, dan lu tau yang gue maksud pasti Bang Aksara. Jadi Bang Theo juga punya roti sobek? Gak, pertanyaan intinya adalah, lu ngapain aja sama Bang Theo sampe tau kalo dia punya roti sobek?"
"Gue ngajak ribut dia jam satu pagi. Dia lagi tidur, dan cuma pake sarung," sahut Rimbu pada Raras.
Raras mengangguk-anggukkan kepalanya. "Terus, masalah lu apaan? Menurut gue lu seneng-seneng aja tuh disosor sama dia."
"Ya, mmm gak seseneng itu sih, tapi gue gak benci juga. Ah taulah. Pokoknya gue gak suka sama tuh anak kecil."
"Ngapa? Emang dia pernah punya salah sama lu? Kaya salah yang fatal banget misalnya? Enggak kan? Jadi gini bunda, wajar kita sebagai manusia punya rasa benci, tapi harus berdasar loh," balas Raras pada Rimbu.
Rimbu mencerna apa yang baru saja dikatakan Raras, perkataan menusuk yang tidak bisa dibantah kebenarannya. Jika direka ulang sejak kali pertama Rimbu dan Theo bertemu di Jakarta, Theo memang tidak pernah berbuat salah pada Rimbu. Pria sholeh itu malah cenderung bersikap ramah dan sering menawarkan bantuan.
Reka ulang itu terus berlanjut, hingga membuat Rimbu tersadar jika bukan Theolah yang pernah membuat kesalahan fatal, melainkan dirinya sendiri. Phobia Rimbu terhadap pria berwajah terlewat tampan berimbas pada Theo yang sama sekali tidak tahu apa-apa tentang pengalaman pedihnya di masa lalu.
"Nyesel gue nilai dia sopan. Lagian anak kecil mana ngerti sopan," gumam Rimbu.
"Oh, jadi lu ngatain dia anak kecil sebelom endingnya lu disosor?"
Rimbu hanya mengangguk menanggapi Raras. "Salah lu juga ngatain dia 'anak kecil'. Ya kepancinglah dia. Akhirnya ya gitu deh, dia ngelakuin hal-hal cabul yang menurut dia lumrah dilakuin sama anak kecil yang gak tau apa-apa."
"Tapi gak tiba-tiba nyium juga. Emang dasarnya itu anak udah gila. Mana keingetan mulu lagi gue." Rimbu menutup wajahnya dengan buku.
Raras tertawa. "Tiati bunda, benih-benih cinta bisa nyelip lewat ciuman dadakan gitu loh."
•••••
Pagi itu Rimbu yang merasa tidak enak badan menghubungi Raras, memintanya untuk tetap membuka kafe dan menangani semua kegiatan sebab dirinya tiba-tiba terserang demam ketika bangun tidur. Setelah memastikan kesediaan Raras, Rimbu pun meminum sebutir obat pereda demam dan memutuskan untuk beristirahat penuh. Namun.
DRRTT.. DRRTT.. DRRTT..
"Rim? Ini ada tamu dari kepolisian. Katanya mau ketemu kamu."
"Kayanya saya gak punya kenalan dari kepolisian deh, Madam," balas Rimbu pada pemilik rumah kosnya.
"Katanya temennya Aksara. Mau ngobrol soal Pak Panji. Coba kamu turun dulu temuin. Kali aja kalo ngeliat orangnya langsung baru kenal."
"Oh iya, Madam. Saya turun sekarang. Makasih, Madam." Rimbu beranjak seraya mengakhiri panggilan teleponnya.
Setelah bersusah payah menyusuri perjalanan panjang menuju ruang tunggu tamu yang berada di lantai dasar, Rimbu pun bertemu dengan seorang polisi muda yang mengaku sebagai senior sekaligus sahabat Aksara. Polisi berpakaian ala-ala agen FBI itu langsung menyerahkan berkas pada Rimbu setelah memperkenalkan dirinya.
"Saya jadi gak enak karna Mbaknya lagi sakit. Aksaranya juga gak ngasih tau apa-apa lagi," ujar si Polisi sembari tersenyum canggung.
"Gak apa-apa. Lagian cuma demam biasa aja."
"Semoga lekas pulih ya, Mbak." Si Polisi kembali tersenyum canggung.
"Makasih. Tapi ini maksudnya apa ya?" Rimbu menunjukkan berkas yang sedari tadi dibacanya.
Si polisi membaca sekilas isi berkas yang ditanyakan Rimbu. "Iya jadi Pak Panji ini dulu pernah terlibat kasus pencabulan. Hakim gak jatohin pidana karna Beliau terbukti punya penyakit jiwa. Akhirnya Beliau dirujuk buat psikoterapi."
Rimbu tampak terkejut. "Kabar terakhir yang saya denger sih Beliau cuma dua bulan diterapi, abis itu dibawa keluarganya ke Jombang. Terus katanya sekarang udah sembuh total bahkan udah nikah," imbuh si Polisi.
Rimbu tak menjawab, sebab semua yang dijelaskan si Polisi terdengar samar di telinganya. Pikiran Rimbu kini tengah sibuk melanglang-buana ke masa lalu, ke masa yang sejuta kali lipat lebih kelam dari pengkhiantan cintanya, ke masa ketika dirinya melihat seorang gadis belia yang dipaksa memenuhi berahi iblis berwujud sang Ayah Sambung.
*FLASHBACK ON*
Pagi itu, di gudang yang digunakan sebagai tempat penyimpanan persediaan makanan. Rimbu kecil yang diam-diam gemar menyantap mi instan tanpa dimasak bersembunyi di balik tumpukan kardus minyak goreng dan tepung terigu. Dan di sanalah awal mula sikap dingin Rimbu pada Panji, juga pada sang Kakak Kandung, Ratih."Kamu gak mau Pak Kepala Sekolah sampe ngadu ke Ibu soal ulah kamu kan?"
Ratih hanya menggeleng menanggapi Panji. "Yaudah makanya nurut. Pak Kepala Sekolah janji gak bakal bilang sama Ibu. Oke?" imbuh Panji.
Ratih masih tak bersuara. "Ayo bantu buka. Terus abis itu berangkat sama-sama ke sekolah."
Awalnya Ratih meronta ketika Panji melucuti seragam sekolahnya, namun ketika sesuatu dibalik rok merahnya sukses dijamah oleh Panji, Ratih berhenti meronta, dan malah menyumpal sendiri mulutnya dengan dasi. Rimbu masih ingat percakapan itu, mimik wajah itu, serta apa-apa saja yang keduanya lakukan di lantai gudang yang sangat kotor.
Ya. Rimbu masih sangat ingat. Bahkan insiden pagi itu masih sering menjelma menjadi mimpi buruk hingga detik ini. Wajah sang Ayah Sambung yang tenggelam dalam kenikmatan yang tak Rimbu mengerti, serta erangan ambigu sang Kakak yang bagian-bagian sensitifnya tak henti dimainkan oleh jari-jemari berukuran raksasa.
"Mbak Ratih diapain? Kenapa Mbak Ratih gak nangis? Kenapa Bapak pake seragam Ibu?" tanya Rimbu dalam hati seraya menahan tangis.
*FLASHBACK OFF*
"Mbak?" Si Polisi menepuk sebelah pundak Rimbu."Maaf saya ngelamun."
"Gak apa-apa, Mbak. Ada yang mau ditanyain lagi?" tanya si Polisi.
"Mmm, ada daftar korbannya?"
"Ada. Nah ini, Mbak. Disini dilaporkan korbannya ada sekitar dua puluh enam orang." Si Polisi memutar berkas ke hadapan Rimbu.
"Seharusnya dua puluh delapan orang," gumam Rimbu.
"Maaf? Mbaknya ngomong apa barusan? Saya gak begitu denger."
Rimbu menggeleng. "Saya boleh pinjem berkasnya?"
Si polisi diam sesaat, berpikir. "Berkas ini sifatnya sangat rahasia, Mbak. Jujur aja kalo bukan Aksara yang minta saya gak bakal berani bawa berkas ini keluar."
"Gitu ya."
"Tapi Mbak Rimbu bisa baca berkas ini kapan aja langsung di kantor. Minta anter sama Aksara aja," balas si Polisi.
•••••
Rimbu melempar ponselnya setelah berulang kali membaca pesan singkat dari Theo. Entah karena suhu terlampau dingin yang membekukan seluruh isi kepala Theo dan membuatnya menjadi sinting, atau Theo memang mengetikkan isi pesan singkat itu dengan keadaan sadar dan sepenuh hati, Rimbu tetap saja kesal.
Rimbu mengirimkan isi pesan singkat itu pada Manik, yang spontan direspon Manik dengan panggilan video call. Manik merasa konyol karena seorang tenaga pendidik seperti Theo ternyata memercayai mitos konyol seperti, 'cinta sejati akan bersemi ketika sebuah ciuman dilakukan di detik-detik menuju malam pergantian tahun'.
Isi pesan singkat dari Theo tersebut jelas menyiratkan jika saat malam pergantian tahun nanti dirinya akan kembali mencium Rimbu. Demam hebat Rimbu yang semula dirasanya telah membaik, seketika kambuh menjadi lebih parah sesaat setelah ponselnya menerima sebuah pesan singkat dari nomor tak tersimpan.
"Yang namanya Theo kaya apa? Ada fotonya gak? Coba sini biar diterawang dulu sama generasinya Mbah Miwjan."
"Ngapain juga gue nyimpen fotonya dia," balas Rimbu pada Manik.
"Coba save nomernya biar foto profilnya muncul. Abis itu apus lagi."
"Enggak bakal. Udah ah gue mau prepare ngontrol kafe." Rimbu menyandarkan ponselnya di meja rias.
"Lu ngatain Mbak Ratih workaholic najis, padahal sendirinya juga sama."
Rimbu diam, sebab tiba-tiba teringat sesuatu ketika mendengar nama sang Kakak disebut. "Btw lu tau soal DID?"
"Taulah. Ngapa?"
"Penderitanya bisa berubah jadi apa aja? Jadi pemerkosa gitu bisa gak?" tanya Rimbu ragu.
Tampak dari layar ponsel Rimbu, wajah Manik yang seketika berubah menjadi sangat serius. "Lu lagi ngomongin orang lain apa Om Panji?"
Rimbu tak menjawab, tetapi terlihat sangat terkejut. "Nah kan bener dugaan gue. Berarti waktu itu gue gak salah liat."
"Liat apa?"
"Gak seru ah kalo diceritain di sini. Minggu depan deh gue ke Jakarta," jawab Rimbu.
"Eh? Serius?"
Manik mengangguk menanggapi Rimbu. "Soalnya gue mantep gak lanjut S2."
"Ada masalah ya?" tanya Rimbu ragu.
"Yaiyalah masa enggak. Udah, minggu depan gue ke Jakarta. Jemput di stasiun lebih awal sebelom gue ilang."
Rimbu tertawa paksa menanggapi Manik, sahabat kecilnya yang sangat mahir memendam masalah itu. Sejujurnya Rimbu sudah bisa menebak alasan Manik tidak melanjutkan pendidikan S2nya. Apalagi kalau bukan perihal biaya. Ibu Manik yang hanya seorang peramu jamu, harus menghidupi Manik dan dua orang Adiknya yang berkebutuhan khusus.
Meski begitu Manik dan sang Ibu tidak pernah sekali pun meminjam uang pada sekitar, tetapi mereka langsung menerima jika diberi bantuan berupa apapun, terutama uang. Ketika ada yang bertanya di mana keberadaan kepala keluarganya, Manik serta sang Ibu kompak menjawab 'hilang'. Ya, hilang. Hilang di pelukan wanita idaman lain.
"Plis, ganti ekspresi muka sedih lu sebelom gue cakar onlen," imbuh Manik seraya terbahak.
Rimbu kembali tersenyum. "Yaudah kabarin kalo berangkat ke Jakarta ya, nanti gue jemput."
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, namun Rimbu masih saja terjaga. Rimbu yang biasanya langsung menjelajah alam mimpi bahkan sebelum musik ballad favoritnya habis, kini harus memutar musik tersebut lebih dari lima belas kali demi mengundang rasa kantuk yang nyatanya hanya bertahan tak kurang dari lima detik. Jelas saja Rimbu sulit memejamkan matanya, sebab terlalu banyak hal yang kini berlalu-lalang di kepalanya. Mulai dari sikap Theo yang mendadak menjadi agresif, masalah sahabat kecilnya Manik, penyakit psikologis yang diderita sang Ayah Sambung, serta kenangan buruk di gudang penyimpanan makanan berbelas tahun silam. Rimbu turun dari ranjang, berniat mencari penghiburan lewat film-film bergenre thriller di salah satu website gratis. Tetapi kemudian ponselnya bergetar, memberitahu jika ada panggilan telepon masuk dari seseorang. Rimbu sempat mengira jika panggilan telepon itu datang dari Theo yang kini mantap dilabelinya 'cabul', namun syukurlah.
Rimbu tiba di rumah kosnya bersamaan dengan Theo yang tentu saja akan melaksanakan ibadah subuh di masjid. Namun pemandangan pagi buta itu terasa ganjil, sebab Theo tidak mengenakan pakaian layaknya akan pergi beribadah, lalu wajahnya pun tampak sangat pucat. Rimbu buru-buru membayar ojol*nya, dan berniat mengacuhkan Theo yang dianggapnya jelmaan memedi*. Ojol* merupakan kepanjangan dari ojek online. Memedi* makhluk halus atau hantu dalam bahasa jawa. "Bisa gak sih?" Theo hanya mengangguk menanggapi Rimbu sambil terus berusaha membuka gembok gerbang kos. "Biar saya aja," imbuh Rimbu. Theo kembali mengangguk, lalu kemudian bersandar lesu di gerbang kos. Rimbu semakin merasakan keganjilan ketika merasakan hawa panas saat berpapasan dengan Theo, terlebih karena Theo yang biasanya selalu berisik mendadak menjadi sangat pendiam. Spontan Rimbu bertanya apa yang terjadi pada Theo, tetapi hanya ditanggapi Theo dengan gelengan tak berdaya. "Kam
Manik tampak sangat serius membaca sesuatu di ponselnya, sementara Rimbu, duduk tepat di depan Manik dengan mimik wajah cemas. Awalnya Manik bercerita tentang perekonomian keluarganya yang mengenaskan hingga dirinya merasa malu untuk minta dikuliahkan lagi. Tetapi entah bagaimana cerita Manik kemudian beralih pada cerita penyakit psikologis Ayah Rimbu. Rimbu berkata jika sang Ayah terbukti memiliki penyakit psikologis yang populer disebut DID* atau kepribadian ganda. Bukti tersebut tidak diragukan keabsahannya karena dibawa langsung oleh polisi yang menangani kasus Ayah Rimbu beberapa tahun silam. Manik tidak tampak terkejut, sebab dirinya sudah menduga ada yang salah dengan Ayah Rimbu sejak pertemuan pertama mereka. DID* atau Dissociative Identity Disorder adalah suatu penyakit mental langka yang membuat seorang individu memiliki dua atau lebih kepribadian yang berbeda. Manik berkata sering menangkap basah Ayah Rimbu yang bersikap aneh. Bahkan Manik mengaku
"Gua sih yakin penyakitnya si Aksara tuh semacem HIV* atau sifilis* atau apalah itu yang laennya." HIV* atau human immunodeficiency virus menyerang sistem kekebalan tubuh. Penyebaran virus dapat terjadi melalui hubungan seks tanpa kondom, berbagi penggunaan alat suntik, transfusi darah, atau saat persalinan. Sifilis* disebabkan oleh bakteri treponema pallidum. Penyakit yang juga dikenal dengan sebutan raja singa ini menimbulkan luka pada alat kelamin atau mulut. Melalui luka inilah penularan akan terjadi. "Menurut gua juga gitu. Info aja nih buat lu-lu pada yang anak IPS. Penyakit begituan tuh nular dan ujung-ujungnya pada mati," timpal teman kedua Theo pada teman kesatu Theo. Teman kesatu Theo mengangguk-angguk. "Bener-bener. Temen SMP gua ada tuh yang mati gara-gara HIV. Katanya mayitnya bau banget, padahal langsung dimakamin." Teman kedua Theo memukul kepala teman kesatu Theo. "Mana ada anjir. Katanya emak-emak rumpi itu mah." Theo
Siang yang terik, di suatu kota di selatan Jakarta. Tampak seorang wanita berpakaian ala-ala sekertaris CEO tengah sibuk bergelut dengan mesin kasir, melayani para pengunjung kafe komiknya yang setiap hari selalu membeludak. Wanita kharismatik itu, Rimbu, begitu cekatan dan luar biasa ramah menyambut para pengunjung. "Makan aja ya, gak sewa komik. Totalnya jadi empat puluh dua ribu. Pembayarannya mau pake apa?" "Pake cinta boleh?" Seorang pengunjung pria balik bertanya pada Rimbu. "Bahan-bahan nasi goreng seafood sama jus melon emang bisa dibeli pake cinta?" Si Pengunjung Pria berdeham, "Cash. Saya bayar cash aja." Sementara tepat di seberang kafe komik milik Rimbu, seorang pria bersetelan training hitam tak kalah sibuknya. Pria berpenampakan bak boyband Korea kenamaan itu, Aksara, adalah pemilik sekaligus pelatih seni bela diri muay thai. Aksara tampak bersemangat memaki murid-muridnya yang tidak berlatih dengan sungguh-sungguh. Aksar
Pagi itu Rimbu bersama ibu-ibu yang tinggal di sekitar rumah kosnya sedang mengerumuni pedagang sayur keliling. Rimbu cukup akrab dengan si Pedagang Sayur karena sudah menjadi langganan selama tiga tahun, pun dengan para ibu-ibu. Rimbu sering bertukar resep menu masakan dengan mereka. Selain itu, Rimbu juga tidak keberatan bergabung untuk berghibah dan berjulit ria. Hari ini Rimbu berniat memasak sup ayam dan bakwan jagung untuk bekal makan siang. Setelah selesai berbelanja, Rimbu langsung bergegas menuju dapur umum yang disediakan pemilik kosnya. Namun saat tiba di sana, tampak seorang pria bersarung yang tak lain adalah Theo, sudah lebih dulu menguasai dapur. Spontan Rimbu balik kanan untuk kembali ke kamarnya. "Mau masak? Saya udahan kok," ujar Theo. Rimbu berbalik. "Oh, iya." Rimbu melangkah enggan menuju tempat cuci piring, dan mulai mengeluarkan satu per satu hasil belanjanya dari dalam plastik. Theo pamit kembali ke kamarnya sambil membawa sepo
Terlihat Aksara tengah mengekor pada Rimbu yang sedari tadi berkeliling di pasar pagi menawar beragam harga sayuran. Kebersamaan keduanya bermula ketika ojek online yang ditumpangi Rimbu menuju pasar pagi mendadak mogok. Aksara yang kebetulan melintas, langsung membantu driver ojek online tersebut memeriksa penyebab kerusakan motornya. Rimbu yang baru saja kembali dari tempat sepi seusai membuat panggilan telepon, terkejut mendapati keberadaan Aksara, pun sebaliknya. Lagi-lagi kejadian tak terduga menimpa keduanya. Rimbu tersenyum canggung pada Aksara, yang lalu dibalas Aksara dengan anggukan. Merasa tak nyaman, Rimbu pun berniat memesan ojek online yang lain. Tetapi semesta menggagalkan niat Rimbu. Rintik hujan mulai turun, diiringi kilatan-kilatan yang sekilas membentuk pola menyeramkan. Driver ojek menyarankan Rimbu untuk memesan mobil online, atau menumpang pada Aksara sampai ke tempat tujuannya. Sementara si Driver Ojek sendiri, akan berteduh sambil menunggu ken
Enam jam lebih perjalanan terlalui, dan tanpa terasa kini Rimbu sudah berdiri di depan sebuah rumah yang di sisi kanan dan kirinya diapit pohon rambutan tua. Tampak pintu rumah bergaya joglo modern itu sedikit terbuka, menandakan jika sang Pemilik Rumah masih terjaga. Dengan langkah penuh keraguan, Rimbu pun memasuki rumah yang hanya disambanginya setahun sekali itu. Terlihat ayah sambung Rimbu, Panji, langsung beranjak kegirangan ketika Rimbu tiba-tiba muncul di depannya. Panji langsung mengambil alih tas jinjing Rimbu, namun seperti biasa, Rimbu hanya membalas dengan sikap dingin. Rimbu melirik ke kamar sang Ibu di lantai dua, yang kabarnya baru saja keluar dari rumah sakit setelah jatuh pingsan karena terpeleset dari kamar mandi. "Kok pulang gak ngabarin? Harusnya Bapak jemput tadi. Naik apa pulangnya? Belum makan kan? Bapak beliin bandeng presto kesukaan kamu ya?" Rimbu menghela napasnya. "Gak usah. Rimbu mau langsung tidur aja, so--" "Loh, Dek Ri
"Gua sih yakin penyakitnya si Aksara tuh semacem HIV* atau sifilis* atau apalah itu yang laennya." HIV* atau human immunodeficiency virus menyerang sistem kekebalan tubuh. Penyebaran virus dapat terjadi melalui hubungan seks tanpa kondom, berbagi penggunaan alat suntik, transfusi darah, atau saat persalinan. Sifilis* disebabkan oleh bakteri treponema pallidum. Penyakit yang juga dikenal dengan sebutan raja singa ini menimbulkan luka pada alat kelamin atau mulut. Melalui luka inilah penularan akan terjadi. "Menurut gua juga gitu. Info aja nih buat lu-lu pada yang anak IPS. Penyakit begituan tuh nular dan ujung-ujungnya pada mati," timpal teman kedua Theo pada teman kesatu Theo. Teman kesatu Theo mengangguk-angguk. "Bener-bener. Temen SMP gua ada tuh yang mati gara-gara HIV. Katanya mayitnya bau banget, padahal langsung dimakamin." Teman kedua Theo memukul kepala teman kesatu Theo. "Mana ada anjir. Katanya emak-emak rumpi itu mah." Theo
Manik tampak sangat serius membaca sesuatu di ponselnya, sementara Rimbu, duduk tepat di depan Manik dengan mimik wajah cemas. Awalnya Manik bercerita tentang perekonomian keluarganya yang mengenaskan hingga dirinya merasa malu untuk minta dikuliahkan lagi. Tetapi entah bagaimana cerita Manik kemudian beralih pada cerita penyakit psikologis Ayah Rimbu. Rimbu berkata jika sang Ayah terbukti memiliki penyakit psikologis yang populer disebut DID* atau kepribadian ganda. Bukti tersebut tidak diragukan keabsahannya karena dibawa langsung oleh polisi yang menangani kasus Ayah Rimbu beberapa tahun silam. Manik tidak tampak terkejut, sebab dirinya sudah menduga ada yang salah dengan Ayah Rimbu sejak pertemuan pertama mereka. DID* atau Dissociative Identity Disorder adalah suatu penyakit mental langka yang membuat seorang individu memiliki dua atau lebih kepribadian yang berbeda. Manik berkata sering menangkap basah Ayah Rimbu yang bersikap aneh. Bahkan Manik mengaku
Rimbu tiba di rumah kosnya bersamaan dengan Theo yang tentu saja akan melaksanakan ibadah subuh di masjid. Namun pemandangan pagi buta itu terasa ganjil, sebab Theo tidak mengenakan pakaian layaknya akan pergi beribadah, lalu wajahnya pun tampak sangat pucat. Rimbu buru-buru membayar ojol*nya, dan berniat mengacuhkan Theo yang dianggapnya jelmaan memedi*. Ojol* merupakan kepanjangan dari ojek online. Memedi* makhluk halus atau hantu dalam bahasa jawa. "Bisa gak sih?" Theo hanya mengangguk menanggapi Rimbu sambil terus berusaha membuka gembok gerbang kos. "Biar saya aja," imbuh Rimbu. Theo kembali mengangguk, lalu kemudian bersandar lesu di gerbang kos. Rimbu semakin merasakan keganjilan ketika merasakan hawa panas saat berpapasan dengan Theo, terlebih karena Theo yang biasanya selalu berisik mendadak menjadi sangat pendiam. Spontan Rimbu bertanya apa yang terjadi pada Theo, tetapi hanya ditanggapi Theo dengan gelengan tak berdaya. "Kam
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, namun Rimbu masih saja terjaga. Rimbu yang biasanya langsung menjelajah alam mimpi bahkan sebelum musik ballad favoritnya habis, kini harus memutar musik tersebut lebih dari lima belas kali demi mengundang rasa kantuk yang nyatanya hanya bertahan tak kurang dari lima detik. Jelas saja Rimbu sulit memejamkan matanya, sebab terlalu banyak hal yang kini berlalu-lalang di kepalanya. Mulai dari sikap Theo yang mendadak menjadi agresif, masalah sahabat kecilnya Manik, penyakit psikologis yang diderita sang Ayah Sambung, serta kenangan buruk di gudang penyimpanan makanan berbelas tahun silam. Rimbu turun dari ranjang, berniat mencari penghiburan lewat film-film bergenre thriller di salah satu website gratis. Tetapi kemudian ponselnya bergetar, memberitahu jika ada panggilan telepon masuk dari seseorang. Rimbu sempat mengira jika panggilan telepon itu datang dari Theo yang kini mantap dilabelinya 'cabul', namun syukurlah.
Raras beserta beberapa orang karyawan Rimbu tengah sama-sama sibuk mengantar makanan dan minuman ke meja para pengunjung. Sementara si Pemilik Kafe sendiri malah duduk santai di kursinya, sembari terus-menerus bercermin, seolah cemas akan ada rontokan maskara di sekitar matanya. Hari itu merupakan kali pertama tangan-tangan Rimbu tidak memegang nampan, gepokan uang, pun kertas-kertas bon, melainkan cermin bermotif bunga sakura. Gelagat aneh Rimbu tidak berhenti sampai di situ. Wajah Rimbu tiba-tiba berubah menjadi semerah kepiting setelah dia menyudahi kegiatan bercerminnya. TAK! Semangkok jumbo mi kuah bertabur bon cabe level lima puluh baru saja didaratkan dengan penuh emosional oleh karyawati terbaik sekaligus mantan santriwati Pondok Pesantren Tebu Ireng, Putri Kaniraras (Raras). Gadis berpashmina itu menyendok makan siangnya sambil menatap serius ke arah Rimbu yang masih saja sibuk bercermin. "Lu abis ngapain sama Babang Roti Sobek? Spont
Atmosfer tegang menyelimuti sebuah mobil fortunder hitam yang melaju dengan kecepatan sedang, dikarenakan dua orang penumpangnya yang tengah berdebat sengit. Dua penumpang tersebut adalah Rimbu, dan sang Kakak, Ratih. Hari ini merupakan hari keberangkatan Rimbu ke Jakarta, dan dirinya tak menyangka jika Ratih akan ikut serta dengan alasan yang sangat tidak masuk akal. Ratih berkata ingin berlibur beberapa hari di Jakarta untuk sejenak melepas stres pekerjaan. Rimbu berikut keluarganya pun terkejut, menolak percaya jika akan keluar kata 'berlibur' dari mulut Ratih. Karena Ratih yang mereka kenal adalah seorang workaholic* yang bahkan tetap bekerja di hari libur nasional. Namun tak ada yang menyuarakan tanya, dan begitulah akhirnya Ratih ikut ke Jakarta. Workaholic* kecanduan kerja, atau gila kerja, atau yang lebih dikenal dengan workaholism. Pertama kali digunakan untuk menggambarkan kebutuhan yang tidak terkendali untuk terus bekerja. Padahal alasan sebenarny
Rimbu memandangi langit-langit kamarnya, ditemani alunan musik ballad yang selalu dia putar sebelum tidur. Masih teringat jelas wajah pucat pasi Panji, ketika mendengar permintaannya saat makan malam beberapa jam lalu. Panji memang tidak menolak permintaannya, pun tidak mengiyakannya. Panji hanya memasang ekspresi wajah campur aduk yang sulit dideskripsikan. Jarum pendek jam sudah menunjuk di angka satu, tetapi kedua mata Rimbu masih sibuk menikmati langit malam dari balik jendela kamarnya. Rimbu yang menyerah memejamkan mata perlahan beranjak, dan berjalan mendekati jendela, berniat untuk menikmati keindaham para penghuni langit malam dari dekat. Namun ada sesuatu yang lebih indah yang mengalihkan Rimbu. Sesosok pria bersweater hitam yang tengah mendongak sambil bersandar membelakangi balkon itu entah kenapa membuat Rimbu terpaku. Sosok yang sangat rupawan, tetapi tak cukup meluruhkan rasa kebas di hati Rimbu. Spontan Rimbu kembali masuk ke kamarnya, ketika pria ter
Enam jam lebih perjalanan terlalui, dan tanpa terasa kini Rimbu sudah berdiri di depan sebuah rumah yang di sisi kanan dan kirinya diapit pohon rambutan tua. Tampak pintu rumah bergaya joglo modern itu sedikit terbuka, menandakan jika sang Pemilik Rumah masih terjaga. Dengan langkah penuh keraguan, Rimbu pun memasuki rumah yang hanya disambanginya setahun sekali itu. Terlihat ayah sambung Rimbu, Panji, langsung beranjak kegirangan ketika Rimbu tiba-tiba muncul di depannya. Panji langsung mengambil alih tas jinjing Rimbu, namun seperti biasa, Rimbu hanya membalas dengan sikap dingin. Rimbu melirik ke kamar sang Ibu di lantai dua, yang kabarnya baru saja keluar dari rumah sakit setelah jatuh pingsan karena terpeleset dari kamar mandi. "Kok pulang gak ngabarin? Harusnya Bapak jemput tadi. Naik apa pulangnya? Belum makan kan? Bapak beliin bandeng presto kesukaan kamu ya?" Rimbu menghela napasnya. "Gak usah. Rimbu mau langsung tidur aja, so--" "Loh, Dek Ri
Terlihat Aksara tengah mengekor pada Rimbu yang sedari tadi berkeliling di pasar pagi menawar beragam harga sayuran. Kebersamaan keduanya bermula ketika ojek online yang ditumpangi Rimbu menuju pasar pagi mendadak mogok. Aksara yang kebetulan melintas, langsung membantu driver ojek online tersebut memeriksa penyebab kerusakan motornya. Rimbu yang baru saja kembali dari tempat sepi seusai membuat panggilan telepon, terkejut mendapati keberadaan Aksara, pun sebaliknya. Lagi-lagi kejadian tak terduga menimpa keduanya. Rimbu tersenyum canggung pada Aksara, yang lalu dibalas Aksara dengan anggukan. Merasa tak nyaman, Rimbu pun berniat memesan ojek online yang lain. Tetapi semesta menggagalkan niat Rimbu. Rintik hujan mulai turun, diiringi kilatan-kilatan yang sekilas membentuk pola menyeramkan. Driver ojek menyarankan Rimbu untuk memesan mobil online, atau menumpang pada Aksara sampai ke tempat tujuannya. Sementara si Driver Ojek sendiri, akan berteduh sambil menunggu ken