Rimbu memandangi langit-langit kamarnya, ditemani alunan musik ballad yang selalu dia putar sebelum tidur. Masih teringat jelas wajah pucat pasi Panji, ketika mendengar permintaannya saat makan malam beberapa jam lalu. Panji memang tidak menolak permintaannya, pun tidak mengiyakannya. Panji hanya memasang ekspresi wajah campur aduk yang sulit dideskripsikan.
Jarum pendek jam sudah menunjuk di angka satu, tetapi kedua mata Rimbu masih sibuk menikmati langit malam dari balik jendela kamarnya. Rimbu yang menyerah memejamkan mata perlahan beranjak, dan berjalan mendekati jendela, berniat untuk menikmati keindaham para penghuni langit malam dari dekat. Namun ada sesuatu yang lebih indah yang mengalihkan Rimbu.
Sesosok pria bersweater hitam yang tengah mendongak sambil bersandar membelakangi balkon itu entah kenapa membuat Rimbu terpaku. Sosok yang sangat rupawan, tetapi tak cukup meluruhkan rasa kebas di hati Rimbu. Spontan Rimbu kembali masuk ke kamarnya, ketika pria tersebut, Aksara, menangkap basah dirinya yang tengah mematung mencuri pandang.
"Gua juga masih kejebak sama masa lalu."
Rimbu menghentikan langkahnya. "Rasanya menderita banget kan? Kaya yang nyesel tiap detik, tapi susah mau ngikhlasin. Serasa pengen muter waktu biar bisa perbaikin semuanya," imbuh Aksara.
"Good luck." Rimbu kembali masuk ke dalam kamarnya.
"Good luck? Gitu doang? Responnya emang selalu beda," gumam Aksara sembari tersenyum memandangi jendela kamar Rimbu.
"Senyum-senyum sama siapa lu?"
"Kamar sebelah," balas Aksara pada Denar seraya berjalan masuk ke dalam kamar.
"Rimbu?"
Aksara menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. "Iya."
Denar ikut menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. "Pasti gak bisa tidur tuh dia. Secara kan abis bikin bokapnya jantungan."
"Dia mah gak bisa tidur tiap malem."
"Dia cerita?" tanya Denar pada Aksara.
"Nebak aja. Insomnia* kan penyakit tiap detiknya orang-orang yang gak bisa damai sama masa lalu."
Insomnia* merupakan gangguan yang menyebabkan penderitanya sulit tidur atau tidak cukup tidur, meski terdapat cukup waktu untuk melakukannya.
Denar terdiam sesaat. "Gua kalo jadi Rimbu malah gak bakal mau damai sama masa lalu. Kasian tuh cewek, disakitin mulu."
"Dia cerita?"
"Bukan, Manik yang cerita. Jadi tadi Pak Panji ngintrogasi Manik sebelom balik, nah gue gak sengaja nguping ampe abis," jawab Denar.
"Cerita apa aja dia?"
Denar mulai bercerita, setelah mengubah posisi malasnya menjadi seperti putri duyung yang tengah memamerkan kemolekan tubuh untuk memikat para pelayan. Aksara yang sudah terbiasa dengan tingkah aib Denar tidak sedikit pun tertawa, hanya menoleh sesaat dan kembali memandangi langit-langit kamar.
Menurut penuturan Manik yang mengaku sebagai sahabat Rimbu sedari masih di dalam kandungan, Rimbu memiliki tiga orang mantan kekasih yang sangat pantas dilabeli berengsek kelas kakap. Keberengsekan ketiganya tidak hanya sukses membuat Rimbu dirugikan secara perasaan, tetapi juga psikologis.
Mantan pertama Rimbu, disebut Manik sebagai si Congkak Akut. Si Congkak mengajak Rimbu berpacaran bukan karena ada rasa tetapi karena bertaruh dengan sahabatnya. Si Congkak berhasil mendapatkan Rimbu yang polos dengan mudah, mempermainkan kepolosannya, dan meninggalkannya begitu saja.
Lalu mantan kedua Rimbu, disebut manik si Benalu karena dialah yang membuat Rimbu mengalami kerugian materi yang sangat besar. Yang si Benalu tahu hanya makanan lezat, berbelanja, dan berlibur. Si Benalu enggan memikirkan masa depan dan memilih bergantung pada Rimbu yang memiliki banyak uang.
Dan mantan terakhir Rimbu, si Polisi, memang terlihat sangat mencintai Rimbu, namun entah kenapa dirinya mendua saat telah sukses. Padahal Rimbulah yang selalu ada di sampingnya saat masa-masa sulit, dan mendorongnya sampai bangkit. Tetapi tak disangka si Polisi malah menikmati keberhasilannya dengan wanita lain.
Orang tua si Polisi pun tidak menyetujui hubungannya dengan Rimbu yang kala itu berprofesi sebagai model majalah. Mereka tidak ingin putranya yang terhormat memiliki hubungan dengan gadis yang gemar mempertontonkan auratnya di depan umum. Mereka juga yakin jika mahkota Rimbu sudah tidak berkilau lagi.
Akhirnya orang tua si Polisi menghubungi Rimbu melalui telepon. Mereka dengan tegas mengatakan pada Rimbu jika tidak akan pernah ada restu untuk hubungannya dengan si Polisi. Mereka ingin putra semata wayangnya bersanding dengan gadis berjilbab yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi.
Rimbu masih mencoba bertahan, meski Manik sudah menunjukkan bukti perselingkuhan si Polisi dengan seorang wanita bertubuh tambun yang tengah mengadakan makan malam keluarga. Hingga Rimbu mendengar pengakuan langsung dari wanita selingkuhan si Polisi. Rimbu pun mengakhiri semuanya secara sepihak.
"Gak hoki dia soal asmara."
"Bisa juga kena karma," sahut Denar pada Aksara.
"Bukannya mantannya cuma tiga?"
Denar kembali menelentangkan tubuhnya. "Ya kali aja sebelum sama tiga cowok itu dia pernah deket sama yang lain."
"Bisa jadi."
"Oh iya nih kalo lu mau liat foto-fotonya si Rimbu pas masih jadi model." Denar menyerahkan ponselnya pada Aksara.
Aksara tersenyum seraya bergumam, "Udah banyak banget berubah."
"Hah?"
Aksara menggeleng menanggapi Denar. "Enggak. Lanjut lu mau ngomong apaan tadi?"
"Iya dulu Rimbu terkenal banget. Pokoknya baju-baju yang dia pake pasti laris manis. Tapi terus dia brenti gitu aja. Ya itu mungkin karna keluarganya si Polisi kampret yang sok suci!" seru Denar.
"Gua dulu ngefans sama dia."
Spontan Denar menoleh. "Hah? Serius lu?"
"Gua beli semua baju yang dia sponsorin. Masih gua simpen di rumah sampe sekarang."
Denar beranjak. "Jangan bilang lu pake itu baju?"
"Gak muatlah bego. Gua cuma beli-beli aja terus gua simpen."
Denar diam sesaat. "Jadi dari awal lu udah tau kalo dia Rimbu?"
•••••
PRANG!
Rimbu terbangun dari tidurnya setelah suara yang terlampau gaduh ditangkap telinganya dalam keadaan setengah sadar. Awalnya Rimbu enggan mengindahkan suara apapun yang berasal dari luar kamarnya, karena dia yakin saat ini Panji tengah sibuk mempersiapkan ini dan itu khusus untuknya seperti biasa.
Namun suara yang baru saja didengar Rimbu jelas suara gaduh yang asing, seperti sebuah benda kaca yang jatuh. Alih-alih menduga ada pencuri, Rimbu malah menduga itu perbuatan Manik yang sering tidur sambil berjalan masuk ke rumahnya dan menabrak salah satu guci koleksi Panji.
Rimbu beranjak, duduk bersandar di punggung ranjang sambil mengikat rambutnya. Rimbu berniat untuk kembali ke alam mimpi, namun umpatan Panji berikut tangis histeris sang Ibu yang menggema memenuhi seisi rumah seketika membuat Rimbu melompat dari ranjang dan keluar mengikuti asal suara.
Dan betapa terkejutnya Rimbu saat mendapati kondisi ruang tamu yang sangat berantakan. Salah satu guci koleksi Panji memang pecah, tetapi tidak disebabkan oleh pencuri pun Manik, melainkan olek kemurkaan Panji pada mantan kekasihnya, si Polisi, yang kini tersungkur di atas pecahan guci.
Terlihat Ibu Rimbu, Nirmala, tengah menangis di pelukan Simbok. Sementara Aksara, duduk santai di atas kap mobil sembari melahap bertangkup-tangkup serabi*. Nirmala menangis kian histeris ketika melihat kedatangan Rimbu. Nirmala marah atas perlakuan yang didapat Rimbu dari si Polisi dan keluarganya.
Serabi* merupakan jajanan pasar tradisional yang berasal dari Indonesia. Di Jawa, serabi umumnya disajikan dengan isian kelapa, gula atau manisan lainnya.
"Kamu anggep apa Ibumu ini, Nduk? Sampe Ibu gak tau kalo harga dirimu sudah dinjak-injak sama orang. Ya Allah," ujar Nirmala dengan suara bergetar.
Panji menunjuk si Polisi. "Kasih tau Bapak di mana rumah si Semprul* ini. Biar Bapak kasih pelajaran juga ke orangtuanya. Mentang-mentang punya seragam polisi, anak orang direndahkan sesuka hati."
Semprul* ngaco. gak masuk akal. ngawur.
Nirmala beranjak. "Ibu ikut, Pak. Ibu gak akan tenang sampe bisa bales penghinaan ini."
Rimbu menghela napas menanggapi kedua orangtuanya. "Ke dokter dulu bikin bukti."
Semuanya diam, karena tidak mengerti apa maksud dari perkataan Rimbu, kecuali Aksara dan Denar. "Maksudnya bikin bukti kalo Rimbu masih ori, Pak, Bu."
"Perawan. Maksudnya masih perawan," imbuh Denar.
Rimbu menghentikan langkahnya di tengah tangga. "Terus nanti lemparin bukti itu ke muka mereka. Kasih tau ke mereka yang pikirannya sempit itu kalo gak semua model itu bobrok, dan gak semua yang berjilbab itu suci."
Aksara tersenyum seraya bergumam, "Good luck."
Rimbu beserta keluarganya dan seorang dokter pun langsung berangkat menuju kediaman si Polisi. Seperti didukung penuh oleh Yang Maha Kuasa, semuanya berjalan lancar tanpa ada hambatan. Setelah menempuh perjalanan selama satu jam, mobil mewah yang disopiri Aksara itu berhenti di depan sebuah warung.
Rimbu dan yang lain lalu berjalan kaki memasuki gang sempit. Semua mata tertuju pada mereka, terutama pada si Polisi yang wajahnya babak belur. Mereka pun tiba di sebuah rumah sederhana. Adik Perempuan si Polisi yang kebetulan tengah memotong kukunya di teras terkejut dengan kedatangan Rimbu bersama sang Kakak.
Spontan Adik si Polisi berlari masuk ke dalam rumah, berteriak memanggil kedua orangtuanya. Ibu si Polisi histeris melihat keadaan putranya, dan langsung menujukan tatapan benci pada Rimbu. Ayah si Polisi yang ternyata berkarakter protagonis, mempersilakan mereka masuk dan berdiskusi dengan kepala dingin.
Namun ibu si Polisi menolak, dan semakin mengundang keingintahuan orang sekitar karena teriakannya yang menggelegar. Adu mulut antara Nirmala dan ibu si Polisi pun dimulai. Teriakan Nirmala yang tak kalah menggelegar sukses mencoreng nama baik keluarga yang mayoritas berlatar belakang polisi itu.
Ibu si Polisi tak memiliki celah untuk membalas Nirmala, karena Nirmala yang sangat lihai memblokir semua celah. Dan serangan terakhir dari Nirmala semakin membuat nama baik keluarga itu seakan dicoreng kotoran sapi. Nirmala meminta dokter yang dibawanya membacakan hasil pemeriksaan Rimbu dengan sangat keras.
"Semoga hidup Bu Polisi tetep bisa tenang ya, setelah fitnah anak baik-baik. Tolong yang diseragamin jangan cuma badan aja tapi isi kepala, mulut sama hati juga. Inget,Bu, Ibu juga punya anak perempuan." Nirmala berlalu seraya menggandeng Rimbu.
"Saya gak akan segan bawa masalah ini ke ranah hukum kalo sampe putra Bapak yang cuma modal seragam ini berani ganggu putri saya lagi. Permisi." Panji ikut berlalu.
•••••
Hari ini adalah hari terakhir Rimbu di kampung halamannya. Panji memutuskan secara sepihak untuk membuat pesta makan malam mewah sebelum Rimbu kembali ke Jakarta. Panji juga membeli beragam oleh-oleh untuk Rimbu yang sudah ditatanya rapi di dalam tiga buah kardus bekas mi instan.
Rimbu tak menyuarakan protesnya meski sangat ingin. Rimbu memilih membisu sambil melanjutkan kegiatan bermalas-malasannya menonton berita kriminal di televisi. Kecuali Rimbu, semua orang tengah sibuk bergelut di dapur. Bahkan Aksara dan Denar pun sampai mendapat bagian tugas mengupas singkong.
Ratih kerap menghampiri Rimbu yang berbaring malas di sofa ruang keluarga, meminta bantuannya untuk membantu di dapur. Namun seperti biasa Rimbu selalu memberikan respon yang sukses membuat semua orang mengeratkan gigi. Ratih pun menyerah, dan membiarkan adik kesayangannya itu bertindak sesuka hati.
"Bisa ngupasnya kan, Mas?"
"Bisa. Udah liat tutorialnya tadi di yeahtube," jawab Aksara pada Ratih.
Ratih tertawa. "Yaudah kalo gitu. Nanti kalo udah selesai dikupas, dicuci ya, terus kasih ke Ratih."
"Oke." Aksara berlalu, hendak mencari tempat yang nyaman untuk menjalankan tugas sebagai babu.
"Mas mau di mana ngupasnya?"
Aksara menunjuk pohon rambutan. "Di sana kali ya. Gerah gua di sini."
"Di ruang keluarga aja. ACnya nyala soalnya Rimbu lagi nonton tv."
"Oke." Aksara langsung menuju ruang keluarga.
"Mas, tunggu. Tapi jangan ganggu Rimbu ya. Jangan ditanya. Diemin aja. Anaknya lagi gak mood."
Aksara tidak menghentikan langkahnya pun menoleh pada Ratih. "Dia mah kayanya gak mood tiap hari deh."
KLEK!
Rimbu melirik ke arah pintu ruang keluarga yang terbuka. "Gak ganggu kan?"
Rimbu melepas penyumpal telinganya. "Maaf, ngomong apa tadi?"
"Gimana caranya nonton tv tapi kuping disumpel?"
"Nonton kan pake mata bukan kuping," balas Rimbu pada Aksara.
Aksara mengangguk-angguk. "Bener juga."
"Oh iya mumpung inget. Besok saya balik ke Jakarta naik bis aja."
Aksara mulai mengupas singkong. "Bebas sih. Tapi Pak Panji udah masukin barang-barang lu ke bagasi mobil gua."
"Mmm kalo gitu besok bisa turunin saya di terminal?"
"Kenapa?" tanya Aksara.
"Bukan apa-apa. Takutnya kamu sama temen kamu gak nyaman karna ada saya."
"Kalo gua gak nyaman gak perlu lu yang mati-matian ngeles," sahut Aksara.
"Oh oke."
"Mumpung inget juga nih gua. Lu gak wajib jawab jadi gak perlu terbebani. Alesan lu gak suka sama Pak Panji bukan karna dia pernah ngapa-ngapain lu kan?" Aksara menghentikan kesibukannya, lalu menoleh pada Rimbu.
DEG!
Atmosfer tegang menyelimuti sebuah mobil fortunder hitam yang melaju dengan kecepatan sedang, dikarenakan dua orang penumpangnya yang tengah berdebat sengit. Dua penumpang tersebut adalah Rimbu, dan sang Kakak, Ratih. Hari ini merupakan hari keberangkatan Rimbu ke Jakarta, dan dirinya tak menyangka jika Ratih akan ikut serta dengan alasan yang sangat tidak masuk akal. Ratih berkata ingin berlibur beberapa hari di Jakarta untuk sejenak melepas stres pekerjaan. Rimbu berikut keluarganya pun terkejut, menolak percaya jika akan keluar kata 'berlibur' dari mulut Ratih. Karena Ratih yang mereka kenal adalah seorang workaholic* yang bahkan tetap bekerja di hari libur nasional. Namun tak ada yang menyuarakan tanya, dan begitulah akhirnya Ratih ikut ke Jakarta. Workaholic* kecanduan kerja, atau gila kerja, atau yang lebih dikenal dengan workaholism. Pertama kali digunakan untuk menggambarkan kebutuhan yang tidak terkendali untuk terus bekerja. Padahal alasan sebenarny
Raras beserta beberapa orang karyawan Rimbu tengah sama-sama sibuk mengantar makanan dan minuman ke meja para pengunjung. Sementara si Pemilik Kafe sendiri malah duduk santai di kursinya, sembari terus-menerus bercermin, seolah cemas akan ada rontokan maskara di sekitar matanya. Hari itu merupakan kali pertama tangan-tangan Rimbu tidak memegang nampan, gepokan uang, pun kertas-kertas bon, melainkan cermin bermotif bunga sakura. Gelagat aneh Rimbu tidak berhenti sampai di situ. Wajah Rimbu tiba-tiba berubah menjadi semerah kepiting setelah dia menyudahi kegiatan bercerminnya. TAK! Semangkok jumbo mi kuah bertabur bon cabe level lima puluh baru saja didaratkan dengan penuh emosional oleh karyawati terbaik sekaligus mantan santriwati Pondok Pesantren Tebu Ireng, Putri Kaniraras (Raras). Gadis berpashmina itu menyendok makan siangnya sambil menatap serius ke arah Rimbu yang masih saja sibuk bercermin. "Lu abis ngapain sama Babang Roti Sobek? Spont
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, namun Rimbu masih saja terjaga. Rimbu yang biasanya langsung menjelajah alam mimpi bahkan sebelum musik ballad favoritnya habis, kini harus memutar musik tersebut lebih dari lima belas kali demi mengundang rasa kantuk yang nyatanya hanya bertahan tak kurang dari lima detik. Jelas saja Rimbu sulit memejamkan matanya, sebab terlalu banyak hal yang kini berlalu-lalang di kepalanya. Mulai dari sikap Theo yang mendadak menjadi agresif, masalah sahabat kecilnya Manik, penyakit psikologis yang diderita sang Ayah Sambung, serta kenangan buruk di gudang penyimpanan makanan berbelas tahun silam. Rimbu turun dari ranjang, berniat mencari penghiburan lewat film-film bergenre thriller di salah satu website gratis. Tetapi kemudian ponselnya bergetar, memberitahu jika ada panggilan telepon masuk dari seseorang. Rimbu sempat mengira jika panggilan telepon itu datang dari Theo yang kini mantap dilabelinya 'cabul', namun syukurlah.
Rimbu tiba di rumah kosnya bersamaan dengan Theo yang tentu saja akan melaksanakan ibadah subuh di masjid. Namun pemandangan pagi buta itu terasa ganjil, sebab Theo tidak mengenakan pakaian layaknya akan pergi beribadah, lalu wajahnya pun tampak sangat pucat. Rimbu buru-buru membayar ojol*nya, dan berniat mengacuhkan Theo yang dianggapnya jelmaan memedi*. Ojol* merupakan kepanjangan dari ojek online. Memedi* makhluk halus atau hantu dalam bahasa jawa. "Bisa gak sih?" Theo hanya mengangguk menanggapi Rimbu sambil terus berusaha membuka gembok gerbang kos. "Biar saya aja," imbuh Rimbu. Theo kembali mengangguk, lalu kemudian bersandar lesu di gerbang kos. Rimbu semakin merasakan keganjilan ketika merasakan hawa panas saat berpapasan dengan Theo, terlebih karena Theo yang biasanya selalu berisik mendadak menjadi sangat pendiam. Spontan Rimbu bertanya apa yang terjadi pada Theo, tetapi hanya ditanggapi Theo dengan gelengan tak berdaya. "Kam
Manik tampak sangat serius membaca sesuatu di ponselnya, sementara Rimbu, duduk tepat di depan Manik dengan mimik wajah cemas. Awalnya Manik bercerita tentang perekonomian keluarganya yang mengenaskan hingga dirinya merasa malu untuk minta dikuliahkan lagi. Tetapi entah bagaimana cerita Manik kemudian beralih pada cerita penyakit psikologis Ayah Rimbu. Rimbu berkata jika sang Ayah terbukti memiliki penyakit psikologis yang populer disebut DID* atau kepribadian ganda. Bukti tersebut tidak diragukan keabsahannya karena dibawa langsung oleh polisi yang menangani kasus Ayah Rimbu beberapa tahun silam. Manik tidak tampak terkejut, sebab dirinya sudah menduga ada yang salah dengan Ayah Rimbu sejak pertemuan pertama mereka. DID* atau Dissociative Identity Disorder adalah suatu penyakit mental langka yang membuat seorang individu memiliki dua atau lebih kepribadian yang berbeda. Manik berkata sering menangkap basah Ayah Rimbu yang bersikap aneh. Bahkan Manik mengaku
"Gua sih yakin penyakitnya si Aksara tuh semacem HIV* atau sifilis* atau apalah itu yang laennya." HIV* atau human immunodeficiency virus menyerang sistem kekebalan tubuh. Penyebaran virus dapat terjadi melalui hubungan seks tanpa kondom, berbagi penggunaan alat suntik, transfusi darah, atau saat persalinan. Sifilis* disebabkan oleh bakteri treponema pallidum. Penyakit yang juga dikenal dengan sebutan raja singa ini menimbulkan luka pada alat kelamin atau mulut. Melalui luka inilah penularan akan terjadi. "Menurut gua juga gitu. Info aja nih buat lu-lu pada yang anak IPS. Penyakit begituan tuh nular dan ujung-ujungnya pada mati," timpal teman kedua Theo pada teman kesatu Theo. Teman kesatu Theo mengangguk-angguk. "Bener-bener. Temen SMP gua ada tuh yang mati gara-gara HIV. Katanya mayitnya bau banget, padahal langsung dimakamin." Teman kedua Theo memukul kepala teman kesatu Theo. "Mana ada anjir. Katanya emak-emak rumpi itu mah." Theo
Siang yang terik, di suatu kota di selatan Jakarta. Tampak seorang wanita berpakaian ala-ala sekertaris CEO tengah sibuk bergelut dengan mesin kasir, melayani para pengunjung kafe komiknya yang setiap hari selalu membeludak. Wanita kharismatik itu, Rimbu, begitu cekatan dan luar biasa ramah menyambut para pengunjung. "Makan aja ya, gak sewa komik. Totalnya jadi empat puluh dua ribu. Pembayarannya mau pake apa?" "Pake cinta boleh?" Seorang pengunjung pria balik bertanya pada Rimbu. "Bahan-bahan nasi goreng seafood sama jus melon emang bisa dibeli pake cinta?" Si Pengunjung Pria berdeham, "Cash. Saya bayar cash aja." Sementara tepat di seberang kafe komik milik Rimbu, seorang pria bersetelan training hitam tak kalah sibuknya. Pria berpenampakan bak boyband Korea kenamaan itu, Aksara, adalah pemilik sekaligus pelatih seni bela diri muay thai. Aksara tampak bersemangat memaki murid-muridnya yang tidak berlatih dengan sungguh-sungguh. Aksar
Pagi itu Rimbu bersama ibu-ibu yang tinggal di sekitar rumah kosnya sedang mengerumuni pedagang sayur keliling. Rimbu cukup akrab dengan si Pedagang Sayur karena sudah menjadi langganan selama tiga tahun, pun dengan para ibu-ibu. Rimbu sering bertukar resep menu masakan dengan mereka. Selain itu, Rimbu juga tidak keberatan bergabung untuk berghibah dan berjulit ria. Hari ini Rimbu berniat memasak sup ayam dan bakwan jagung untuk bekal makan siang. Setelah selesai berbelanja, Rimbu langsung bergegas menuju dapur umum yang disediakan pemilik kosnya. Namun saat tiba di sana, tampak seorang pria bersarung yang tak lain adalah Theo, sudah lebih dulu menguasai dapur. Spontan Rimbu balik kanan untuk kembali ke kamarnya. "Mau masak? Saya udahan kok," ujar Theo. Rimbu berbalik. "Oh, iya." Rimbu melangkah enggan menuju tempat cuci piring, dan mulai mengeluarkan satu per satu hasil belanjanya dari dalam plastik. Theo pamit kembali ke kamarnya sambil membawa sepo
"Gua sih yakin penyakitnya si Aksara tuh semacem HIV* atau sifilis* atau apalah itu yang laennya." HIV* atau human immunodeficiency virus menyerang sistem kekebalan tubuh. Penyebaran virus dapat terjadi melalui hubungan seks tanpa kondom, berbagi penggunaan alat suntik, transfusi darah, atau saat persalinan. Sifilis* disebabkan oleh bakteri treponema pallidum. Penyakit yang juga dikenal dengan sebutan raja singa ini menimbulkan luka pada alat kelamin atau mulut. Melalui luka inilah penularan akan terjadi. "Menurut gua juga gitu. Info aja nih buat lu-lu pada yang anak IPS. Penyakit begituan tuh nular dan ujung-ujungnya pada mati," timpal teman kedua Theo pada teman kesatu Theo. Teman kesatu Theo mengangguk-angguk. "Bener-bener. Temen SMP gua ada tuh yang mati gara-gara HIV. Katanya mayitnya bau banget, padahal langsung dimakamin." Teman kedua Theo memukul kepala teman kesatu Theo. "Mana ada anjir. Katanya emak-emak rumpi itu mah." Theo
Manik tampak sangat serius membaca sesuatu di ponselnya, sementara Rimbu, duduk tepat di depan Manik dengan mimik wajah cemas. Awalnya Manik bercerita tentang perekonomian keluarganya yang mengenaskan hingga dirinya merasa malu untuk minta dikuliahkan lagi. Tetapi entah bagaimana cerita Manik kemudian beralih pada cerita penyakit psikologis Ayah Rimbu. Rimbu berkata jika sang Ayah terbukti memiliki penyakit psikologis yang populer disebut DID* atau kepribadian ganda. Bukti tersebut tidak diragukan keabsahannya karena dibawa langsung oleh polisi yang menangani kasus Ayah Rimbu beberapa tahun silam. Manik tidak tampak terkejut, sebab dirinya sudah menduga ada yang salah dengan Ayah Rimbu sejak pertemuan pertama mereka. DID* atau Dissociative Identity Disorder adalah suatu penyakit mental langka yang membuat seorang individu memiliki dua atau lebih kepribadian yang berbeda. Manik berkata sering menangkap basah Ayah Rimbu yang bersikap aneh. Bahkan Manik mengaku
Rimbu tiba di rumah kosnya bersamaan dengan Theo yang tentu saja akan melaksanakan ibadah subuh di masjid. Namun pemandangan pagi buta itu terasa ganjil, sebab Theo tidak mengenakan pakaian layaknya akan pergi beribadah, lalu wajahnya pun tampak sangat pucat. Rimbu buru-buru membayar ojol*nya, dan berniat mengacuhkan Theo yang dianggapnya jelmaan memedi*. Ojol* merupakan kepanjangan dari ojek online. Memedi* makhluk halus atau hantu dalam bahasa jawa. "Bisa gak sih?" Theo hanya mengangguk menanggapi Rimbu sambil terus berusaha membuka gembok gerbang kos. "Biar saya aja," imbuh Rimbu. Theo kembali mengangguk, lalu kemudian bersandar lesu di gerbang kos. Rimbu semakin merasakan keganjilan ketika merasakan hawa panas saat berpapasan dengan Theo, terlebih karena Theo yang biasanya selalu berisik mendadak menjadi sangat pendiam. Spontan Rimbu bertanya apa yang terjadi pada Theo, tetapi hanya ditanggapi Theo dengan gelengan tak berdaya. "Kam
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, namun Rimbu masih saja terjaga. Rimbu yang biasanya langsung menjelajah alam mimpi bahkan sebelum musik ballad favoritnya habis, kini harus memutar musik tersebut lebih dari lima belas kali demi mengundang rasa kantuk yang nyatanya hanya bertahan tak kurang dari lima detik. Jelas saja Rimbu sulit memejamkan matanya, sebab terlalu banyak hal yang kini berlalu-lalang di kepalanya. Mulai dari sikap Theo yang mendadak menjadi agresif, masalah sahabat kecilnya Manik, penyakit psikologis yang diderita sang Ayah Sambung, serta kenangan buruk di gudang penyimpanan makanan berbelas tahun silam. Rimbu turun dari ranjang, berniat mencari penghiburan lewat film-film bergenre thriller di salah satu website gratis. Tetapi kemudian ponselnya bergetar, memberitahu jika ada panggilan telepon masuk dari seseorang. Rimbu sempat mengira jika panggilan telepon itu datang dari Theo yang kini mantap dilabelinya 'cabul', namun syukurlah.
Raras beserta beberapa orang karyawan Rimbu tengah sama-sama sibuk mengantar makanan dan minuman ke meja para pengunjung. Sementara si Pemilik Kafe sendiri malah duduk santai di kursinya, sembari terus-menerus bercermin, seolah cemas akan ada rontokan maskara di sekitar matanya. Hari itu merupakan kali pertama tangan-tangan Rimbu tidak memegang nampan, gepokan uang, pun kertas-kertas bon, melainkan cermin bermotif bunga sakura. Gelagat aneh Rimbu tidak berhenti sampai di situ. Wajah Rimbu tiba-tiba berubah menjadi semerah kepiting setelah dia menyudahi kegiatan bercerminnya. TAK! Semangkok jumbo mi kuah bertabur bon cabe level lima puluh baru saja didaratkan dengan penuh emosional oleh karyawati terbaik sekaligus mantan santriwati Pondok Pesantren Tebu Ireng, Putri Kaniraras (Raras). Gadis berpashmina itu menyendok makan siangnya sambil menatap serius ke arah Rimbu yang masih saja sibuk bercermin. "Lu abis ngapain sama Babang Roti Sobek? Spont
Atmosfer tegang menyelimuti sebuah mobil fortunder hitam yang melaju dengan kecepatan sedang, dikarenakan dua orang penumpangnya yang tengah berdebat sengit. Dua penumpang tersebut adalah Rimbu, dan sang Kakak, Ratih. Hari ini merupakan hari keberangkatan Rimbu ke Jakarta, dan dirinya tak menyangka jika Ratih akan ikut serta dengan alasan yang sangat tidak masuk akal. Ratih berkata ingin berlibur beberapa hari di Jakarta untuk sejenak melepas stres pekerjaan. Rimbu berikut keluarganya pun terkejut, menolak percaya jika akan keluar kata 'berlibur' dari mulut Ratih. Karena Ratih yang mereka kenal adalah seorang workaholic* yang bahkan tetap bekerja di hari libur nasional. Namun tak ada yang menyuarakan tanya, dan begitulah akhirnya Ratih ikut ke Jakarta. Workaholic* kecanduan kerja, atau gila kerja, atau yang lebih dikenal dengan workaholism. Pertama kali digunakan untuk menggambarkan kebutuhan yang tidak terkendali untuk terus bekerja. Padahal alasan sebenarny
Rimbu memandangi langit-langit kamarnya, ditemani alunan musik ballad yang selalu dia putar sebelum tidur. Masih teringat jelas wajah pucat pasi Panji, ketika mendengar permintaannya saat makan malam beberapa jam lalu. Panji memang tidak menolak permintaannya, pun tidak mengiyakannya. Panji hanya memasang ekspresi wajah campur aduk yang sulit dideskripsikan. Jarum pendek jam sudah menunjuk di angka satu, tetapi kedua mata Rimbu masih sibuk menikmati langit malam dari balik jendela kamarnya. Rimbu yang menyerah memejamkan mata perlahan beranjak, dan berjalan mendekati jendela, berniat untuk menikmati keindaham para penghuni langit malam dari dekat. Namun ada sesuatu yang lebih indah yang mengalihkan Rimbu. Sesosok pria bersweater hitam yang tengah mendongak sambil bersandar membelakangi balkon itu entah kenapa membuat Rimbu terpaku. Sosok yang sangat rupawan, tetapi tak cukup meluruhkan rasa kebas di hati Rimbu. Spontan Rimbu kembali masuk ke kamarnya, ketika pria ter
Enam jam lebih perjalanan terlalui, dan tanpa terasa kini Rimbu sudah berdiri di depan sebuah rumah yang di sisi kanan dan kirinya diapit pohon rambutan tua. Tampak pintu rumah bergaya joglo modern itu sedikit terbuka, menandakan jika sang Pemilik Rumah masih terjaga. Dengan langkah penuh keraguan, Rimbu pun memasuki rumah yang hanya disambanginya setahun sekali itu. Terlihat ayah sambung Rimbu, Panji, langsung beranjak kegirangan ketika Rimbu tiba-tiba muncul di depannya. Panji langsung mengambil alih tas jinjing Rimbu, namun seperti biasa, Rimbu hanya membalas dengan sikap dingin. Rimbu melirik ke kamar sang Ibu di lantai dua, yang kabarnya baru saja keluar dari rumah sakit setelah jatuh pingsan karena terpeleset dari kamar mandi. "Kok pulang gak ngabarin? Harusnya Bapak jemput tadi. Naik apa pulangnya? Belum makan kan? Bapak beliin bandeng presto kesukaan kamu ya?" Rimbu menghela napasnya. "Gak usah. Rimbu mau langsung tidur aja, so--" "Loh, Dek Ri
Terlihat Aksara tengah mengekor pada Rimbu yang sedari tadi berkeliling di pasar pagi menawar beragam harga sayuran. Kebersamaan keduanya bermula ketika ojek online yang ditumpangi Rimbu menuju pasar pagi mendadak mogok. Aksara yang kebetulan melintas, langsung membantu driver ojek online tersebut memeriksa penyebab kerusakan motornya. Rimbu yang baru saja kembali dari tempat sepi seusai membuat panggilan telepon, terkejut mendapati keberadaan Aksara, pun sebaliknya. Lagi-lagi kejadian tak terduga menimpa keduanya. Rimbu tersenyum canggung pada Aksara, yang lalu dibalas Aksara dengan anggukan. Merasa tak nyaman, Rimbu pun berniat memesan ojek online yang lain. Tetapi semesta menggagalkan niat Rimbu. Rintik hujan mulai turun, diiringi kilatan-kilatan yang sekilas membentuk pola menyeramkan. Driver ojek menyarankan Rimbu untuk memesan mobil online, atau menumpang pada Aksara sampai ke tempat tujuannya. Sementara si Driver Ojek sendiri, akan berteduh sambil menunggu ken