Siang yang terik, di suatu kota di selatan Jakarta. Tampak seorang wanita berpakaian ala-ala sekertaris CEO tengah sibuk bergelut dengan mesin kasir, melayani para pengunjung kafe komiknya yang setiap hari selalu membeludak. Wanita kharismatik itu, Rimbu, begitu cekatan dan luar biasa ramah menyambut para pengunjung.
"Makan aja ya, gak sewa komik. Totalnya jadi empat puluh dua ribu. Pembayarannya mau pake apa?"
"Pake cinta boleh?" Seorang pengunjung pria balik bertanya pada Rimbu.
"Bahan-bahan nasi goreng seafood sama jus melon emang bisa dibeli pake cinta?"
Si Pengunjung Pria berdeham, "Cash. Saya bayar cash aja."
Sementara tepat di seberang kafe komik milik Rimbu, seorang pria bersetelan training hitam tak kalah sibuknya. Pria berpenampakan bak boyband Korea kenamaan itu, Aksara, adalah pemilik sekaligus pelatih seni bela diri muay thai. Aksara tampak bersemangat memaki murid-muridnya yang tidak berlatih dengan sungguh-sungguh.
Aksara menghampiri salah satu muridnya yang masih berstatus siswi SMA. "Kamu sengaja salah biar saya benerin?"
Si Siswi SMA mengangguk berulang kali. "Abis couch gantengnya meresahkan banget sih."
Aksara ikut mengangguk-angguk. "Kalo gitu, bayar bulanannya buat mantengin muka saya aja daripada buat latihan gak faedah."
•••••
"Mas Aksara, dapet salam dari Mba Rimbu. Serius kali ini saya gak peres*," ujar bapak pemilik warteg yang kebetulan melintas di depan ruko Aksara.
Peres* merupakan istilah gaul yang sering digunakan oleh anak-anak muda di media sosial maupun dalam obrolan. Kata gaul ini terkadang disebut 'Perez' yang memiliki arti palsu, bohong, atau tidak tulus.
"Kerjaan Bapak bukannya tiap hari peres?"
Spontan si Bapak terbahak. "Ehem, pada janjian pake baju biru-biru ya? Kalo gak janjian berarti jodoh tuh, Mas."
"Itu Bu Jamila juga pake baju biru. Jodoh dong kita."
Spontan si Bapak berteriak, "Eits, jangan dong. Bu Jamila mah milik saya seorang."
"Makanya ka--"
"Mba Rimbu, ini Mas Aksara sengaja pake baju biru biar makin sehati sama Mba Rimbu katanya," sela si Bapak pada Aksara, saat melihat Rimbu keluar dari kafenya.
Spontan Rimbu tersenyum paksa, dan kembali masuk ke dalam kafenya dengan langkah terburu. Aksara dan Rimbu segera mengganti kaos oblong mereka yang kebetulan memiliki warna yang sama persis. Namun, kaos oblong kedua yang mereka kenakan malah membuat semua orang lebih bersemangat menjadi Mak Comblang.
Rimbu dan Aksara memiliki hubungan yang ambigu, agak canggung jika dikatakan tidak dekat, namun merupakan fitnah besar jika dikatakan dekat. Hubungan Aksara dan Rimbu terjalin dari hutang balas budi. Aksara pernah menggagalkan aksi kejahatan di rumah kos Rimbu, dan Rimbu pernah menyelamatkan Aksara yang jatuh pingsan di gang sepi.
Orang-orang di sekitar ruko usaha Aksara dan Rimbu sering mengira jika keduanya adalah sepasang kekasih yang sedang menjalani hubungan backstreet*, karena kecanggungan keduanya yang malah dianggap manis, serta keserasian paras satu sama lain yang seperti sudah ditakdirkan. Mereka hampir setiap hari menjodoh-jodohkan keduanya.
Backstreet* adalah istilah singkat dari hubungan rahasia. Artinya tentu saja merahasiakan sebuah hubungan dari sekitar supaya hubungan itu tetap bisa berjalan sebagaimana mestinya.
Namun, tak peduli meski semesta mendukung, tidak akan pernah ada benih-benih cinta yang tumbuh di hati Aksara dan Rimbu, sampai kapan pun. Luka masa lalu yang masih membekas di hati mereka meski telah bertahun-tahun berlalu, membuat mereka yakin jika hubungan yang kini mereka jalin tidak lebih dari sekadar hutang balas budi semata.
•••••
KRINCING.. KRINCING..
Bunyi berisik sebuah hiasan bunga sakura dengan lonceng-lonceng mini yang tergantung di pintu masuk sebuah kafe komik, membuat si Pemilik, Rimbu, yang sedang sibuk menata botol jus buah ke dalam lemari pendingin menghentikan aktivitasnya sejenak.
Rimbu berdiri, bersiap menyuguhkan senyum ramahnya pada pengunjung pertama. Tetapi setelah tahu yang baru saja datang adalah pengunjung jadi-jadian alias tetangga kosnya, Theo, senyum ramah Rimbu seketika hilang entah ke mana.
Theo, adalah guru PAI* di salah satu SMA negeri favorit. Sosoknya saat tengah memakai seragam guru memang luar biasa layak dijadikan panutan. Tetapi sosoknya saat tengah memakai hoodie dan ripped jeans seperti sekarang, benar-benar menjengkelkan, seperti kutu rambut.
PAI* kepanjangan dari Pendidikan Agama Islam.
Rimbu tak mengindahkan Theo, ia hanya terus melanjutkan menata botol jus buah titipan Bu Jamila di rak-rak lemari pendingin. Hingga tanpa terasa, kafe super bersih beraroma segar lemon itu mulai disesaki para muda-mudi yang menggilai komik.
Jam memesan makanan dan minuman pun dibuka ketika semua pekerja paruh waktu Rimbu sudah siap di posisinya masing-masing. Dan seperti biasa, pengunjung bernama Theo yang selalu duduk di kursi nomor tiga puluh tiga di lantai dua, hanya mau pesanannnya diantar oleh Rimbu.
"Ini yang seri keenam belom keluar?" Theo menunjukkan sebuah komik bersampul menyeramkan pada Rimbu yang baru saja datang mengantarkan makanannya.
"Sebentar saya check."
"Berapa menit?" Theo menerima seporsi roti bakarnya.
"Diusahain gak makan waktu lama."
"Semenit cukup?" Theo melahap roti bakar kacangnya.
"Cukup. Tolong ditunggu."
Theo bergumam sembari memandangi Rimbu yang tengah berjalan setengah berlari. "Kerjaan saya dari tiga taun lalu emang cuma nunggu."
Pagi itu Rimbu bersama ibu-ibu yang tinggal di sekitar rumah kosnya sedang mengerumuni pedagang sayur keliling. Rimbu cukup akrab dengan si Pedagang Sayur karena sudah menjadi langganan selama tiga tahun, pun dengan para ibu-ibu. Rimbu sering bertukar resep menu masakan dengan mereka. Selain itu, Rimbu juga tidak keberatan bergabung untuk berghibah dan berjulit ria. Hari ini Rimbu berniat memasak sup ayam dan bakwan jagung untuk bekal makan siang. Setelah selesai berbelanja, Rimbu langsung bergegas menuju dapur umum yang disediakan pemilik kosnya. Namun saat tiba di sana, tampak seorang pria bersarung yang tak lain adalah Theo, sudah lebih dulu menguasai dapur. Spontan Rimbu balik kanan untuk kembali ke kamarnya. "Mau masak? Saya udahan kok," ujar Theo. Rimbu berbalik. "Oh, iya." Rimbu melangkah enggan menuju tempat cuci piring, dan mulai mengeluarkan satu per satu hasil belanjanya dari dalam plastik. Theo pamit kembali ke kamarnya sambil membawa sepo
Terlihat Aksara tengah mengekor pada Rimbu yang sedari tadi berkeliling di pasar pagi menawar beragam harga sayuran. Kebersamaan keduanya bermula ketika ojek online yang ditumpangi Rimbu menuju pasar pagi mendadak mogok. Aksara yang kebetulan melintas, langsung membantu driver ojek online tersebut memeriksa penyebab kerusakan motornya. Rimbu yang baru saja kembali dari tempat sepi seusai membuat panggilan telepon, terkejut mendapati keberadaan Aksara, pun sebaliknya. Lagi-lagi kejadian tak terduga menimpa keduanya. Rimbu tersenyum canggung pada Aksara, yang lalu dibalas Aksara dengan anggukan. Merasa tak nyaman, Rimbu pun berniat memesan ojek online yang lain. Tetapi semesta menggagalkan niat Rimbu. Rintik hujan mulai turun, diiringi kilatan-kilatan yang sekilas membentuk pola menyeramkan. Driver ojek menyarankan Rimbu untuk memesan mobil online, atau menumpang pada Aksara sampai ke tempat tujuannya. Sementara si Driver Ojek sendiri, akan berteduh sambil menunggu ken
Enam jam lebih perjalanan terlalui, dan tanpa terasa kini Rimbu sudah berdiri di depan sebuah rumah yang di sisi kanan dan kirinya diapit pohon rambutan tua. Tampak pintu rumah bergaya joglo modern itu sedikit terbuka, menandakan jika sang Pemilik Rumah masih terjaga. Dengan langkah penuh keraguan, Rimbu pun memasuki rumah yang hanya disambanginya setahun sekali itu. Terlihat ayah sambung Rimbu, Panji, langsung beranjak kegirangan ketika Rimbu tiba-tiba muncul di depannya. Panji langsung mengambil alih tas jinjing Rimbu, namun seperti biasa, Rimbu hanya membalas dengan sikap dingin. Rimbu melirik ke kamar sang Ibu di lantai dua, yang kabarnya baru saja keluar dari rumah sakit setelah jatuh pingsan karena terpeleset dari kamar mandi. "Kok pulang gak ngabarin? Harusnya Bapak jemput tadi. Naik apa pulangnya? Belum makan kan? Bapak beliin bandeng presto kesukaan kamu ya?" Rimbu menghela napasnya. "Gak usah. Rimbu mau langsung tidur aja, so--" "Loh, Dek Ri
Rimbu memandangi langit-langit kamarnya, ditemani alunan musik ballad yang selalu dia putar sebelum tidur. Masih teringat jelas wajah pucat pasi Panji, ketika mendengar permintaannya saat makan malam beberapa jam lalu. Panji memang tidak menolak permintaannya, pun tidak mengiyakannya. Panji hanya memasang ekspresi wajah campur aduk yang sulit dideskripsikan. Jarum pendek jam sudah menunjuk di angka satu, tetapi kedua mata Rimbu masih sibuk menikmati langit malam dari balik jendela kamarnya. Rimbu yang menyerah memejamkan mata perlahan beranjak, dan berjalan mendekati jendela, berniat untuk menikmati keindaham para penghuni langit malam dari dekat. Namun ada sesuatu yang lebih indah yang mengalihkan Rimbu. Sesosok pria bersweater hitam yang tengah mendongak sambil bersandar membelakangi balkon itu entah kenapa membuat Rimbu terpaku. Sosok yang sangat rupawan, tetapi tak cukup meluruhkan rasa kebas di hati Rimbu. Spontan Rimbu kembali masuk ke kamarnya, ketika pria ter
Atmosfer tegang menyelimuti sebuah mobil fortunder hitam yang melaju dengan kecepatan sedang, dikarenakan dua orang penumpangnya yang tengah berdebat sengit. Dua penumpang tersebut adalah Rimbu, dan sang Kakak, Ratih. Hari ini merupakan hari keberangkatan Rimbu ke Jakarta, dan dirinya tak menyangka jika Ratih akan ikut serta dengan alasan yang sangat tidak masuk akal. Ratih berkata ingin berlibur beberapa hari di Jakarta untuk sejenak melepas stres pekerjaan. Rimbu berikut keluarganya pun terkejut, menolak percaya jika akan keluar kata 'berlibur' dari mulut Ratih. Karena Ratih yang mereka kenal adalah seorang workaholic* yang bahkan tetap bekerja di hari libur nasional. Namun tak ada yang menyuarakan tanya, dan begitulah akhirnya Ratih ikut ke Jakarta. Workaholic* kecanduan kerja, atau gila kerja, atau yang lebih dikenal dengan workaholism. Pertama kali digunakan untuk menggambarkan kebutuhan yang tidak terkendali untuk terus bekerja. Padahal alasan sebenarny
Raras beserta beberapa orang karyawan Rimbu tengah sama-sama sibuk mengantar makanan dan minuman ke meja para pengunjung. Sementara si Pemilik Kafe sendiri malah duduk santai di kursinya, sembari terus-menerus bercermin, seolah cemas akan ada rontokan maskara di sekitar matanya. Hari itu merupakan kali pertama tangan-tangan Rimbu tidak memegang nampan, gepokan uang, pun kertas-kertas bon, melainkan cermin bermotif bunga sakura. Gelagat aneh Rimbu tidak berhenti sampai di situ. Wajah Rimbu tiba-tiba berubah menjadi semerah kepiting setelah dia menyudahi kegiatan bercerminnya. TAK! Semangkok jumbo mi kuah bertabur bon cabe level lima puluh baru saja didaratkan dengan penuh emosional oleh karyawati terbaik sekaligus mantan santriwati Pondok Pesantren Tebu Ireng, Putri Kaniraras (Raras). Gadis berpashmina itu menyendok makan siangnya sambil menatap serius ke arah Rimbu yang masih saja sibuk bercermin. "Lu abis ngapain sama Babang Roti Sobek? Spont
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, namun Rimbu masih saja terjaga. Rimbu yang biasanya langsung menjelajah alam mimpi bahkan sebelum musik ballad favoritnya habis, kini harus memutar musik tersebut lebih dari lima belas kali demi mengundang rasa kantuk yang nyatanya hanya bertahan tak kurang dari lima detik. Jelas saja Rimbu sulit memejamkan matanya, sebab terlalu banyak hal yang kini berlalu-lalang di kepalanya. Mulai dari sikap Theo yang mendadak menjadi agresif, masalah sahabat kecilnya Manik, penyakit psikologis yang diderita sang Ayah Sambung, serta kenangan buruk di gudang penyimpanan makanan berbelas tahun silam. Rimbu turun dari ranjang, berniat mencari penghiburan lewat film-film bergenre thriller di salah satu website gratis. Tetapi kemudian ponselnya bergetar, memberitahu jika ada panggilan telepon masuk dari seseorang. Rimbu sempat mengira jika panggilan telepon itu datang dari Theo yang kini mantap dilabelinya 'cabul', namun syukurlah.
Rimbu tiba di rumah kosnya bersamaan dengan Theo yang tentu saja akan melaksanakan ibadah subuh di masjid. Namun pemandangan pagi buta itu terasa ganjil, sebab Theo tidak mengenakan pakaian layaknya akan pergi beribadah, lalu wajahnya pun tampak sangat pucat. Rimbu buru-buru membayar ojol*nya, dan berniat mengacuhkan Theo yang dianggapnya jelmaan memedi*. Ojol* merupakan kepanjangan dari ojek online. Memedi* makhluk halus atau hantu dalam bahasa jawa. "Bisa gak sih?" Theo hanya mengangguk menanggapi Rimbu sambil terus berusaha membuka gembok gerbang kos. "Biar saya aja," imbuh Rimbu. Theo kembali mengangguk, lalu kemudian bersandar lesu di gerbang kos. Rimbu semakin merasakan keganjilan ketika merasakan hawa panas saat berpapasan dengan Theo, terlebih karena Theo yang biasanya selalu berisik mendadak menjadi sangat pendiam. Spontan Rimbu bertanya apa yang terjadi pada Theo, tetapi hanya ditanggapi Theo dengan gelengan tak berdaya. "Kam