Enam jam lebih perjalanan terlalui, dan tanpa terasa kini Rimbu sudah berdiri di depan sebuah rumah yang di sisi kanan dan kirinya diapit pohon rambutan tua. Tampak pintu rumah bergaya joglo modern itu sedikit terbuka, menandakan jika sang Pemilik Rumah masih terjaga. Dengan langkah penuh keraguan, Rimbu pun memasuki rumah yang hanya disambanginya setahun sekali itu.
Terlihat ayah sambung Rimbu, Panji, langsung beranjak kegirangan ketika Rimbu tiba-tiba muncul di depannya. Panji langsung mengambil alih tas jinjing Rimbu, namun seperti biasa, Rimbu hanya membalas dengan sikap dingin. Rimbu melirik ke kamar sang Ibu di lantai dua, yang kabarnya baru saja keluar dari rumah sakit setelah jatuh pingsan karena terpeleset dari kamar mandi.
"Kok pulang gak ngabarin? Harusnya Bapak jemput tadi. Naik apa pulangnya? Belum makan kan? Bapak beliin bandeng presto kesukaan kamu ya?"
Rimbu menghela napasnya. "Gak usah. Rimbu mau langsung tidur aja, so--"
"Loh, Dek Rimbu?" sela Kakak Perempuan Rimbu, Ratih, yang baru saja keluar dari kamarnya.
"Masak nasi buat Rimbu, Tih. Bapak keluar beli lauknya dulu. Sama itu bangunin Simbok*, suruh bersihin kamar Rimbu."
Simbok* secara definisi maupun bahasa, simbok diartikan sebagai ibu, bibi, asisten rumah tangga, emak/embok (dalam bahasa jawa).
"Gak usah Pak, Ri--"
Ratih kembali menyela, "Sssttt udah nurut aja. Duduk di sini dulu. Mbak buatin minuman anget." Ratih berjalan cepat menuju sebuah kamar, lalu mengetuk pintu kamar itu. "Mbok, udah tidur? Ini Dek Rimbu pulang, minta tolong dibersihin kamarnya ya."
Tampak seisi penghuni kediaman Rimbu sangat sibuk. Ratih sibuk menyiapkan makanan baru di dapur. Sementara sang Ayah, Panji, belum juga memunculkan batang hidungnya setelah satu jam lalu pamit membeli bandeng presto kesukaan Rimbu. Rimbu yang dilarang membantu kesibukan itu tak tahan, dan akhirnya beranjak ke kamarnya, membantu simbok memasang sarung bantal.
Rimbu mengikat tali sarung bantal sambil memandangi setiap sudut kamarnya, bernostalgia. Kamar tidur Rimbu, sengaja dibuat paling mewah meski bukan kamar utama. Bahkan semua perabotan di kamar Rimbu merupakan kualitas kayu jati terbaik pada masanya. Sesayang itulah kedua orang tua kandung Rimbu pada dirinya, dulu. Rimbu menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir semua kenangan buruk.
"Sehat, Cah Ayu?"
Rimbu mengangguk menanggapi Simbok. "Mbok juga sehat kan?"
"Alhamdulillah. Nyonya sudah gak apa-apa, jangan khawatir."
Rimbu kembali mengangguk. "Apa kata dokter, Mbok?"
"Cuma kaget karna keseleo. Tadi sore sempat demam tinggi, tapi sekarang sudah turun."
"Syukur kalo gitu. Oh iya, itu lampu kamar samping emang sengaja dinyalain apa gimana, Mbok?" tanya Rimbu lagi.
"Sengaja dinyalakan karna tamu tahunannya Tuan mau datang. Tapi gak tau kok ini belum datang. Padahal selepas isya biasanya sudah datang." Simbok melihat ke luar jendela.
"Tamu tahunan siapa?"
"Muridnya Tuan waktu masih tinggal di rumah lama. Ganteng, tinggi, baik. Pokoknya paket komplit, Non." Simbok tertawa sembari mengacungkan kedua jempolnya.
•••••
Terdengar suara gaduh dari lantai satu, menandakan jika tamu tahunan Panji baru saja tiba. Rimbu menambah volume lagu yang sudah sepuluh kali diputarnya, sembari membenahi posisinya bersandar di bath up. Semuanya terasa sempurna, sampai sang Kakak, Ratih, tiba-tiba menerobos masuk ke dalam kamar mandi dan mengacaubalaukan kesempurnaan itu.
"Ya Allah, Dek, masa mandi doang aja sejam. Cepetan itu tamu Bapak udah nungguin."
Rimbu mengurangi volume lagunya. "Nungguin siapa?"
"Ya nungguin kamulah. Siapa lagi? Makan malemnya udah siap semua. Ayo cepet."
"Makan duluan aja. Aku gampang. Tanggung lagi pw*," balas Rimbu pada Ratih.
Pw* atau pewe merupakan singkatan dari Posisi Wuenak, atau Posisi Enak. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan suatu posisi atau situasi atau keadaan yang sudah nyaman bagi seseorang sehingga orang tersebut cenderung malas atau tidak mau untuk melakukan perubahan.
"Dek, gak boleh gitu ah. Bapak udah capek-capek keliling nyari warung bandeng yang masih buka cuma buat kamu loh."
Rimbu membuka matanya. "Aku gak minta."
"Kamu mana pernah minta sama orang. Tapi seenggaknya hargain usaha Bapak dikit aja bisa kan?"
Rimbu menoleh pada Ratih yang sedari tadi duduk di pinggiran bath up. "Dua lagu lagi. Kalo gak mau ya bilang aja aku udah tidur."
Ratih menghela napasnya seraya beranjak. "Yaudah iya, Mbak tungguin di depan."
Rimbu pun menyelesaikan ritual berendam berjam-jamnya, dan turun ke lantai satu. Terlihat Simbok sedang menata aneka kue kering di piring, sementara Panji, Ratih, dan si Tamu Tahunan tengah bercakap seru di ruang tamu. Langkah Rimbu terhenti, karena mendengar suara tawa yang tak asing. Rimbu kembali melanjutkan langkahnya, untuk sedikit mengintip.
Dan betapa terkejutnya Rimbu ketika mendapati tamu tahunan sang Bapak Sambung yang tak lain tak bukan adalah Denar. Rimbu mengingat apa yang dikatakan Simbok tentang murid Panji saat masih tinggal di rumah lama. Rimbu mengangguk-anggukkan kepalanya, merasa yakin jika murid yang dimaksud Simbok adalah Denar.
Rimbu lalu berbalik, hendak kembali ke kamarnya karena merasa tidak nyaman dengan keberadaan Denar. Namun saat Rimbu berbalik, sudah berdiri pria lain tepat di hadapannya, pria lain berkemeja seksi yang keberadaannya membuat Rimbu sejuta kali lipat merasa tidak nyaman. Pria lain itu, Aksara, menunduk menatap Rimbu yang spontan mendongak.
"Ikut saya sebentar." Rimbu menarik ujung lengan kemeja Aksara seraya berjalan cepat memasuki kamar mandi.
"Tolong rahasiain soal insiden rampok di kosan saya sama semua orang di rumah ini," imbuh Rimbu.
"Sayangnya gua udah cerita."
Spontan Rimbu berbalik menghadap Aksara. "Kamu gak seharusnya cerita ke sembarang orang."
"Orang yang gua ceritain bukan orang sembarangan."
"Tetep aja kamu gak punya hak buat cerita ke siapa pun," balas Rimbu.
"Punya. Kan gua yang nyelametin lu."
Rimbu kembali berbalik menghadap pintu. "Kita pura-pura gak kenal aja. Tolong bilang ke temen kamu juga."
KLEK!
"Loh kok kamu, Dek? Mas Aksara ke toilet yang di atas kali ya?" tanya Ratih sembari menjelajahkan pandangannya ke lantai dua.
Rimbu menjawab Ratih dengan mimik wajah setenang aktor papan atas, membuat Ratih dengan mudah percaya dan berlalu ke lantai dua. Rimbu lalu melirik ke arah Simbok yang sedari tadi sibuk di dapur. Tampak wajah wanita paruh baya itu pucat pasi seakan habis disapa memedi. Rimbu pun buru-buru keluar dari toilet, meninggalkan Aksara yang bersandar tak kalah tenang di dinding.
"Rimbu."
Spontan Rimbu menghentikan langkahnya, tanpa menoleh. "Sorry gua gak hobi pura-pura, jadi gua gak bisa nurutin mau lu. Tapi soal insiden rampok waktu itu gua gak bakal cerita ke siapa-siapa lagi."
"Rampok? Siapa yang dirampok? Terus Mas Aksara dari tadi di situ? Sama Dek Rimbu?" Ratih melihat bergantian ke arah Aksara dan Rimbu.
•••••
Suasana makan malam itu awalnya terasa sangat canggung, karena Ratih yang biasa mengendalikan suasana tengah tidak fokus sebab banyak pertanyaan yang bergumul di kepalanya. Tetapi kedatangan sahabat kecil Rimbu seketika membuat suasana makan malam larut itu terselamatkan.
Sahabat kecil Rimbu datang mengantar jamu yang baru saja selesai diracik Ibunya untuk mempercepat pemulihan Ibu Rimbu. Sahabat kecil Rimbu, Nala Manika atau yang lebih sering disapa Manik, adalah gadis yang terkenal periang. Manik tahu banyak tentang Rimbu, mulai dari rahasia kecilnya, rahasia besar, hingga masa lalu Rimbu.
Manik bahkan bisa dengan mudah melepas topeng pertahanan Rimbu, dan membuat karakter asli Rimbu terlihat. Entah karena ilmu psikologi yang benar-benar bisa dia serap dengan sempurna, atau memang gadis berambut keriting itu keturunan cenayang sungguhan, Manik bisa membaca apapun yang orang pikirkan.
"Mbak Ratih lagi gak enak badan apa gak enak hati, Mbak?"
Ratih mencubit lengan Manik. "Apa sih, Dek."
"Suka sama mas yang itu apa yang itu?" Manik menunjuk Aksara lalu Denar.
"Kamu ini kebiasaan suka ngasal kalo ngomong."
"Manik keturunan Mbah Miwjan, Mbak, jangan ngeles. Gak mempan." Manik terbahak dengan mulut penuh nasi.
Panji ikut terbahak. "Memang Mbakmu ini keliatan suka sama yang mana?"
Spontan Manik menunjuk Aksara. "Yang itu, tapi dianya gak suka."
Denar berdeham, "Soalnya Aksara udah ada yang disuka."
Ratih ikut berdeham, "Emang ada yang gak suka sama Mas Aksara? Ganteng, baik, mapan. Mbak sukanya cuma sebatas itu. Bukan suka yang pake hati."
Manik menunjuk Rimbu. "Tapi ada. Ini, makhluk satu ini gak suka loh sama Mas Aksara."
"Rimbu kan memang susah suka orang."
Manik mengangguk menanggapi Panji. "Susah dilupain juga Om. Liat aja itu mantan-mantannya pada gak bisa move on* sampe sekarang."
Move on* secara harfiah artinya meninggalkan tempat yang selama ini ditinggali untuk menuju ke tempat yang baru. Istilah ini sering digunakan pada orang yang telah melupakan mantan pasangan dan melanjutkan hidup tanpa terpaku pada kenangan masa lalu lagi.
"Oh iya, kemarin sore mantanmu yang polisi itu main ke rumah jenguk Ibu. Nanyain kabarmu. Minta alamatmu juga yang di Jakarta."
"Jangan dikasih," sahut Rimbu pada Panji.
"Iya gak Bapak kasih. Bapak suruh minta ke kamu sendiri kalo pulang. Tapi kenapa putus, Nduk*? Kayanya anaknya baik. Di--"
Nduk* merupakan panggilan singkat dari gendhuk, yakni panggilan yang memiliki makna seorang gadis muda yang dekat dengan orang tertentu, bisa keluarganya, saudaranya, atau majikannya.
"Ya ampun Om Panji gak tau? Itu polisi cuma seragamnya doang, aslinya mah tukang selingkuh. Masa nih ya, Rimbu yang nemenin dia dari pas belom jadi apa-apa, tapi pas udah jadi apa-apa malah selingkuh sama cewek yang iyuh gak banget," sela Manik pada Panji.
"Bener gitu, Nduk?"
Rimbu diam, masih asik memisahkan kulit ikan bandeng. "Iya. Makanya jangan terima cowok mana pun lagi di rumah ini. Rimbu mantep gak mau pacaran atau nikah. Bisa kan?"
Rimbu memandangi langit-langit kamarnya, ditemani alunan musik ballad yang selalu dia putar sebelum tidur. Masih teringat jelas wajah pucat pasi Panji, ketika mendengar permintaannya saat makan malam beberapa jam lalu. Panji memang tidak menolak permintaannya, pun tidak mengiyakannya. Panji hanya memasang ekspresi wajah campur aduk yang sulit dideskripsikan. Jarum pendek jam sudah menunjuk di angka satu, tetapi kedua mata Rimbu masih sibuk menikmati langit malam dari balik jendela kamarnya. Rimbu yang menyerah memejamkan mata perlahan beranjak, dan berjalan mendekati jendela, berniat untuk menikmati keindaham para penghuni langit malam dari dekat. Namun ada sesuatu yang lebih indah yang mengalihkan Rimbu. Sesosok pria bersweater hitam yang tengah mendongak sambil bersandar membelakangi balkon itu entah kenapa membuat Rimbu terpaku. Sosok yang sangat rupawan, tetapi tak cukup meluruhkan rasa kebas di hati Rimbu. Spontan Rimbu kembali masuk ke kamarnya, ketika pria ter
Atmosfer tegang menyelimuti sebuah mobil fortunder hitam yang melaju dengan kecepatan sedang, dikarenakan dua orang penumpangnya yang tengah berdebat sengit. Dua penumpang tersebut adalah Rimbu, dan sang Kakak, Ratih. Hari ini merupakan hari keberangkatan Rimbu ke Jakarta, dan dirinya tak menyangka jika Ratih akan ikut serta dengan alasan yang sangat tidak masuk akal. Ratih berkata ingin berlibur beberapa hari di Jakarta untuk sejenak melepas stres pekerjaan. Rimbu berikut keluarganya pun terkejut, menolak percaya jika akan keluar kata 'berlibur' dari mulut Ratih. Karena Ratih yang mereka kenal adalah seorang workaholic* yang bahkan tetap bekerja di hari libur nasional. Namun tak ada yang menyuarakan tanya, dan begitulah akhirnya Ratih ikut ke Jakarta. Workaholic* kecanduan kerja, atau gila kerja, atau yang lebih dikenal dengan workaholism. Pertama kali digunakan untuk menggambarkan kebutuhan yang tidak terkendali untuk terus bekerja. Padahal alasan sebenarny
Raras beserta beberapa orang karyawan Rimbu tengah sama-sama sibuk mengantar makanan dan minuman ke meja para pengunjung. Sementara si Pemilik Kafe sendiri malah duduk santai di kursinya, sembari terus-menerus bercermin, seolah cemas akan ada rontokan maskara di sekitar matanya. Hari itu merupakan kali pertama tangan-tangan Rimbu tidak memegang nampan, gepokan uang, pun kertas-kertas bon, melainkan cermin bermotif bunga sakura. Gelagat aneh Rimbu tidak berhenti sampai di situ. Wajah Rimbu tiba-tiba berubah menjadi semerah kepiting setelah dia menyudahi kegiatan bercerminnya. TAK! Semangkok jumbo mi kuah bertabur bon cabe level lima puluh baru saja didaratkan dengan penuh emosional oleh karyawati terbaik sekaligus mantan santriwati Pondok Pesantren Tebu Ireng, Putri Kaniraras (Raras). Gadis berpashmina itu menyendok makan siangnya sambil menatap serius ke arah Rimbu yang masih saja sibuk bercermin. "Lu abis ngapain sama Babang Roti Sobek? Spont
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, namun Rimbu masih saja terjaga. Rimbu yang biasanya langsung menjelajah alam mimpi bahkan sebelum musik ballad favoritnya habis, kini harus memutar musik tersebut lebih dari lima belas kali demi mengundang rasa kantuk yang nyatanya hanya bertahan tak kurang dari lima detik. Jelas saja Rimbu sulit memejamkan matanya, sebab terlalu banyak hal yang kini berlalu-lalang di kepalanya. Mulai dari sikap Theo yang mendadak menjadi agresif, masalah sahabat kecilnya Manik, penyakit psikologis yang diderita sang Ayah Sambung, serta kenangan buruk di gudang penyimpanan makanan berbelas tahun silam. Rimbu turun dari ranjang, berniat mencari penghiburan lewat film-film bergenre thriller di salah satu website gratis. Tetapi kemudian ponselnya bergetar, memberitahu jika ada panggilan telepon masuk dari seseorang. Rimbu sempat mengira jika panggilan telepon itu datang dari Theo yang kini mantap dilabelinya 'cabul', namun syukurlah.
Rimbu tiba di rumah kosnya bersamaan dengan Theo yang tentu saja akan melaksanakan ibadah subuh di masjid. Namun pemandangan pagi buta itu terasa ganjil, sebab Theo tidak mengenakan pakaian layaknya akan pergi beribadah, lalu wajahnya pun tampak sangat pucat. Rimbu buru-buru membayar ojol*nya, dan berniat mengacuhkan Theo yang dianggapnya jelmaan memedi*. Ojol* merupakan kepanjangan dari ojek online. Memedi* makhluk halus atau hantu dalam bahasa jawa. "Bisa gak sih?" Theo hanya mengangguk menanggapi Rimbu sambil terus berusaha membuka gembok gerbang kos. "Biar saya aja," imbuh Rimbu. Theo kembali mengangguk, lalu kemudian bersandar lesu di gerbang kos. Rimbu semakin merasakan keganjilan ketika merasakan hawa panas saat berpapasan dengan Theo, terlebih karena Theo yang biasanya selalu berisik mendadak menjadi sangat pendiam. Spontan Rimbu bertanya apa yang terjadi pada Theo, tetapi hanya ditanggapi Theo dengan gelengan tak berdaya. "Kam
Manik tampak sangat serius membaca sesuatu di ponselnya, sementara Rimbu, duduk tepat di depan Manik dengan mimik wajah cemas. Awalnya Manik bercerita tentang perekonomian keluarganya yang mengenaskan hingga dirinya merasa malu untuk minta dikuliahkan lagi. Tetapi entah bagaimana cerita Manik kemudian beralih pada cerita penyakit psikologis Ayah Rimbu. Rimbu berkata jika sang Ayah terbukti memiliki penyakit psikologis yang populer disebut DID* atau kepribadian ganda. Bukti tersebut tidak diragukan keabsahannya karena dibawa langsung oleh polisi yang menangani kasus Ayah Rimbu beberapa tahun silam. Manik tidak tampak terkejut, sebab dirinya sudah menduga ada yang salah dengan Ayah Rimbu sejak pertemuan pertama mereka. DID* atau Dissociative Identity Disorder adalah suatu penyakit mental langka yang membuat seorang individu memiliki dua atau lebih kepribadian yang berbeda. Manik berkata sering menangkap basah Ayah Rimbu yang bersikap aneh. Bahkan Manik mengaku
"Gua sih yakin penyakitnya si Aksara tuh semacem HIV* atau sifilis* atau apalah itu yang laennya." HIV* atau human immunodeficiency virus menyerang sistem kekebalan tubuh. Penyebaran virus dapat terjadi melalui hubungan seks tanpa kondom, berbagi penggunaan alat suntik, transfusi darah, atau saat persalinan. Sifilis* disebabkan oleh bakteri treponema pallidum. Penyakit yang juga dikenal dengan sebutan raja singa ini menimbulkan luka pada alat kelamin atau mulut. Melalui luka inilah penularan akan terjadi. "Menurut gua juga gitu. Info aja nih buat lu-lu pada yang anak IPS. Penyakit begituan tuh nular dan ujung-ujungnya pada mati," timpal teman kedua Theo pada teman kesatu Theo. Teman kesatu Theo mengangguk-angguk. "Bener-bener. Temen SMP gua ada tuh yang mati gara-gara HIV. Katanya mayitnya bau banget, padahal langsung dimakamin." Teman kedua Theo memukul kepala teman kesatu Theo. "Mana ada anjir. Katanya emak-emak rumpi itu mah." Theo
Siang yang terik, di suatu kota di selatan Jakarta. Tampak seorang wanita berpakaian ala-ala sekertaris CEO tengah sibuk bergelut dengan mesin kasir, melayani para pengunjung kafe komiknya yang setiap hari selalu membeludak. Wanita kharismatik itu, Rimbu, begitu cekatan dan luar biasa ramah menyambut para pengunjung. "Makan aja ya, gak sewa komik. Totalnya jadi empat puluh dua ribu. Pembayarannya mau pake apa?" "Pake cinta boleh?" Seorang pengunjung pria balik bertanya pada Rimbu. "Bahan-bahan nasi goreng seafood sama jus melon emang bisa dibeli pake cinta?" Si Pengunjung Pria berdeham, "Cash. Saya bayar cash aja." Sementara tepat di seberang kafe komik milik Rimbu, seorang pria bersetelan training hitam tak kalah sibuknya. Pria berpenampakan bak boyband Korea kenamaan itu, Aksara, adalah pemilik sekaligus pelatih seni bela diri muay thai. Aksara tampak bersemangat memaki murid-muridnya yang tidak berlatih dengan sungguh-sungguh. Aksar