"Saras! Sini ...." seru Windarti saat melihat kedatangan Saraswati. "Saras, aku kangen!" ucap Windarti sembari menggenggam erat tangan Saraswati. "Duduk sini!" Windarti menarik tangannya agar duduk di ayunan.
Saat duduk di ayunan sejenak, Saraswati terhibur hatinya dia menikmati gerakan pelan ayunan itu. "Nyaman sekali hidupmu Win! Berbeda sekali denganku, hidupku sangat menyedihkan!"
Windarti yang melihat Saraswati , dia pun bertanya, "Saras, kenapa wajahmu terlihat sedih?"
"Win, aku lagi sedih, aku rasanya ingin pergi jauh dari desa ini, Win!" ucap Saraswati dengan pandangan mata yang sendu.
"Ada apa, kenapa kamu sedih?" tanya Windarti sembari menatap Saraswati.
"Win, bapakku punya hutang dengan juragan Broto, bila aku tidak bisa membayar, maka aku akan di jadikan istrinya sebagai jaminan untuk membayar hutang bapakku."
"Dasar, gila! Bapakmu gak waras, ya!Memangnya bapakmu hutang uang berapa, ke juragan Broto?" Windarti kesal mendengar cerita Saraswati.
"Bapak hutang 10 juta, itu belum termasuk bunga 20% dari uang itu, bayangkan Win, dengan apa, aku membayar hutang bapakku!" kata Saraswati.
"Terus, sekarang bagaimana?"
"Aku tidak tahu, tadi Juragan Broto si rentenir edan itu, ke rumah minta aku mengembalikan uangnya, kalau tidak, aku akan dibawa sebagai jaminan."
"Dasar orang gila! Mana bisa begitu?" kata Windarti.
"Aku tidak tahu harus bagaimana, Win?"
"Saras, jangan bersedih, aku akan membantumu," ucapan Windarti bagaikan air hujan di musim kemarau.
Sejenak hati Saraswati menjadi tenang. Saraswati menatap Windarti dengan mata berkaca-kaca penuh rasa haru.
"Sungguh, kamu akan membantuku?"
"Iya, aku akan membantumu!" ucap Windarti sembari tersenyum.
"Alhamdulillah, terima kasih Win. Aku sungguh sangat bahagia mendengar ucapanmu," ucap Saraswati sembari memeluk tubuh sahabat tercintanya itu.
"Tapi ada syaratnya!" ucap Windarti sembari memandang tajam ke arah Saraswati.
"Apa syaratnya?"
"Ikut denganku jadi tkw ke Singapura. Kerja di bar seperti aku."
"Baik, aku setuju lagi pula aku sudah bosan tinggal di sini, aku ingin menjadi orang sukses seperti dirimu."
"Hehehe, aku akan membuatmu jadi orang sukses, tapi kamu harus menuruti semua ucapanku, oke!" ucap Windarti seraya tersenyum bahagia karena Saraswati akan ikut dengannya bekerja di bar.
"Windarti, kapan aku bisa ambil uangnya? Aku sudah tidak sabar untuk membayar hutang ke Broto!" tanya Saraswati.
"Sabar, aku siapkan uangnya dulu. Insya Allah besok sore atau siang kamu datang lagi ke rumahku dan ambil uangnya ya, Oke!" Windarti menyakinkan Saraswati agar besok kembali lagi.
"Baiklah kalau begitu, aku pulang dulu ya!" pamit Saraswati sembari berdiri dari duduknya, dia menjabat tangan Windarti dengan penuh kasih sayang dan Windarti tersenyum melihat sahabatnya itu.
"Oke, pulanglah dulu, besok kita ketemu lagi, ya!"
Mendengar ucapan Windarti yang berjanji, akan membantu untuk membayar hutang bapaknya, Saraswati pun pulang dengan hati riang gembira.
Sesampainya di depan rumah, Saraswati heran kenapa banyak orang yang ada di dalam rumahnya, orang-orang itu sibuk mengeluarkan perabotan dari dalam rumahnya.
"Ada apa ini? Apa yang terjadi?" batinnya. Setengah berlari dia masuk ke dalam rumahnya, orang-orang yang berada di halaman rumahnya, mereka menyambut kedatangan Saraswati dengan tangisan.
"Ada apa ini, ya Allah!" batinnya. Jantungnya berdebar kentang menyaksikan apa yang dia lihat. Sanak keluarga banyak yang menangis di halaman rumahnya.
Hati Saraswati semakin bingung, dia pun sampai di depan pintu rumah, di ruang tengah, ada banyak keluarga dan tetangga yang sedang duduk, mengelilingi seseorang yang terbujur kaku dan ditutup dengan sebuah kain batik panjang.
Saraswati lalu menatap tubuh yang terbaring di tengah ruangan, "Ada apa ini? Siapa yang terbaring di sana?"
"Saras, duduklah," bisik Bulek Nuning, sepupu dari ibuku. Dia menghampiri Saraswati yang sedang berdiri terpaku.
Bu de Sumiati juga ikut menuntun Saraswati untuk duduk di samping tubuh yang terbaring di tengah orang-orang yang menangis itu.
Pandangan Saraswati melihat sekeliling ruangan. Neneknya yang duduk lesu di ujung ruangan, memeluk adiknya yang masih berumur 5 tahun.
Neneknya memandang penuh rasa pilu. Hati Saraswati semakin bingung, dia melihat sekeliling untuk mencari ibunya, tapi dia tidak melihat ibunya, di ruangan itu.
"Apa yang terjadi? Emakku di mana?" tanya Saraswati pada Bu ek Nuning yang duduk di sampingnya.
"Saras, ini Emakmu!" jawab bu lek Nuning, sambil memandang ke arah Saraswati dengan derai air mata.
"Bulek, bagaimana mungkin? Bulek pasti salah! Aku barusan saja keluar dari rumah, aku tidak percaya!"
"Nduk! Seng sabar ya!" Bulek Nuning menggenggam tangan Saraswati.
"Tidak mungkin itu Emak! Barusan saja, Mak bicara denganku, bagaimana mungkin, itu Emak? Tidak mungkin, Bulek!" Saraswati menyangkal semua ucapan Bulek Nuning.
"Nduk, tenangkan hatimu, coba tenangkan hatimu dulu." Bulek Nuning mencoba menenangkan hati Saraswati.
"Tidak, mungkin! Itu tidak mungkin!" gumamnya terus menerus.
"Saras, kamu yang sabar ya, Nak! Ini sudah takdir. Kamu harus tabah, Nduk!" ucap Bulek Nuning sambil memeluk Saraswati. Tapi, Saraswati memberontak, dia melepaskan pelukan Bulek Nuning.
"Tidak!! Itu tidak mungkin! Aku baru saja keluar dari rumah, aku melihat Mak e istirahat di kamar, Mak e tidak mungkin meninggal!'
Bude Sumiati mendekati Saraswati, dia memeluk Saraswati sembari menangis. "Ya Allah, Saras! Tenanglah, Nduk!" kata Bude Sumiati di sela isak tangisnya.
"Ada apa ini?" kata Permadi adik Saraswati yang baru pulang bermain. Pandangan matanya tertuju pada tubuh yang terbujur kaku berselubung kain batik, orang-orang memandangnya dengan pandangan penuh rasa iba.
"Apa itu ...?" Permadi bingung, ia masih belum mengerti betul tentang kejadian yang menimpa ibunya.
"Itu Emak kamu!" jawab Bude Sumiati.
"Tidak mungkin! Itu tidak mungkin Emak!" bantah Permadi.
"Itu Mak kamu, Le!"
Permadi seperti orang kebingungan seperti halnya Saraswati yang tidak bisa menerima bahwa ibunya telah meninggal.
"Mbak Saras ..." panggil Bayu adiknya dengan derai air mata.
"Bayu, yang di tutup kain itu bukan Emak, kan?" suara Saraswati bergetar menahan kesedihan.
"Mbak! Emak udah meninggal, Mbak!" jawab Bayu.
Saraswati seakan tak percaya, ia mendekati tubuh yang tertutup kain batik itu. Bu lek Nuning memegangi bahunya dengan erat, Bulek Nuning takut kalau Saraswati akan jatuh saat melihat kenyataan bahwa ibunya meninggal mendadak karena serangan jantung.
Dengan tangan yang gemetar Saraswati membuka kain yang menutup tubuh itu. Jantungnya berdebar sangat kencang. Tangan Saraswati dengan hati-hati membuka kain itu. Air mata Saraswati tidak bisa di bendung lagi, saat tahu tubuh yang terbaring kaku itu adalah ibunya.
Saraswati tertegun, ia tidak bisa teriak ataupun menangis, dalam pikirannya, Saraswati menyangkal kalau itu ibunya.
"Tidak mungkin Emak meninggal, tidak mungkin itu terjadi. Semua ini salah! Semua hanya mimpi, aku pasti sedang bermimpi buruk! Ayo, bangun! Bagunlah, ini hanya mimpi burukku!"
Plaakkk! Plaakkk!
Saraswati memukul pipinya sendiri dan berharap ia bangun dari mimpi buruk. Pipinya merah dan terasa panas, Saraswati lalu memandang sekeliling ruangan.
"Ini nyata? Ini benar-benar terjadi padaku! Emak, Emaaak ...!" Saraswati saat sadar itu bukan mimpi, ia lalu berteriak memanggil ibunya.
Melihat Saraswati yang menolak kebenaran, orang-orang semakin merasa terharu. Mereka pun tidak percaya bahwa ibunya Saraswati meninggal dunia begitu cepat, banyak orang terkejut mendengar kabar atas kematiannya. "Saras kamu harus tabah ya! Kamu harus tabah, Nduk! Lihatlah, ini memang Emak kamu, Nduk!" suara Bude Sumiati di sela isak tangisnya, air matanya mengalir deras hingga matanya bengkak. Tangan Bulek Nuning mendekat dan menutup kembali wajah almarhum ibunya Saraswati dengan kain batik itu. "Jangan membuat arwah Emak kamu bersedih dan menghambat perjalanan pulang ke akhirat Emak kamu, Nduk!" Bulek Sumiati mengelus punggung Saraswati. "Tidak, Bude! Mak e tidak meninggal, dia tidak meninggal, Bude!" Adiknya Saraswati yang bernama Bayu mendekatinya, dia merangkul kakaknya sambil menangis, "Mbak Saras, Emak sudah meninggal. Mbak Saras, jangan seperti ini, kasian E mak, Mbak!" "Bayu, kamu salah! Emak tidak meninggal, dia cuman ti
"Iya, Bude! Aku tidak butuh Bapak tukang mabuk dan tukang main perempuan. Aku muak dengannya, aku tidak sudi punya Bapak seperti dia!" geram Bayu. Saraswati menepuk pundak adiknya pelan, "Bayu, tidak baik bicara seperti itu pada orang tua, bagaimanapun dia Bapak kita." "Aku tidak sudi, punya Bapak seperti orang itu, Mbak! Aku benci Bapak!" Saraswati juga tidak suka dengan Bapak yang seperti itu, tapi bagaimanapun Tugiman adalah bapaknya. Bude Sumiati mendekati Saras, matanya berkaca-kaca menahan gejolak hatinya yang dilanda kesedihan ditinggal adik kandungnya yaitu ibunya Saraswati. "Aku tidak menyangka ibumu telah tiada, Nduk!" ucapnya sembari mengusap air matanya. Tiba-tiba adik kecil Saras menangis dan memeluk Saraswati, "Mbak Saras, aku ingin Emak bangun!" Kata-kata Sundari bagai pedang tajam yang menyanyat hati Saraswati. Air matanya tanpa permisi mengalir deras bagai air terjun grojokan sewu.
Hutang-hutang bapaknya di juragan Broto, mau di lunasi oleh saudara-saudara dari ibunya Saras, mereka patungan membanyar hutang bapaknya Saras, karena mereka kasihan nasib Saras kalau sampai menjadi istri juragan Broto. Tapi sayangnya juragan Broto menolak, ia memaksa Saras menjadi istrinya, maka dengan berat hati, mereka melepas Saras untuk menjadi istri muda juragan Broto. Saat mau menikah, Saras mengajukan satu syarat agar dirinya bisa melanjutkan jualan di pasar seperti yang ibunya lakukan dulu. "Aku mau menikah denganmu, tapi ijinkan aku tetap berjualan di pasar," pinta Saras saat itu. Broto menatap tajam Saras, "Untuk apa kamu berjualan, kamu istri juragan Broto yang kaya raya. Kamu minta uang, aku kasih, wong ayu!" "Aku tidak butuh uangmu, aku tidak mau adik-adikku makan uang haram darimu, kalau kau menolak permintaanku, maka aku lebih baik mati, dari pada menikah denganmu. Aku bersumpah demi ibuku!" ancam Saras.
Saraswati memandang seorang laki-laki tampan yang tersenyum padanya. Hatinya berdebar kencang saat bertemu pandang dengannya, "Iya Mas. Ada apa? Ada yang bisa saya bantu?""Maaf, saya cari ibu saya. Mbak tahu wanita dengan jilbab hijau badan gemuk lewat sini?"Saraswati bengong memandang laki-laki itu, ia sungguh terpesona dengan senyuman manis dan ketampanan laki-laki yang ada di depannya."Hello! Mbak ...!"Mendengar ucapan keras laki-laki itu, Saraswati gelagapan, "I-iya, ada apa ...?"Senyuman pria tampan itu terlukis di sudut bibirnya, manis sekali hingga Saraswati tak lepas memandang wajah orang itu."Mbak, Mbak ...!"Saraswati tersipu malu saat pria itu menjentikkan jarinya di depan wajahnya, "Mas, baru di desa ini, ya ...?""Iya, aku lagi berkunjung ke rumah Budeku.""Oh, makanya aku baru lihat Mas di desa ini.""Maaf, aku lagi cari Ibuku, apa Mbak melihatnya ...?""Orangnya kayak apa?""Tadi
Satu bulan kemudian...Setelah dirinya menjanda, banyak pria yang menggoda dirinya dan ingin.meminang Saras, tapi Saras tak tertarik dengan mereka, hatinya sudah tertawan oleh pria tampan yang ia lihat di pasar waktu itu."Mbak Saras sedang apa?" sapa Bayu saat melihat kakaknya melamun di teras sore itu."Aku sedang memikirkan sesuatu," jawab Saras tidak semangat."Mbak, aku mau minta izin ke kota," ucap Bayu."Untuk apa ke kota?" "Besok sudah mulai kuliah dan juga masuk kerja," jawab Bayu."Oh iya aku lupa, aku lupa adikku sudah besar sekarang."Saraswati tersenyum malu, ia lupa bila waktu telah berjalan cepat, adik-adiknya sudah tumbuh dewasa dan sekolahnya pintar."Mbak, aku akan ajak Permadi ke kota untuk lanjutkan kuliah di sana sambil kerja sampingan saat pulang dari kampus."Saraswati menunduk, satu per satu adiknya pergi darinya, dulu dirinya tak bisa pergi jauh karena memikirkan adik-
"Emmm, sepertinya aku pernah lihat kamu deh!" ucap Reyndra."Lihat di mana Pak?" tanya Bayu sambil memandang ke arah Reyndra lalu ke Saraswati secara bergantian."Pasar, kayaknya aku pernah lihat dia di pasar saat aku diajak ibuku ke pasar waktu itu.""Oh gitu, kakakku memang kerjanya jualan di pasar.""Oh iya, waktu itu aku bertanya padamu, tapi belum kamu jawab," ucap Reyndra sambil menatap Saraswati.Saraswati mengeryitkan dahi, ia lupa tentang pertanyaan Reyndra, "Maaf, saya lupa.""Aku bertanya padamu waktu itu, apa kamu sudah menikah?""Kakakku janda," sahut Permadi dengan cepat.Saraswati tersipu malu dan mencubit pinggang Permadi yang berdiri di sampingnya. Permadi meringis kesakitan saat tangan kakaknya mencubit pinggangnya."Oh jadi kamu janda, tapi kamu masih terlihat sangat muda dan cantik," ucap Reyndra."Kakakku menikah sangat muda saat itu," jawab Bayu."Tunggu, dari tad
"Ya Allah, kaki kamu berdarah."Reyndra panik dan entah kenapa dirinya langsung reflek membopong tubuh Saraswati."Bayu, cepat ambilkan alkohol!" seru Reyndra lagi.Permadi mematikan kompor yang sedang menyala dan membersihkan pecahan kaca. Bayu segera mengambil perlengkapan kesehatan yang kakaknya taruh di lemari kaca di ruang tengah, sedangkan Reyndra membopong tubuh Saraswati ke kursi yang ada di dapur."Kamu duduk sini ya!""Aku tidak apa-apa kok!""Bagaimana tidak apa-apa? Lihat kaki kamu itu, berdarah kayak begitu.""Sungguh aku tidak apa-apa," ucap Saraswati sambil memegang tangan Reyndra.Sejenak mereka berdua saling berpandangan, lalu Saraswati menoleh ke samping karena tak sanggup bertemu pandang dengan Reyndra.'Tatapan matanya seperti menghujam hatiku, aku tak berdaya dibuatnya,' batin Saraswati.Reyndra menyibakkan sedikit baju Saraswati agar tak kena darah karena baju Saraswati ya
Saraswati seorang gadis cantik kembang desa. Orang-orang biasanya memanggil dia Saras. Bapaknya suka mabuk-mabukan dan main perempuan membuat Saraswati, menjadi takut membuka hati untuk laki-laki. Umur Saraswati sudah 18 tahun, sudah waktunya menikah bagi orang desa seperti dia. Tapi, dia belum mau membuka hati untuk laki-laki manapun. Walau, banyak laki-laki di desa itu, yang mencoba mendekati Saras, dan ingin melamar untuk di jadikan istri, tapi Saras menolak mereka semua. "Dasar wong setengah liter!" maki Saraswati dalam hati. Suatu hari ada seorang laki-laki yang datang membawa sebuah lamaran pada Saras, ia datang bersama para pengawalnya ke rumah Saras, laki-laki itu bernama Broto. Dia laki-laki yang sangat berpengaruh di desa itu. Dia sudah mempunyai istri tapi ingin menambah istri lagi. Saras, melihatnya aja sudah muak. Broto berumur kira-kira sekitar 45 tahun, usianya sama dengan usia bapaknya. Wajah Broto brewokan dan juga bermata tajam