"Iya, Bude! Aku tidak butuh Bapak tukang mabuk dan tukang main perempuan. Aku muak dengannya, aku tidak sudi punya Bapak seperti dia!" geram Bayu.
Saraswati menepuk pundak adiknya pelan, "Bayu, tidak baik bicara seperti itu pada orang tua, bagaimanapun dia Bapak kita."
"Aku tidak sudi, punya Bapak seperti orang itu, Mbak! Aku benci Bapak!"
Saraswati juga tidak suka dengan Bapak yang seperti itu, tapi bagaimanapun Tugiman adalah bapaknya.
Bude Sumiati mendekati Saras, matanya berkaca-kaca menahan gejolak hatinya yang dilanda kesedihan ditinggal adik kandungnya yaitu ibunya Saraswati.
"Aku tidak menyangka ibumu telah tiada, Nduk!" ucapnya sembari mengusap air matanya.
Tiba-tiba adik kecil Saras menangis dan memeluk Saraswati, "Mbak Saras, aku ingin Emak bangun!"
Kata-kata Sundari bagai pedang tajam yang menyanyat hati Saraswati. Air matanya tanpa permisi mengalir deras bagai air terjun grojokan sewu.
"Sundari, sini Nduk! Jangan bersedih," ucap Saraswati sambil memegang tangan adik kecilnya itu.
"Aku ingin Emak bangun. Tolong, suruh Emak bangun, Mbak!" Permadi adik Saraswati yang dari tadi diam, ikut angkat bicara sambil menangis.
Bayu merangkul Permadi, ia pun ikut menangis tersedu, "Kita harus kuat, ya! Biarkan, Emak tidur dengan tenang."
Tangan Saraswati menggapai kedua adik laki-lakinya itu, sedangkan tangan satunya memeluk Sundari yang ada di pangkuannya.
Suasana haru menyelimuti rumah Saraswati. Orang-orang yang mempersiapkan pemakaman almarhum ibunya sudah pada tahap mau memandikan jenazah ibunya Saraswati.
Jenazah ibunya Saraswati diangat menuju pelataran, Isak tangis adik-adik Saraswati tak terbendung lagi, mereka menangis melihat kejadian itu.
Saraswati memeluk ketiga adiknya itu dengan penuh kasih sayang, walau hatinya hancur, tapi dia mencoba tegar untuk menjaga adik-adiknya.
Saraswati meraih tangan mungil adiknya, "Sundari, Bayu, Permadi, jangan bersedih, jangan menangis, masih ada Mbak Saras di sini. Kita harus relakan Emak untuk istirahat dengan tenang," ucap Saraswati sembari memeluk adik-adiknya dengan kasih sayang.
Dalam kesedihan yang amat dalam, Saraswati berusaha tabah. Matanya menangis, tapi tubuh dan hatinya, ia kuat-kuatkan untuk tetap tegar di hadapan adik-adiknya.
'Aku harus kuat, adik-adik butuh aku. Kuat, aku harus kuat!' kata-kata itu yang terus ia lantunkan dalam hatinya.
Hati Saraswati semakin hancur tatkala melihat neneknya yang bersimpuh di lantai dengan derai air mata mengalir di pipinya yang keriput.
"Ya Allah, kenapa harus anakku yang lebih dulu Engkau, diambil, ya Allah! Kenapa bukan aku saja yang Engkau diambil! Menik, anakku!" suara isak tangis neneknya semakin membuat suasana dicekam kesedihan yang mendalam.
Bulek Nuning mendekat dan merangkul neneknya Saraswati, ia menghapus air matanya dengan selendang yang tersampir di pundaknya.
"Simbok, relakan Yu Menik pergi, Mbok!"
"Bagaimana, Simbok bisa rela, kalau Menik pergi meninggalkanku mendadak tanpa pamit apa-apa padaku!" ucapnya di sela isak tangisnya.
"Simbok yang sabar, ya!"
"Bagaimana bisa Menik tega meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil? Bagaimana nasib mereka tanpa ibunya? Aku juga sudah tua, bagaimana bisa aku menjaga mereka, ya Allah ...!"
Hati neneknya Saraswati hancur lebur melihat anak perempuannya meninggal lebih dulu di hadapannya. Mata wanita yang sudah tua renta itu, semakin sayu dan sembab, air matanya tak henti-hentinya mengalir di pipinya yang keriput.
"Mbak, Ibu sudah tiada, siapa yang akan mencari uang untuk hidup kita?" tiba-tiba saja Bayu bertanya pada Saraswati.
Pandangan matanya hampa, ia sendiri tidak tahu harus bagaimana, Ibunya yang setiap hari bekerja membanting tulang untuk menghidupi mereka semua.
Mereka hidup dan bertahan karena kasih sayang ibunya, Bapak mereka tidak pernah memberikan kasih sayang selayaknya seorang Bapak. Bapaknya tenggelam dalam minuman keras dan juga perempuan nakal.
Pondasi keluarga Saraswati adalah ibunya, tapi kini pondasi itu telah runtuh. Saraswati sebagai anak perempuan pertama harus siap menjadi penerus untuk melindungi dan menjaga adik-adiknya.
"Emak, aku harus bagaimana?" lirih Saraswati berbisik.
Saat mereka duduk diam di ruang tengah, tiba-tiba salah seorang keluarga mereka ada yang menyuruh mereka untuk minggir, "Awas, minggir! Tolong beri jalan jenazah mau di baringkan di sini."
Ibu-ibu anggota rukun kematian yang ada di desa Saraswati dengan cekatan membopong jenazah ibunya Saraswati untuk di kafani.
Tidak butuh waktu lama, jenazah sudah siap untuk di berangkatkan. Saraswati dan adik-adiknya menatap jenazah ibunya yang terbujur kaku yang ada dalam keranda mayat yang di tutup kain warna hijau dengan tulisan ayat-ayat suci Al-quran di atasnya.
Salah satu pengurus rukun kematian bertanya pada keluarga, jenazah mau langsung berangkat atau menunggu keluarga yang belum datang melayat.
"Mohon maaf, ini jenazah sudah siap di berangkatkan," kata Pak Modin.
"Kita tunggu sebentar kedatangan suami almarhumah Ibu Menik dulu ya, Pak!" kata Bude Sumiati.
"Ya Allah, Kang Jarwo mana, sih! Kenapa belum datang, juga!" gumam Bude Sumiati.
Sambil menunggu, Saraswati meminta adiknya untuk mengambil Al-Quran di dalam kamar tidurnya, "Le, tolong ambilkan Al-Quran di kamar Mbak Saras, ya!" ucapnya sambil memandang Permadi.
"Baik, Mbak!" Permadi adik kecilnya itu langsung berdiri lalu berjalan pelan melewati orang-orang yang duduk berkumpul di sekitar jenazah ibunya.
Tidak berapa lama, Permadi membawa Al-Quran dan juga sebuah buku bacaan surat Yasin di tangannya. Permadi duduk memberikan Al-Quran pada Saraswati, sedangkan dirinya dan Bayu membaca buku surat Yasin.
***
Sudah lama orang-orang menunggu, bahkan Saraswati pun sudah selesai membaca surat Yasin, tapi bapaknya belum juga datang.
Pak Modin mulai gelisah, ia lalu berdiri dan berkata, "Mohon maaf, ini bagaimana? Suaminya kok belum datang? Apa langsung di berangkatkan saja? Kasian kalau nunggu lama-lama."
"Langsung berangkatkan saja, Pak!" teriak laki-laki dari balik kerumunan orang-orang yang datang melayat.
Ternyata Pakde Jarwo yang datang. Wajahnya terlihat merah padam. Mereka yang ada di sana merasa heran dan juga bingung.
"Ada apa ini?" salah seorang warga bertanya pada temannya.
"Aku tidak tahu, Kang!" jawab orang itu.
Pakde Jarwo maju ke arah Pak Modin. "Pak, tolong berangkat saja, tidak usah nunggu suaminya!" suara Pakde Jarwo bergetar menahan kesedihan bercampur amarah.
"Baiklah, kalau begitu. Hmm, kasihan juga almarhumah kalau menunggu lama. Ayo kita berangkat! Bismillahirohmanirohim Allahu Akbar La ilaha illallah!"
Keranda jenazah ibunya Saraswati pun di gotong keluar pekarangan menuju jalan setapak yang menghubungkan jalan itu ke pemakaman umum.
Saraswati wajahnya berubah memerah, ada amarah dan juga kesedihan yang dalam, "Sungguh, aku tidak bisa memaafkan dirimu, Pak! Untuk yang terakhir kali, kenapa Bapak tidak mau mengantar kepergian Emak? Kenapa, Pak?" gumam Saraswati dengan derai air mata.
"Mbak, ayo ikut rombongan ke makam!" ajak Bayu.
"Ayok!" jawab Saraswati dengan langkah gontai berjalan mengikuti rombongan orang-orang yang mengiringi jenazah ibunya menuju ke pemakaman.
"Mbak Saras terlihat marah, Mbak marah sama Bapak?" tanya Bayu sambil berjalan di samping Saraswati.
"Iya, aku sangat Marah!"
"Aku juga. Andai saja, Bapakku bukan dia, pasti hidup kita tidak akan jadi begini, Mbak!" kata Bayu sambil mengusap air matanya.
"Mungkin."
Hutang-hutang bapaknya di juragan Broto, mau di lunasi oleh saudara-saudara dari ibunya Saras, mereka patungan membanyar hutang bapaknya Saras, karena mereka kasihan nasib Saras kalau sampai menjadi istri juragan Broto. Tapi sayangnya juragan Broto menolak, ia memaksa Saras menjadi istrinya, maka dengan berat hati, mereka melepas Saras untuk menjadi istri muda juragan Broto. Saat mau menikah, Saras mengajukan satu syarat agar dirinya bisa melanjutkan jualan di pasar seperti yang ibunya lakukan dulu. "Aku mau menikah denganmu, tapi ijinkan aku tetap berjualan di pasar," pinta Saras saat itu. Broto menatap tajam Saras, "Untuk apa kamu berjualan, kamu istri juragan Broto yang kaya raya. Kamu minta uang, aku kasih, wong ayu!" "Aku tidak butuh uangmu, aku tidak mau adik-adikku makan uang haram darimu, kalau kau menolak permintaanku, maka aku lebih baik mati, dari pada menikah denganmu. Aku bersumpah demi ibuku!" ancam Saras.
Saraswati memandang seorang laki-laki tampan yang tersenyum padanya. Hatinya berdebar kencang saat bertemu pandang dengannya, "Iya Mas. Ada apa? Ada yang bisa saya bantu?""Maaf, saya cari ibu saya. Mbak tahu wanita dengan jilbab hijau badan gemuk lewat sini?"Saraswati bengong memandang laki-laki itu, ia sungguh terpesona dengan senyuman manis dan ketampanan laki-laki yang ada di depannya."Hello! Mbak ...!"Mendengar ucapan keras laki-laki itu, Saraswati gelagapan, "I-iya, ada apa ...?"Senyuman pria tampan itu terlukis di sudut bibirnya, manis sekali hingga Saraswati tak lepas memandang wajah orang itu."Mbak, Mbak ...!"Saraswati tersipu malu saat pria itu menjentikkan jarinya di depan wajahnya, "Mas, baru di desa ini, ya ...?""Iya, aku lagi berkunjung ke rumah Budeku.""Oh, makanya aku baru lihat Mas di desa ini.""Maaf, aku lagi cari Ibuku, apa Mbak melihatnya ...?""Orangnya kayak apa?""Tadi
Satu bulan kemudian...Setelah dirinya menjanda, banyak pria yang menggoda dirinya dan ingin.meminang Saras, tapi Saras tak tertarik dengan mereka, hatinya sudah tertawan oleh pria tampan yang ia lihat di pasar waktu itu."Mbak Saras sedang apa?" sapa Bayu saat melihat kakaknya melamun di teras sore itu."Aku sedang memikirkan sesuatu," jawab Saras tidak semangat."Mbak, aku mau minta izin ke kota," ucap Bayu."Untuk apa ke kota?" "Besok sudah mulai kuliah dan juga masuk kerja," jawab Bayu."Oh iya aku lupa, aku lupa adikku sudah besar sekarang."Saraswati tersenyum malu, ia lupa bila waktu telah berjalan cepat, adik-adiknya sudah tumbuh dewasa dan sekolahnya pintar."Mbak, aku akan ajak Permadi ke kota untuk lanjutkan kuliah di sana sambil kerja sampingan saat pulang dari kampus."Saraswati menunduk, satu per satu adiknya pergi darinya, dulu dirinya tak bisa pergi jauh karena memikirkan adik-
"Emmm, sepertinya aku pernah lihat kamu deh!" ucap Reyndra."Lihat di mana Pak?" tanya Bayu sambil memandang ke arah Reyndra lalu ke Saraswati secara bergantian."Pasar, kayaknya aku pernah lihat dia di pasar saat aku diajak ibuku ke pasar waktu itu.""Oh gitu, kakakku memang kerjanya jualan di pasar.""Oh iya, waktu itu aku bertanya padamu, tapi belum kamu jawab," ucap Reyndra sambil menatap Saraswati.Saraswati mengeryitkan dahi, ia lupa tentang pertanyaan Reyndra, "Maaf, saya lupa.""Aku bertanya padamu waktu itu, apa kamu sudah menikah?""Kakakku janda," sahut Permadi dengan cepat.Saraswati tersipu malu dan mencubit pinggang Permadi yang berdiri di sampingnya. Permadi meringis kesakitan saat tangan kakaknya mencubit pinggangnya."Oh jadi kamu janda, tapi kamu masih terlihat sangat muda dan cantik," ucap Reyndra."Kakakku menikah sangat muda saat itu," jawab Bayu."Tunggu, dari tad
"Ya Allah, kaki kamu berdarah."Reyndra panik dan entah kenapa dirinya langsung reflek membopong tubuh Saraswati."Bayu, cepat ambilkan alkohol!" seru Reyndra lagi.Permadi mematikan kompor yang sedang menyala dan membersihkan pecahan kaca. Bayu segera mengambil perlengkapan kesehatan yang kakaknya taruh di lemari kaca di ruang tengah, sedangkan Reyndra membopong tubuh Saraswati ke kursi yang ada di dapur."Kamu duduk sini ya!""Aku tidak apa-apa kok!""Bagaimana tidak apa-apa? Lihat kaki kamu itu, berdarah kayak begitu.""Sungguh aku tidak apa-apa," ucap Saraswati sambil memegang tangan Reyndra.Sejenak mereka berdua saling berpandangan, lalu Saraswati menoleh ke samping karena tak sanggup bertemu pandang dengan Reyndra.'Tatapan matanya seperti menghujam hatiku, aku tak berdaya dibuatnya,' batin Saraswati.Reyndra menyibakkan sedikit baju Saraswati agar tak kena darah karena baju Saraswati ya
Saraswati seorang gadis cantik kembang desa. Orang-orang biasanya memanggil dia Saras. Bapaknya suka mabuk-mabukan dan main perempuan membuat Saraswati, menjadi takut membuka hati untuk laki-laki. Umur Saraswati sudah 18 tahun, sudah waktunya menikah bagi orang desa seperti dia. Tapi, dia belum mau membuka hati untuk laki-laki manapun. Walau, banyak laki-laki di desa itu, yang mencoba mendekati Saras, dan ingin melamar untuk di jadikan istri, tapi Saras menolak mereka semua. "Dasar wong setengah liter!" maki Saraswati dalam hati. Suatu hari ada seorang laki-laki yang datang membawa sebuah lamaran pada Saras, ia datang bersama para pengawalnya ke rumah Saras, laki-laki itu bernama Broto. Dia laki-laki yang sangat berpengaruh di desa itu. Dia sudah mempunyai istri tapi ingin menambah istri lagi. Saras, melihatnya aja sudah muak. Broto berumur kira-kira sekitar 45 tahun, usianya sama dengan usia bapaknya. Wajah Broto brewokan dan juga bermata tajam
"Aku tidak mau menikah denganmu!" ketus Saraswati. "Walah, lek marah kamu itu tambah cantik, lo! Hehehe!" Broto mencoba menggoda Saraswati. Saraswati tidak merespon ucapan Broto, ia memalingkan mukanya ke arah lain. "Baik, baiklah, wong ayu! Aku aku akan bersabar, aku tunggu sampai hatimu terbuka untukku!" "Datanglah, satu bulan lagi," ucap Saraswati, "bulan depan aku akan bawa uang untuk membayar hutang bapakku!" Broto manggut-manggut kepalanya sambil mengusap janggutnya, "Baiklah! Aku akan datang satu bulan lagi ke sini!" "Sekarang pergilah!" usir Saraswati. "Iyo, wong ayu! Aku akan pergi dulu. Jangan lupa janji mu, wong ayu!" ucap Broto sambil berdiri dan menatap Saraswati tajam. Saraswati memalingkan mukanya, ia muak melihat wajah bandot tua itu. Broto cuek aja dan melangkah menuju pintu rumah Saraswati. Di teras rumah Broto berhenti dan berbisik ke telinga pengawalnya, "Jago! Awasi calon istriku
"Saras! Sini ...." seru Windarti saat melihat kedatangan Saraswati. "Saras, aku kangen!" ucap Windarti sembari menggenggam erat tangan Saraswati. "Duduk sini!" Windarti menarik tangannya agar duduk di ayunan. Saat duduk di ayunan sejenak, Saraswati terhibur hatinya dia menikmati gerakan pelan ayunan itu. "Nyaman sekali hidupmu Win! Berbeda sekali denganku, hidupku sangat menyedihkan!" Windarti yang melihat Saraswati , dia pun bertanya, "Saras, kenapa wajahmu terlihat sedih?" "Win, aku lagi sedih, aku rasanya ingin pergi jauh dari desa ini, Win!" ucap Saraswati dengan pandangan mata yang sendu. "Ada apa, kenapa kamu sedih?" tanya Windarti sembari menatap Saraswati. "Win, bapakku punya hutang dengan juragan Broto, bila aku tidak bisa membayar, maka aku akan di jadikan istrinya sebagai jaminan untuk membayar hutang bapakku." "Dasar, gila! Bapakmu gak waras, ya!Memangnya bapakmu hutang uang berapa, ke juragan Broto?" Windarti kesal m