Di sepetak ruangan yang gelap, terdapat sebuah meja berbentuk lingkaran. Meja itu berukuran besar dan hanya diterangi oleh cahaya yang berwarna kekuningan, berasal dari langit-langit atap. Beberapa lembar kartu poker dan tumpukan uang senilai 5 juta tergeletak di atas meja. Seorang pria berkumis tebal mengenakan trench coat hitam dan topi fedora berjenis homburg, duduk menyilangkan kaki di depan seorang wanita dengan jarak 3 meter.
Iris mata tajam dimiliki oleh wanita yang menatap pria berkumis tebal, jaket kulit berwarna hitam pekat dan topi baseball hitam membalut tubuhnya. Wanita kelahiran 5 Januari 2001 itu bernama Aghata Yudistira. Ia mempunyai karakter yang jenius, pemberani, tenang, dan tak pandang bulu dalam hal apa pun. Kegeniusan yang dimiliki membuat Aghata lihai dalam segala hal termasuk meretas.
Dibalik nama Aghata yang indah, terdapat arti yang mendalam. Kata Aghata diambil dari bahasa Kanada yang artinya kejut, kata kejut juga mengartikan setiap hal yang Aghata lakukan penuh dengan kejutan. Sedangkan kata Yudistira diambil dari nama belakang ibunya yaitu Mimi Yudistira.
“Aku dengar kamu banyak dicari oleh pengusaha-pengusaha kaya untuk ditantang bermain kartu poker. Apa hanya itu jumlah uang yang kamu bawa? Sedikit sekali!” ucap pria berkumis tebal di akhir kata sambil mencibir. Ujung alisnya sebelah kiri terangkat sedikit, pria itu menyeringai hingga menunjukkan sebagian gigi yang berwarna kuning.
“Entahlah, padahal tidak ada yang istimewa dariku. Dan kamu? Kenapa juga kamu mencariku sampai ke kota ini?” Aghata melirik jumlah uang yang dibawanya. “Sedikit katamu? Dengan modal segini, aku bisa membuat penuh isi tasku dengan uangmu. Kita lihat saja nanti, bagaimana aku membalikkan keadaan!”
Mata pria berkumis tebal membelalak, semua gigi terlihat ketika tawanya menggelegar sampai penjuru ruangan. Hanya dengan beberapa detik ruangan itu kembali menjadi hening. Huruf x di kaki pria itu terpisah, bersamaan dengan kedua siku tangan diletakkan di atas meja.
“Mari kita lihat, apa kamu bisa mendapatkannya?” Tantang pria berkumis tebal. Telapak tangan yang besar menepuk segepok uang miliknya di atas meja. Suara uang yang ditepuk membuat Aghata semakin bersemangat.
Pria berkumis tebal menetapkan permainan selama 5 ronde, dan pemain dengan kemenangan terbanyak akan menjadi pemenangnya. Kini sudah memasuki ronde ke empat, Aghata sengaja mengalah 2 ronde untuk memperseru keadaan. Sekali-kali ia mengalah untuk memuaskan lawan. Toh, akhir permainan akan dimenangkan oleh Aghata.
Dan ternyata benar, pria berkumis tebal yang ada di depannya terlihat senang. Ekspresi wajahnya menunjukkan tingkat percaya diri yang tinggi, seolah ia berhasil mengimbangi kemampuan Aghata yang tersohor.
Suasana kembali mencekam, ronde terakhir ini adalah ronde penentuan. Apakah analisa Aghata kali ini tepat? Bahwa ia pasti menang? Atau dia sedang menggali kuburannya sendiri?
Pria berkumis tebal itu mengerutkan keningnya, ia sedang memperhitungkan kartu Aghata yang sudah terbuang. Dan setelah beberapa menit menimbang-nimbang, ia merasa yakin bahwa kartu yang dipegang oleh Aghata tidak akan lebih bagus dari kartu miliknya!
“Maaf bocah, aku harus mengeluarkan kartu ini yang membuatmu kalah!” Pria berkumis tebal menyeringai sambil meletakkan kartu three of a kind. Ia mengangkat kaki kiri, dan meletakkannya di atas lutut kaki kanan yang menekuk.
“Sayang sekali ... kenapa kamu mengeluarkan kartu itu?” Aghata berkata sambil memasang ekspresi sedih. Ia membuka kartu yang sedang dipegangnya lalu tertawa terbahak! Kartu yang dibuka menunjukkan kartu full house! Dan mengalahkan kartu three of a kind yang dipegang oleh pria berkumis tebal itu.
Dalam permainan kartu poker, terdapat urutan kartu poker terbaik untuk memenangkan permainan. Urutannya mulai dari yang tertinggi sampai paling rendah yaitu royal fulsh, straight fulsh, four of a kind, full house, fulsh, straight, three of a kind, two pair, pair, dan high card.
Pemain harus menyerahkan kartu terbaik dengan posisi yang lebih tinggi dari kartu lawan, dengan begitu pemain bisa mengalahkan lawannya. Sama seperti dengan Aghata, ia menyerahkan kartu full house yang merupakan kartu terbaik dengan posisi lebih tinggi dari three of a kind.
Terpampang jelas kemarahan yang menggebu-gebu di wajah pria berkumis tebal, ia menatap Aghata yang sedang terkekeh. Telapak tangan Aghata terbuka lebar meraup uang yang berserakan di atas meja, tas hitam di tangannya siap menampung beban.
Sebelum pergi, Aghata sempat berkata, “Baru-baru ini aku sedang menyukai bahasa Italia, dan ada kata-kata mutiara yang cocok untukmu. ‘Goditi la vita in sicurezza’ yang artinya nikmati hidup dengan aman! Ingatlah kata-kata itu, Tuan Baron!” Mata Aghata menatap tajam.
Kaki Aghata berjalan mundur membuka pintu ruangan, bibirnya mengulas senyum untuk meninggalkan jejak sebelum pergi dari ruangan itu. Ketika Aghata sudah keluar dari ruangan, pria dengan nama Baron berdiri dari tempat duduknya. Ia meraih ponsel di saku celana untuk melakukan sebuah panggilan pada seseorang.
“Bobi, bunuh seorang wanita bernama ...”
Brakk!!!
Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka lebar. Baron berdiri tepaku melihat seorang wanita bertopeng dengan tubuh yang cukup tinggi masuk ke dalam ruangannya. Wanita itu berjalan mendekati Baron. Di tangannya melekat sebuah pistol desert eagle yang membuat jantung Baron berdegup kencang.
“Siapa kamu?” Suara Baron terdengar gemetar.
Wanita itu menyeringai melihat ketakutan di wajah Baron. Kaki Baron perlahan mundur sampai ia tersandung dan jatuh ke lantai. Baron membenarkan tubuhnya untuk berlutut di depan wanita itu. Pistol yang di tangan wanita itu diletakkan di kening Baron. Sementara jari lentiknya menarik pelatuk yang siap untuk meledakkan kepala Baron kapan saja.
“Halo! Tuan Baron? Siapa wanita yang Anda maksud, Tuan?” Terdengar suara samar Bobi di seberang sana. Namun Baron tidak mampu mengatakan apapun. Kondisinya sudah di ujung tanduk. Sekali saja ia mengucapkan sepatah kata, bisa dipastikan isi kepalanya akan tertumpah keluar.
“Matikan teleponnya, dan jangan bertindak apapun!” perintah wanita itu.
Tak ada yang bisa dilakukan selain menuruti perintah wanita itu, Baron menutup teleponnya dengan Bobi. Ia pikir bisa mengambil sisi lengah wanita itu dengan menyelipkan ponsel di saku belakang, bersamaan dengan sebuah revolver yang diambil. Tangannya berusaha cepat mengkokang peluru. Akan tetapi ...
DOR!!!
Pistol desert eagle yang dipegang wanita itu memuntahkan peluru lebih dulu. Darah segar bersimbur dari kepala Baron. Percikan darah yang keluar memberi motif pada dinding putih ruangan itu. Tubuh Baron tersungkur ke lantai.
Wanita itu berjalan menghampiri genangan merah yang mengalir berasal dari kepala Baron. Ia menendang tulang kering kaki Baron, memastikan Baron sudah meninggal.
“Kamu terlalu banyak bicara!” Wanita itu memendam desert eagle di balik sabuk celana dekat kantong belakang. Kakinya yang panjang menghancurkan ponsel Baron sampai berkeping-keping. Ia meninggalkan Baron yang sudah tak bernyawa sebelum polisi datang.
***
Di kota E, terdapat tumpukan tanah menjulang tinggi yang jauh dari keramaian. Hanya ada satu rumah yang berdiri tegak dengan dinding plesteran. Tidak terlalu sempit dan juga besar, bangunan itu cukup rapi dan terkesan sederhana. Rumah itu adalah tempat yang ditinggali oleh Aghata.
Di kursi panjang Aghata duduk bersila, tangannya terus mengeluarkan uang yang didapatkan dari Baron. Tak ada senyum yang timbul dari bibir merah mudanya, raut wajah Aghata hanya datar seperti kertas tak bermotif. Sedangkan pria di sebelah Aghata, ia masih terperanjat sejak Aghata pulang membawa tas hitam.
Pria itu bernama Andi Purnama. Dia adalah pria yang tampak ceroboh, penakut, dan terlihat seperti orang bodoh. Karena suatu alasan, di mana Aghata menyelamatkan nyawa Andi 1 tahun lalu, pada akhirnya Andi terus berada di sisi Aghata. Walaupun selalu berada di sisinya, bukan berarti ia tahu semua hal yang dilakukan Aghata.
Ada sebuah pepatah, jangan menilai makanan dari rupanya, tapi menilai rasa dari makanan itu. Andi memang tampak seperti orang bodoh, tapi kebodohan itu merupakan suatu trik untuk memanipulasi lawan. Dia memiliki kepribadian ganda yang tangguh dan bisa diandalkan.
“Wah! Apa kamu menang dalam permainan lagi?” tanya Andi. Matanya terus membelalak melihat nominal uang di tangan Aghata.
“Tentu saja!” Tas hitam dilempar begitu saja setelah uang di dalamnya keluar semua. Aghata mendorong tubuhnya bersandar di bantal yang ada di belakang.
Andi kerap melirik Aghata, raut wajahnya memang tidak terlihat menyembunyikan sesuatu, akan tetapi Andi merasa aneh setiap kali Aghata pulang membawa tas berisi uang. “Kamu tidak berbuat hal yang membahayakan dirimu, ‘kan?”
Aghata hanya membalas dengan senyum setengah, ia beranjak dari kursi mengambil minum di atas meja belakang. Segelas air penuh diteguk dengan segera, tubuh Aghata berbalik ke belakang melihat Andi sambil berkata, “Tenang saja, aku tidak mungkin membahayakan diriku sendiri.”
Gelas di tangan Aghata kembali diletakkan di atas meja, ia bergegas untuk membersihkan dirinya. Sedangkan Andi, ia sibuk membereskan barang yang baru saja dipakai oleh Aghata. Tangannya hampir saja menyentuh sepatu Aghata, akan tetapi terdapat bercak darah di ujung sepatu yang dikenakan Aghata.
Andi mengangkat sepatu Aghata dengan satu tangan, jari telunjuk sebelahnya mengusap darah itu. Warna darahnya terlihat merah pekat dan masih segar. Ia mendekatkan jari telunjuk yang terkena darah ke hidung, bau anyir dari darah itu membuat kening Andi berkerut. Sebenarnya apa yang dilakukan Aghata sampai ada bercak darah di sepatunya?
"Andi?" panggil Aghata.
Celah pintu kamar mandi terbuka lebar, Aghata keluar sambil mengeringkan rambut yang basah dengan handuk. Kening Aghata berkerut, ia melihat Andi sedang terpaku sambil memegang sepatu miliknya. Andi tergegap-gegap saat Aghata menghampirinya. “K-kamu sudah ... selesai?” tanya Andi. Jari telunjuknya yang terkena darah di sembunyikan di belakang punggung, ia melihat ke arah lain. Aghata menyipitkan matanya melihat Andi yang bertingkah aneh, tapi kemudian ia acuh tak acuh. “Aku baru saja selesai, tapi aku akan pergi lagi keluar membeli sesuatu.” Aghata meraih jaketnya yang disampirkan di bahu kursi. Ia langsung merampas sepatu miliknya di tangan Andi dan segera pergi tanpa sepatah kata. Setelah memakan waktu untuk berpikir, Andi memutuskan untuk mengikuti Aghata secara diam-diam. Ia langsung mengenakan jaket dan topi menyusul Aghata sambil berlari.
Kerutan di kening Aghata mulai menghilang, wajahnya menjadi pucat pasi sedikit gugup. “Aku apa?” tanya Aghata. Apa kamu ada kaitannya dengan kasus malam ini? Seharusnya Andi bertanya hal itu, tapi dipendam kembali dalam hati dan menukarnya dengan sebuah tawaran. “Apa kamu ingin ke rumah sakit? Aku takut lukanya lebih parah dari dugaanmu,” saran Andi. Diam-diam Aghata menghela napasnya, ia pikir Andi akan menanyakan hal yang penting karena wajahnya mendadak jadi sangat serius. Keringat bahkan turun membasahi pelipis Aghata. Jika dilihat dari berbagai sudut, luka di lengan Aghata akan membuat orang lain salah paham, dan mengira ia terlibat dalam kasus pembunuhan malam ini. “Aghata! Kenapa diam saja? Apa lukanya semakin sakit?” Tangan Andi melambai-lambai di depan wajah Aghata. “Tidak terlalu sakit, kita pulang sekarang! Aku akan m
Pria bertubuh besar dan wanita itu langsung berpaling melihat seorang pria di belakang pria bertubuh besar. Dan tentunya benar! Nama dari wanita bertopeng adalah Aghata. Kini bertambah satu orang lagi yang mengetahui identitas Aghata sebagai wanita bertopeng. Mata Aghata dan pria itu bertemu, beradu dengan mulut yang membisu. Tatkala kegelisahan datang, Aghata berkata, “Andi?” Tepat sekali! Pria yang berdiri terpaku di belakang pria bertubuh besar adalah Andi, seseorang yang dianggap sebagai keluarga oleh Aghata. Andi tak bisa berkata-kata, lidahnya terasa kelu dan tenggorokan terasa kering. Dibanding dengan rasa takut ketika dikepung, Aghata lebih takut jika identitasnya diketahui, terlebih lagi oleh orang yang berharga bagi dirinya. Sementara pria berkumis tipis di belakang Aghata bangkit, mengambil pisau yang tergeletak di lantai. Ujung pisau yang tajam melayan
“Jangan bicara sekarang! Bisa saja ruangan ini sudah disadap seseorang,” sela Andi membuat Aghata berhenti bicara. “Aku memang tidak berniat menjelaskan di sini.” Aghata menjawab dengan dingin. Andi berdecak sambil menatap Aghata dengan tajam. Tiba-tiba Andi merasakan rasa sakit yang menjulur ke seluruh tubuhnya, ketika berusaha mengingat saat tertikam dan jatuh di pangkuan Aghata. Dan untuk pertama kali Andi bisa melihat tatapan hangat dari sosok Aghata yang lebih cenderung bersikap dingin. Berapa banyak lagi kepingan misteri yang Aghata sembunyikan? Wanita yang cantik di depannya, bukanlah wanita yang hanya memikirkan percintaan. Akan tetapi di mata Andi, Aghata adalah wanita yang mempunyai banyak rahasia. “Aku akan pesankan makanan untukmu, karena aku tahu makanan rumah sakit sangatlah tidak enak rasanya.” Aghata beranjak dari kursi sambil merapihkan rambutnya.
Sesekali Andi menyapu helai rambut dengan sela-sela jari, menarik rambutnya sedikit melepas rasa pening di kepala. Dengus napas kerap terdengar berat, Andi tak bisa berkata-kata mendengar semua kebenaran tentang Aghata. Mengingat berapa banyak orang yang Aghata bunuh, tubuh Andi bergetar tanpa perintah. “Apa kamu merasa takut padaku sekarang?” tanya Aghata menatap Andi. Andi berdeham saat Aghata mengetahui keadaannya sekarang. “Ke-kenapa kamu tanya hal itu? Bukan bertanya aku kecewa atau tidak padamu?” tanya Andi sedikit gugup. “Daripada kecewa sepertinya kamu menjadi takut padaku, sejak aku menyelimutimu saat di rumah sakit,” ucap Aghata membuat Andi tertegun. Andi memalingkan wajahnya, kemudian melihat Aghata kembali. “Lalu apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?” Aghata beranjak dari kursi.
Peluru pistol desert eagle di tangan Aghata berdesing, menembus pakaian pria yang berdiri di ujung kiri tepat di dada. Tindakan Aghata membuat semua orang terkejut, Aghata menatap pria yang ditembaknya dan berkata, “Jangan sebut nama ibuku dengan mulut kotor kalian!” kecam Aghata sambil menatap satu per satu pria di depannya. Empat pasang roda kecil di bawah kursi mulai bergetar. Pria yang duduk di atasnya melihat Aghata dengan raut wajah yang berbeda. Mata pria itu dan mata Aghata bertemu. “Psikopat! Dasar wanita psikopat!” cemooh pria itu menatap Aghata. “Psikopat?” Iris mata Aghata menatap tajam, bibirnya menyeringai. “Apa itu? Panggilan baru untukku? Kalau begitu terima kasih, tapi aku tak menyukainya!” tolak Aghata. Pria berkacamata yang dipanggil dengan nama Regi mengkatup rahangnya, ia menatap tajam Aghata sambil berkata, “Dari mana
“Aku akan tetap di sini!” jawab Andi cepat. Setelah mendapat jawaban Andi, Aghata membuka paksa mulut Regi, memasukan moncong pistol ke dalam mulut. Tentu saja kali ini Aghata tidak akan menembak di dada Regi, melainkan langsung menyuruh Regi menelan peluru setelah Aghata menekan pelatuk pistol. Sontak Andi menutup mata dengan tangan, ia bahkan lupa menutup telinganya. DOR!!! Desing peluru terdengar nyaring akibat moncong pistol tidak terlalu dalam. Perlahan Regi memuntahkan darah dari mulutnya, hingga terjun ke lantai menjadi genangan darah. Aghata perlahan menjauhkan diri dari mayat Regi, ia tak ingin mengotori pakaiannya dengan darah. Dari kejauhan, Andi terjatuh ke lantai karena tak bisa menahan tubuhnya yang melemas. Ia tak menyangka akan berada dalam situasi yang membuatnya benar-benar tak berdaya. Belum lagi ingatan saat ditikam
“Ampuni aku tolong! Ampun!” mohon pria itu bersujud di lantai. “Siapa yang mengirimmu datang ke sini? Cepat katakan!” gertak Aghata dengan nada meninggi. “Tidak ada yang mengirimku ... aku ... aku datang secara pribadi menemuimu, Nona!” Pria itu menangis, kedua telapak tangan menyatu di atas kepala. “Apa tujuan kamu menemuiku? Berani sekali orang kepercayaan Nando datang ke sini!” murka Aghata menatap tajam. “Aku melihat ciri-ciri pembunuh ibu Nona.” Aghata mengerutkan keningnya, ia meletakkan mocong revolver di kepala pria itu. “Ceritakan semua yang kamu tahu, tanpa terkecuali!” perintah Aghata. “Dua jam sebelum ibumu disekap, aku mendapat sebuah pesan berisi perintah. Orang dalam pesan itu menyuruhku menyekap ibumu. Saat itu aku berusaha melacak nomor itu,
Hello everyone ... Setelah 4 bulan aku males-malesan dan sakit selama seminggu, akhirnya cerita KILLER MASK selesai ... horeee >< Aku selaku penulis cerita KILLER MASK mengucapkan banyak terima kasih kepada para pembaca dan yang udah support ceritaku sampai selesai. Mohon maaf bila ada kesalahan dalam penulisan maupun typo dalam cerita. Aku harap kalian bisa ikut terbawa dalam suasana dalam cerita, tapi kekerasan di dalam cerita tidak untuk dicontoh yaaa ... Dan buat yang belum selesai baca silahkan dilanjutkan, ga baik baca setengah-setengah apalagi buat perawan, nanti dapet suami yang brewokan loh ... tapi kalo dapet sugar daddy lain cerita yaa bund wkwkwk Pantau terus akunku yaa, siapa tahu bakal ada cerita baru :) Salam, Degitarius.
Terdengar ledakan dari dalam bangunan tempat Clarista disekap. Ledakan itu menyemburkan bara api dari atap. Perlahan Si Jago Merah melahap seisi bangunan itu hingga luar. Kris dan pengawalnya terkejut melihat api sudah menyala besar, begitu juga dengan Andi. Dia masih tercengang sampai kayu penyanggah atap di luar mulai roboh. “Aghata!” gumam Andi yang hampir melupakannya di dalam sana. Andi berlari menuju kobaran api yang semakin besar, namun Kris dengan cepat menahan Andi. Baru tersadar mengapa Aghata menyuruh Andi meminta semua orang menjauh dari bangunan itu, ternyata Aghata berniat meledakkan bangunan itu. Lalu bagaimana dengan Aghata sendiri? Apakah dia masih terjebak di dalam? Andi tak bisa hanya berdiam diri. Dia terus meronta agar bisa lepas dari cengkeraman Kris. Tapi tak lama ada bayangan seseorang keluar dari asap tebal yang menutupi bangunan itu. Soro
Seperti sedang deja vu. Seorang pria dengan pakaian tertutup berdiri di depan pandangan Aghata, sementara Glen memeluknya sampai terasa cengkeraman baju yang kuat. Terbesit satu ingatan di kepala Aghata, yaitu saat Andi memeluknya untuk menjadi perisai ketika Aghata ingin ditikam. Posisi yang hampir sama tapi dengan orang yang berbeda terjadi saat ini. Aghata masih tercengang melihat pria di depannya dengan jarak yang hanya satu setengah meter. Dia tersadar akan pria itu yang semakin mundur. Matanya melirik ke bawah dengan ragu, melekat di tangan pria itu sebuah pisau yang sudah berlumuran darah. “Ahk!” rintih Glen tiba-tiba. Aghata tersentak. Tangannya perlahan meraba punggung Glen. Basah dan likat. Mata Aghata terbelalak melihat simbah darah di tangannya. Firasat Aghata berkata benar, bahwa Glen mengorbankan dirinya agar pisau itu tidak mengenainya. Tubuh
Terdapat bangunan yang hanya ada 4 petak ruangan, berdiri tegak nan jauh dari kota atau bangunan lain. Bangunan itu terletak di bukit yang tak jauh dari pelabuhan, namun tak banyak yang tahu keberadaan bangunan itu, pemiliknya adalah Kris. Sekitar 10 orang tengah berjaga mengelilingi bangunan itu, mereka adalah anak buah Kris. Di salah satu ruangan, Clarista duduk di kursi dengan tangan dan kaki terlilit tali. Kelopak matanya perlahan terbuka, mendongakkan kepala. Dia menatap nanar ruangan yang asing baginya. Mata Clarista memindai ruangan itu, terdapat tumpukan kotak yang biasa digunakan untuk menyimpan ikan. Kotak itu menimbulkan bau amis yang membuat kening Clarista mengernyit. Terdengar samar di telinga, seseorang berjalan dari arah belakang. Merambah bahu Clarista seraya terus berjalan ke depan. Kukunya yang panjang sedikit menancap di bahu Clarista. Clarista mendongak sedikit mengekor punggung seo
Desing peluru terdengar sampai penjuru halaman rumah Nando. Seisi rumah Nando menjadi heboh akibat suara tembakan berasal dari ruang kerja Nando, begitu juga Anderson yang membelalakkan matanya. Dia teringat dengan Nando yang tidak menghabiskan makanannya dan langsung pamit untuk pergi ke ruang kerja. Begitu juga dengan Sang Ibu, Natalia, yang berkata ingin mengambil barang di ruangan Nando. Firasat buruk datang menghantui. Anderson cepat berlari menuju ruang kerja Nando. Namun dia malah bergeming di simpang tiga, yang ke arah kanan menuju ruangan Nando. Dia berhadapan dengan Aghata yang sama-sama terkejut. Anderson melihat ke sisi kanan, mendapati Natalia sedang menodongkan revolver. Dia tak percaya orang yang berada tepat di depan Natalia adalah Nando. Cairan berwarna merah pekat mengalir deras melalui dada Nando. Tangannya bersimbah darah menahan plasma merah yang pecah di dada. Namun akhirnya dia tu
Sebuah kebenaran yang sangat mengejutkan. Belum sempat menenangkan diri setelah melihat jubah hitam dan masker yang bersimbah darah kering, Aghata kembali dikejutkan dengan berkas warisan di tangan. Dalam berkas itu tertulis perusahaan Alto Grup murni milik Bramasta, ayah kandung Mimi Yudistira. Ketentuan warisan sendiri akan diberikan secara turun temurun. Jika ada keturunan yang masih hidup maka dia berhak mendapatkan warisan. Itu artinya Aghata mempunyai hak untuk mendapatkan warisan itu. Dia langsung memasukkan berkas itu ke dalam koper dan mengambil jubah serta masker tanpa membawa kotaknya. Aghata kembali merapihkan kamar Nando yang sedikit berantakan karena ulahnya. Lalu segera keluar dari ruang kerja Nando. Aghata pergi ke kamarnya menaruh berkas, jubah, dan masker di dalam sebuah kotak yang berisi barang bukti. Kotak itu akan digunakan untuk mengembalikan semua yang seharusnya menjadi miliknya.
Clarista berdiri dan mengusap kepala Aghata seraya tersenyum. “Nanti akan saya jelaskan di sana,” ucapnya. Dia keluar memberi waktu Aghata untuk berkemas. Aghata kembali menurut dan cepat mengemasi barang-barangnya. Dia membawa koper besar menghampiri Clarista yang sudah menunggu di depan mobil. Mereka langsung bergegas menuju bandara. Setelah tiba di bandara, Clarista mengantar Aghata hingga loker pemesanan tiket. Dia memastikan barang bawaan Aghata sudah terbawa semua. Sedangkan Aghata celingukan seperti orang bodoh yang memakai masker dan topi. “Kenapa kita ke sini? Apa kita sedang menunggu orang? Atau kita akan pergi ke suatu tempat?” tanya Aghata. “Bukan kita, tapi hanya Nona,” jawab Clarista. “Aku?” Menunjuk diri sendiri. “Kenapa aku harus pergi?” tanya Aghata.
Kediaman pemimpin Alto Grup, 25 November 2016. Satu tahun setelah pernikahan Sang Ibu dengan pria dari keluarga terpandang, Nando Setyoko. Kala itu usia Aghata menginjak 15 tahun. Dia keluar kamar untuk mencari Sang Ibu tercinta. Sudah seharian dia tidak melihat batang hidung ibunya. Dicarilah Sang Ibu ke seluruh ruangan di dalam rumah, tapi tidak menemukannya. Sampai akhirnya mencari ke halaman depan rumah. Namun masih belum menemukannya. Aghata malah melihat seorang pria mengenakan jas hitam keluar dari mobil. Bibirnya mengulas senyum dan berlari menghampiri pria itu yang disebut sebagai Ayah. Matanya berbinar menatap lekat sosok Ayah di hadapannya. “Ayah habis dari mana?” tanya Aghata. “Bertemu dengan teman bisnis,” sahut Nando. “Oh, tapi ... kenapa wajah Ayah terlihat s
“Ini surat undangan pernikahan untuk Anda,” kata Aghata. Nando terkejut dan langsung merampas kertas di tangan Aghata. Dia membaca isi surat itu dan benar bahwa surat itu adalah undangan pernikahan. Teman bisnisnya yang tinggal di Kota C mengundang Nando untuk datang ke pernikahan putrinya. Acara akan diadakan besok sore di Kota C. Mau tidak mau Nando harus datang. Sia-sia Nando gelisah dengan isi surat itu. Dia pikir surat itu akan berisi ancaman dari si pelaku teror. Bahkan untuk menghela napas pun tidak merasa tenang. Sementara Aghata bisa melihat wajah Nando yang menegang sebelum tahu isi surat itu. “Apa Anda baik-baik saja? Anda terlihat pucat,” tanya Aghata. “Tidak apa-apa. Apa kau akan ikut ke pesta pernikahan rekan bisnisku?” tawar Nando. “Tidak perlu. B