Kerutan di kening Aghata mulai menghilang, wajahnya menjadi pucat pasi sedikit gugup. “Aku apa?” tanya Aghata.
Apa kamu ada kaitannya dengan kasus malam ini? Seharusnya Andi bertanya hal itu, tapi dipendam kembali dalam hati dan menukarnya dengan sebuah tawaran. “Apa kamu ingin ke rumah sakit? Aku takut lukanya lebih parah dari dugaanmu,” saran Andi.
Diam-diam Aghata menghela napasnya, ia pikir Andi akan menanyakan hal yang penting karena wajahnya mendadak jadi sangat serius. Keringat bahkan turun membasahi pelipis Aghata. Jika dilihat dari berbagai sudut, luka di lengan Aghata akan membuat orang lain salah paham, dan mengira ia terlibat dalam kasus pembunuhan malam ini.
“Aghata! Kenapa diam saja? Apa lukanya semakin sakit?” Tangan Andi melambai-lambai di depan wajah Aghata.
“Tidak terlalu sakit, kita pulang sekarang! Aku akan mengobatinya di rumah,” jawab Aghata.
***
Di dalam kamar, Aghata duduk seorang diri di tepi ranjang. Ia mengoleskan obat di lengan yang terluka. Rambutnya menari-nari ketika angin menyapa melalui jendela kamar yang terbuka. Ujung kapas pembersih ketika menyentuh luka di lengan membuatnya meringis kesakitan.
Dari balik pintu, Andi melihat Aghata sedang kesusahan saat membalutkan perban di lengan. Ia menghampiri Aghata sambil membawakan teh hangat. Dengus napasnya terdengar sampai ke telinga Andi, menyerah untuk membalut perban yang selalu lepas.
Andi menaruh teh di meja, kemudian duduk di sebelah Aghata, merampas perban di tangannya. Lengan Aghata sedikit diangkat untuk mempermudah Andi membalutkan perban. Sentuhan tangan Andi sangat lembut hingga Aghata tidak merasakan sakit. Dan entah kenapa, Aghata merasa canggung dengan perlakuan Andi.
Jika dilihat lebih dekat, bulu mata Andi ternyata sangat tipis. Hidungnya juga mancung, dan lesung pipinya sangat dalam ketika sudut bibir ditarik. Tindakan Andi yang selalu khawatir setiap kali Aghata terluka, kadang kala membuatnya melihat Andi sebagai pria. Namun Ia kembali menyangkal perasaan yang lebih dari teman, karena bagi Aghata, Andi sudah dianggap sebagai keluarga .
Andi berkata, “Sepertinya lingkungan tempat tinggal kita sudah mulai berbahaya. Apa kamu mempercayai perkataan ibu tadi, kalau anaknya melihat pelaku itu adalah wanita? Mana ada wanita yang berani membunuh seseorang? Bisa saja anak ibu itu salah lihat, ‘kan?”
“Memangnya kenapa kalau pelakunya adalah wanita?”
“Bukan begitu, hanya saja mayoritas para penjahat adalah laki-laki.”
“Penjahat itu pasti mempunyai alasan tersendiri. Tidak semua alasan mereka menjurus dalam hal negatif, ada beberapa dari penjahat melakukannya karena memang harus,” sangkal Aghata.
“Aku baru tahu ada alasan seperti itu. Apa kamu juga memiliki alasan tersendiri ketika melakukan hal negatif?” tanya Andi tiba-tiba. Ia menatap bola mata Aghata, memerlukan jawaban jujur darinya.
“Aku sudah mengantuk dan ingin tidur, keluarlah dari kamarku!” Aghata berdalih dengan nada dingin. Ia menaikkan kedua kaki ke atas ranjang, berbaring dengan posisi membelakangi Andi. Mata Aghata menutup setelah menarik selimut, membiarkan Andi termenung seorang diri di tepi ranjang.
Andi tahu, seharusnya ia tidak bertanya hal itu. Walaupun hubungan Andi dengan Aghata sudah seperti keluarga, akan tetapi bertanya dengan niat mencurigai bukanlah tindakan yang baik.
***
Sinar mentari pagi itu menembus tirai jendela kamar Aghata, membuat kedua alis yang hitam hampir menyatu. Ia meletakkan punggung tangan di atas kelopak mata, menutupi sinar mentari yang menyorot ke wajahnya. Aghata bangun sambil merenggangkan tangan. Terdapat roti isi dan segelas susu putih di atas meja sebelah lemari baju, membuat Aghata tergiur untuk menyantapnya. Aghata melahap roti isi sambil membawa susu putih di tangan untuk keluar kamar.
Aghata mendapati Andi sedang duduk di ruang tamu, melihat berita yang disiarkan melalui TV. Ia berjalan menghampiri Andi, kemudian duduk di sebelahnya dengan kaki menyilang.
“Terima kasih sudah membuatkanku sarapan,” ucap Aghata. Mata Andi berpaling melihat Aghata, seperti biasa ia masih melontarkan senyuman yang hangat.
Reporter wanita di TV menyiarkan berita, tentang ditemukannya mayat pria di dalam ruangan, di suatu bar terkenal yang ada di kota E bagian selatan. Diduga pria tersebut adalah korban tembak lari. Pihak polisi berusaha mencari pelakunya, akan tetapi pegawai bar mengaku kalau CCTV ruangan itu sempat mati pada saat kejadian. Kini polisi kewalahan mencari bukti yang hilang.
Andi melirik Aghata setelah menonton berita itu, berharap ia menunjukkan reaksi yang berbeda. Akan tetapi Aghata tetap fokus menonton berita tanpa ekspresi. Kemudian Andi tiba-tiba mengganti saluran TV membuat Aghata menatap dengan sinis, kenapa ia mengubah salurannya padahal berita itu lumayan bagus? Namun, berita yang kedua juga tak kalah bagus, kejadian semalam tentang pembunuhan tiga pria di dekat rumahnya kini disiarkan. Mata Aghata dan Andi kembali terfokus pada TV.
“Bagaimana bisa kasus pembunuhan terjadi dua kali dalam sehari? Terlebih lagi dia membunuh korban dengan kejam menggunakan pistol,” gerundel Andi meletakkan kakinya di meja.
“Dunia tidak selalu berisi orang-orang baik, Andi. Jadi kamu harus terbiasa, semisal terjadi pembunuhan di rumah ini.” Aghata membuat Andi tertegun.
“Kenapa kamu bicara hal yang menakutkan seperti itu?” Andi menggerutu sambil meletakkan kedua tangan di atas dadanya.
Aghata terkekeh melihat Andi ketakutan, ia beranjak dari kursi sambil berkata, “Hari ini aku menghabiskan waktu dengan tidur, jadi jangan berani coba menggangguku!” Jari telunjuk Aghata mengacung ke wajah Andi, kemudian meninggalkannya yang kembali menonton berita.
Aghata menjatuhkan tubuhnya di ranjang dengan posisi telengkup. Dengus napas terdengar berat dipendam ke rongga-rongga selimut. Hari ini Aghata memutuskan untuk menghabiskan waktu seharian dengan tidur.
Hanya butuh beberapa menit, Aghata sudah menutup mata. Perlahan kesadarannya mulai hilang, ia tertidur lelap untuk waktu yang lama. Sesekali pintu kamar Aghata terbuka sedikit, membiarkan Andi melihat Aghata melalui celah pintu, melempar tatapan hangat dari kejauhan.
Hingga matahari berwarna kemerahan, Aghata membuka matanya. Ia bangun melihat hari sudah sore melalui jendela kamar. Iris mata yang tajam kini menjadi sayu, tubuhnya menggeliat.
Baru saja terbangun dari tidur, Aghata sudah meraih mantel oversized coat yang tersangkut di gantungan dalam lemari. Hanya karena ia menghabiskan waktu untuk tidur, bukan berarti ia tidak bosan tidur seharian. Ketika Aghata keluar kamar, ia mendapati Andi sedang menjahit lengan jaketnya yang robek semalam.
Pandangan Andi teralihkan oleh Aghata, keningnya berkerut. “Kamu mau ke mana sore-sore begini? Di luar sudah hampir malam,” tanya Andi.
“Tenang saja! Aku akan kembali sebelum larut malam. Aku harus membeli barang yang tidak jadi dibeli semalam.” Tangannya sibuk mengikat tali sepatu sampai tak melihat wajah Andi yang cemas.
“Apa aku perlu ikut?” tawar Andi.
“Tidak perlu! Aku bisa pergi sendiri, jangan khawatir!”
Andi hanya bisa menerimanya, meski di dalam lubuk hati merasa kecewa. Aghata melempar senyum tipis di bibir sebagai tanda pamit. Tak ada sepatah kata yang keluar lagi setelahnya.
***
Lampu jalanan menjulang tinggi dengan cahaya yang mulai meredup, kepingan salju berjatuhan di atas rambut hitam yang dibiarkan tergerai. Wajah cantik dari wanita itu bersemayam di balik sebuah topeng, berpadu warna hitam dan putih. Rahang yang runcing mengkatup rapat bibirnya agar tidak bergetar kala rasa dingin yang mencekam.
Wanita itu berhenti melangkah, ia meraih ikatan tali pada topeng ingin membukanya. Akan tetapi tidak dilanjutkan setelah melihat empat lelaki berdiri di hadapannya, sambil memegang revolver yang belum dikokang. Entah mereka datang dari mana, tetapi mereka terlihat sedang mencari seseorang melalui secarik kertas sebagai petunjuk.
Lelaki bertubuh besar melihat secarik kertas di tangan, ia sedang mencocokkan isi dalam kertas dengan wanita bertopeng yang berdiri di hadapannya. “Sepertinya benar dia orangnya, tersangka utama yang Regi lihat saat itu.”
“Siapa kalian?” tanya wanita, “kalau kalian mendekat ke arahku, aku akan teriak!” Kakinya sedikit mundur sambil mengancam.
Empat pria itu saling bertatap-tatapan memasang ekspresi bingung. Ditataplah wanita itu dari ujung kaki hingga kepala, perawakan dari si wanita memang serupa dengan yang tertulis di kertas, tapi cara pengucapan wanita di depannya sangat berbeda.
“Bukankah wanita itu yang menembak Tuan Baron? Tapi cara bicara wanita itu sangat berbeda sekali dengan yang tertulis di kertas ini,” kata lelaki bertubuh besar.
“Tetapi dari bentuk tubuh serta topeng itu mirip dengan petunjuk yang Regi berikan. Regi yang bertugas menjadi kaki tangan Tuan Baron hari itu sempat berpapasan dengan wanita bertopeng, setelah mendengar suara tembakan berasal dari ruangan Tuan Baron,” sambung pria berkumis tipis.
“Wanita bertopeng yang Regi lihat juga keluar melalui jalan yang menuju ruangan di mana Tuan Baron berada. Kita tidak boleh terbuai hanya karena cara bicara wanita ini berbeda dengan petunjuk dari Regi,” imbuh lainnya.
Hanya dengan nada yang sedikit berbeda, empat lelaki itu sudah terkecoh oleh jebakan wanita itu. Ia sengaja mengubah cara bicara, guna memastikan alasan mereka mencarinya. Lampu jalanan di atas kepala wanita itu terputus, kegelapan mendukung saat ia menyeringai tanpa terlihat.
“Jadi kalian adalah kaki tangan Tuan Baron? Harus aku akui ... kalian lebih lambat dari perkiraanku! Aku sarankan kalian cepat pergi dari hadapanku sekarang ... suasana hatiku sedang buruk!” Matanya menatap tajam di balik topeng sambil mengecam.
Dari jarak sekitar 3 meter, lelaki bertubuh besar membuang gulungan kertas di tangan, keningnya mengernyit. Ia berkata, “Hampir saja kita tertipu oleh wanita itu!”
Otot tangan empat pria itu terlihat ketika mengulurkan revolver ke arah si wanita di depannya yang berada di kegelapan. Jari mereka diletakkan pada pelatuk, tak segan untuk membidik kepala wanita itu.
Sedangkan wanita itu celingukan mencari letak CCTV berada, beberapa lampu jalan terpasang CCTV yang mengarah padanya. Ia memilih untuk berlari ke arah belakang, membuat aksi kejar-kejaran.
Wanita itu berlari menuju jalan yang mengarah ke sebuah gedung terbengkalai. Kepingan putih yang jatuh dari langit mengiringi setiap langkahnya. Jarak menuju gedung terbengkalai lumayan jauh dan memakan waktu sekitar 5 menit.
Ia masuk ke dalam gedung, berlari melewati setiap ruangan yang kosong dan gelap. Deru angin menyelimutinya yang bercucuran keringat. Ia berbelok ke kiri di simpang empat dalam gedung, mengarah ke lorong buntu yang terdapat kaca besar transparan. Kaca itu sudah berdebu, dan di baliknya terdapat tanah yang diselimuti salju dengan ketinggian dari lantai 3. Ia berbalik ke belakang, mendapati empat pria yang mengejarnya baru saja tiba.
“Mau lari ke mana lagi kamu? Jika kamu lompat ke sana, bukan hanya patah tulang tapi kamu akan mati,” kata salah satu pria, seakan wanita itu menjebak dirinya sendiri. Namun itu memang tujuan awal yang wanita itu buat, karena menyembunyikan identitas asli sangat berharga baginya. Maka dari itu dia mencari tempat yang pas agar leluasa dalam bertindak.
Iris mata yang tajam membuat wanita itu lihai dalam pertarungan di tempat gelap, bisa dibilang ia adalah makhluk bertaring yang keluar di kegelapan. Bola mata yang hitam miliknya seperti CCTV yang bisa melihat semua pergerakan musuh secara jelas.
“Aku sudah peringatkan kalian untuk pergi saja, tapi kalian tidak mendengarkan. Sekarang aku peringatkan kalian untuk tidak melukaiku! Jika hal itu terjadi ... aku tidak menjamin nyawa kalian selamat!” kecam wanita bertopeng.
Ucapan wanita itu ditangkap sebagai lelucon, empat pria di depannya terbahak! Tawa pria itu berubah menjadi hening, pria bertubuh besar memberi perintah, “Habisi dia!” Suaranya menggelegar sampai ke telinga wanita itu.
Serangan dari empat pria itu dilakukan secara bersamaan. Baku hantam sudah berlangsung selama 15 menit, dua pria berhasil dilemahkan oleh wanita bertopeng. Hal itu membuat pria berkumis tipis kesal dan mengeluarkan pisau. Pria itu berlari ke arah wanita itu dengan ujung pisau berada sejajar dengan rusuknya. Namun wanita itu menghindar, kakinya dengan cepat menepis pergelangan tangan pria itu, dan menendang bagian dada. Pria itu jatuh ke lantai bersamaan dengan pisau yang dipegang terlempar.
Sementara pria bertubuh besar mengambil kesempatan, merampas topeng di wajah wanita itu secara paksa. Ia terkejut dan melihat siapa yang berani mengambil topengnya. Pria bertubuh besar menyeringai puas bisa melihat wajah asli dari wanita bertopeng. Dan di sisi lain, seorang pria berdiri terpaku di belakang pria bertubuh besar melihat semua hal yang terjadi di lorong itu.
Mata pria itu langsung terfokus pada wajah wanita itu, ia berkata, “Aghata?”
Pria bertubuh besar dan wanita itu langsung berpaling melihat seorang pria di belakang pria bertubuh besar. Dan tentunya benar! Nama dari wanita bertopeng adalah Aghata. Kini bertambah satu orang lagi yang mengetahui identitas Aghata sebagai wanita bertopeng. Mata Aghata dan pria itu bertemu, beradu dengan mulut yang membisu. Tatkala kegelisahan datang, Aghata berkata, “Andi?” Tepat sekali! Pria yang berdiri terpaku di belakang pria bertubuh besar adalah Andi, seseorang yang dianggap sebagai keluarga oleh Aghata. Andi tak bisa berkata-kata, lidahnya terasa kelu dan tenggorokan terasa kering. Dibanding dengan rasa takut ketika dikepung, Aghata lebih takut jika identitasnya diketahui, terlebih lagi oleh orang yang berharga bagi dirinya. Sementara pria berkumis tipis di belakang Aghata bangkit, mengambil pisau yang tergeletak di lantai. Ujung pisau yang tajam melayan
“Jangan bicara sekarang! Bisa saja ruangan ini sudah disadap seseorang,” sela Andi membuat Aghata berhenti bicara. “Aku memang tidak berniat menjelaskan di sini.” Aghata menjawab dengan dingin. Andi berdecak sambil menatap Aghata dengan tajam. Tiba-tiba Andi merasakan rasa sakit yang menjulur ke seluruh tubuhnya, ketika berusaha mengingat saat tertikam dan jatuh di pangkuan Aghata. Dan untuk pertama kali Andi bisa melihat tatapan hangat dari sosok Aghata yang lebih cenderung bersikap dingin. Berapa banyak lagi kepingan misteri yang Aghata sembunyikan? Wanita yang cantik di depannya, bukanlah wanita yang hanya memikirkan percintaan. Akan tetapi di mata Andi, Aghata adalah wanita yang mempunyai banyak rahasia. “Aku akan pesankan makanan untukmu, karena aku tahu makanan rumah sakit sangatlah tidak enak rasanya.” Aghata beranjak dari kursi sambil merapihkan rambutnya.
Sesekali Andi menyapu helai rambut dengan sela-sela jari, menarik rambutnya sedikit melepas rasa pening di kepala. Dengus napas kerap terdengar berat, Andi tak bisa berkata-kata mendengar semua kebenaran tentang Aghata. Mengingat berapa banyak orang yang Aghata bunuh, tubuh Andi bergetar tanpa perintah. “Apa kamu merasa takut padaku sekarang?” tanya Aghata menatap Andi. Andi berdeham saat Aghata mengetahui keadaannya sekarang. “Ke-kenapa kamu tanya hal itu? Bukan bertanya aku kecewa atau tidak padamu?” tanya Andi sedikit gugup. “Daripada kecewa sepertinya kamu menjadi takut padaku, sejak aku menyelimutimu saat di rumah sakit,” ucap Aghata membuat Andi tertegun. Andi memalingkan wajahnya, kemudian melihat Aghata kembali. “Lalu apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?” Aghata beranjak dari kursi.
Peluru pistol desert eagle di tangan Aghata berdesing, menembus pakaian pria yang berdiri di ujung kiri tepat di dada. Tindakan Aghata membuat semua orang terkejut, Aghata menatap pria yang ditembaknya dan berkata, “Jangan sebut nama ibuku dengan mulut kotor kalian!” kecam Aghata sambil menatap satu per satu pria di depannya. Empat pasang roda kecil di bawah kursi mulai bergetar. Pria yang duduk di atasnya melihat Aghata dengan raut wajah yang berbeda. Mata pria itu dan mata Aghata bertemu. “Psikopat! Dasar wanita psikopat!” cemooh pria itu menatap Aghata. “Psikopat?” Iris mata Aghata menatap tajam, bibirnya menyeringai. “Apa itu? Panggilan baru untukku? Kalau begitu terima kasih, tapi aku tak menyukainya!” tolak Aghata. Pria berkacamata yang dipanggil dengan nama Regi mengkatup rahangnya, ia menatap tajam Aghata sambil berkata, “Dari mana
“Aku akan tetap di sini!” jawab Andi cepat. Setelah mendapat jawaban Andi, Aghata membuka paksa mulut Regi, memasukan moncong pistol ke dalam mulut. Tentu saja kali ini Aghata tidak akan menembak di dada Regi, melainkan langsung menyuruh Regi menelan peluru setelah Aghata menekan pelatuk pistol. Sontak Andi menutup mata dengan tangan, ia bahkan lupa menutup telinganya. DOR!!! Desing peluru terdengar nyaring akibat moncong pistol tidak terlalu dalam. Perlahan Regi memuntahkan darah dari mulutnya, hingga terjun ke lantai menjadi genangan darah. Aghata perlahan menjauhkan diri dari mayat Regi, ia tak ingin mengotori pakaiannya dengan darah. Dari kejauhan, Andi terjatuh ke lantai karena tak bisa menahan tubuhnya yang melemas. Ia tak menyangka akan berada dalam situasi yang membuatnya benar-benar tak berdaya. Belum lagi ingatan saat ditikam
“Ampuni aku tolong! Ampun!” mohon pria itu bersujud di lantai. “Siapa yang mengirimmu datang ke sini? Cepat katakan!” gertak Aghata dengan nada meninggi. “Tidak ada yang mengirimku ... aku ... aku datang secara pribadi menemuimu, Nona!” Pria itu menangis, kedua telapak tangan menyatu di atas kepala. “Apa tujuan kamu menemuiku? Berani sekali orang kepercayaan Nando datang ke sini!” murka Aghata menatap tajam. “Aku melihat ciri-ciri pembunuh ibu Nona.” Aghata mengerutkan keningnya, ia meletakkan mocong revolver di kepala pria itu. “Ceritakan semua yang kamu tahu, tanpa terkecuali!” perintah Aghata. “Dua jam sebelum ibumu disekap, aku mendapat sebuah pesan berisi perintah. Orang dalam pesan itu menyuruhku menyekap ibumu. Saat itu aku berusaha melacak nomor itu,
Clarista mengerutkan kening, setetes air bening turun membasahi pelipisnya. Kepanasan? Tentu saja tidak, karena ruangan itu dilengkapi pendingin ruangan. Sudut wajah Clarista yang mulai menegang bisa terlihat oleh Aghata, namun Clarista berusaha menutupi rasa tegang itu. “Bukankah ucapanmu sangat lancang? Kamu bisa ditahan atas pencemaran nama baik,” sangkal Clarista yang akhirnya menatap Aghata. “Benarkah?” “Apa maumu?” Clarista bertanya seolah melihat Aghata menginginkan sesuatu. “Saya lihat Anda menilai saya berbeda dengan yang lain, bukan begitu?” terka Aghata, “Anda bisa mempertimbangkanku untuk bekerja di sini dengan cara lain, misalnya menarik investor yang sulit sekali diajak bekerja sama,” usul Aghata. Clarista menatap Aghata dan berkata, “Kalau begitu silakan! Jika kamu berhasil, kam
“Aku bukan orang bodoh yang melakukan hal itu ... dan jangan tanyakan soal apa pun lagi padaku, kamu cukup terima saja hasilnya!” kecam Aghata berjalan ke kamar. Glen merasa tertegun oleh ucapan Aghata, sedangkan Andi hanya diam mendengarkan pembicaraan mereka. Bahkan Andi tidak tahu, apa yang dilakukan oleh Aghata sampai ST Grup mau menandatangani kontraknya? Cara violent yang dipakai Alto Grup saja, Andi tidak tahu-menahu. Di sisi lain Aghata sedang berbaring di ranjang dengan tangan yang merentang. Kelopak mata Aghata menutup iris matanya yang tajam. Sudah lama Aghata tak menginjakkan kaki di gedung Alto Grup, bukan rindu yang datang menyapanya melainkan amarah yang kian memuncak. Ia meraih ponsel di dalam saku celana, menelepon seseorang bernama Clarista. Begitu sudah terhubung, Aghata berkata, “Sampaikan pesanku pada Pak Anderson, suruh dia menungguku di ruan
Hello everyone ... Setelah 4 bulan aku males-malesan dan sakit selama seminggu, akhirnya cerita KILLER MASK selesai ... horeee >< Aku selaku penulis cerita KILLER MASK mengucapkan banyak terima kasih kepada para pembaca dan yang udah support ceritaku sampai selesai. Mohon maaf bila ada kesalahan dalam penulisan maupun typo dalam cerita. Aku harap kalian bisa ikut terbawa dalam suasana dalam cerita, tapi kekerasan di dalam cerita tidak untuk dicontoh yaaa ... Dan buat yang belum selesai baca silahkan dilanjutkan, ga baik baca setengah-setengah apalagi buat perawan, nanti dapet suami yang brewokan loh ... tapi kalo dapet sugar daddy lain cerita yaa bund wkwkwk Pantau terus akunku yaa, siapa tahu bakal ada cerita baru :) Salam, Degitarius.
Terdengar ledakan dari dalam bangunan tempat Clarista disekap. Ledakan itu menyemburkan bara api dari atap. Perlahan Si Jago Merah melahap seisi bangunan itu hingga luar. Kris dan pengawalnya terkejut melihat api sudah menyala besar, begitu juga dengan Andi. Dia masih tercengang sampai kayu penyanggah atap di luar mulai roboh. “Aghata!” gumam Andi yang hampir melupakannya di dalam sana. Andi berlari menuju kobaran api yang semakin besar, namun Kris dengan cepat menahan Andi. Baru tersadar mengapa Aghata menyuruh Andi meminta semua orang menjauh dari bangunan itu, ternyata Aghata berniat meledakkan bangunan itu. Lalu bagaimana dengan Aghata sendiri? Apakah dia masih terjebak di dalam? Andi tak bisa hanya berdiam diri. Dia terus meronta agar bisa lepas dari cengkeraman Kris. Tapi tak lama ada bayangan seseorang keluar dari asap tebal yang menutupi bangunan itu. Soro
Seperti sedang deja vu. Seorang pria dengan pakaian tertutup berdiri di depan pandangan Aghata, sementara Glen memeluknya sampai terasa cengkeraman baju yang kuat. Terbesit satu ingatan di kepala Aghata, yaitu saat Andi memeluknya untuk menjadi perisai ketika Aghata ingin ditikam. Posisi yang hampir sama tapi dengan orang yang berbeda terjadi saat ini. Aghata masih tercengang melihat pria di depannya dengan jarak yang hanya satu setengah meter. Dia tersadar akan pria itu yang semakin mundur. Matanya melirik ke bawah dengan ragu, melekat di tangan pria itu sebuah pisau yang sudah berlumuran darah. “Ahk!” rintih Glen tiba-tiba. Aghata tersentak. Tangannya perlahan meraba punggung Glen. Basah dan likat. Mata Aghata terbelalak melihat simbah darah di tangannya. Firasat Aghata berkata benar, bahwa Glen mengorbankan dirinya agar pisau itu tidak mengenainya. Tubuh
Terdapat bangunan yang hanya ada 4 petak ruangan, berdiri tegak nan jauh dari kota atau bangunan lain. Bangunan itu terletak di bukit yang tak jauh dari pelabuhan, namun tak banyak yang tahu keberadaan bangunan itu, pemiliknya adalah Kris. Sekitar 10 orang tengah berjaga mengelilingi bangunan itu, mereka adalah anak buah Kris. Di salah satu ruangan, Clarista duduk di kursi dengan tangan dan kaki terlilit tali. Kelopak matanya perlahan terbuka, mendongakkan kepala. Dia menatap nanar ruangan yang asing baginya. Mata Clarista memindai ruangan itu, terdapat tumpukan kotak yang biasa digunakan untuk menyimpan ikan. Kotak itu menimbulkan bau amis yang membuat kening Clarista mengernyit. Terdengar samar di telinga, seseorang berjalan dari arah belakang. Merambah bahu Clarista seraya terus berjalan ke depan. Kukunya yang panjang sedikit menancap di bahu Clarista. Clarista mendongak sedikit mengekor punggung seo
Desing peluru terdengar sampai penjuru halaman rumah Nando. Seisi rumah Nando menjadi heboh akibat suara tembakan berasal dari ruang kerja Nando, begitu juga Anderson yang membelalakkan matanya. Dia teringat dengan Nando yang tidak menghabiskan makanannya dan langsung pamit untuk pergi ke ruang kerja. Begitu juga dengan Sang Ibu, Natalia, yang berkata ingin mengambil barang di ruangan Nando. Firasat buruk datang menghantui. Anderson cepat berlari menuju ruang kerja Nando. Namun dia malah bergeming di simpang tiga, yang ke arah kanan menuju ruangan Nando. Dia berhadapan dengan Aghata yang sama-sama terkejut. Anderson melihat ke sisi kanan, mendapati Natalia sedang menodongkan revolver. Dia tak percaya orang yang berada tepat di depan Natalia adalah Nando. Cairan berwarna merah pekat mengalir deras melalui dada Nando. Tangannya bersimbah darah menahan plasma merah yang pecah di dada. Namun akhirnya dia tu
Sebuah kebenaran yang sangat mengejutkan. Belum sempat menenangkan diri setelah melihat jubah hitam dan masker yang bersimbah darah kering, Aghata kembali dikejutkan dengan berkas warisan di tangan. Dalam berkas itu tertulis perusahaan Alto Grup murni milik Bramasta, ayah kandung Mimi Yudistira. Ketentuan warisan sendiri akan diberikan secara turun temurun. Jika ada keturunan yang masih hidup maka dia berhak mendapatkan warisan. Itu artinya Aghata mempunyai hak untuk mendapatkan warisan itu. Dia langsung memasukkan berkas itu ke dalam koper dan mengambil jubah serta masker tanpa membawa kotaknya. Aghata kembali merapihkan kamar Nando yang sedikit berantakan karena ulahnya. Lalu segera keluar dari ruang kerja Nando. Aghata pergi ke kamarnya menaruh berkas, jubah, dan masker di dalam sebuah kotak yang berisi barang bukti. Kotak itu akan digunakan untuk mengembalikan semua yang seharusnya menjadi miliknya.
Clarista berdiri dan mengusap kepala Aghata seraya tersenyum. “Nanti akan saya jelaskan di sana,” ucapnya. Dia keluar memberi waktu Aghata untuk berkemas. Aghata kembali menurut dan cepat mengemasi barang-barangnya. Dia membawa koper besar menghampiri Clarista yang sudah menunggu di depan mobil. Mereka langsung bergegas menuju bandara. Setelah tiba di bandara, Clarista mengantar Aghata hingga loker pemesanan tiket. Dia memastikan barang bawaan Aghata sudah terbawa semua. Sedangkan Aghata celingukan seperti orang bodoh yang memakai masker dan topi. “Kenapa kita ke sini? Apa kita sedang menunggu orang? Atau kita akan pergi ke suatu tempat?” tanya Aghata. “Bukan kita, tapi hanya Nona,” jawab Clarista. “Aku?” Menunjuk diri sendiri. “Kenapa aku harus pergi?” tanya Aghata.
Kediaman pemimpin Alto Grup, 25 November 2016. Satu tahun setelah pernikahan Sang Ibu dengan pria dari keluarga terpandang, Nando Setyoko. Kala itu usia Aghata menginjak 15 tahun. Dia keluar kamar untuk mencari Sang Ibu tercinta. Sudah seharian dia tidak melihat batang hidung ibunya. Dicarilah Sang Ibu ke seluruh ruangan di dalam rumah, tapi tidak menemukannya. Sampai akhirnya mencari ke halaman depan rumah. Namun masih belum menemukannya. Aghata malah melihat seorang pria mengenakan jas hitam keluar dari mobil. Bibirnya mengulas senyum dan berlari menghampiri pria itu yang disebut sebagai Ayah. Matanya berbinar menatap lekat sosok Ayah di hadapannya. “Ayah habis dari mana?” tanya Aghata. “Bertemu dengan teman bisnis,” sahut Nando. “Oh, tapi ... kenapa wajah Ayah terlihat s
“Ini surat undangan pernikahan untuk Anda,” kata Aghata. Nando terkejut dan langsung merampas kertas di tangan Aghata. Dia membaca isi surat itu dan benar bahwa surat itu adalah undangan pernikahan. Teman bisnisnya yang tinggal di Kota C mengundang Nando untuk datang ke pernikahan putrinya. Acara akan diadakan besok sore di Kota C. Mau tidak mau Nando harus datang. Sia-sia Nando gelisah dengan isi surat itu. Dia pikir surat itu akan berisi ancaman dari si pelaku teror. Bahkan untuk menghela napas pun tidak merasa tenang. Sementara Aghata bisa melihat wajah Nando yang menegang sebelum tahu isi surat itu. “Apa Anda baik-baik saja? Anda terlihat pucat,” tanya Aghata. “Tidak apa-apa. Apa kau akan ikut ke pesta pernikahan rekan bisnisku?” tawar Nando. “Tidak perlu. B