“Jangan bicara sekarang! Bisa saja ruangan ini sudah disadap seseorang,” sela Andi membuat Aghata berhenti bicara.
“Aku memang tidak berniat menjelaskan di sini.” Aghata menjawab dengan dingin.
Andi berdecak sambil menatap Aghata dengan tajam. Tiba-tiba Andi merasakan rasa sakit yang menjulur ke seluruh tubuhnya, ketika berusaha mengingat saat tertikam dan jatuh di pangkuan Aghata. Dan untuk pertama kali Andi bisa melihat tatapan hangat dari sosok Aghata yang lebih cenderung bersikap dingin. Berapa banyak lagi kepingan misteri yang Aghata sembunyikan? Wanita yang cantik di depannya, bukanlah wanita yang hanya memikirkan percintaan. Akan tetapi di mata Andi, Aghata adalah wanita yang mempunyai banyak rahasia.
“Aku akan pesankan makanan untukmu, karena aku tahu makanan rumah sakit sangatlah tidak enak rasanya.” Aghata beranjak dari kursi sambil merapihkan rambutnya.
Lamunan Andi menjadi buyar ketika Aghata berbicara, ia melihat Aghata sambil berkata, “Suapi aku!” Andi tersenyum melipat kedua tangan di atas rusuk.
Iris mata Aghata kembali dibuat tajam. “Jangan harap!” kata Aghata sedikit menekan suaranya.
“Tega sekali kamu, aku ini pasien dan penyelamatmu juga.”
“Diam saja di sini dan jangan berharap apapun! Buang pikiranmu tentang aku yang akan merawatmu, sebelum aku menendang tulang keringmu!” Aghata pergi setelah mengecam. Andi ingin mengatakan sesuatu lagi, akan tetapi Aghata tidak melihatnya lagi. Memang perlakuan hangat tidak bisa didapatkan dari Aghata, perangainya yang seperti es sangat sulit dilelehkan.
***
Sudah lewat dua hari sejak Andi keluar dari rumah sakit. Di dalam ruangan berbentuk persegi, sinar mentari menyorot melalui tirai jendela kamar Andi. Sementara Andi duduk di tepi ranjang sambil membuka perban yang melingkar di pinggang. Ia berniat untuk mengganti perban yang sudah kotor. Tetapi setiap kali Andi melintir pinggangnya sedikit, rasa sakit terus membuatnya meringis. Meskipun tidak sesakit saat tertikam, tapi tetap saja ia bisa merasakannya.
“Diamlah! Aku yang akan mengganti perbanmu,” ucap Aghata berjalan masuk sambil meletakkan makanan di meja.
Aghata ikut duduk di sebelah Andi, ia merengut perban kotor di tangan Andi yang masih melingkar di pinggang. Tubuh Andi spontan mengubah arah sehingga membelakangi Aghata. Tanpa sepatah kata, Aghata cepat melepaskan perban di pinggang Andi, menggantinya dengan yang bersih.
“Kamu belum menceritakan semuanya dengan jujur,” ucap Andi memecah keheningan.
Aghata sempat terdiam, kemudian lanjut membalutkan perban yang bersih. “Aku belum selesai mengganti perbannya!” Aghata mengencangkan perban yang melingkar di pinggang Andi, membuatnya meringis kesakitan.
Tak lama setelah Aghata selesai mengganti perban Andi, ia pindah posisi di sofa depan Andi. Sementara Andi masih sibuk memakai baju. Sesekali Andi melihat Aghata dengan penuh tanda tanya, apakah ini saatnya ia tahu kebenaran tentang Aghata? Andi merasa gugup sampai tak bisa melihat Aghata setelah pikirannya bercabang.
“Siapa empat pria yang mengejarmu sampai ke gedung malam itu?” tanya Andi.
Aghata menatap Andi yang sangat membutuhkan jawaban darinya, ia berdengus sambil menjawab, “Ingat rentenir bernama Baron yang menjadi korban tembak lari di sebuah bar?” Andi mengangguk. “Aku mendengar percakapan Baron dan seorang ibu hamil. Baron memberikan pinjaman pada ibu hamil itu. Akan tetapi saat ibu hamil itu ingin membayar lunas hutangnya, pria dengan nama Baron meminta bunga sebesar tujuh puluh persen dari hutang si ibu hamil. Aku tak bisa menahan diri melihat orang lemah ditindas seperti itu, terlebih lagi dia sedang mengandung seorang anak.”
“Jadi kamu membunuhnya?”
Aghata mengangguk cepat. “Dan empat pria itu adalah orang yang dikirim oleh rekan Baron untuk membunuhku. Sepertinya orang yang mengirim mereka berempat bernama Regi, karena pria bertubuh besar selalu menyebut nama itu sebagai orang yang memberi informasi.”
Andi melipat kedua tangan di atas rusuk, kerutan di wajahnya mulai timbul saat ia berpikir keras. “Kalau orang yang bernama Regi bertugas sebagai pemberi informasi, dia adalah tersangka utama yang melihatmu keluar dari ruangan Baron?”
“Mungkin saja! Aku ingat berpapasan dengan seorang pria tinggi bermuka masam saat keluar dari ruangan Baron. Tapi tenang saja! Aku bisa menemukan keberadaan Regi melalui ponsel ini.” Aghata menunjukkan sebuah ponsel, membuat Andi semakin berpikir keras.
Sewaktu ingin membawa Andi ke rumah sakit saat ditikam, Aghata sempat mengambil ponsel pria bertubuh besar untuk menggali informasi tentang rekan mereka. Terdapat nama Regi di riwayat panggilan, dan nama Regi juga disebut-sebut pria bertubuh besar sebagai orang yang berpapasan dengan Aghata saat insiden pembunuhan terjadi.
Sementara Andi terus menatap Aghata dengan kening berkerut. “Lalu untuk apa ponsel itu?”
“Tentu saja aku akan melacak keberadaan Regi melalui nomor teleponnya!”
Wajah Andi tidak terlihat senang, ia masih penasaran dengan satu hal. Mungkinkah Aghata memiliki maksud tersendiri sampai bertahan di kota ini? Jika terus memendam isi pikirannya, Andi tidak akan mendapatkan jawaban sedikitpun, melainkan hanya teka-teki tanpa jawaban. “Apa tujuanmu di kota ini hanya memberi hukuman pada penjahat? Atau ada alasan lain?” tanya Andi.
Aghata sedikit terkejut, ia sudah mempersiapkan jawaban untuk Andi. Tetapi Aghata tidak menyangka Andi akan bertanya hal itu secepat ini, karena alasan Aghata bertahan hidup di kota E bukanlah alasan yang sepele. Sikapnya yang dingin tentu saja tidak akan membuang waktu bertahun-tahun untuk hal yang mengusik ketenangannya.
Tanpa basa basi Aghata langsung mulai bercerita, mulai dari kematian orang tuanya. Ayah Aghata meninggal saat usia Aghata menginjak 10 tahun. Semenjak saat itu, ibu Aghata menjadi seorang janda yang memiliki satu anak yaitu Aghata. Jabatan ibunya adalah pemimpin Alto Grup, dia menikah dengan seorang pria dari keluarga terpandang. Awalnya Aghata berpikir pernikahan itu sangat baik untuk Sang Ibu dan dirinya. Sampai ibunya Aghata rela menyerahkan jabatannya pada pria itu.
Beberapa bulan sebelum kematian Sang Ibu, Aghata melihat ayah tiri dengan seorang wanita yang memiliki jabatan sebagai HRD tengah berbincang di ruang kerja pribadi ayahnya. Pembicaraan mereka terlalu berat untuk ditangkap Aghata saat itu, jadi Aghata hanya tak acuh. Sampai suatu hari, Aghata mendapat kabar kalau ibunya ditemukan tak bernyawa di sebuah gedung yang terbengkalai. Pantas saja seharian ia tak melihat batang hidung Sang Ibu tercinta.
Bercak darah di gaun putih ibunya membuat Aghata menangis tersedu-sedu, ia bahkan tak mengerti kenapa seseorang berbuat jahat pada ibunya. Dan berita kematian ibunya cepat menyebar, hal itu membuat ayah tiri Aghata berpikir tak logis. Ia menyangka kalau kematian sang istri akan melibatkan dirinya dalam keadaan yang buruk, maka dari itu dia sengaja mengusir Aghata dari kediamannya.
Begitulah akhirnya Aghata bisa hidup di kota E. Dia melatih dirinya selama bertahun-tahun. Meretas, bela diri, menembak, semua sudah ia pelajari guna mencari informasi tentang kematian ibunya. Akan tetapi berita kematian ibunya tidak meninggalkan jejak, semua artikel hilang begitu saja dalam beberapa jam. Tentunya semua itu dilakukan oleh orang dari Alto Grup.
“Jadi bisa disimpulkan ada yang membunuh ibumu saat jabatannya diambil alih oleh ayah tirimu?” tanya Andi.
“Benar! Aku merasa ada yang janggal dengan kematian ibuku, karena menurut sepengetahuanku, ibuku tidak memiliki musuh selama memimpin Alto Grup. Semenjak aku mengangkat kaki dari rumah ibuku, aku membuat sebuah misi yang besar. Tapi sayang sekali aku harus menundanya, karena aku tak bisa gegabah untuk menjalankan misi itu.”
Andi merasa bingung sambil memajukan tubuhnya sedikit, ia menatap Aghata dengan serius tanpa berkedip. “Misi besar? Apa misi itu?”
Sesekali Andi menyapu helai rambut dengan sela-sela jari, menarik rambutnya sedikit melepas rasa pening di kepala. Dengus napas kerap terdengar berat, Andi tak bisa berkata-kata mendengar semua kebenaran tentang Aghata. Mengingat berapa banyak orang yang Aghata bunuh, tubuh Andi bergetar tanpa perintah. “Apa kamu merasa takut padaku sekarang?” tanya Aghata menatap Andi. Andi berdeham saat Aghata mengetahui keadaannya sekarang. “Ke-kenapa kamu tanya hal itu? Bukan bertanya aku kecewa atau tidak padamu?” tanya Andi sedikit gugup. “Daripada kecewa sepertinya kamu menjadi takut padaku, sejak aku menyelimutimu saat di rumah sakit,” ucap Aghata membuat Andi tertegun. Andi memalingkan wajahnya, kemudian melihat Aghata kembali. “Lalu apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?” Aghata beranjak dari kursi.
Peluru pistol desert eagle di tangan Aghata berdesing, menembus pakaian pria yang berdiri di ujung kiri tepat di dada. Tindakan Aghata membuat semua orang terkejut, Aghata menatap pria yang ditembaknya dan berkata, “Jangan sebut nama ibuku dengan mulut kotor kalian!” kecam Aghata sambil menatap satu per satu pria di depannya. Empat pasang roda kecil di bawah kursi mulai bergetar. Pria yang duduk di atasnya melihat Aghata dengan raut wajah yang berbeda. Mata pria itu dan mata Aghata bertemu. “Psikopat! Dasar wanita psikopat!” cemooh pria itu menatap Aghata. “Psikopat?” Iris mata Aghata menatap tajam, bibirnya menyeringai. “Apa itu? Panggilan baru untukku? Kalau begitu terima kasih, tapi aku tak menyukainya!” tolak Aghata. Pria berkacamata yang dipanggil dengan nama Regi mengkatup rahangnya, ia menatap tajam Aghata sambil berkata, “Dari mana
“Aku akan tetap di sini!” jawab Andi cepat. Setelah mendapat jawaban Andi, Aghata membuka paksa mulut Regi, memasukan moncong pistol ke dalam mulut. Tentu saja kali ini Aghata tidak akan menembak di dada Regi, melainkan langsung menyuruh Regi menelan peluru setelah Aghata menekan pelatuk pistol. Sontak Andi menutup mata dengan tangan, ia bahkan lupa menutup telinganya. DOR!!! Desing peluru terdengar nyaring akibat moncong pistol tidak terlalu dalam. Perlahan Regi memuntahkan darah dari mulutnya, hingga terjun ke lantai menjadi genangan darah. Aghata perlahan menjauhkan diri dari mayat Regi, ia tak ingin mengotori pakaiannya dengan darah. Dari kejauhan, Andi terjatuh ke lantai karena tak bisa menahan tubuhnya yang melemas. Ia tak menyangka akan berada dalam situasi yang membuatnya benar-benar tak berdaya. Belum lagi ingatan saat ditikam
“Ampuni aku tolong! Ampun!” mohon pria itu bersujud di lantai. “Siapa yang mengirimmu datang ke sini? Cepat katakan!” gertak Aghata dengan nada meninggi. “Tidak ada yang mengirimku ... aku ... aku datang secara pribadi menemuimu, Nona!” Pria itu menangis, kedua telapak tangan menyatu di atas kepala. “Apa tujuan kamu menemuiku? Berani sekali orang kepercayaan Nando datang ke sini!” murka Aghata menatap tajam. “Aku melihat ciri-ciri pembunuh ibu Nona.” Aghata mengerutkan keningnya, ia meletakkan mocong revolver di kepala pria itu. “Ceritakan semua yang kamu tahu, tanpa terkecuali!” perintah Aghata. “Dua jam sebelum ibumu disekap, aku mendapat sebuah pesan berisi perintah. Orang dalam pesan itu menyuruhku menyekap ibumu. Saat itu aku berusaha melacak nomor itu,
Clarista mengerutkan kening, setetes air bening turun membasahi pelipisnya. Kepanasan? Tentu saja tidak, karena ruangan itu dilengkapi pendingin ruangan. Sudut wajah Clarista yang mulai menegang bisa terlihat oleh Aghata, namun Clarista berusaha menutupi rasa tegang itu. “Bukankah ucapanmu sangat lancang? Kamu bisa ditahan atas pencemaran nama baik,” sangkal Clarista yang akhirnya menatap Aghata. “Benarkah?” “Apa maumu?” Clarista bertanya seolah melihat Aghata menginginkan sesuatu. “Saya lihat Anda menilai saya berbeda dengan yang lain, bukan begitu?” terka Aghata, “Anda bisa mempertimbangkanku untuk bekerja di sini dengan cara lain, misalnya menarik investor yang sulit sekali diajak bekerja sama,” usul Aghata. Clarista menatap Aghata dan berkata, “Kalau begitu silakan! Jika kamu berhasil, kam
“Aku bukan orang bodoh yang melakukan hal itu ... dan jangan tanyakan soal apa pun lagi padaku, kamu cukup terima saja hasilnya!” kecam Aghata berjalan ke kamar. Glen merasa tertegun oleh ucapan Aghata, sedangkan Andi hanya diam mendengarkan pembicaraan mereka. Bahkan Andi tidak tahu, apa yang dilakukan oleh Aghata sampai ST Grup mau menandatangani kontraknya? Cara violent yang dipakai Alto Grup saja, Andi tidak tahu-menahu. Di sisi lain Aghata sedang berbaring di ranjang dengan tangan yang merentang. Kelopak mata Aghata menutup iris matanya yang tajam. Sudah lama Aghata tak menginjakkan kaki di gedung Alto Grup, bukan rindu yang datang menyapanya melainkan amarah yang kian memuncak. Ia meraih ponsel di dalam saku celana, menelepon seseorang bernama Clarista. Begitu sudah terhubung, Aghata berkata, “Sampaikan pesanku pada Pak Anderson, suruh dia menungguku di ruan
Aghata menghela napasnya dan berkata, “Cara violent sudah beroperasi sejak 2014, tepatnya saat pergantian pimpinan dari ibuku ke Nando Setyoko. Cara violent sering digunakan untuk kerja sama dua pihak, cara itu sama saja dengan penindasan ... pihak Alto Grup akan melakukan penyekapan, penyiksaan, dan mengancam korban untuk mendapatkan apa yang Alto Grup inginkan. Sedangkan seminar investasi biasanya dilaksanakan setelah luka korban sudah bisa ditutupi dengan alat-alat rias.” “Bukankah itu sangat keterlaluan?” Kening Andi berkerut setelah mendengar perkataan Aghata. Bibir Aghata melengkung, ia hanya bisa tertawa saat Andi merasa marah. “Itu sudah menjadi hal yang wajar bagi Alto Grup, aku sudah tidak terkejut mendengarnya. Dan tak disangka cara itu masih dijalankan sampai sekarang.” Tangan Aghata mengepal berusaha menahan amarah. Jika mengancamnya sudah bisa membua
“Memangnya kenapa?” tanya Glen. “Aku melihatmu berbicara dengan Taina sebelum seminar dimulai, apa kalian saling mengenal?” desak Clarista. Glen sampai tertegun, ia tak menyangka kalau Clarista akan bertanya langsung soal Aghata padanya. “Saya memang berbicara dengannya, tapi untuk menyapanya. Saya mendengar dia Asisten baru Pak Anderson,” jawab Glen. Raut wajah polos dipasang oleh Glen sambil melihat setiap sudut wajah Clarista. Sedangkan Clarista, dia membuang pandangannya setelah tahu jawaban dari Glen. Dikecam bukan berarti menyerah, Clarista terdiam untuk memikirkan rencana menyelidiki tentang Aghata lebih jauh. “Kamu boleh keluar dari ruanganku!” suruh Clarista. Kepala Glen setengah menunduk, ia berjalan keluar meninggalkan Clarista yang sedang berpikir. Glen menuju parkiran untuk mengha
Hello everyone ... Setelah 4 bulan aku males-malesan dan sakit selama seminggu, akhirnya cerita KILLER MASK selesai ... horeee >< Aku selaku penulis cerita KILLER MASK mengucapkan banyak terima kasih kepada para pembaca dan yang udah support ceritaku sampai selesai. Mohon maaf bila ada kesalahan dalam penulisan maupun typo dalam cerita. Aku harap kalian bisa ikut terbawa dalam suasana dalam cerita, tapi kekerasan di dalam cerita tidak untuk dicontoh yaaa ... Dan buat yang belum selesai baca silahkan dilanjutkan, ga baik baca setengah-setengah apalagi buat perawan, nanti dapet suami yang brewokan loh ... tapi kalo dapet sugar daddy lain cerita yaa bund wkwkwk Pantau terus akunku yaa, siapa tahu bakal ada cerita baru :) Salam, Degitarius.
Terdengar ledakan dari dalam bangunan tempat Clarista disekap. Ledakan itu menyemburkan bara api dari atap. Perlahan Si Jago Merah melahap seisi bangunan itu hingga luar. Kris dan pengawalnya terkejut melihat api sudah menyala besar, begitu juga dengan Andi. Dia masih tercengang sampai kayu penyanggah atap di luar mulai roboh. “Aghata!” gumam Andi yang hampir melupakannya di dalam sana. Andi berlari menuju kobaran api yang semakin besar, namun Kris dengan cepat menahan Andi. Baru tersadar mengapa Aghata menyuruh Andi meminta semua orang menjauh dari bangunan itu, ternyata Aghata berniat meledakkan bangunan itu. Lalu bagaimana dengan Aghata sendiri? Apakah dia masih terjebak di dalam? Andi tak bisa hanya berdiam diri. Dia terus meronta agar bisa lepas dari cengkeraman Kris. Tapi tak lama ada bayangan seseorang keluar dari asap tebal yang menutupi bangunan itu. Soro
Seperti sedang deja vu. Seorang pria dengan pakaian tertutup berdiri di depan pandangan Aghata, sementara Glen memeluknya sampai terasa cengkeraman baju yang kuat. Terbesit satu ingatan di kepala Aghata, yaitu saat Andi memeluknya untuk menjadi perisai ketika Aghata ingin ditikam. Posisi yang hampir sama tapi dengan orang yang berbeda terjadi saat ini. Aghata masih tercengang melihat pria di depannya dengan jarak yang hanya satu setengah meter. Dia tersadar akan pria itu yang semakin mundur. Matanya melirik ke bawah dengan ragu, melekat di tangan pria itu sebuah pisau yang sudah berlumuran darah. “Ahk!” rintih Glen tiba-tiba. Aghata tersentak. Tangannya perlahan meraba punggung Glen. Basah dan likat. Mata Aghata terbelalak melihat simbah darah di tangannya. Firasat Aghata berkata benar, bahwa Glen mengorbankan dirinya agar pisau itu tidak mengenainya. Tubuh
Terdapat bangunan yang hanya ada 4 petak ruangan, berdiri tegak nan jauh dari kota atau bangunan lain. Bangunan itu terletak di bukit yang tak jauh dari pelabuhan, namun tak banyak yang tahu keberadaan bangunan itu, pemiliknya adalah Kris. Sekitar 10 orang tengah berjaga mengelilingi bangunan itu, mereka adalah anak buah Kris. Di salah satu ruangan, Clarista duduk di kursi dengan tangan dan kaki terlilit tali. Kelopak matanya perlahan terbuka, mendongakkan kepala. Dia menatap nanar ruangan yang asing baginya. Mata Clarista memindai ruangan itu, terdapat tumpukan kotak yang biasa digunakan untuk menyimpan ikan. Kotak itu menimbulkan bau amis yang membuat kening Clarista mengernyit. Terdengar samar di telinga, seseorang berjalan dari arah belakang. Merambah bahu Clarista seraya terus berjalan ke depan. Kukunya yang panjang sedikit menancap di bahu Clarista. Clarista mendongak sedikit mengekor punggung seo
Desing peluru terdengar sampai penjuru halaman rumah Nando. Seisi rumah Nando menjadi heboh akibat suara tembakan berasal dari ruang kerja Nando, begitu juga Anderson yang membelalakkan matanya. Dia teringat dengan Nando yang tidak menghabiskan makanannya dan langsung pamit untuk pergi ke ruang kerja. Begitu juga dengan Sang Ibu, Natalia, yang berkata ingin mengambil barang di ruangan Nando. Firasat buruk datang menghantui. Anderson cepat berlari menuju ruang kerja Nando. Namun dia malah bergeming di simpang tiga, yang ke arah kanan menuju ruangan Nando. Dia berhadapan dengan Aghata yang sama-sama terkejut. Anderson melihat ke sisi kanan, mendapati Natalia sedang menodongkan revolver. Dia tak percaya orang yang berada tepat di depan Natalia adalah Nando. Cairan berwarna merah pekat mengalir deras melalui dada Nando. Tangannya bersimbah darah menahan plasma merah yang pecah di dada. Namun akhirnya dia tu
Sebuah kebenaran yang sangat mengejutkan. Belum sempat menenangkan diri setelah melihat jubah hitam dan masker yang bersimbah darah kering, Aghata kembali dikejutkan dengan berkas warisan di tangan. Dalam berkas itu tertulis perusahaan Alto Grup murni milik Bramasta, ayah kandung Mimi Yudistira. Ketentuan warisan sendiri akan diberikan secara turun temurun. Jika ada keturunan yang masih hidup maka dia berhak mendapatkan warisan. Itu artinya Aghata mempunyai hak untuk mendapatkan warisan itu. Dia langsung memasukkan berkas itu ke dalam koper dan mengambil jubah serta masker tanpa membawa kotaknya. Aghata kembali merapihkan kamar Nando yang sedikit berantakan karena ulahnya. Lalu segera keluar dari ruang kerja Nando. Aghata pergi ke kamarnya menaruh berkas, jubah, dan masker di dalam sebuah kotak yang berisi barang bukti. Kotak itu akan digunakan untuk mengembalikan semua yang seharusnya menjadi miliknya.
Clarista berdiri dan mengusap kepala Aghata seraya tersenyum. “Nanti akan saya jelaskan di sana,” ucapnya. Dia keluar memberi waktu Aghata untuk berkemas. Aghata kembali menurut dan cepat mengemasi barang-barangnya. Dia membawa koper besar menghampiri Clarista yang sudah menunggu di depan mobil. Mereka langsung bergegas menuju bandara. Setelah tiba di bandara, Clarista mengantar Aghata hingga loker pemesanan tiket. Dia memastikan barang bawaan Aghata sudah terbawa semua. Sedangkan Aghata celingukan seperti orang bodoh yang memakai masker dan topi. “Kenapa kita ke sini? Apa kita sedang menunggu orang? Atau kita akan pergi ke suatu tempat?” tanya Aghata. “Bukan kita, tapi hanya Nona,” jawab Clarista. “Aku?” Menunjuk diri sendiri. “Kenapa aku harus pergi?” tanya Aghata.
Kediaman pemimpin Alto Grup, 25 November 2016. Satu tahun setelah pernikahan Sang Ibu dengan pria dari keluarga terpandang, Nando Setyoko. Kala itu usia Aghata menginjak 15 tahun. Dia keluar kamar untuk mencari Sang Ibu tercinta. Sudah seharian dia tidak melihat batang hidung ibunya. Dicarilah Sang Ibu ke seluruh ruangan di dalam rumah, tapi tidak menemukannya. Sampai akhirnya mencari ke halaman depan rumah. Namun masih belum menemukannya. Aghata malah melihat seorang pria mengenakan jas hitam keluar dari mobil. Bibirnya mengulas senyum dan berlari menghampiri pria itu yang disebut sebagai Ayah. Matanya berbinar menatap lekat sosok Ayah di hadapannya. “Ayah habis dari mana?” tanya Aghata. “Bertemu dengan teman bisnis,” sahut Nando. “Oh, tapi ... kenapa wajah Ayah terlihat s
“Ini surat undangan pernikahan untuk Anda,” kata Aghata. Nando terkejut dan langsung merampas kertas di tangan Aghata. Dia membaca isi surat itu dan benar bahwa surat itu adalah undangan pernikahan. Teman bisnisnya yang tinggal di Kota C mengundang Nando untuk datang ke pernikahan putrinya. Acara akan diadakan besok sore di Kota C. Mau tidak mau Nando harus datang. Sia-sia Nando gelisah dengan isi surat itu. Dia pikir surat itu akan berisi ancaman dari si pelaku teror. Bahkan untuk menghela napas pun tidak merasa tenang. Sementara Aghata bisa melihat wajah Nando yang menegang sebelum tahu isi surat itu. “Apa Anda baik-baik saja? Anda terlihat pucat,” tanya Aghata. “Tidak apa-apa. Apa kau akan ikut ke pesta pernikahan rekan bisnisku?” tawar Nando. “Tidak perlu. B