Aroma khas menguar dari dalam ruangan kala seorang pria membuka pintu dan menyeret langkah kakinya untuk memasuki ruangan tersebut. Tatapan matanya langsung tertuju pada sudut ruangan yang terdapat ranjang tempat seorang perempuan berbaring dengan begitu tenang. Langkah panjang pria tersebut membawanya semakin dekat dengan ranjang yang dihiasi alat-alat yang terpasang dan begitu tidak enak dipandang. Ah, tidak lupa dengan bunyi dari alat tersebut yang menambah suasana semakin suram. Namun tak sedikitpun mampu mengusik tidur nyenyak nya si pemilik ranjang.
"Kak, tidurmu selalu nyenyak seperti biasa." pria itu bergumam dengan tangan yang begitu cekatan memeriksa alat-alat tersebut. Mengecek monitor, infus, selang makanan hingga Kateter untuk memastikan bahwa semua alat tersebut berfungsi dengan baik.
"Bagaimana keadaannya hari ini?" tanya seorang pria lain yang baru saja ikut memasuki ruangan.
Arga, pria yang sebelumnya telah masuk lebih dulu dan memeriksa keadaan pasien tersebut hanya menghela nafas panjang tanpa mengalihkan fokusnya dari sang pasien kepada lawan bicaranya.
"Selalu nyenyak seperti biasa kak." jawabnya tenang.
Pria yang dipanggil kakak itu pun terdiam beberapa saat, kemudian melirik pria berseragam putih disampingnya.
"Terima kasih karena selalu menjaganya, Arga," ucapnya dengan tulus.
"Sudah menjadi tanggung jawabku, kak Arya," balas Arga tidak kalah tulus.
"Ini sudah tahun kedua, tidak bisakah kamu memberiku kabar yang lebih baik?" tanya Arya dengan tatapan sendu dan penuh keputusasaan.
Lagi-lagi Arga hanya menghela nafas, dan kali ini terdengar lebih berat.
"Kakak tahu sendiri, aku dan kami semua disini sudah berusaha memberikan yang terbaik untuknya. Segala upaya sudah coba kami lakukan, namun sampai saat ini belum ada tanda-tanda kakak akan bangun." Arga memberi jeda sebentar pada kalimatnya. "Dia seperti tidak ingin bangun."
Arya yang mendengar penuturan Arga barusan merasa sedikit tidak suka, tatapan matanya berubah tajam. "Jangan mengatakan hal yang tidak-tidak," sebuah peringatan dari Arya kepada Arga, adiknya. "Tugasmu membuatnya bangun, bukan memberikan opini yang tidak berdasar." Arya memberikan penekanan pada kalimatnya.
"Maafkan aku." sesal Arga.
Arga tidak benar-benar menyesal telah mengatakan kalimat tadi, dia hanya tidak ingin berdebat dengan kakaknya. Arga mengerti kakaknya selalu sensitif jika sudah menyangkut perempuan di hadapannya ini. Selain itu, Arga juga tahu jika Arya sedang lelah karena pekerjaan dan juga merasa putus asa karena keadaan orang yang menjadi topik pembicaraan mereka tidak mengalami perkembangan yang lebih baik.
"Berusahalah lebih baik, aku belum ingin menyerah."
Arga menatap kakaknya dengan iba. "Untuk saat ini kita harus bersyukur kak, karena keadaan kakak tidak pernah memburuk lagi. Alat-alat ini mungkin bisa membantunya untuk bertahan, tapi tetap saja memiliki resiko yang bisa menyebabkan peningkatan infeksi di dalam tubuh." jelas Arga.
Arga tahu, seberapa berartinya perempuan ini untuk kakaknya. Tapi sebagai dokter, Arga juga harus menyampaikan keadaan pasien yang sebenar-benarnya. Selain itu, Arga juga tidak ingin memberikan harapan palsu untuk kakaknya.
Arya hanya diam. Matanya tetap fokus pada pasien tersebut.
"Kalau begitu aku permisi, masih ada pasien lain yang harus aku periksa." ucap Arga yang sadar jika kakaknya membutuhkan waktu untuk sendiri.
Arga tersenyum dan berlalu keluar meninggalkan Arya yang masih menatap sendu perempuan tersebut.
Arya membawa dirinya untuk duduk di samping ranjang. "Na, mau sampai kapan kamu tidur. Hmm?" tanyanya saat Arga sudah tidak berada di sana lagi.
"Ini sudah terlalu lama."
Arya membenarkan letak selimut yang menutupi sebagian tubuh perempuan yang dia panggil "Na" tersebut.
"Kau tahu Na, ini melelahkan," ucapnya lemah. "Aku lelah karena terlalu merindukanmu." suasana hening menjadi jawaban atas keluhan Arya.
"Kau tahu Na? Ibu memintaku untuk menyerah padamu. Dia bilang untuk apa aku terus berharap pada seseorang yang hidup dan matinya saja seperti berada diujung jarum. Dia tidak mempermasalahkan aku menghabiskan banyak uang untuk pengobatan mu, tapi dia marah dan memintaku untuk berhenti menyia-nyiakan masa mudaku. Ibu bilang kamu sadar atau tidak, tetap tidak ada masa depan untuk kita." Arya berbicara panjang lebar untuk menyampaikan keresahan hatinya.
"Ibu pasti salah kan Na? Kau dan aku akan bahagia bersama."
Arya tahu, semua perkataannya tidak akan pernah mendapat jawaban, namun ada kelegaan tersendiri saat dirinya bisa berbincang dengan seseorang yang sangat dikasihinya meski hanya berjalan satu arah.
"Aku akan selalu menunggu mu Na entah itu dulu, sekarang, ataupun di masa depan."
Jika saja aku tak melepas mu untuk bersamanya mungkin semuanya tidak tidak akan berakhir seperti ini. Batin Arya.
✿✿✿✿✿
Erina Claretta, dia adalah perempuan yang menjadi topik pembicaraan antara Arya dan adiknya Arga. Seorang perempuan malang yang hanya mampu terbaring di atas ranjang dengan begitu banyak alat medis yang terpasang di tubuhnya. Kecelakaan yang telah merenggut hak hidupnya dan memisahkannya dari orang-orang yang sangat dia cintai.
Sudah dua tahun sejak terakhir kali dirinya menatap sinar matahari dan menghirup udara segar di pagi hari. Kini, pagi-siang-malam nya Erina adalah sama. Semua gelap tanpa cahaya. Netra nya enggan terbuka, begitupun dengan tubuhnya yang tidak bisa bergerak sama sekali.
Erina mengalami koma, sejak dua tahun lalu.
*
**With Love : Nhana
"Dad, we're in trouble!" teriak seorang anak perempuan dari dalam kamarnya."Kenapa Vio?" balas sang daddy yang kini tengah sibuk menyusun berkas perlengkapan kantornya di atas meja makan sambil sesekali memasukkan sandwitch kedalam mulutnya."Vio lupa menyimpan dasi dad. Omg, kalau begini kita bisa telat." Elviola berlari menuruni tangga dengan tergesa dan menyusuri semua penjuru rumah untuk mencari dasi yang dia maksud."Hati-hati Vio, jangan berlari sambil menuruni tangga nanti kamu terluka." tegur sang daddy.
Seperti yang sudah Elviola katakan sebelumnya, hari ini sekolahnya mengadakan pemeriksaan kesehatan di rumah sakit terdekat. Anak-anak mulai memasuki gedung serba putih itu dengan perasaan yang bermacam-macam, ada yang merengek dan menangis karena takut ada pula yang pura-pura terlihat berani seperti Vio dan kedua temannya, Arsya Mahesa atau yang sering di panggil Esa dan juga Dion.Dion, Vio dan Esa ketiganya berpegangan tangan dengan wajah yang sangat jelas terlihat tidak tenang tapi mulut mereka kompak dan sama-sama mengatakan kalau mereka tidak takut untuk diperiksa bahkan disuntik sekalipun. Tapi siapapun yang melihat mereka pasti tahu jika ketiganya tengah berpura-pura terlihat kuat. Namun entah kenapa hal tersebut justru membuat orang-orang menganggap betapa menggemaskan nya mereka.
Selama perjalanan pulang dari rumah sakit Vio lebih banyak diam. Biasanya dia akan menceritakan semua hal yang terjadi seharian penuh pada daddy nya. Tapi kali ini otak kecilnya terlalu sibuk dengan pemikirannya sendiri, bayang-bayang perempuan yang dia temui di rumah sakit terus berputar di kepalanya. Entah kenapa Vio merasa sangat sedih dan simpati kepada orang itu padahal dia tidak kenal sama sekali, bahkan namanya pun dia tidak tahu."Vio lupa menanyakan nama tante itu." Elviola menghela nafas panjang dan untuk satu alasan yang tidak diketahui dia tiba-tiba merasa sedih.Phillip yang sejak tadi memperhatikan tingkah anaknya tentu saja menyadari bahwa ada yang salah dengan anaknya itu. Vio tidak biasanya diam dan melamun saat bersamanya kecuali jika anak itu sedang merajuk
Phillip terlihat sangat sibuk dengan tumpukan berkas di meja kantornya. Sudah dua hari Wei cuti kerja karena alasan pribadi yang tidak Phillip ketahui. Jadi sekarang dia benar-benar harus meng-handle semuanya seorang diri.Sebenarnya Phillip tidak ingin mengijinkan sekretarisnya itu untuk cuti, tapi mengingat Wei selama ini selalu bekerja keras untuk perusahaannya, mau tidak mau Phillip memberinya ijin terlebih Wei meminta sambil memohon seperti ada keadaan yang mendesak tapi dia tidak memberitahu alasannya.Wei tidak pergi begitu saja, sebagai seorang yang profesional dan mengerti jika atasannya sangat sibuk dan membutuhkan bantuan orang lain, Wei menyiapkan orang pengganti untuk membantu Phillip, tapi Phillip hanya memanggil orang tersebut sesekali
Setelah beberapa hari lembur, hari ini akhirnya Phillip memutuskan untuk sengaja pulang lebih awal dari kantor. Sejak beberapa hari lalu dirinya memang terlalu banyak menyibukkan diri dengan pekerjaan, dan sekarang dia sangat merindukan putrinya. Setiap kali Phillip pulang, Viola pasti sudah tidur dan mereka hanya bisa bertemu ketika sarapan. Untuk itu, Phillip merasa sangat bersalah dan ingin menebus semua waktu yang dia lewatkan dengan pulang lebih cepat dari biasanya.Kata 'beberapa hari' mungkin terdengar sangat sebentar bagi sebagian orang, namun nyatanya hal itu berpengaruh banyak untuk hubungan ayah dan anak seperti Phillip dan Viola. Viola berubah, dia menjadi lebih pendiam dan sudah tidak rusuh seperti sebelumnya, dia sekarang lebih tenang dan jarang meminta bantuan ataupun merepotkan daddy nya.
"Kak ... Kak Phillip."Kalimat yang terdengar begitu lemah dan lirih namun cukup jelas. Satu nama terucap dari bibir yang sudah terkatup rapat selama dua tahun terakhir. Matanya mengerjap untuk beberapa saat sampai akhirnya si pemilik suara kembali menutup mata.✿✿✿✿✿Phillip menatap sendu tubuh putrinya yang sudah tertidur pulas. Dia duduk di samping ranjang dan membenarkan letak selimut yang menutupi sebagian tubuh Viola. Dengan lembut dan hati-hati, Phillip mengusap wajah Viola penuh perasaan hingga tanpa terasa ada setetes air mata yang jatuh dari sudut matanya. Phillip menyayangi Elviola, teramat sayang.
FlashbackSejak pertemuannya dengan Shinta, Erina semakin memikirkan perihal keadaan putrinya. Semakin hari semakin terasa jika dirinya benar-benar sangat merindukan Viola. Keinginannya untuk bertemu sang anak bukan lagi hanya sebatas angan atau khayalan tapi sudah menjadi prioritas yang setiap hari membuatnya tidak bisa hanya menunggu dan berdiam diri. Karena memang tujuannya pulang untuk menemui putrinya, Elviola atau yang kini menyandang marga Han dibelakangnya menjadi Elviola Han.Erina mencoba mencari tahu apapun tentang putrinya sebisa mungkin. Dan beruntung pencariannya membuahkan hasil, sehingga kini dia tahu dimana putrinya itu tinggal dan sekolah.Hampir setiap hari Erina menguntit Viola. Entah itu di sekolah, tempat les, tempat bermain dan bahkan sampai ke kediaman
"Dad, hari ini Vio boleh ke rumah sakit ya?" tanya Viola saat mendudukkan dirinya dengan nyaman di meja makan dan menatap ayahnya dengan tatapan memohon.Sudah beberapa hari ini Viola memang tidak pergi ke rumah sakit karena sedang ujian sekolah. Dan hari ini adalah hari terakhir ujian. Oleh karena itu dia berani meminta ijin pada daddy nya.Phillip mengangguk sekilas. "Baiklah, tapi jangan pulang terlalu sore. Vio juga harus istirahat, daddy gak mau Vio sakit," ucap Phillip lembut. Sebenarnya Phillip tidak ingin memberi Viola ijin ke rumah sakit lagi karena bagaimanapun dia belum tahu siapa orang yang sering di kunjungi anaknya itu.Tentu saja karena dia k
Erina melepaskan pelukannya dengan Viola. Dia mengusap jejak air mata pada kedua pipi anaknya. Mengelus pipi itu dengan begitu lembut, hingga air mata kembali menetes dari sudut matanya. "Mommy jangan menangis lagi," kali ini giliran Viola yang menghapus air mata Erina.Erina menggelengkan kepalanya. "Tidak sayang, mommy hanya merasa sangat bahagia." Erina tidak berdusta, air matanya adalah air mata bahagia. Air mata yang sama seperti saat dia pertama kali melihat Viola lahir ke dunia ini."Kalau bahagia itu harus tersenyum, bukan menangis mom." Viola memiringkan kepalanya lucu.Erina terkekeh gemas dengan tingkah putrinya. "Benarkah? Siapa yang mengatakan itu? Kalau gitu mommy salah dong." Erina mencubit lembur hidung bangir Viola.Viola mengangguk."Kata daddy. Daddy selalu tersenyum s
Erina menatap pantulan dirinya di cermin. Dia meneliti setiap inci bagian dari tubuhnya. Kemudian dengan tatapan nanar dia menghela nafas berat. "Aku benar-benar kurus sekarang. Tulang selangka ku bahkan tercetak dengan jelas, pipiku bukan hanya sekedar tirus, ini seperti tulang yang dibalut kulit." Erina menunjukkan tulang selangkanya pada cermin."Aku tidak mungkin menemui anakku dengan keadaan seperti ini," dengan gerak perlahan, Erina menurunkan pandangannya dan menggigit bibirnya getir."Setidaknya aku harus terlihat lebih sehat dan kuat." Erina tersenyum lemah, berusaha menguatkan dirinya sendiri.Phillip yang masih memperhatikan Erina dari luar, tersenyum iba. Erina memang sangat kurus, tentu saja karena dia tidak memakan makanan apapun selama tidurnya. Hanya segala sesuatu yang berupa obat-obatan yang disuntikkan melalui selang infus yang masuk ke tubuhnya. Dan penyesalan Phillip pun bertambah besar melihat keadaan Erin
"K-kak-- ""N-na, Erina," sapa orang yang dipanggil kakak tersebut dengan suara terbata dan nafas yang masih memburu."Kakak, bagaimana bisa kau kesini?" tanya Erina bingung dan tentu saja terkejut dengan kehadiran tiba-tiba orang yang sangat di kenalnya."Ahh itu, itu tadi aku-- " pria itu kebingungan menjawab pertanyaan Erina dan menggaruk tengkuknya, dia gugup. "Jangan berdiri di sana kak, masuklah." Erina melambaikan tangannya dan memberi isyarat agar pria yang dia panggil kakak itu mendekat kearahnya. Pria itu pun masuk dan mendudukkan dirinya di kursi yang ada di samping ranjang.
''K-kak-- "Ucap Arga terbata karena terkejut melihat Erina yang tiba-tiba sudah sadar dan sedang menatapnya tanpa dosa."S-sejak kapan kakak bangun?" tanya Arga yang masih linglung."Aku tidak sedang bermimpi kan? Atau aku sedang berhalusinasi? Ah sepertinya aku butuh istirahat." Arga menggelengkan kepalanya dengan cepat, tak percaya dan mencoba menolak kenyataan yang diharapkannya selama ini. Padahal dia seorang dokter tapi dalam keadaan seperti ini perasaan lah yang mengambil alih akal sehatnya.
Malam semakin larut, udara juga terasa semakin menusuk permukaan kulit. Phillip menurunkan tubuh Viola dan menidurkannya dengan hati-hati. Mereka pulang sangat larut dari rumah sakit dan Viola sudah tidur sepanjang perjalanan. Awalnya Viola merengek ingin menginap di rumah sakit tapi Phillip sebisa mungkin membujuknya dengan segala cara agar putrinya itu mau pulang. Beruntung Phillip dan Arga akhirnya berhasil membujuknya. "Rasanya seperti baru kemarin daddy bertemu denganmu Vio. Kini kamu sudah sebesar ini." Phillip mengelus wajah lelap putri kecilnya, putri yang selama 7 tahun terakhir menjadi cahaya yang menerangi hidup Phillip kembali. "Maaf daddy baru mengen
"Kak... Menikahlah denganku."Phillip hanya diam dan tak merespon. Namun, beberapa saat kemudian gelak tawa terdengar di ruangan tersebut. Iya, Phillip baru saja tertawa. Dia menertawakan ajakan dari Erina.Erina menatap nanar kearah pria yang ada di hadapannya, bagaimana bisa Phillip tertawa disaat dia tengah membicarakan hal yang serius. Erina bersumpah bahwa saat ini adalah momen paling serius dalam hidupnya. Bahkan Erina membuang semua harga diri dan mengumpulkan semua keberanian untuk menyatakan hal tersebut.Phillip yang sadar tengah ditatap intens oleh Erina seketika menghentikan tawanya. "Kau sedang melamar ku Na?" tanyanya seolah ingin memastikan kembali jika pendengarannya tidak keliru.Kini giliran
Erina berlari sambil menangis sepanjang kampus, dia menghiraukan bisikan dan tatapan orang-orang yang dilaluinya. Sampai akhirnya langkahnya terhenti ketika tiba-tiba tangannya ditarik oleh seseorang.Erina mendongakkan kepalanya dan menatap orang tersebut. "Kak-- " tanpa ragu Erina segera menabrakkan tubuhnya untuk memeluk laki-laki tersebut dan menangis sejadi-jadinya. Sementara yang dipeluk hanya mengusap punggung Erina untuk mencoba menenangkannya. "Tidak apa-apa Na. Jangan menangis, ada aku disini," ucapnya lembut penuh ketenangan.Erina menggeleng dalam tangisnya. "A-aku tidak bisa.""Tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja."
Hubungan Erina dan Phillip semakin hari semakin berkembang. Kini keduanya sudah seperti sepasang kekasih. Sejak pertanyaan mendadak Phillip pada malam itu, ia menganggap kalau Erina adalah miliknya. Sedangkan Erina, meski ia tak memberikan jawaban dan menganggap pertanyaan Phillip hanya gurauan tapi ia menikmati perlakuan istimewa yang diberikan oleh Phillip terhadap dirinya. Hingga perlahan-lahan ia mulai menyukai ah bahkan mungkin sudah jatuh hati pada seorang Phillip Han.Erina sedang berada di kamar Phillip dengan Phillip yang terus-terusan menempel padanya. Padahal niatnya ke apartemen Phillip untuk mengerjakan laporan. Tapi bayi besarnya itu bahkan tidak memberikan jarak sedikitpun antara dirinya dengan Erina. Katakanlah Phillip sedang dalam mode manja.
FlashbackSejak pertemuannya dengan Phillip tempo hari, Erina sekarang lebih sering diajak Shinta untuk kumpul bersama teman-temannya. Erina yang memang pada dasarnya punya sifat yang ceria dan mudah akrab dengan orang lain membuatnya selalu bisa berteman dengan siapa saja, termasuk Phillip.Phillip mungkin punya sifat yang bertentangan dengan Erina, dia lebih cenderung penyendiri, tidak mudah akrab dengan orang lain dan juga sangat terganggu dengan sesuatu yang berisik. Phillip sendiri tidak sepenuhnya menganggap Erina sebagai teman tapi dia juga tidak menolak kehadiran Erina. Baginya, selama sikap Erina masih dalam kategori wajar, dia tidak keberatan.Seperti hari ini, Eri