Seorang pria berkumis tebal dan memakai pakaian berwarna coklat berjalan keluar dar sebuah ruangan sambil membawa sebuah benda. Ia berdiri tepat di depan sebuah lonceng yang terbuat dari besi yang warnanya sudah pudar dan berkarat. Ia kembali menatap jam di tangannya yang sudah menunjukkan pukul 13.29. Tinggal satu menit lagi ia harus membunyikan lonceng tanda waktu pulang. Ia menatap detik jarum jam yang bergerak perlahan hingga akhirnya ia pun dengan bersemangat membunyikan lonceng tua dengan sangat keras. Suara lonceng tua itu sangatlah keras dan menggema ke seluruh penjuru sekolah.
Pak Darmo membunyikan lonceng tiga kali. Suara teriakan kemenangan pun terdengar. Tak perlu menunggu waktu lama bagi murid-murid untuk berlari berhamburan keluar kelas. Bel pulang selalu dinanti oleh mereka setelah seharian berkutat dengan pelajaran yang membuat mereka stres. Wajah-wajah girang pun tampak dengan jelas. Hampir setengah dari keseluruhan murid SMA Kartini memilih untuk pulang, tapi sebagian lagi memilih tetap tinggal di sekolah untuk mengikuti ekstrakulikuler.
“Vin aku absen latihan dulu ya.” ucap Hendra saat melihat Kevin Antonius sudah bersiap dengan tasnya. “Memang mau kemana?” tanya Kevin.
“Ibu ku mau di operasi. Aku mau nemenin ibu. Jadwal operasinya jam 3 sore nanti, kalo ngga berangkat sekarang takutnya ngga keburu ketemu ibu dulu.” Ibunda Hendra dijadwalkan akan melakukan operasi pengangkatan batu ginjal hari ini pukul tiga sore. Seminggu sebelumnya Hendra sudah memberitahu Kevin. Latihan ini sangatlah penting untuk pertandingan mereka, tapi kesembuhan sang ibu membuat Hendra harus merelakan jadwal latihan rutinnya.
“Oh hari ini ya. Ya udah kamu pergi aja. Salam ya buat tante Mirna. Semoga operasinya lancar dan cepet kembali sembuh. Kalo ada apa-apa kabarin aku ya.”
“Sip. Makasih ya. Doain ibu lancar ya. Ya udah aku pamit.” Hendra berlari keluar kelas tak lupa melambaikan tangannya kearah teman-temannya yang sudah menanti di luar kelas. “Woy mau kemana? Kok balik duluan sih.” teriak Wildan yang hanya ditanggapi senyuman oleh Hendra. Tak lama Kevin pun keluar dari kelas. “Eh Vin si Hendra mau kemana? Kok malah pulang dia. Emang ngga ikut latihan.” cecar Wildan.
“Hari ini dia absen dulu. Tante Mirna sore ini mau dioperasi. Jadi dia mau temenin mamanya.”
“Oalah… Emang sakit apa mamanya?”
“Kata si Hendra sih di ginjal mamanya ada batu gitu. Udah lama merasa sakitnya dan baru mau di operasi setelah ngga kuat lagi. Nanti sepulang latihan aku mau jenguk. Kalian ada yang mau jenguk ngga?” Kevin bertanya kepada teman-temannya. Mereka pun setuju untuk menjenguk mamanya Hendra. “Oke sip. Abis pulang latihan kita bareng-bareng ke rumah sakit. Yuk kita ke lapangan.” Kevin dan teman-teman setimnya pun berlarian ke lapangan basket yang terletak di belakang sekolah.
***
Seorang gadis cantik duduk manis di samping bed rumah sakit sambil menggenggam tangan seorang wanita yang tertancap infus. Wanita tua itu tersenyum kearah Andreana Lim. “Kenapa tante? Ada yang sakit.” ucapnya khawatir.“Ngga ada sayang. Kenapa kamu ngga sekolah sih. Tante kan bisa sendiri.” ucap Mirna.
“Tante kan mau dioperasi masa iya Drea tinggal sendiri. Mana mas Hendra ngga disini. Kalo tante butuh sesuatu gimana?”
“Kan ada suster yang bantu tante. Kamu harusnya belajar.”
“Itu sih gampang tante yang penting sekarang tante sembuh dulu. Drea ngga bisa konsen belajar kalo tante belum sehat. Udah ya tante jangan pikirin apapun. Kayaknya mas Hendra bentar lagi datang deh.” Mirna mengangguk. Tak lama kemudian Hendra pun tiba. Setelah dilakukan pemeriksaan kembali, akhirnya Mirna pun dibawa ke ruang operasi. Andrea dan Hendra mengikuti dari belakang.
Hendra dan Andreana adalah saudara sepupu dari pihak ayah. Ayahnya Hendra dan mamanya Andrea adalah kakak beradik. Kedua orang tua Andrea sering berpindah-pindah tempat kerja yang mengharuskan Andrea untuk sering pindah sekolah. Karena tidak pernah tinggal lama di satu tempat, Andrea tidak punya banyak teman. Maka dari itu saat berlibur ke rumah tantenya Mirna, Andreana langsung meminta ijin kepada kedua orang tuanya untuk menetap di Bandung dan melanjutkan sekolah disana.
Awalnya Reza dan Bunga tak mengijinkan putri semata wayang mereka untuk menetap di Bandung bersama sang adik, tapi melihat putrinya yang kerap kali berpindah sekolah membuat Reza merelakan putrinya untuk tinggal di Bandung bersama keluarga sang adik. Sudah satu minggu ini kedua orang tua Andreana tinggal di Bandung untuk menjenguk putri mereka.
“Yang tenang ya tante. Jangan mikir yang aneh-aneh. Drea sama mas Hendra akan tungguin tante diluar kamar operasi.” ucap Drea memberi semangat.
“Iya Bu. Bener apa yang dikatakan sama Drea. Kita bantu doa dari sini ya bu biar prosesnya berjalan lancar.”
“Amin. Makasih sayang.” Ranjang Mirna segera masuk keruang operasi. Andrea dan Hendra pun duduk tak jauh dari ruang operasi. Keduanya tampak gelisah namun saling menutupi. “Tante akan baik-baik aja kan mas?” tanya Drea sambil menatap Hendra. Pria itu tersenyum menguatkan. “Pasti. Ibu pasti sembuh lagi. Kita doa aja ya.” Andrea menganggukkan kepala.
***
Selepas latihan basket, Kevin dan beberapa teman-temannya mendatangi rumah sakit dimana ibunda Hendra dirawat. Kevin sempat menelpon Hendra tentang proses operasi ibunya. Ia sangat lega saat diberitahu kalau operasinya berjalan lancar, dan sudah kembali ke ruangan. Kevin menanyakan nama rumah sakit dan kamar Mirna dirawat karena ia dan beberapa perwakilan dari tim basket akan datang berkunjung.
Sementara itu Andrea pamit untuk pulang sejenak. Ia ingin membersihkan diri sejenak sambil membawa beberapa pakaian untuk tantenya. “Kamu berani sayang pulang sendiri?” tanya Mirna khawatir. “Tenang aja tante Drea baik-baik aja. Nanti malam Drea balik lagi kesini sambil bawa pakaian ganti dan makan malam untuk mas Hendra.”
“Ngga usah Dre. Mas bisa cari makan di sekitar sini. Ngga usah repotin kamu.” tolak Hendra.
“Iya Drea ngga usah. Biar mas mu beli sendiri ngga perlu dibawain segala. Tante malah ngga enak minta tolong bawain baju ganti sama kamu.”
“Ih tante kayak sama siapa aja. Santai aja Tan. Lagian tadi mama udah masakin buat mas Hendra makan malam.”
“Ya ampun ngerepotin banget.”
“Gapapa Tante. Yaudah Drea pulang dulu nanti malam kesini lagi ya.” Hendra dan Mirna pun mengiyakan. Hendra sempat menawarkan diri untuk mengantar Andrea pulang tapi ditolak oleh gadis cantik itu. Ia lebih memilih pulang dengan angkutan umum. Ia sendiri meminta Hendra untuk menjaga Mirna.
Saat akan berbelok kearah lobby rumah sakit, tiba-tiba Andrea bertubrukan dengan seseorang. “Auw..” rintih Andrea sambil mengusap-usap bokongnya yang berbenturan dengan lantai rumah sakit.
***
TBC
“Aduh maaf. Aku ngga sengaja. Ada yang sakit ngga?” tanya Kevin saat elihat seorang gadis terjatuh karena kecerobohan dirinya yang berlarian di sepanjang lorong rumah sakit. Ia mengulurkan tangannya kearah gadis dengan rambut panjang bergelombang. Si gadis mendongakkan kepalanya dan menatapnya garang. Kevin merasa tersihir dengan kedua mata indah si gadis dan juga wajahnya yang tengah marah.Cantik.Itulah yang terlintas dipikirannya. Si gadis manis yang sudah merebut kewarasannya itu mengomel panjang lebar. Entah apa yang diomelkan oleh gadis itu, Kevin tak terlalu mendengarkan karena saat ini kedua matanya tertuju kepada sesosok gadis cantik. “Eh…Maaf. Saya benar-benar minta maaf karena gara-
Andrea tengah bersiap-siap. Ia menyisir kembali rambutnya yang tampak rapi dengan jepitan lucu yang menahan poninya. Ia meraih tas sekolahnya lalu beranjak keluar dari kamarnya. Ia mendesah berat. Lagi-lagi ia sendirian dirumah. Kedua orang tuanya sudah tiga hari kembali ke Pontianak tempat dimana sang ayah bekerja. Ia kembali ditinggal dirumah sendiri dengan seorang pembantu yang bernama Bibi Iyem.“Eh non Drea udah siap-siap mau berangkat. Sarapan dulu non. Bibi udah siapin nasi goreng sosis kesukaan non.” Andrea langsung duduk manis di kursi meja makan sambil menyendok nasi goreng sosis kesukaannya.“Yummy bi. Kok Drea bikin sendiri ngga seenak buatan bibi sih.” ucap Drea sambil mengunyah sar
Sudah beberapa hari ini Kevin tampak murung dan tak bersemangat. Ia belum juga bisa menemukan keberadaan gadis pujaan hatinya yang sudah membuat dunianya jungkir balik 180 derajat. “Kapan ya aku bisa ketemu kamu lagi gadis manis?” gumam Kevin dalam lamunannya. Sementara itu, Andrea tengah bermain di rumah Hendra. Ia menemani tantenya membuat kue untuk arisan nanti sore di rumah.Tiba-tiba ia teringat sesuatu. “Mas Hendra punya buku Fisika ngga? Pinjam donk.” ucap Andrea saat melihat Hendra tengah menonton siaran ulang grup sepak bole kesukaannya.“Ngga punya. Mas kan masuk IPS neng bukan IPA. Mana punya buku-buku anak IPA.” jawab Hendra sambil menoleh kearah Andrea.
“Kamu kemana tadi? Mas telepon ngga diangkat. Mas samperin ke rumah kata si bibi kamu udah berangkat ke toko buku. Kamu pergi sama siapa tadi?” cecar Hendra. Yang ditanya malah acuh tak acuh. Ia memilih menikmati makan malam buatan tantenya dibanding menjawab pertanyaan kakaknya.“Drea, jawab donk kalo mas tanya. Kamu tadi jadi pergi ngga? Sama siapa perginya?” tanya Hendra lagi. Andrea meletakkan sendoknya. Ia menatap Hendra yang tak sabar menanti jawabannya.“Aku jadi pergi ke toko buku, diantar sama seseorang. Soalnya aku minta tolong kakak ku tapi malah ngga nongol-nongol. Ya udah aku pergi sama yang lain.” Jawab Andrea kesal.
Sejak hari itu, Kevin rutin mengantar dan menjemput Andrea. Meski masih ketus dan jutek, nyatanya Andrea senang berdekatan dengan Kevin. Meski hubungan mereka belum ada kemajuan apa-apa tapi setidaknya Kevin tak perlu cari-cari alasan untuk ketemu Andrea.“Drea… tunggu.” Teriak Salsa melihat Andrea yang baru saja diantar kekasihnya. Andrea menoleh ke belakang dan melambaikan tangannya. Salsa pun turun dari mobilnya. Ia berlari menghampiri Andrea.“Duh yang udah ada yang antar-jemput mah beda euy. Bilang ngga jadian tapi lengket banget.” ucap Salsa sambil tersenyum.“Yang pacaran siap
Sepanjang jalan, Hendra tak mengajak Andrea bicara. Biasanya Hendra akan mengajaknya bicara apapun bahkan bercanda sepanjang perjalanan ke sekolah. Mengusir kebosanan dan lamanya waktu tempuh dari rumah ke sekolah di kala terjebak macet.Tapi pagi ini, Hendra tampak bungkam. Andrea tampak bosan terjebak macet tanpa di ajak bicara sedikitpun oleh Hendra. “Duh pegel.” ucap Andrea memulai percakapan.Hendra yang tengah fokus melihat jalanan hanya melirik sekilas ke belakang melalui kaca spion motornya. Tanpa bicara ia kembali mengalihkan pandangannya ke arah jalanan. Andrea semakin kesal. Ia paling tidak suka jika di diamkan
“Tunggu mas Hendra?” tanya Salsa saat melihat Andrea berdiri tak jauh dari gerbang sekolah. Gadis itu mengangguk. “Kamu belum pulang? Supir yang jemput kamu telat datang?” Andrea celingak-celinguk mencari keberadaan mobil mewah berwarna silver yang biasa mengantar-jemput temannya.“Ngga tahu nih. Tumben Mang Jajang telat jemput. Aku telpon ponselnya ngga aktif.”“Terus gimana donk? Masa kamu nunggu di sekolah sendirian? Udah mulai sepi nih.”“Gapapa kamu pulang duluan aja. Aku tunggu Mang Jajang. Tapi kalau belum datang juga ya terpaksa naik angkutan umum.”
Sementara itu, kecanggungan dapat dirasakan oleh Salsa dan Hendra. Sejak di paksa Andrea untuk mengantar temannya, Hendra diam seribu bahasa. Sesekali ia melirik ke arah belakang dari kaca spion motornya.Entah mengapa rasanya canggung mau mengajak Salsa mengobrol. Otaknya terasa membeku tiap kali mau mengeluarkan kata. Hendra yang masih berpikir harus mengobrol apa, tiba-tiba di kagetkan oleh suara teriakan Salsa yang memintanya berhenti.“Mas…Mas… berhenti!” teriak Salsa mengagetkan dirinya. Ia pun menginjak rem mendadak. Mereka nyaris terjatuh dari motor jika saja kedua kaki Hendra tidak kuat menahan.“Aduh!!” ringis Salsa k