Arif sempat menoleh beberapa saat ke arah Sumi. Sampai dia melihat Sumi mendadak pingsan di tengah poli. "Hei, ada yang pingsan! Ada yang pingsan!" seru beberapa orang dan mereka mengelilingi Sumi. Arif menarik tangan maminya. "Mami, Sumi pingsan!" seru Arif sambil mengajak maminya untuk kembali ke tempat Sumi tergeletak. "Rif, dia pasti hanya pura-pura saja.""Tapi Arif tidak tega, Mi. Paling tidak ayo kita tolong dulu. Nggak enak juga dengan keluarga pasien yang lain."Mami hanya menghela nafas kesal. Belum jadi menantu nya saja, Sumi sudah penuh dengan drama. Apalagi saat menjadi menantu. Bisa-bisa membuat mertuanya darah tinggi. Hiiy, amit-amit!Mami segera berjongkok mendekati kaki Sumi. Digelitiknya kaki Sumi. Sumi refleks menjauhkan kakinya dari Mami dan tertawa kegelian. Membuat orang-orang di sekitar nya heran dan bingung. Sumi terduduk lalu menatap sekeliling nya. Beberapa orang menatap Sumi dengan pandangan aneh. "Astaga, kamu tadi hanya pura-pura pingsan?""Kenapa kam
Motor Sumi menabrak tukang es cendol itu. Dan dia terjerembab mencium aspal. Sumi berusaha bangkit berdiri dengan susah payah. Tapi kakinya keseleo. Begitu pula gerobak es cendol yang ditabraknya menjadi terguling. Seluruh isinya, mulai dari toples kaca isi cendol, cincau, gula merah, dan baskom besarnya berisi santan tumpah dan berhamburan di jalanan. "Astaghfirullah, Mbak kalau naik motor hati-hati dong. Ini gimana dagangan saya," keluh pria pedagang es cendol itu. Ia kebingungan dan mengusap keringatnya dengan handuk kecil yang tersampir di lehernya, mengamati barang jualannya yang tak bisa diselamatkan. Sumi terdiam dan mengambil ancang-ancang untuk lari saat melihat Arif dan beberapa lelaki yang mengejar nya sudah mendekat. "Mbak! Ganti rugi, Mbak!"Sumi terus berlari dan tidak menghiraukan teriakan pedagang es cilok itu. "Astaghfirullah, kok ada perempuan seperti itu! Keterlaluan sekali. Awas ya Mbak, semoga perbuatan jahatmu dibalas oleh Allah setimpal!"Beberapa orang te
"Jadi laku berapa rumah kamu, Nas?" tanya Bunda saat tamu Nastiti yang menawar rumahnya baru saja pulang. "Hm, sekitar 400 juta. Akan dibayar dengan uang muka 200 juta besok dan bertahap akan dilunasi sampai akhir bulan ini, Bun.""Kalau begitu, kapan rumah ini akan dikosongkan?"Nastiti berdiam diri sejenak. "Sepertinya Minggu ini.""Apa kamu sudah mempunyai incaran rumah baru untuk tempat tinggal?" "Kalau keinginan Nastiti sih, Nastiti pingin nyari rumah di dekat rumah bunda. Lalu membangun tempat praktik pribadi.Kan lumayan Bunda, Nastiti bisa kerja dan mengasuh Ana. Selain itu bisa dekat dengan Bunda juga. Kalau Nastiti ada perlu ke luar kota untuk mencari syarat mendirikan tempat praktik, Bunda bisa menemani Ana, kan?""Wah, ide bagus. Kamu tidak usah beli rumah. Bunda ada sebidang tanah di samping rumah. Kamu tempatin saja. Memang bagian warisan untuk kamu."Mata Nasiti berbinar. "Wah, Alhamdulillah. Terima kasih Bunda. Sepertinya di desa kita kan masih kurang tempat praktik
"Benarkah apa yang dikatakan oleh mas Abdi, Bu?" tanya Sumi mendelik pada Tatik. Sumi tampak salah tingkah. "Sum, kamu nggak inget kalau suami kamu selingkuh dengan perempuan lain? Jadi ibu mengusir nya.""Demi Allah, saya tidak pernah selingkuh dengan siapapun."Arif dan mami nya terbengong-bengong melihat pertengkaran mereka bertiga. "Kalian saling mengenal?" tanya Arif tidak percaya. "Iya. Dia mantan istriku."Kini Arif yang tercengang dan menatap wajah Abdi, Sumi dan Tatik. "Kamu kan lihat sendiri, Sum. Beberapa tahun lalu kamu mendapati foto suami kamu dengan perempuan lain kan?"Abdi tersenyum kecut. "Perempuan itu .... Dia disuruh oleh Ibu kamu untuk memfitnahku sehingga bisa memisahkan kita."Abdi menghela nafas panjang lalu memperbaiki duduknya. "Tapi itu dulu. Aku sekarang sudah tidak peduli lagi dengan kamu dan ibu kamu."Wajah Tatik memucat. "Jangan sembarangan memfitnah saya, Di! Kamu enggak punya bukti apapun kalau mengatakan hal itu!"Abdi tersenyum kecut. "Peremp
Sumi tercengang. Seketika hatinya merasa terguncang.'Aku bukan anak ibu? Lalu siapakah ibuku? Kalau ibuku memang sudah meninggal, setidaknya aku ingin tahu dimana makamnya,' sahut Sumi. Sumi melangkah perlahan ke kamar Tatik. Hilang sudah rasa hausnya. "Buk."Tatik mendelik melihat Sumi yang mendekati nya. "Kamu, kamu belum tidur, Sum?" tanya Tatik seraya mengembalikan pigura berisi foto almarhum suami yang dipegangnya diatas nakas. Sumi menghela nafas. Tatik meliriknya. Dalam hati Tatik bertanya-tanya apakah Sumi mendengar apa yang diucapkannya tadi. "Buk." Sumi memanggil Tatik sekali lagi. Beribu pertanyaan berkelebat di kepalanya. Tapi tak sekalipun dia berani mengungkapkan nya. Karena dia takut akan mendengar jawaban yang membuatnya terpuruk. "Ada apa, Sum?" tanya Tatik lembut. Dulu Sumi sangat menyukai pelukan dan belaian ibunya. Tapi sekarang sepertinya semuanya berbeda. "Aku ..,""Kamu jangan sedih. Kalaupun kamu tidak bisa menggoda Abdi, ibu tidak keberatan. Kamu kan b
Beberapa hari sebelumnya,"Mbak, mungkin aku mau keluar aja dari rumah sakit."Mbak Eni, kepala ruangan sekaligus teman Nastiti mendelik. "Lho, kenapa kamu keluar? Jaman sekarang cari kerja susah lho. Apalagi lulusan bidan sekarang banyak banget."Nastiti menghela nafas. "Aku sudah bercerai dengan suamiku."Mbak Eni melongo. "Astaghfirullah! Kamu jangan bercanda, Nas!"Nastiti mengangguk. "Aku serius. Aku cerai karena mantan suamiku selingkuh dengan asisten rumah tangga ku. Aku mempunyai asisten rumah tangga karena kasihan pada Ana yang sendirian di rumah kalau aku dinas malam di rumah sakit.Kalau aku dinas sore dan baru pulang ke rumah hampir jam sepuluh malam itu juga salah satu alasan yang membuat mu mempunyai asisten rumah tangga karena tidak ada yang menemani Ana di rumah. Sedangkan mantan suamiku pulang kerja jam lima sore.""Tunggu, jadi selama ini kamu udah ngurus perceraian di pengadilan agama?"Nastiti mengangguk. "Kok nggak pernah bilang atau curhat apapun sama aku atau
Sumi menghela nafas panjang. Sebuah keputusan bulat telah diambilnya. Dan dia akan mengatakan nya pada ibu tirinya nanti.Sumi dengan langkah mantap menuju ke motornya. Dilajukannya kendaraan roda dua itu dengan kecepatan sedang. Sesampainya di rumahnya, dilihatnya Tatik sedang bersantai di ruang tamu."Bu, assalamualaikum."Sumi masuk ke dalam rumah, dan Tatik langsung menyambut kedatangannya. "Gimana dagangan kamu? Sepi? Rame? Udah tahu kan kalau cari duit itu susah?" sembur Tatik saat melihat Sumi masuk ke ruang tamu. "Bu, kalau ada orang mengucap salam itu, harusnya ibu jawab dulu salamnya.""Heh! Kamu jadi sok ya sekarang? Apa kalau kamu sok dan bersikap seperti sekarang bisa membuat kamu kaya dan dihormati orang?"Sumi duduk dan menatap ke arah ibunya. "Heh? Kok diam? Kamu sudah berani sama saya karena saya bukan ibu kandung kamu?" tanya Tatik kesal. "Bu, saya sudah memutuskan ingin mencari uang halal sekarang. Saya tidak peduli lagi kalau ibu mau marah atau pun mau membenc
"Astaghfirullah, Arif!"Sumi segera menghambur ke arah Arif dan menolong nya untuk bangun. Wajah Arif memerah karena terkena tali layangan dan terbentur kerikil dan pasir-pasir di jalanan kampung yang memang tidak terlalu halus. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Sumi sambil memberdirikan motor Arif yang masih tergolek di jalanan. Sementara Arif masih sibuk mengibaskan debu dari tubuh dan bajunya."Saya tidak apa-apa, Mbak. Terima ka ... lho Sumi?" tanya Arif kaget saat melihat mantan pacar sekaligus mantan pembantu nya yang sekarang berjilbab. "Kamu sekarang berjilbab, Sum?" tanya Arif takjub sekaligus kagum. "I-iya Rif. Aku ingin berjilbab mulai hari ini," sahut Sumi tertunduk. "Alhamdulillah. Semoga Istiqomah ya."Sumi mengangguk lalu pandangan nya terarah pada kumpulan bocah yang sedang bermain layang-layang dan telah mencelakai Arif. "Kalian ini kalau bermain layangan jangan di pinggir jalan. Kan membuat bahaya bagi orang lain dan pengguna jalan. Apa kalian tidak kasihan dengan ora
Nastiti hanya mengedikkan bahunya. "Entahlah, Mas. Aku juga tidak tahu. Aku tidak mengundang mereka kemari. Kita tunggu saja mereka. Aku juga ingin tahu ada perlu apa mereka kemari," sahut Nastiti lirih. "Bagus sekali ya klinik dan rumah baru kamu," ucap Sumi saat dia dan Arif sudah sampai di hadapan Narendra dan Nastiti. Nastiti tersenyum. "Terimakasih. Ayo silakan duduk di dalam dulu. Karena masih dalam acara syukuran," sahut Nastiti ramah. "Hm, ada acara syukuran? Kok kamu nggak ngundang aku, Nas? Mana Ana?" sela Arif. "Iya. Kami tidak mengundang kalian. Karena rumah kalian kan jauh di luar kabupaten sini. Selain itu acara ini juga untuk syukuran lamaran," sahut Narendra yang lalu berjalan dan menuju ke arah Nastiti lalu berada di depan calon istri nya. Tampak wajah Sumi dan Arif yang tercengang. "Wah, sudah lamaran? Syukur deh. Semoga lancar sampai hari H, ya?" ujar Sumi terdengar tulus. "Terima kasih, ayo masuk dulu. Kita ngobrol di dalam sambil menikmati suguhan. Aku yakin
"Iya. Nastiti bermimpi salat berdua dengan diimami oleh mas Narendra selama 3 kali," sahut Nastiti membuat semua orang yang ada di ruang tamunya mengucap hamdalah. "Kalau begitu ayo kita menikah," ajak Narendra membuat Nastiti mendelik. "Tidak secepat itu, Mas Rendra.""Kenapa enggak? Kita sama-sama sudah siap dan sudah berumur juga. Apa menunggu rumah dan tempat praktik kamu selesai? Sekalian untuk acara syukuran?""Itu lebih, Mas. Daripada terburu-buru.""Baiklah. Aku setuju.""Bunda juga setuju.""Kamu ingin acaranya dibuat sederhana atau meriah?""Yang sederhana saja. Yang pentin khidmat.""Lalu kapan acara pernikahan nya?"Nastiti mendelik mendengar kan ucapan Narendra. "Ya Allah, Mas. Belum aja lamaran, kamu udah nanyain tanggal pernikahan," ucap Nastiti tertawa. Narendra tersenyum dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Yah, gimana ya. Kan sudah duda 4 tahun. Jadi rasanya kalau sudah menemukan yang pas, lebih baik, langsung akad," seloroh nya disambut cubitan bunda. "W
Tatik menerima vonis dari hakim dengan kepala tertunduk. Dikumpulkannya semua rasa semua rasa dendam dalam hatinya. "Oke. Mungkin saat ini aku kalah. Tapi aku tidak akan pernah menyerah. Aku akan balas dendam setelah aku keluar dari penjara," gumam Tatik dalam hati. *"Bagaimana tadi sidangnya, Sum?" tanya Arif yang duduk di teras rumah Sumi. "Alhamdulillah, lancar."Sumi pun menceritakan tentang sidang yang terjadi di pengadilan tadi. Arif terlihat manggut-manggut. "Baguslah kalau begitu. Sekarang kamu bisa fokus mencari kebahagiaan kamu."Sumi mengangguk. "Oh ya, kalau kita menikah, kita akan tinggal dimana, Rif?" tanya Sumi. Arif menghela nafas panjang. "Aku juga kepikiran hal itu. Kalau aku menikah dan tinggal di rumah kamu, aku merasa kasihan pada mami.Tapi kalau kamu ikut aku ke rumah mami, kasihan anak-anak kamu. Masa setahun pindah sekolah dua kali. Lagipula warung kamu hampir jadi," sahut Arif lirih sambil menatap bangunan mungil di depan teras rumah Sumi. Rumah waris
Mata Sumi membulat. "Benarkah, Rif?"Arif mengangguk meskipun dia juga ragu membuat Sumi menjadi ragu dan tidak percaya. "Rif, aku serius. Aku benar-benar ingin mempunyai imam yang menerima aku dan anak-anak ku. Yang bisa membimbing, menafkahi, dan mengayomi. Aku terima semua keadaan kamu. Kita juga pernah berbuat sesuatu yang haram kan? Aku ingin kita sama-sama memperbaiki nya, Rif." Sumi tertunduk. Arif menjadi tidak tega saat melihat mantan pacarnya itu. "Sum, aku bilang kan aku mau menerima perasaan kamu. Aku mau menerima kelemahan dan kelebihan kamu. Baiklah, ayo kita mulai dari awal ya."Sumi mengangguk. Matanya berkaca-kaca. "Tapi aku ingin kamu berjanji satu hal padaku, Rif.""Apa itu, Sum?""Jangan pernah menghadirikan pihak ketiga dalam rumah tangga kita. Termasuk mbak Nastiti. Kamu mau kan?"Arif mengangguk pelan. Dia juga heran, dulu saat masih menikah dengan Nastiti, dia justru ingin bersama Sumi. Sekarang saat Sumi sudah di depan matanya dan dalam kondisi yang lebih
Flash back on. Arif menutup teleponnya dengan perasaan yang campur aduk. Ini kesekian kalinya, Ana menelepon nya dan menanyakan kapan Arif pulang. Dan Arif juga sudah kesekian kalinya berbohong bahwa Arif masih sangat sibuk dengan pekerjaannya dan belum bisa pulang. "Kenapa kamu?" tanya maminya sambil membawa piring besar berisi ayam dan tahu krispi. Arif menghela nafas panjang dan menatap mamanya dengan pandangan bingung. "Aku kangen Ana, Mi."Maminya menarik kursi di hadapan Arif dan menduduki nya."Ya sudah. Kalau begitu kamu jenguk saja anak kamu. Ayo, mami juga ikut."Arif menopang dagunya dengan tangan. "Apa mami pikir akan semudah itu untuk menjenguk Ana? Arif bisa berbohong kalau lewat telepon. Tapi kalau bertemu langsung dengan Ana, Arif tidak akan berani berbohong. Arif tidak tega untuk mengatakan bahwa ayah dan ibunya sudah bercerai."Maminya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Terus kamu maunya apa? Itu kan semua menjadi salah kamu. Seharusnya sebelum kamu selingk
Arrgh! Tatik menjerit dan tubuhnya lemas seketika di samping ransum makanan nya. "Heh, dia pingsan beneran?" tanya salah seorang pengeroyoknya. "Ah, dia pasti pura-pura pingsan karena takut akan dikeroyok lagi!""Kita ambil saja makanan nya!""Kalau nanti kita dimarahi petugas gimana?""Salah sendiri. Coba dia nggak pelit buat bagi makanannya. Pasti dia nggak akan jadi seperti ini."Beberapa pengeroyok Tatik mulai mendekat ke arah Tatik. Dan mulai mengerubuti makanan yang ada di depan nya. "Heh, kalian!! Jangan ribut-ribut saat makan!" Sebuah suara menghentikan para pengeroyok Tatik yang sedang makan. Mendadak, Tatik terbangun dan menghambur ke arah petugas yang datang."Tolong! Tolong saya, Bu! Ini ada orang-orang gila yang mau merebut makanan saya!" seru Tatik sambil berpegangan pada tiang besi penjara yang dingin. Petugas itu terkejut saat melihat kondisi tubuh Tatik yang penuh dengan luka lebam. "Hm, ini pasti ulah kalian. Kalian harus menerima sanksi disiplin!" sahut petug
"Ceritanya panjang, tapi siapa bapak dan ibu ini? Kenapa ada di makam ibu saya?""Dewi Setyorini itu saudara kami. Kami empat bersaudara. Kami dulu punya sopir pribadi bernama Syarif Kasim. Ya, kuburannya berada di sana." Salah seorang peziarah itu menunjuk ke arah kuburan bapaknya Sumi. "Jadi bapak saya itu adalah sopir pribadi kalian?" tanya Sumi dengan suara tercekat. Ketiga peziarah itu mengangguk. "Ceritanya panjang, apa kamu sudah makan? Sepertinya kita harus bicara secara khusus. Apa kamu ada waktu untuk makan siang bersama kami?" Sumi berpikir sejenak. "Baiklah. Tapi jangan lama-lama, Bu. Karena saya mempunyai dua anak yang saya tinggal sendirian di rumah.""Wah, jadi kamu sudah punya anak?" Sumi mengangguk."Ya sudah kalau begitu, ayo kita ke kafe resto sekarang. Daripada kesiangan nanti. Kamu bawa kendaraan? Apa ikut mobil kami?""Saya bawa kendaraan, Bu.""Ya sudah, ikuti mobil kami ya. Di dekat sini ada kafe resto yang enak banget."*"Jadi Dewi adalah kakak sulung kam
Tatik tersenyum meledek melihat Sumi yang datang menjenguknya."Datang juga kamu. Aku pikir kamu tidak akan kesini dan menjadi anak durhaka," ucap Tatik menatap wajah Sumi. Sumi duduk di depan ibu tirinya dengan tenang. "Hm, Bu, saya kesini dengan dua kemungkinan. Bisa mengusahakan uang untuk sewa pengacara. Tapi bisa juga untuk membuat ibu dipenjara lebih lama lagi."Mata Tatik membulat. "Apa maksudmu?""Ehm, mungkin ibu akan langsung mengerti kalau aku mengatakan tentang Rina."Tatik tercengang, mulutnya menganga. "Kamu tidak akan bisa memenjarakan ku lebih lama. Kamu kan sudah kurawat dari bayi?"Sumi tertawa. "Ibu salah. Aku bisa melakukan ancamanku membuat ibu dipenjara lebih lama. Caranya sederhana saja. Aku telah memeriksa kamar ibu. Hal yang selama ini tidak pernah kulakukan. Dan aku telah menemukan akta kelahiran ku yang asli. Kalau ibu tidak mau menunjukkan dimana makam ibu kandung ku, akan kulaporkan ibu telah memalsukan dokumen.""Kamu mengancamku? Dasar anak tidak ta
"Astaghfirullah. Aku sedang ada perlu urusan rumah Mas. Kamu share loct rumah sakitnya ya. Aku ke sana sekarang!""Ada apa, Mbak?" tanya Narendra saat melihat Nastiti yang menyelempangkan tasnya dengan panik. "Kakak lelaki ku menelepon kalau bunda kecelakaan dan butuh darah," sahut Nastiti seraya berdiri. "Pak Rendra, karena urusan rumah kita sudah selesai, saya pamit dulu akan ke rumah sakit.""Tunggu! Saya ikut, Mbak!"Nastiti menoleh dan terkejut dengan ucapan Narendra. "Ini sudah tidak ada urusan nya dengan rumah yang saya jual, Pak. Ini urusan keluarga saya.""Ya saya tahu. Saya hanya ingin mengenal mbak dan keluarga lebih dekat."Nastiti melongo. "Tapi ..,""Ayo kita berangkat, Mbak. Kan tadi mbak bilang kalau bundanya butuh darah. Ayo kita berangkat sekarang."Narendra berdiri dan berjalan terlebih dahulu ke arah kasir. Dan setelah dia menyelesaikan pembayaran, Narendra mengikuti Nastiti menuju ke mobilnya. *Nastiti dan Narendra berjalan tergesa di lorong rumah sakit yang