Sumi menghela nafas panjang. Sebuah keputusan bulat telah diambilnya. Dan dia akan mengatakan nya pada ibu tirinya nanti.Sumi dengan langkah mantap menuju ke motornya. Dilajukannya kendaraan roda dua itu dengan kecepatan sedang. Sesampainya di rumahnya, dilihatnya Tatik sedang bersantai di ruang tamu."Bu, assalamualaikum."Sumi masuk ke dalam rumah, dan Tatik langsung menyambut kedatangannya. "Gimana dagangan kamu? Sepi? Rame? Udah tahu kan kalau cari duit itu susah?" sembur Tatik saat melihat Sumi masuk ke ruang tamu. "Bu, kalau ada orang mengucap salam itu, harusnya ibu jawab dulu salamnya.""Heh! Kamu jadi sok ya sekarang? Apa kalau kamu sok dan bersikap seperti sekarang bisa membuat kamu kaya dan dihormati orang?"Sumi duduk dan menatap ke arah ibunya. "Heh? Kok diam? Kamu sudah berani sama saya karena saya bukan ibu kandung kamu?" tanya Tatik kesal. "Bu, saya sudah memutuskan ingin mencari uang halal sekarang. Saya tidak peduli lagi kalau ibu mau marah atau pun mau membenc
"Astaghfirullah, Arif!"Sumi segera menghambur ke arah Arif dan menolong nya untuk bangun. Wajah Arif memerah karena terkena tali layangan dan terbentur kerikil dan pasir-pasir di jalanan kampung yang memang tidak terlalu halus. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Sumi sambil memberdirikan motor Arif yang masih tergolek di jalanan. Sementara Arif masih sibuk mengibaskan debu dari tubuh dan bajunya."Saya tidak apa-apa, Mbak. Terima ka ... lho Sumi?" tanya Arif kaget saat melihat mantan pacar sekaligus mantan pembantu nya yang sekarang berjilbab. "Kamu sekarang berjilbab, Sum?" tanya Arif takjub sekaligus kagum. "I-iya Rif. Aku ingin berjilbab mulai hari ini," sahut Sumi tertunduk. "Alhamdulillah. Semoga Istiqomah ya."Sumi mengangguk lalu pandangan nya terarah pada kumpulan bocah yang sedang bermain layang-layang dan telah mencelakai Arif. "Kalian ini kalau bermain layangan jangan di pinggir jalan. Kan membuat bahaya bagi orang lain dan pengguna jalan. Apa kalian tidak kasihan dengan ora
Beberapa saat sebelum nya,"Duh, pengen beli baju dan beli emas-emasan. Tapi enggak ada duit," gumam Tatik yang sedang melamun di ruang tamu rumahnya. Tatik mengganti-ganti saluran tivi tanpa berniat benar-benar melihat nya. Lalu dimatikan nya benda kotak ini. Dia lalu berdiri dan menggeliat kan badannya ke kanan dan ke kiri. "Hm, lebih baik aku jalan-jalan saja ke alun-alun. Siapa tahu ada laki-laki yang bisa kuperkenalkan pada Sumi," gumam Tatik lalu berjalan keluar dari rumah. Tatik mengendarai motor bututnya ke alun-alun dan saat melewati toko emas, Sumi menghentikan motornya. Perempuan itu iseng ingin masuk dan melihat-lihat perhiasan untuk cuci mata. Mendadak pandangannya tertuju pada seorang perempuan setengah baya yang di menjual seluruh emasnya di toko itu. Tatik mendekat ke arah perempuan itu dan dengan berpura-pura bertanya harga perhiasan di dalam etalase, dia mencuri dengar pembicaraan antara pemilik toko emas itu dengan perempuan setengah baya. Tatik seketika mend
"Ayo ikut kami ke kantor polisi!"Tatik terdiam, pandangan nya kosong menatap ke arah betisnya yang terserempet peluru itu. "Ayo ikut kami, Bu!"Kedua polisi itu menarik tangan Tatik dengan paksa. Dan Tatik pun berdiri perlahan. "Saya tidak bersalah, Pak. Ini semua salah anak saya," ucap Tatik lirih. "Ibu ikut kami dulu ke kantor polisi. Barang bukti sudah lengkap dan semua mengarah pada Ibu sebagai tersangka. Kalau menurut ibu, anak ibu juga termasuk tersangka, kami juga akan meminta nya datang sebagai saksi terlebih dulu.""Kenapa dia hanya sebagai saksi? Anak saya itu yang menjadi dalang utama saya merampas tas. Kalau tidak karena anak saya, saya tidak mungkin merampas tas orang lain!""Sekarang Ibu ikut kami ke kantor polisi dulu!"Polisi itu menggelandang Tatik yang berjalan tertatih karena kakinya terluka. Salah satu Polisi segera mengamankan tas yang telah dirampas oleh Tatik sebagai barang bukti. "Ibu! Ibu apa yang terjadi sampai dicari polisi?" tanya Sumi menghambur ke a
"Astaghfirullah. Aku sedang ada perlu urusan rumah Mas. Kamu share loct rumah sakitnya ya. Aku ke sana sekarang!""Ada apa, Mbak?" tanya Narendra saat melihat Nastiti yang menyelempangkan tasnya dengan panik. "Kakak lelaki ku menelepon kalau bunda kecelakaan dan butuh darah," sahut Nastiti seraya berdiri. "Pak Rendra, karena urusan rumah kita sudah selesai, saya pamit dulu akan ke rumah sakit.""Tunggu! Saya ikut, Mbak!"Nastiti menoleh dan terkejut dengan ucapan Narendra. "Ini sudah tidak ada urusan nya dengan rumah yang saya jual, Pak. Ini urusan keluarga saya.""Ya saya tahu. Saya hanya ingin mengenal mbak dan keluarga lebih dekat."Nastiti melongo. "Tapi ..,""Ayo kita berangkat, Mbak. Kan tadi mbak bilang kalau bundanya butuh darah. Ayo kita berangkat sekarang."Narendra berdiri dan berjalan terlebih dahulu ke arah kasir. Dan setelah dia menyelesaikan pembayaran, Narendra mengikuti Nastiti menuju ke mobilnya. *Nastiti dan Narendra berjalan tergesa di lorong rumah sakit yang
Tatik tersenyum meledek melihat Sumi yang datang menjenguknya."Datang juga kamu. Aku pikir kamu tidak akan kesini dan menjadi anak durhaka," ucap Tatik menatap wajah Sumi. Sumi duduk di depan ibu tirinya dengan tenang. "Hm, Bu, saya kesini dengan dua kemungkinan. Bisa mengusahakan uang untuk sewa pengacara. Tapi bisa juga untuk membuat ibu dipenjara lebih lama lagi."Mata Tatik membulat. "Apa maksudmu?""Ehm, mungkin ibu akan langsung mengerti kalau aku mengatakan tentang Rina."Tatik tercengang, mulutnya menganga. "Kamu tidak akan bisa memenjarakan ku lebih lama. Kamu kan sudah kurawat dari bayi?"Sumi tertawa. "Ibu salah. Aku bisa melakukan ancamanku membuat ibu dipenjara lebih lama. Caranya sederhana saja. Aku telah memeriksa kamar ibu. Hal yang selama ini tidak pernah kulakukan. Dan aku telah menemukan akta kelahiran ku yang asli. Kalau ibu tidak mau menunjukkan dimana makam ibu kandung ku, akan kulaporkan ibu telah memalsukan dokumen.""Kamu mengancamku? Dasar anak tidak ta
"Ceritanya panjang, tapi siapa bapak dan ibu ini? Kenapa ada di makam ibu saya?""Dewi Setyorini itu saudara kami. Kami empat bersaudara. Kami dulu punya sopir pribadi bernama Syarif Kasim. Ya, kuburannya berada di sana." Salah seorang peziarah itu menunjuk ke arah kuburan bapaknya Sumi. "Jadi bapak saya itu adalah sopir pribadi kalian?" tanya Sumi dengan suara tercekat. Ketiga peziarah itu mengangguk. "Ceritanya panjang, apa kamu sudah makan? Sepertinya kita harus bicara secara khusus. Apa kamu ada waktu untuk makan siang bersama kami?" Sumi berpikir sejenak. "Baiklah. Tapi jangan lama-lama, Bu. Karena saya mempunyai dua anak yang saya tinggal sendirian di rumah.""Wah, jadi kamu sudah punya anak?" Sumi mengangguk."Ya sudah kalau begitu, ayo kita ke kafe resto sekarang. Daripada kesiangan nanti. Kamu bawa kendaraan? Apa ikut mobil kami?""Saya bawa kendaraan, Bu.""Ya sudah, ikuti mobil kami ya. Di dekat sini ada kafe resto yang enak banget."*"Jadi Dewi adalah kakak sulung kam
Arrgh! Tatik menjerit dan tubuhnya lemas seketika di samping ransum makanan nya. "Heh, dia pingsan beneran?" tanya salah seorang pengeroyoknya. "Ah, dia pasti pura-pura pingsan karena takut akan dikeroyok lagi!""Kita ambil saja makanan nya!""Kalau nanti kita dimarahi petugas gimana?""Salah sendiri. Coba dia nggak pelit buat bagi makanannya. Pasti dia nggak akan jadi seperti ini."Beberapa pengeroyok Tatik mulai mendekat ke arah Tatik. Dan mulai mengerubuti makanan yang ada di depan nya. "Heh, kalian!! Jangan ribut-ribut saat makan!" Sebuah suara menghentikan para pengeroyok Tatik yang sedang makan. Mendadak, Tatik terbangun dan menghambur ke arah petugas yang datang."Tolong! Tolong saya, Bu! Ini ada orang-orang gila yang mau merebut makanan saya!" seru Tatik sambil berpegangan pada tiang besi penjara yang dingin. Petugas itu terkejut saat melihat kondisi tubuh Tatik yang penuh dengan luka lebam. "Hm, ini pasti ulah kalian. Kalian harus menerima sanksi disiplin!" sahut petug