"Ma, Mama tukang nyuntik ya?" Aku mengangguk dan menjawil dagu Ana. "Iya, mama itu tukang nyuntik dan tukang bantu melahirkan pasien hamil.""Pasien hamil? Kayak Papa?"Mata mungilnya menatap ke arah pasien hamil yang baru saja turun dari mobil di area parkir klinik. Aku mengerutkan dahi. "Apa maksud kamu, Sayang?""Iya, papa kayak orang hamil kadang, Ma. Perutnya gede dan pake selimut. Kayak orang hamil barusan, Ma." Tunjuk Ana ke arah ibu-ibu hamil yang baru masuk ke IGD. "Lha, masa? Kapan Sayang?""Kalau malam. Kalau mama sedang di kerja di sini," celoteh Ana sambil menyuapkan es krim vanila yang tadi kubelikan ke dalam mulutnya."Papa nggak hamil, Sayang. Laki-laki nggak akan bisa hamil. Buktinya kalau siang papa perutnya biasa aja kan?" tanyaku pada putri kecilku. Ana terdiam. "Beneran, Ma. Papa hamil. Lalu papa kayak merintih kesakitan gitu."Aku semakin tercengang. "Emang kamu lihat papa sedang hamil dimana?""Kadang di kamar Ana, kadang di kamar Mbak Sumi. Kadang di kamar
"Mas, ngotak ngatik apa sih? Asyik bener kayaknya?"Aku melongokkan kepala dan mencoba melihat apa yang sedang ditonton suamiku di layar ponselnya."Kerjaan. Nih, tim promosi nanyain tentang kerjaan tadi."Dengan terburu-buru, mas Arif menutup layar ponsel. Sekilas aku sempat melihat kalau dia membuka pesan whatsapp."Yuk, tidur saja." Mas Arif meletakkan ponselnya di atas nakas dan tidur memelukku. Perlahan dia mulai mencium kening dan hidung. "Mas pingin, Nas," bisiknya mendayu di telinga. Aku menahan nafas. Biasanya kalau dia menginginkannya, aku akan langsung memberikan respon yang lebih agresif. Tapi begitu ingat perkataan Ana, tanda merah di leher Mbak Sumi, dan kejadian di dapur tadi, rasanya aku tidak bergai rah. Lagipula aku sedang mendapat tamu bulanan. Ah, lebih baik, mas Arif kupermainkan sedikit. Siapa tahu ada jejak petualangan mbak Sumi di tubuhnya."Hm, tentu saja." Aku tersenyum, mengedipkan sebelah mata dan membuka kaosnya. Sejenak berhenti karena mendadak terbay
[Oke. Nas. Besok aku akan gantiin kamu dinas. Aku kan juga punya hutang dinas ke kamu.]Rupanya belum tidur si Arum ini. Sejenak aku memutar ponsel dalam genggaman tangan. Ragu untuk memutuskan apakah aku akan cerita tentang perselingkuhan suamiku atau tidak. Beberapa saat terdiam. Menimbang dan merenungkan apakah akan menceritakan tentang masalah rumah tangga ku atau tidak padahal masih dalam tahap dugaan. [Rum, kamu belum tidur?][Belum. Ada apa, Nas?][Kalau suami kamu selingkuh, apa yang akan kamu lakukan?][Hm, ya sudah. Aku relain aja buat pelakor. Sampah emang cocok sama lalat. Tapi sepertinya mas Adin lempeng-lempeng saja. Ada apa sih?][Nggak. Nggak apa-apa. Emang menurut kamu, orang selingkuh itu apa karena kekurangan si istri?][Nggak juga. Ada laki-laki yang dianugerahi istri cantik, mandiri, dan sudah punya anak, mahir di ranjang, tapi tetap selingkuh. Itu karena lakinya aja yang matanya kelilipan jambul kalkun! Ada apa sih? Jangan bilang kalau suami kamu ...][Enggak.
"Astaga, Sumi ..!" seru mas Arif berdiri dari kursinya. Lalu beberapa detik kemudian dia menatapku dan Ana bergantian. "Ehem, kamu kenapa sih Sum dari kemarin sembrono dan ceroboh?" tanya mas Arif dengan nada tegas. "Mbak Sumi kenapa?" tanyaku mendekat ke arahnya. Mbak Sumi perlahan berdiri dari jatuh tertelungkupnya. Kening dan lututnya lecet. "Sa-saya tadi terpeleset, Bu," jawabnya lirih tertunduk. Tapi aku bisa dengan jelas kalau ekor matanya menatap ke arah suamiku yang sedang meneruskan makannya. "Lantainya yang licin atau mbak Sumi yang tidak fokus karena memikirkan laki-laki?" sindirku tersenyum. Wajah mbak Sumi langsung memerah. "Dua-duanya. Eh, maksud saya lantainya licin dan saya sedang memikirkan anak saya.""Hm, kalau Mbak Sumi kangen sama kedua anak Mbak, lebih baik mbak ambil libur dulu. Apa tiga hari cukup untuk pulang kampung?""Saya nggak mau pulang kampung, Bu!" cetus mbak Sumi spontan. Tapi selanjutnya dia menutup mulut. "Lha, katanya tadi sedang memikirkan
Aku menggenggam tangan mertuaku. "Mi, maafkan Nastiti yang abai pada kondisi Mami.""Nggak apa-apa. Bocornya nggak terlalu banyak kok."Mami melihat klengkeng yang kubawa. "Kamu repot-repot aja, Nas.""Nggak kok, Mi. Tadi ada teman kerja yang baru panen klengkeng. Jadi Nastiti langsung kemari karena ingat sama mami.""Mami beruntung sekali bertemu dengan menantu seperti kamu.""Nastiti juga bahagia punya mertua seperti mami."Suasana hening sejenak. "Kamu, tidak sedang ada masalah dengan suami kamu kan?"Aku menelan ludah. Mertuaku peka sekali. Mungkin curiga sejak aku datang sendiri kemari. Tapi kalau aku menceritakannya pada beliau sekarang, ada dua kemungkinan yang akan terjadi.Pertama, mertuaku akan membelaku dan membantuku melakukan rencanaku. Kedua, mertuaku akan mengadu pada mas Arif dan justru menyalahkanku. Ah, aku tidak mau mengambil resiko. "Nggak ada, Mi. Semua baik-baik saja."Mertuaku menatapku antusias. "Hm, mami dulu guru lho, Nas. Jadi tahu kalau lawan bicara sedan
"Maaf, Bu. Tadi saya cuma kaget mendengar ucapan Ibu tentang Pak Arif."Aku menatap tajam ke arah Sumi yang sedang berdiri di antara pecahan botol kaca. "Apa kamu tahu sesuatu tentang selingkuhan suami saya?Mata Sumi membulat. "Apa maksudnya, Bu? Tidak mungkin pak Arif selingkuh. Sepertinya bapak sangat mencintai Bu Nas."Aku menghela nafas panjang. "Aku punya buktinya, Sum.""Ap-pa? Bukti Bu? Bukti apa? Siapa selingkuhan pak Arif, Bu? Dan apa yang akan ibu lakukan pada pak Arif dan selingkuhannya?"Aku pura-pura bingung. "Mbak, awalnya aku hanya ingin curhat alias sharing tentang suami saya pada Mbak Sumi. Tapi sepertinya mbak Sumi justru lebih tertarik dengan berita ini daripada saya," pancingku. "Jangan-jangan, kamu tahu sesuatu tentang selingkuhan Bapak? Mungkin ada yang mencurigakan saat saya sedang dinas dan bapak sendiri di rumah. Mungkin bapak juga tidak pulang ke rumah saat saya sedang dinas di klinik?" cecarku."Saya tidak tahu menahu, Bu. Tapi kalau ibu mengatakan bahwa
"Malah sekarang yang aneh kamu sama Mbak Sumi. Kok bisa sih mbak Sumi ngurusin kamu selingkuh atau nggak? Sebenarnya yang istri mu itu aku apa mbak Sumi?"Mas Arif menelan ludah dan menatapku dengan pandangan yang tak bisa kuartikan. "Nas, apa kamu mencintaiku?"Aku semakin heran dan bingung dengan mas Arif. Dia yang selingkuh tapi dia yang meragukan cintaku. Apa semua lelaki yang berselingkuh menjadi aneh seperti ini?"Kok kamu aneh sih, Mas? Kenapa nanyanya kek gitu?""Jawab saja, Nas. Apa kamu mencintaiku?" Aku terdiam dan memalingkan muka."Nas, jawab dulu pertanyaanku. Apa kamu mencintaiku? Apa kamu memaafkan kalau aku khilaf?"Aku terdiam. Apa mas Arif tahu kalau aku sudah menyadap wanya? Apa dia juga tahu kalau aku memergoki dia selingkuh?"Apa kamu khilaf?! Khilaf yang seperti apa, Mas? Dan dengan siapa?! Sekedar chating, atau sudah tidur bersama?"Mas Arif terdiam. "Kok diam? Apa pertanyaan ku benar? Dengan siapa Mas? Jawab aku? Dengan teman kantormu kah? Atau ada yang lai
Mas Arif berada di kamar Sumi. Mereka berdua di atas ranjang milik perempuan itu dengan baju yang acak-acakan!Kutahan air mata yang hendak keluar. 'Jangan nangis, jangan cengeng, jangan buang air mata untuk laki-laki tidak berperasaan seperti dia. Bukankah aku yang menyelidiki perselingkuhan mereka? Dan kini Tuhan telah menampakkan bukti konkret di hadapanku. Jadi, aku tidak boleh lemah dan buang-buang air mata. Harus kuat dan menjalankan rencana sebagaimana mestinya. Bukankah bukti ini pula yang sudah ku tunggu-tunggu?' batinku. Aku menegarkan hati dan mengamati adegan itu. Mbak Sumi di atas tubuh mas Arif. Kedua tangannya saling menyangga hingga tidak menimpa badan suamiku. Samar-samar terdengar suara percakapan antara keduanya. Aku memang membeli cctv yang lebih mahal. Yang bisa terdengar suaranya. "Rif, kamu jahat! Kamu tega tadi pamer kemesraan dengan istrimu padaku? Memberikan kejutan juga padanya? Kamu pikir hatiku terbuat dari apa? Batu?! Aku cemburu!"Aku menatap tegan
Nastiti hanya mengedikkan bahunya. "Entahlah, Mas. Aku juga tidak tahu. Aku tidak mengundang mereka kemari. Kita tunggu saja mereka. Aku juga ingin tahu ada perlu apa mereka kemari," sahut Nastiti lirih. "Bagus sekali ya klinik dan rumah baru kamu," ucap Sumi saat dia dan Arif sudah sampai di hadapan Narendra dan Nastiti. Nastiti tersenyum. "Terimakasih. Ayo silakan duduk di dalam dulu. Karena masih dalam acara syukuran," sahut Nastiti ramah. "Hm, ada acara syukuran? Kok kamu nggak ngundang aku, Nas? Mana Ana?" sela Arif. "Iya. Kami tidak mengundang kalian. Karena rumah kalian kan jauh di luar kabupaten sini. Selain itu acara ini juga untuk syukuran lamaran," sahut Narendra yang lalu berjalan dan menuju ke arah Nastiti lalu berada di depan calon istri nya. Tampak wajah Sumi dan Arif yang tercengang. "Wah, sudah lamaran? Syukur deh. Semoga lancar sampai hari H, ya?" ujar Sumi terdengar tulus. "Terima kasih, ayo masuk dulu. Kita ngobrol di dalam sambil menikmati suguhan. Aku yakin
"Iya. Nastiti bermimpi salat berdua dengan diimami oleh mas Narendra selama 3 kali," sahut Nastiti membuat semua orang yang ada di ruang tamunya mengucap hamdalah. "Kalau begitu ayo kita menikah," ajak Narendra membuat Nastiti mendelik. "Tidak secepat itu, Mas Rendra.""Kenapa enggak? Kita sama-sama sudah siap dan sudah berumur juga. Apa menunggu rumah dan tempat praktik kamu selesai? Sekalian untuk acara syukuran?""Itu lebih, Mas. Daripada terburu-buru.""Baiklah. Aku setuju.""Bunda juga setuju.""Kamu ingin acaranya dibuat sederhana atau meriah?""Yang sederhana saja. Yang pentin khidmat.""Lalu kapan acara pernikahan nya?"Nastiti mendelik mendengar kan ucapan Narendra. "Ya Allah, Mas. Belum aja lamaran, kamu udah nanyain tanggal pernikahan," ucap Nastiti tertawa. Narendra tersenyum dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Yah, gimana ya. Kan sudah duda 4 tahun. Jadi rasanya kalau sudah menemukan yang pas, lebih baik, langsung akad," seloroh nya disambut cubitan bunda. "W
Tatik menerima vonis dari hakim dengan kepala tertunduk. Dikumpulkannya semua rasa semua rasa dendam dalam hatinya. "Oke. Mungkin saat ini aku kalah. Tapi aku tidak akan pernah menyerah. Aku akan balas dendam setelah aku keluar dari penjara," gumam Tatik dalam hati. *"Bagaimana tadi sidangnya, Sum?" tanya Arif yang duduk di teras rumah Sumi. "Alhamdulillah, lancar."Sumi pun menceritakan tentang sidang yang terjadi di pengadilan tadi. Arif terlihat manggut-manggut. "Baguslah kalau begitu. Sekarang kamu bisa fokus mencari kebahagiaan kamu."Sumi mengangguk. "Oh ya, kalau kita menikah, kita akan tinggal dimana, Rif?" tanya Sumi. Arif menghela nafas panjang. "Aku juga kepikiran hal itu. Kalau aku menikah dan tinggal di rumah kamu, aku merasa kasihan pada mami.Tapi kalau kamu ikut aku ke rumah mami, kasihan anak-anak kamu. Masa setahun pindah sekolah dua kali. Lagipula warung kamu hampir jadi," sahut Arif lirih sambil menatap bangunan mungil di depan teras rumah Sumi. Rumah waris
Mata Sumi membulat. "Benarkah, Rif?"Arif mengangguk meskipun dia juga ragu membuat Sumi menjadi ragu dan tidak percaya. "Rif, aku serius. Aku benar-benar ingin mempunyai imam yang menerima aku dan anak-anak ku. Yang bisa membimbing, menafkahi, dan mengayomi. Aku terima semua keadaan kamu. Kita juga pernah berbuat sesuatu yang haram kan? Aku ingin kita sama-sama memperbaiki nya, Rif." Sumi tertunduk. Arif menjadi tidak tega saat melihat mantan pacarnya itu. "Sum, aku bilang kan aku mau menerima perasaan kamu. Aku mau menerima kelemahan dan kelebihan kamu. Baiklah, ayo kita mulai dari awal ya."Sumi mengangguk. Matanya berkaca-kaca. "Tapi aku ingin kamu berjanji satu hal padaku, Rif.""Apa itu, Sum?""Jangan pernah menghadirikan pihak ketiga dalam rumah tangga kita. Termasuk mbak Nastiti. Kamu mau kan?"Arif mengangguk pelan. Dia juga heran, dulu saat masih menikah dengan Nastiti, dia justru ingin bersama Sumi. Sekarang saat Sumi sudah di depan matanya dan dalam kondisi yang lebih
Flash back on. Arif menutup teleponnya dengan perasaan yang campur aduk. Ini kesekian kalinya, Ana menelepon nya dan menanyakan kapan Arif pulang. Dan Arif juga sudah kesekian kalinya berbohong bahwa Arif masih sangat sibuk dengan pekerjaannya dan belum bisa pulang. "Kenapa kamu?" tanya maminya sambil membawa piring besar berisi ayam dan tahu krispi. Arif menghela nafas panjang dan menatap mamanya dengan pandangan bingung. "Aku kangen Ana, Mi."Maminya menarik kursi di hadapan Arif dan menduduki nya."Ya sudah. Kalau begitu kamu jenguk saja anak kamu. Ayo, mami juga ikut."Arif menopang dagunya dengan tangan. "Apa mami pikir akan semudah itu untuk menjenguk Ana? Arif bisa berbohong kalau lewat telepon. Tapi kalau bertemu langsung dengan Ana, Arif tidak akan berani berbohong. Arif tidak tega untuk mengatakan bahwa ayah dan ibunya sudah bercerai."Maminya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Terus kamu maunya apa? Itu kan semua menjadi salah kamu. Seharusnya sebelum kamu selingk
Arrgh! Tatik menjerit dan tubuhnya lemas seketika di samping ransum makanan nya. "Heh, dia pingsan beneran?" tanya salah seorang pengeroyoknya. "Ah, dia pasti pura-pura pingsan karena takut akan dikeroyok lagi!""Kita ambil saja makanan nya!""Kalau nanti kita dimarahi petugas gimana?""Salah sendiri. Coba dia nggak pelit buat bagi makanannya. Pasti dia nggak akan jadi seperti ini."Beberapa pengeroyok Tatik mulai mendekat ke arah Tatik. Dan mulai mengerubuti makanan yang ada di depan nya. "Heh, kalian!! Jangan ribut-ribut saat makan!" Sebuah suara menghentikan para pengeroyok Tatik yang sedang makan. Mendadak, Tatik terbangun dan menghambur ke arah petugas yang datang."Tolong! Tolong saya, Bu! Ini ada orang-orang gila yang mau merebut makanan saya!" seru Tatik sambil berpegangan pada tiang besi penjara yang dingin. Petugas itu terkejut saat melihat kondisi tubuh Tatik yang penuh dengan luka lebam. "Hm, ini pasti ulah kalian. Kalian harus menerima sanksi disiplin!" sahut petug
"Ceritanya panjang, tapi siapa bapak dan ibu ini? Kenapa ada di makam ibu saya?""Dewi Setyorini itu saudara kami. Kami empat bersaudara. Kami dulu punya sopir pribadi bernama Syarif Kasim. Ya, kuburannya berada di sana." Salah seorang peziarah itu menunjuk ke arah kuburan bapaknya Sumi. "Jadi bapak saya itu adalah sopir pribadi kalian?" tanya Sumi dengan suara tercekat. Ketiga peziarah itu mengangguk. "Ceritanya panjang, apa kamu sudah makan? Sepertinya kita harus bicara secara khusus. Apa kamu ada waktu untuk makan siang bersama kami?" Sumi berpikir sejenak. "Baiklah. Tapi jangan lama-lama, Bu. Karena saya mempunyai dua anak yang saya tinggal sendirian di rumah.""Wah, jadi kamu sudah punya anak?" Sumi mengangguk."Ya sudah kalau begitu, ayo kita ke kafe resto sekarang. Daripada kesiangan nanti. Kamu bawa kendaraan? Apa ikut mobil kami?""Saya bawa kendaraan, Bu.""Ya sudah, ikuti mobil kami ya. Di dekat sini ada kafe resto yang enak banget."*"Jadi Dewi adalah kakak sulung kam
Tatik tersenyum meledek melihat Sumi yang datang menjenguknya."Datang juga kamu. Aku pikir kamu tidak akan kesini dan menjadi anak durhaka," ucap Tatik menatap wajah Sumi. Sumi duduk di depan ibu tirinya dengan tenang. "Hm, Bu, saya kesini dengan dua kemungkinan. Bisa mengusahakan uang untuk sewa pengacara. Tapi bisa juga untuk membuat ibu dipenjara lebih lama lagi."Mata Tatik membulat. "Apa maksudmu?""Ehm, mungkin ibu akan langsung mengerti kalau aku mengatakan tentang Rina."Tatik tercengang, mulutnya menganga. "Kamu tidak akan bisa memenjarakan ku lebih lama. Kamu kan sudah kurawat dari bayi?"Sumi tertawa. "Ibu salah. Aku bisa melakukan ancamanku membuat ibu dipenjara lebih lama. Caranya sederhana saja. Aku telah memeriksa kamar ibu. Hal yang selama ini tidak pernah kulakukan. Dan aku telah menemukan akta kelahiran ku yang asli. Kalau ibu tidak mau menunjukkan dimana makam ibu kandung ku, akan kulaporkan ibu telah memalsukan dokumen.""Kamu mengancamku? Dasar anak tidak ta
"Astaghfirullah. Aku sedang ada perlu urusan rumah Mas. Kamu share loct rumah sakitnya ya. Aku ke sana sekarang!""Ada apa, Mbak?" tanya Narendra saat melihat Nastiti yang menyelempangkan tasnya dengan panik. "Kakak lelaki ku menelepon kalau bunda kecelakaan dan butuh darah," sahut Nastiti seraya berdiri. "Pak Rendra, karena urusan rumah kita sudah selesai, saya pamit dulu akan ke rumah sakit.""Tunggu! Saya ikut, Mbak!"Nastiti menoleh dan terkejut dengan ucapan Narendra. "Ini sudah tidak ada urusan nya dengan rumah yang saya jual, Pak. Ini urusan keluarga saya.""Ya saya tahu. Saya hanya ingin mengenal mbak dan keluarga lebih dekat."Nastiti melongo. "Tapi ..,""Ayo kita berangkat, Mbak. Kan tadi mbak bilang kalau bundanya butuh darah. Ayo kita berangkat sekarang."Narendra berdiri dan berjalan terlebih dahulu ke arah kasir. Dan setelah dia menyelesaikan pembayaran, Narendra mengikuti Nastiti menuju ke mobilnya. *Nastiti dan Narendra berjalan tergesa di lorong rumah sakit yang