"Astaga, Sumi ..!" seru mas Arif berdiri dari kursinya. Lalu beberapa detik kemudian dia menatapku dan Ana bergantian.
"Ehem, kamu kenapa sih Sum dari kemarin sembrono dan ceroboh?" tanya mas Arif dengan nada tegas."Mbak Sumi kenapa?" tanyaku mendekat ke arahnya.Mbak Sumi perlahan berdiri dari jatuh tertelungkupnya. Kening dan lututnya lecet."Sa-saya tadi terpeleset, Bu," jawabnya lirih tertunduk. Tapi aku bisa dengan jelas kalau ekor matanya menatap ke arah suamiku yang sedang meneruskan makannya."Lantainya yang licin atau mbak Sumi yang tidak fokus karena memikirkan laki-laki?" sindirku tersenyum.Wajah mbak Sumi langsung memerah."Dua-duanya. Eh, maksud saya lantainya licin dan saya sedang memikirkan anak saya.""Hm, kalau Mbak Sumi kangen sama kedua anak Mbak, lebih baik mbak ambil libur dulu. Apa tiga hari cukup untuk pulang kampung?""Saya nggak mau pulang kampung, Bu!" cetus mbak Sumi spontan. Tapi selanjutnya dia menutup mulut."Lha, katanya tadi sedang memikirkan anaknya sampai jatuh dari tangga, lho. Tapi saya persilahkan pulang, kok tidak mau?"Mbak Sumi terdiam sejenak. Mungkin dia bingung untuk memilih kata-kata yang tepat."Ma, Sumi itu kan baru enam bulan kerja di rumah kita. Masa iya udah minta pulang ke kampung. Nanti nggak ada yang bantuin kamu nyelesaiin pekerjaan rumah tangga.Entar aja pulangnya sekalian libur hari raya. Lagi pula kalau kangen sama keluarga nya, kan bisa video call.""Lho, mbak Sumi punya HP android? Kok aku baru tahu?""E-eh, mungkin maksud bapak telepon biasa, Bu. Saya belum beli Hp android. Masih saya kirimkan uangnya ke kampung. Dan saya rasa belum perlu.""Ma, sudah jam tujuh tuh. Kamu nanti bisa terlambat dinasnya."Aku mengangguk. "Ya sudah. Saya mau berangkat kerja dulu."Aku berlalu dari mbak Sumi dan mencium punggung tangan mas Arif. Lalu mencium kedua pipi Ana."Mama, berangkat kerja dulu ya. Jangan lupa ajak Ana ke mall sekalian." Aku mengambil tas selempang yang tadi kuletakkan di atas meja makan. Lalu menoleh sekali lagi pada Sumi."Oh, ya. Ada betadine dan plester di kotak P3K. Kamu jangan melamun lagi kalau bekerja. Atau kalau kamu sudah punya pacar, suruh ngawinin aja. Nggak masalah kalau kamu tidak bekerja di sini lagi karena nafkah kamu sudah ditanggung oleh suami kamu. Asal bukan suami orang sih."Aku berlalu dari ruang makan tanpa menoleh lagi pada orang-orang yang kutinggal di rumah.**Aku melajukan sco*pyku ke arah toko aneka barang elektronik di tengah kota. Setelah memarkirkan motor, aku langsung masuk ke dalam toko tersebut.Suasana dingin dan harum langsung menyapa saat aku masuk ke dalam toko. Aneka barang elektronik segera menyapa mata. Aneka merk tivi, kulkas, kipas angin dan cctv. Kulangkahkan kaki menuju ke arah rak yang menjual aneka cctv beraneka bentuk.Aku menghampiri karyawan toko lalu menyebutkan barang yang ingin kubeli. Dan karyawan itu mengantarkanku ke rak yang lebih lengkap.Aku tersenyum puas saat mulai memilih dan bertanya tentang cara memasang cctv yang efektif sekaligus cara menyambungkannya dengan ponsel.Aku tersenyum puas saat menenteng tiga kamera cctv berbentuk lampu bohlam dan boneka mungil untuk gantungan spion mobil."Hei, Bu Nastiti ya! Lagi belanja ya? Mana pak Arif?"Sebuah suara dan tepukan membuatku menoleh."Wah, Bu Nurma! Pak Dikta! Lama nggak ketemu sejak acara gathering kantor tiga bulan lalu."Aku menyalami teman kerja suamiku dan istrinya."Nggak sama Pak Arif, Bu?""Iya. Duh, kemana ya tadi? Katanya sakit perut. Mungkin ke kamar mandi," jawabku berbohong."Oh ya, selamat ya Bu, bulan ini penjualan produk dari kelompok yang dikepalai pak Arif bisa tembus ratusan unit lebih banyak dari kelompok lain."Aku mengerutkan kening lalu tersenyum. "Ya, Alhamdulillah Pak.""Sampai kepala manajer memberikan bonus pada pak Arif dan tiga anggotanya masing-masing lima juta."Aku menelan ludah. Astaga, bisa-bisanya mas Arif tidak mengatakan hal itu padaku!Aku melihat ponselku sejenak. "Pak Dikta dan Bu Nurma, saya permisi dulu. Ternyata mas Arif sudah menunggu di parkiran. Mau ngajak pulang. Saya duluan ya."Aku tersenyum dan pamit keluar dari toko dengan perasaan yang tak menentu.Gajian ini sudah disunat dan mas Arif dapat bonus pun diam saja? Apa bonus itu diberikan pada mami? Aku masih berusaha berbaik sangka.Setelah memutuskan beberapa saat, aku melajukan motorku ke rumah mertua yang berjarak hampir satu jam dari toko itu. Tak lupa kubawakan kelengkeng kesukaannya."Mami." Aku mencium punggung tangan perempuan berwajah teduh dan berjilbab lebar di hadapanku."Sayang! Kesini sendirian?" tanya mertuaku sambil meletakkan tongkat pelnya.Aku mengangguk. Lalu mengikuti langkah mertuaku masuk ke ruang tamu."Hati-hati licin, Nduk. Baru saja Mami pel, soalnya atapnya bocor." Mertuaku menunjuk langit-langit ruang tamu.Rumah mertuaku merupakan rumah warisan dari ibunya. Rumah besar tapi memang di beberapa bagian butuh renovasi karena umurnya juga sudah tua.Aku duduk di sofa, lalu bertanya dengan hati-hati."Mi, maaf sebelumnya, kenapa mami tidak memanggil tukang untuk memperbaiki atap rumah yang bocor? Bukankah kemarin mas Arif sudah memberikan uang pada Mami?"Kulihat rona keterkejutan dari wajah mertuaku."Sejak tiga bulan lalu sampai bulan ini, Arif tidak pernah memberikan uang pada Mami sama sekali, Nas.Mami juga tidak memintanya karena masih punya uang pensiunan. Dan mami rasa kalian pasti juga banyak kebutuhan untuk keluarga." Mertuaku tersenyum tulus.Wah, nggak bener ini. Kini aku tahu kemana pastinya uang suami ku lenyap.Next?Aku menggenggam tangan mertuaku. "Mi, maafkan Nastiti yang abai pada kondisi Mami.""Nggak apa-apa. Bocornya nggak terlalu banyak kok."Mami melihat klengkeng yang kubawa. "Kamu repot-repot aja, Nas.""Nggak kok, Mi. Tadi ada teman kerja yang baru panen klengkeng. Jadi Nastiti langsung kemari karena ingat sama mami.""Mami beruntung sekali bertemu dengan menantu seperti kamu.""Nastiti juga bahagia punya mertua seperti mami."Suasana hening sejenak. "Kamu, tidak sedang ada masalah dengan suami kamu kan?"Aku menelan ludah. Mertuaku peka sekali. Mungkin curiga sejak aku datang sendiri kemari. Tapi kalau aku menceritakannya pada beliau sekarang, ada dua kemungkinan yang akan terjadi.Pertama, mertuaku akan membelaku dan membantuku melakukan rencanaku. Kedua, mertuaku akan mengadu pada mas Arif dan justru menyalahkanku. Ah, aku tidak mau mengambil resiko. "Nggak ada, Mi. Semua baik-baik saja."Mertuaku menatapku antusias. "Hm, mami dulu guru lho, Nas. Jadi tahu kalau lawan bicara sedan
"Maaf, Bu. Tadi saya cuma kaget mendengar ucapan Ibu tentang Pak Arif."Aku menatap tajam ke arah Sumi yang sedang berdiri di antara pecahan botol kaca. "Apa kamu tahu sesuatu tentang selingkuhan suami saya?Mata Sumi membulat. "Apa maksudnya, Bu? Tidak mungkin pak Arif selingkuh. Sepertinya bapak sangat mencintai Bu Nas."Aku menghela nafas panjang. "Aku punya buktinya, Sum.""Ap-pa? Bukti Bu? Bukti apa? Siapa selingkuhan pak Arif, Bu? Dan apa yang akan ibu lakukan pada pak Arif dan selingkuhannya?"Aku pura-pura bingung. "Mbak, awalnya aku hanya ingin curhat alias sharing tentang suami saya pada Mbak Sumi. Tapi sepertinya mbak Sumi justru lebih tertarik dengan berita ini daripada saya," pancingku. "Jangan-jangan, kamu tahu sesuatu tentang selingkuhan Bapak? Mungkin ada yang mencurigakan saat saya sedang dinas dan bapak sendiri di rumah. Mungkin bapak juga tidak pulang ke rumah saat saya sedang dinas di klinik?" cecarku."Saya tidak tahu menahu, Bu. Tapi kalau ibu mengatakan bahwa
"Malah sekarang yang aneh kamu sama Mbak Sumi. Kok bisa sih mbak Sumi ngurusin kamu selingkuh atau nggak? Sebenarnya yang istri mu itu aku apa mbak Sumi?"Mas Arif menelan ludah dan menatapku dengan pandangan yang tak bisa kuartikan. "Nas, apa kamu mencintaiku?"Aku semakin heran dan bingung dengan mas Arif. Dia yang selingkuh tapi dia yang meragukan cintaku. Apa semua lelaki yang berselingkuh menjadi aneh seperti ini?"Kok kamu aneh sih, Mas? Kenapa nanyanya kek gitu?""Jawab saja, Nas. Apa kamu mencintaiku?" Aku terdiam dan memalingkan muka."Nas, jawab dulu pertanyaanku. Apa kamu mencintaiku? Apa kamu memaafkan kalau aku khilaf?"Aku terdiam. Apa mas Arif tahu kalau aku sudah menyadap wanya? Apa dia juga tahu kalau aku memergoki dia selingkuh?"Apa kamu khilaf?! Khilaf yang seperti apa, Mas? Dan dengan siapa?! Sekedar chating, atau sudah tidur bersama?"Mas Arif terdiam. "Kok diam? Apa pertanyaan ku benar? Dengan siapa Mas? Jawab aku? Dengan teman kantormu kah? Atau ada yang lai
Mas Arif berada di kamar Sumi. Mereka berdua di atas ranjang milik perempuan itu dengan baju yang acak-acakan!Kutahan air mata yang hendak keluar. 'Jangan nangis, jangan cengeng, jangan buang air mata untuk laki-laki tidak berperasaan seperti dia. Bukankah aku yang menyelidiki perselingkuhan mereka? Dan kini Tuhan telah menampakkan bukti konkret di hadapanku. Jadi, aku tidak boleh lemah dan buang-buang air mata. Harus kuat dan menjalankan rencana sebagaimana mestinya. Bukankah bukti ini pula yang sudah ku tunggu-tunggu?' batinku. Aku menegarkan hati dan mengamati adegan itu. Mbak Sumi di atas tubuh mas Arif. Kedua tangannya saling menyangga hingga tidak menimpa badan suamiku. Samar-samar terdengar suara percakapan antara keduanya. Aku memang membeli cctv yang lebih mahal. Yang bisa terdengar suaranya. "Rif, kamu jahat! Kamu tega tadi pamer kemesraan dengan istrimu padaku? Memberikan kejutan juga padanya? Kamu pikir hatiku terbuat dari apa? Batu?! Aku cemburu!"Aku menatap tegan
Mas Arif mendelik. "Kamu memasang cctv di kamar Sumi dan menyadap wa ku?" tanya mas Arif kaget. "Dan kamu selingkuh dengan asisten rumah tangga kita karena dia mantan pacar kamu sejak SMA, benar kan?""Jangan bertanya balik kalau suami nanya, Nas!""Aku tidak butuh pertanyaan kamu. Yang kubutuhkan adalah ceraikan aku, Mas.""Ini melanggar hukum. Aku bisa melaporkan kamu ke polisi dengan tuduhan melanggar UU ITE dan melanggar privasi orang lain!" Mas Arif menatapku tajam. Intonasi suaranya tegas tapi lirih. Mengintimidasi.Aku menyeringai. "Oh ya? Kamu juga bisa kulaporkan pada polisi atas tuduhan perzinahan dan kumpul ke bo.""Kamu tidak akan berani, Nas.""Kenapa nggak? Kamu dan mbak Sumi bisa saja masuk penjara berdua. Dan untuk undang-undang ITE, bagaimana mungkin bisa menjeratku? Aku tidak menyebarkannya ke orang lain."Mas Arif menatapku tanpa berkedip. Lalu dia meraih garpu dan pisaunya lagi. "Kita bicarakan nanti, Nas." Mas Arif dengan santainya memotong daging di piringnya.
Terlihat wajah mami terkesiap dan terkejut."Rif, apa benar yang dikatakan oleh istri kamu?" tanya mami.Wajah mas Arif memucat. Dia tertunduk dalam. "Rif! Angkat wajahmu dan pandang mami!!!" suara mami naik satu oktaf. Pandangan nya tajam ke arah Mas Arif. "Ini tidak seperti yang mami dan Nastiti bayangkan. Arif ... Arif ...!"Plaakkk!!! Plakkkk!!!Tanpa kuduga mami maju dan menampar pipi mas Arif. Aku tercengang. "Arif! Mami tidak pernah mengajarkanmu untuk menjadi lelaki pezina! Kamu belajar dari siapa?!"Mas Arif terdiam. Pipinya memerah karena tamparan mami yang keras. Mendadak mami tersedu. "Apa kamu niru papi?"Mas Arif terdiam. "Jawab, Rif! Mami tidak pernah mengajarkanmu untuk mengkhianati istrimu. Karena kamu tahu dengan pasti luka yang ditimbulkan oleh papi sedalam apa pada mami setelah Papi kamu selingkuh!""Mi, Arif tidak bersalah! Nastiti terlalu sibuk bekerja." Mas Arif mendongak dan menatap wajah maminya. "Astaghfirullah! Sudah salah, masih nggak merasa dan ngga
"Tentang harta gono-gini nanti biar pengadilan agama yang memutuskan. Tapi untuk malam ini, saya sudah memutuskan untuk mengusir mas Arif dan Sumi dari rumah ini."Arif mendelik. "Kalau aku nggak mau pergi dari rumah ini gimana?" tantang Arif. Nastiti tersenyum menyeringai."Kalau kamu tidak mau pergi dari rumah ini dan mengajak Sumi, aku akan membawa rekaman cctv saat kamu berhubungan dengan Sumi dan melaporkan nya pada polisi atas tuduhan kumpul ke bo!"Arif menoleh ke arah maminya. "Mi, lihat sendiri kan tingkah laku menantu mami? Apa mami masih sayang sama dia? Dia mengusir suaminya sendiri lho, Mi. Bukankah itu contoh istri durhaka?"Rini, ibu dari Arif menggeleng-gelengkan kepalanya."Apa yang dilakukan oleh Nastiti itu benar. Untung saja kamu hanya diusir dari rumah ini. Kalau mami yang jadi Nastiti mungkin mami sudah melaporkan kamu ke polisi, Rif. Kamu seharusnya tahu kalau berzina itu dosa. Dan bikin apes tempat yang digunakan untuk berzina saja. Kalau kamu masih punya mal
Mami tersenyum puas. "Baiklah. Kalau begitu pesankan saja Gocar untuk dia sekarang! Biar Sumi tahu, jadi pelakor itu enggak enak!"Dengan berat hati, Arif meraih ponsel dan memesan GoCar untuk Sumi sesuai perintah dari mami. "Rif, aku takut pulang sendiri." Sumi merajuk seraya menarik lengan baju Arif. "Duh, dasar aneh. Nyolong suami orang aja berani. Masa pulang sendiri aja takut. Jangan Cemen. Kamu sudah berani berbuat harus berani bertanggung jawab!"Mendengar jawaban Rini, Sumi semakin memegang erat lengan Arif. "Tenang ya Sayang. Aman kok. Aku dan Nastiti juga pernah beberapa kali naik GoCar. Aman dan selamat."Arif mengulas senyum lalu membelai rambut Sumi. "Astaghfirullahal adziim. Lebih baik mami masuk saja ke dalam rumah. Daripada di sini melihat adegan sinetron nggak bermutu!"Mamipun membuka pintu lalu masuk ke dalam rumah. Sejenak mami berhenti dan menoleh ke arah Arif. "Begitu GoCar nya datang, kamu juga harus segera masuk ke dalam rumah, Rif!"Arif mengangguk perlah