Nastiti tertawa. "Maaf Mas. Aku tidak bisa. Aku mau kerja sekarang. Kenapa kamu tidak minta Sumi untuk nungguin kamu? Bukan kah semalam kamu begitu membela dia?""Ayolah Nas. Sumi katanya takut liat darah. Jadi dia nggak bisa kesini untuk merawat aku. Lagipula kamu kan makmum? Harusnya nurut sama imam dong!"Nastiti melihat kantung plastik kosong entah bekas apa yang tergantung di paku dinding garasi.Segera diraihnya kantung plastik itu dan dire mas-re masnya di dekat ponsel. "Duh, sinyalnya buruk nih. Keburu kerja juga. Sudah ya. Assalamualaikum."Tanpa menunggu jawaban dari Arif, Nastiti mematikan ponsel dan memblokir nomor Arif. "Maaf Mas, aku ingin fokus bekerja. Lagipula sudah ada Sumi yang kamu pilih."Tanpa pikir panjang, Nastiti segera melajukan motornya menuju rumah sakit. *Arif terdiam di kamarnya. "Ck, ternyata Nastiti sudah tidak perhatian padaku lagi. Dan ini, kenapa nomor ku diblokir?" gumamnya kesal. "Arif."Arif menoleh dan mendapati ibunya mendekat kearahnya.
"Wah, kalau begitu mbak Sumi, anaknya Bu Tatik dan mas Arif, suami saya, harus dirajam juga dong pak Ustadz? Mereka selingkuh dan sudah pernah menikah lho?" tanya Nastiti membuat Arif dan Sumi langsung berdiri. "Heh, Nas! Tolong jaga bicaramu!" seru Sumi mendelik. Dia melompat ke arah Nastiti. Sedangkan Arif berdiri dan seakan membeku menatap wajah tamu undangan yang ada di ruang tamu rumah Sumi. "Kenapa? Apa aku salah bicara? Kamu sudah melakukan hubungan suami istri dengan suami saya di luar ikatan pernikahan yang sah. Dan sekarang, kamu justru mengadakan pengajian? Mau pencitraan?" tanya Nastiti. "Apa?!"Sumi mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi ke arah pipi Nastiti. Tetapi Nastiti dengan sigap menangkap tangan Sumi dan menepisnya kasar. "Jangan mimpi bisa menamparku, Sum! Jadi balasanmu terhadap kebaikan yang telah kulakukan adalah selingkuh dengan suami ku?""Jangan sembarangan memfitnah di depan orang banyak, kamu! Kami, aku dan mas Arif itu saling mencintai!""Cinta kok
Beberapa saat sebelumnya,Mami menerima surat dari pengadilan agama atas nama Arif yang dialamatkan ke rumah nya dengan hati campur aduk. Tiga hari lagi Arif dan Nastiti dijadwalkan untuk datang memenuhi panggilan pengadilan agama atas tanggapan berkas gugatan cerai yang telah dilayangkan oleh Nastiti. Mami Arif segera memotret surat itu dan mengirimkannya melalui whatsapp pada sang anak. [Rif, kamu dapat surat dari pengadilan agama tiga hari lagi.][Kalau saran Mami, kamu lebih baik tidak usah datang. Mami malu punya anak seperti kamu.][Lebih baik kamu segera bertobat, menjauhi Sumi, dan fokus bekerja. Percaya pada Mami. Dia bukan perempuan baik-baik. Dia terlihat tidak tulus, Rif.]Terbaca, langsung centang biru. Tapi Arif tak membalasnya. Mami menelepon Arif berkali-kali, namun anak lelakinya itu tidak merespon panggilan nya. Akhirnya mami Arif hanya bisa menghela nafas panjang. "Kamu pasti akan menyesal pernah berselingkuh, Rif. Seperti almarhum papimu."*Baru saja Mami Ari
Sumi dan Tatik mendelik mendengar kata-kata pemecatan orang itu terhadap Arif. "Apa?!""Buk, ayo kita pergi dari sini. Ibu dengar sendiri kan kalau Arif dipecat?! Ayo kita pulang, Bu!"Tatik hanya termangu di depan ruang rawat inap Arif. "Duh, kenapa dipecat sih? Padahal ibu kemarin baru saja pamer pada para tetangga kalau kamu akan menikah dengan lelaki yang pekerjaannya bagus dan ganteng."Sumi menghela nafas. "Ya, gimana dong, Bu. Sumi juga sebenarnya nggak mau kalau kejadian nya seperti ini." Sumi mengerucutkan bibirnya. "Kita tunggu dulu di sini. Ibu ingin tahu apa jawaban Arif."Sumi dan ibunya semakin menempelkan telinganya ke pintu ruangan yang sedikit terbuka. "Pak, nggak bisa begini dong! Saya saja sudah mengabdikan diri saya bertahun-tahun di kantor. Saya kan kepala bagian promosi terbaik. Apa bapak lupa kalau kelompok saya pernah memecahkan rekor penjualan terbanyak."Kepala HRD yang sedang mengunjungi Arif hanya menghela nafas panjang. "Maaf, ini sudah keputusan bers
Flash back on.Baru saja Nastiti turun dari motornya, bundanya segera menyambut sang anak dengan pertanyaan. "Gimana sidang keduanya tadi, Nak? Lancar?" tanya bunda Nastiti. Nastiti tersenyum manis. "Alhamdulillah, lancar. Mas Arif tidak datang lagi. Sama seperti saat mediasi, mas Arif juga tidak datang saat pembacaan keputusan.""Hm, Arif ini aneh ya. Dia tidak mau menceraikan kamu, tapi tidak mau datang saat dipanggil sidang."Nastiti mengedikkan bahunya. "Yah, Nastiti tidak tahu kenapa mas Arif tidak datang. Tapi Nastiti bersyukur kalau mas Arif tidak datang, karena sidangnya bisa selesai lebih cepat.""Tapi kan sebenarnya Arif maunya bertahan dengan pernikahan kalian kan?""Ya sih, Bun. Tapi siapa yang mau bertahan kalau sudah dikhianati?" tanya Nastiti retoris. "Ya, kamu benar, Nas. Bunda akan selalu mendukung kamu. Oh ya, apa rencana kamu tentang rumah ini?"Nastiti mengedarkan pandangan matanya ke seluruh penjuru rumah. "Rumah ini .., akan kujual, Bun. Dan uang nya bisa u
"Sumi?! Ngapain kamu kesini?! Tidak ada tempat bagimu di sini!""Tapi Mi, saya ingin bertemu dengan Arif.""Buat apa lagi? Kan kamu kemarin sudah tidak mempedulikan lagi pesan dari Arif, ya kan? Lalu kenapa mendadak kamu kemari? Apa kamu tidak malu kalau selama Arif di rumah sakit, kamu tidak pernah menengok nya. Dan sekarang mendadak kamu datang ke sini. Sebenarnya apa yang ada dalam pikiran kamu, Sum?!""Kemarin mas Arif mengirim pesan padaku?! Kapan, Mi? Kemarin pagi, hp ku hilang." Wajah Sumi tampak memelas. "Jangan alasan kamu! Bilang saja dengan jujur kalau kamu mendekati Arif hanya karena uangnya saja. Benarkan?!""Mi, berikan aku kesempatan untuk bicara lima menit saja," pinta Sumi menghiba. "Ada apa ini, Mi?" tanya Arif yang baru mandi dari arah belakang."Kamu tampak sehat, Mas!" seru Sumi seraya menghambur ke arah Arif, hendak memeluk lelaki itu.Arif terdiam sementara itu, mami langsung geser dan pasang badan di depan anaknya. "Heh, Sumi. Dengarkan baik-baik ya. Selama
Arif sempat menoleh beberapa saat ke arah Sumi. Sampai dia melihat Sumi mendadak pingsan di tengah poli. "Hei, ada yang pingsan! Ada yang pingsan!" seru beberapa orang dan mereka mengelilingi Sumi. Arif menarik tangan maminya. "Mami, Sumi pingsan!" seru Arif sambil mengajak maminya untuk kembali ke tempat Sumi tergeletak. "Rif, dia pasti hanya pura-pura saja.""Tapi Arif tidak tega, Mi. Paling tidak ayo kita tolong dulu. Nggak enak juga dengan keluarga pasien yang lain."Mami hanya menghela nafas kesal. Belum jadi menantu nya saja, Sumi sudah penuh dengan drama. Apalagi saat menjadi menantu. Bisa-bisa membuat mertuanya darah tinggi. Hiiy, amit-amit!Mami segera berjongkok mendekati kaki Sumi. Digelitiknya kaki Sumi. Sumi refleks menjauhkan kakinya dari Mami dan tertawa kegelian. Membuat orang-orang di sekitar nya heran dan bingung. Sumi terduduk lalu menatap sekeliling nya. Beberapa orang menatap Sumi dengan pandangan aneh. "Astaga, kamu tadi hanya pura-pura pingsan?""Kenapa kam
Motor Sumi menabrak tukang es cendol itu. Dan dia terjerembab mencium aspal. Sumi berusaha bangkit berdiri dengan susah payah. Tapi kakinya keseleo. Begitu pula gerobak es cendol yang ditabraknya menjadi terguling. Seluruh isinya, mulai dari toples kaca isi cendol, cincau, gula merah, dan baskom besarnya berisi santan tumpah dan berhamburan di jalanan. "Astaghfirullah, Mbak kalau naik motor hati-hati dong. Ini gimana dagangan saya," keluh pria pedagang es cendol itu. Ia kebingungan dan mengusap keringatnya dengan handuk kecil yang tersampir di lehernya, mengamati barang jualannya yang tak bisa diselamatkan. Sumi terdiam dan mengambil ancang-ancang untuk lari saat melihat Arif dan beberapa lelaki yang mengejar nya sudah mendekat. "Mbak! Ganti rugi, Mbak!"Sumi terus berlari dan tidak menghiraukan teriakan pedagang es cilok itu. "Astaghfirullah, kok ada perempuan seperti itu! Keterlaluan sekali. Awas ya Mbak, semoga perbuatan jahatmu dibalas oleh Allah setimpal!"Beberapa orang te