Flash back on.Baru saja Nastiti turun dari motornya, bundanya segera menyambut sang anak dengan pertanyaan. "Gimana sidang keduanya tadi, Nak? Lancar?" tanya bunda Nastiti. Nastiti tersenyum manis. "Alhamdulillah, lancar. Mas Arif tidak datang lagi. Sama seperti saat mediasi, mas Arif juga tidak datang saat pembacaan keputusan.""Hm, Arif ini aneh ya. Dia tidak mau menceraikan kamu, tapi tidak mau datang saat dipanggil sidang."Nastiti mengedikkan bahunya. "Yah, Nastiti tidak tahu kenapa mas Arif tidak datang. Tapi Nastiti bersyukur kalau mas Arif tidak datang, karena sidangnya bisa selesai lebih cepat.""Tapi kan sebenarnya Arif maunya bertahan dengan pernikahan kalian kan?""Ya sih, Bun. Tapi siapa yang mau bertahan kalau sudah dikhianati?" tanya Nastiti retoris. "Ya, kamu benar, Nas. Bunda akan selalu mendukung kamu. Oh ya, apa rencana kamu tentang rumah ini?"Nastiti mengedarkan pandangan matanya ke seluruh penjuru rumah. "Rumah ini .., akan kujual, Bun. Dan uang nya bisa u
"Sumi?! Ngapain kamu kesini?! Tidak ada tempat bagimu di sini!""Tapi Mi, saya ingin bertemu dengan Arif.""Buat apa lagi? Kan kamu kemarin sudah tidak mempedulikan lagi pesan dari Arif, ya kan? Lalu kenapa mendadak kamu kemari? Apa kamu tidak malu kalau selama Arif di rumah sakit, kamu tidak pernah menengok nya. Dan sekarang mendadak kamu datang ke sini. Sebenarnya apa yang ada dalam pikiran kamu, Sum?!""Kemarin mas Arif mengirim pesan padaku?! Kapan, Mi? Kemarin pagi, hp ku hilang." Wajah Sumi tampak memelas. "Jangan alasan kamu! Bilang saja dengan jujur kalau kamu mendekati Arif hanya karena uangnya saja. Benarkan?!""Mi, berikan aku kesempatan untuk bicara lima menit saja," pinta Sumi menghiba. "Ada apa ini, Mi?" tanya Arif yang baru mandi dari arah belakang."Kamu tampak sehat, Mas!" seru Sumi seraya menghambur ke arah Arif, hendak memeluk lelaki itu.Arif terdiam sementara itu, mami langsung geser dan pasang badan di depan anaknya. "Heh, Sumi. Dengarkan baik-baik ya. Selama
Arif sempat menoleh beberapa saat ke arah Sumi. Sampai dia melihat Sumi mendadak pingsan di tengah poli. "Hei, ada yang pingsan! Ada yang pingsan!" seru beberapa orang dan mereka mengelilingi Sumi. Arif menarik tangan maminya. "Mami, Sumi pingsan!" seru Arif sambil mengajak maminya untuk kembali ke tempat Sumi tergeletak. "Rif, dia pasti hanya pura-pura saja.""Tapi Arif tidak tega, Mi. Paling tidak ayo kita tolong dulu. Nggak enak juga dengan keluarga pasien yang lain."Mami hanya menghela nafas kesal. Belum jadi menantu nya saja, Sumi sudah penuh dengan drama. Apalagi saat menjadi menantu. Bisa-bisa membuat mertuanya darah tinggi. Hiiy, amit-amit!Mami segera berjongkok mendekati kaki Sumi. Digelitiknya kaki Sumi. Sumi refleks menjauhkan kakinya dari Mami dan tertawa kegelian. Membuat orang-orang di sekitar nya heran dan bingung. Sumi terduduk lalu menatap sekeliling nya. Beberapa orang menatap Sumi dengan pandangan aneh. "Astaga, kamu tadi hanya pura-pura pingsan?""Kenapa kam
Motor Sumi menabrak tukang es cendol itu. Dan dia terjerembab mencium aspal. Sumi berusaha bangkit berdiri dengan susah payah. Tapi kakinya keseleo. Begitu pula gerobak es cendol yang ditabraknya menjadi terguling. Seluruh isinya, mulai dari toples kaca isi cendol, cincau, gula merah, dan baskom besarnya berisi santan tumpah dan berhamburan di jalanan. "Astaghfirullah, Mbak kalau naik motor hati-hati dong. Ini gimana dagangan saya," keluh pria pedagang es cendol itu. Ia kebingungan dan mengusap keringatnya dengan handuk kecil yang tersampir di lehernya, mengamati barang jualannya yang tak bisa diselamatkan. Sumi terdiam dan mengambil ancang-ancang untuk lari saat melihat Arif dan beberapa lelaki yang mengejar nya sudah mendekat. "Mbak! Ganti rugi, Mbak!"Sumi terus berlari dan tidak menghiraukan teriakan pedagang es cilok itu. "Astaghfirullah, kok ada perempuan seperti itu! Keterlaluan sekali. Awas ya Mbak, semoga perbuatan jahatmu dibalas oleh Allah setimpal!"Beberapa orang te
"Jadi laku berapa rumah kamu, Nas?" tanya Bunda saat tamu Nastiti yang menawar rumahnya baru saja pulang. "Hm, sekitar 400 juta. Akan dibayar dengan uang muka 200 juta besok dan bertahap akan dilunasi sampai akhir bulan ini, Bun.""Kalau begitu, kapan rumah ini akan dikosongkan?"Nastiti berdiam diri sejenak. "Sepertinya Minggu ini.""Apa kamu sudah mempunyai incaran rumah baru untuk tempat tinggal?" "Kalau keinginan Nastiti sih, Nastiti pingin nyari rumah di dekat rumah bunda. Lalu membangun tempat praktik pribadi.Kan lumayan Bunda, Nastiti bisa kerja dan mengasuh Ana. Selain itu bisa dekat dengan Bunda juga. Kalau Nastiti ada perlu ke luar kota untuk mencari syarat mendirikan tempat praktik, Bunda bisa menemani Ana, kan?""Wah, ide bagus. Kamu tidak usah beli rumah. Bunda ada sebidang tanah di samping rumah. Kamu tempatin saja. Memang bagian warisan untuk kamu."Mata Nasiti berbinar. "Wah, Alhamdulillah. Terima kasih Bunda. Sepertinya di desa kita kan masih kurang tempat praktik
"Benarkah apa yang dikatakan oleh mas Abdi, Bu?" tanya Sumi mendelik pada Tatik. Sumi tampak salah tingkah. "Sum, kamu nggak inget kalau suami kamu selingkuh dengan perempuan lain? Jadi ibu mengusir nya.""Demi Allah, saya tidak pernah selingkuh dengan siapapun."Arif dan mami nya terbengong-bengong melihat pertengkaran mereka bertiga. "Kalian saling mengenal?" tanya Arif tidak percaya. "Iya. Dia mantan istriku."Kini Arif yang tercengang dan menatap wajah Abdi, Sumi dan Tatik. "Kamu kan lihat sendiri, Sum. Beberapa tahun lalu kamu mendapati foto suami kamu dengan perempuan lain kan?"Abdi tersenyum kecut. "Perempuan itu .... Dia disuruh oleh Ibu kamu untuk memfitnahku sehingga bisa memisahkan kita."Abdi menghela nafas panjang lalu memperbaiki duduknya. "Tapi itu dulu. Aku sekarang sudah tidak peduli lagi dengan kamu dan ibu kamu."Wajah Tatik memucat. "Jangan sembarangan memfitnah saya, Di! Kamu enggak punya bukti apapun kalau mengatakan hal itu!"Abdi tersenyum kecut. "Peremp
Sumi tercengang. Seketika hatinya merasa terguncang.'Aku bukan anak ibu? Lalu siapakah ibuku? Kalau ibuku memang sudah meninggal, setidaknya aku ingin tahu dimana makamnya,' sahut Sumi. Sumi melangkah perlahan ke kamar Tatik. Hilang sudah rasa hausnya. "Buk."Tatik mendelik melihat Sumi yang mendekati nya. "Kamu, kamu belum tidur, Sum?" tanya Tatik seraya mengembalikan pigura berisi foto almarhum suami yang dipegangnya diatas nakas. Sumi menghela nafas. Tatik meliriknya. Dalam hati Tatik bertanya-tanya apakah Sumi mendengar apa yang diucapkannya tadi. "Buk." Sumi memanggil Tatik sekali lagi. Beribu pertanyaan berkelebat di kepalanya. Tapi tak sekalipun dia berani mengungkapkan nya. Karena dia takut akan mendengar jawaban yang membuatnya terpuruk. "Ada apa, Sum?" tanya Tatik lembut. Dulu Sumi sangat menyukai pelukan dan belaian ibunya. Tapi sekarang sepertinya semuanya berbeda. "Aku ..,""Kamu jangan sedih. Kalaupun kamu tidak bisa menggoda Abdi, ibu tidak keberatan. Kamu kan b
Beberapa hari sebelumnya,"Mbak, mungkin aku mau keluar aja dari rumah sakit."Mbak Eni, kepala ruangan sekaligus teman Nastiti mendelik. "Lho, kenapa kamu keluar? Jaman sekarang cari kerja susah lho. Apalagi lulusan bidan sekarang banyak banget."Nastiti menghela nafas. "Aku sudah bercerai dengan suamiku."Mbak Eni melongo. "Astaghfirullah! Kamu jangan bercanda, Nas!"Nastiti mengangguk. "Aku serius. Aku cerai karena mantan suamiku selingkuh dengan asisten rumah tangga ku. Aku mempunyai asisten rumah tangga karena kasihan pada Ana yang sendirian di rumah kalau aku dinas malam di rumah sakit.Kalau aku dinas sore dan baru pulang ke rumah hampir jam sepuluh malam itu juga salah satu alasan yang membuat mu mempunyai asisten rumah tangga karena tidak ada yang menemani Ana di rumah. Sedangkan mantan suamiku pulang kerja jam lima sore.""Tunggu, jadi selama ini kamu udah ngurus perceraian di pengadilan agama?"Nastiti mengangguk. "Kok nggak pernah bilang atau curhat apapun sama aku atau