"Maaf, Bu. Tadi saya cuma kaget mendengar ucapan Ibu tentang Pak Arif."
Aku menatap tajam ke arah Sumi yang sedang berdiri di antara pecahan botol kaca."Apa kamu tahu sesuatu tentang selingkuhan suami saya?Mata Sumi membulat. "Apa maksudnya, Bu? Tidak mungkin pak Arif selingkuh. Sepertinya bapak sangat mencintai Bu Nas."Aku menghela nafas panjang. "Aku punya buktinya, Sum.""Ap-pa? Bukti Bu? Bukti apa? Siapa selingkuhan pak Arif, Bu? Dan apa yang akan ibu lakukan pada pak Arif dan selingkuhannya?"Aku pura-pura bingung. "Mbak, awalnya aku hanya ingin curhat alias sharing tentang suami saya pada Mbak Sumi. Tapi sepertinya mbak Sumi justru lebih tertarik dengan berita ini daripada saya," pancingku."Jangan-jangan, kamu tahu sesuatu tentang selingkuhan Bapak? Mungkin ada yang mencurigakan saat saya sedang dinas dan bapak sendiri di rumah. Mungkin bapak juga tidak pulang ke rumah saat saya sedang dinas di klinik?" cecarku."Saya tidak tahu menahu, Bu. Tapi kalau ibu mengatakan bahwa bapak selingkuh, seharusnya ibu punya buktinya atau ada tanda-tanda yang mencurigakan dari bapak kan? Kenapa malah tanya pada saya?""Ini cuma antara kamu dan aku ya, Mbak Sum. Saya nemu lipstik warna ungu di tas suami saya. Dan itu jelas bukan punya saya."Dengan sengaja aku memprovokasi Sumi dengan penemuan lipstik warna ungu, dia pasti kaget karena dia tidak pernah memakai lipstik warna ungu.Sumi mendelik. "Apa? Tidak mungkin kalau pak Arif selingkuh. Tapi kalau sampai selingkuh, awas saja."Wajah Sumi memerah. Kelihatan sekali dia lebih cemburu dariku. Hadeh."Lalu mana lipstik itu, Bu? Apa sudah ibu tanyakan ke bapak tentang asal lipstik itu? Kalo ketemu siapa pemilik lipstik ungu itu, diuleg aja, Bu!" seru Sumi penuh semangat."Aku simpan lipstik itu. Dan aku tidak akan menanyakan pada suami saya tentang lipstik iti secara langsung. Emangnya ada maling ngaku? Kalau maling ngaku kan penjara penuh, Mbak.""Iya sih, Bu. Tapi boleh saya lihat lipstik nya, Bu?""Kenapa emangnya? Apa kamu bisa tahu pemilik lipstik jika aku memperlihatkannya padamu?""Eng-gak juga sih, Bu. Kok saya jadi kepo ya. Maaf Bu." Sumi menggaruk kepalanya yang kurasa tidak gatal."Ya sudah. Kamu jangan bilang Bapak kalau saya menemukan lipstik itu ya.""Ya Bu. Tentu saja. Apa yang akan ibu lakukan jika menemukan selingkuhan Bapak?""Gampang kok. Mungkin kuajak ngopi.""Ngopi?""Ya. Ngopi sianida!"Wajah Sumi berubah pucat. "Astaga! Ibu jangan terlalu kejam dong!""Tadi kamu suruh nguleg, sekarang kok ngatain kejam, mbak?"Mbak Sumi terlihat salah tingkah."Ma!"Tiba-tiba Ana masuk ke kamar dengan membawa buku gambar dan krayon."Eh, Sayang!! Tunggu di sana dan jangan melangkah kemana-mana dulu! Ada pecahan botol kaca nih.""Oke, Ma." Ana berdiri di belakang pintu kamar dengan patuh."Mbak, tolong bersihkan pecahan botol kaca itu ya. Sampai bersih dan lap airnya juga. Jangan sampai tersisa dan licin.""Ya Bu."*Aku mengamati Ana yang sedang mewarnai kartun Elsa dan Ana, saat Mbak Sumi datang membawa botol kaca sekali lagi."Bu, ini botol pesanannya.""Iya. Terimakasih."Aku menerima botol kaca dan sehelai mungil handuk bersih dari Mbak Sumi, tapi perempuan itu tidak juga beranjak dari kamar."Kamu boleh pergi, Mbak.""Ibu nggak ingin curhat lagi tentang bapak?""Nggak. Nanti saya selidiki sendiri."Mbak Sumi menelan ludah. Dan sebelum sempat pergi, terlihat mas Arif muncul dari pintu kamar."Ini obatnya, Ma."Mas Arif mengangsurkan kantung plastik mungil berwarna putih padaku."Terimakasih, Mas."Terlihat wajah Mbak Sumi yang aneh dan langsung pergi begitu saja melihat Mas Arif datang."Mama minum obatnya dulu ya, Papa ambilkan air minum."Aku mengangguk dan membiarkan mas Arif berlalu dari kamar.*Mas Arif tampak merenung di ranjang dengan posisi duduk di sandaran kasur."Mikirin apa sampai berkerut gitu dahinya, Mas?" tegurku sambil merebahkan diri di ranjang.Ya Tuhan, rasanya aneh seranjang dengan suami yang sudah kedapatan selingkuh dengan asisten rumah tangga sendiri.Mas Arif menatapku ragu. "Apa menurutmu aku selingkuh?" ucapnya tiba-tiba.Aku mendelik. "Lha, kenapa sih Mas? Nggak ada hujan nggak ada angin, mendadak kamu ngomongin selingkuh? Kamu selingkuh ya?" tanyaku balik."Kamu ... Hm, sebenarnya aku ..,"Mas Arif terlihat ragu."Kenapa sih? Wah aku jadi curiga nih kalau kamu seperti ini, Mas?""Kata Sumi, kamu nemuin lipstik warna ungu di tasku. Aku tidak pernah selingkuh di luar rumah, Ma. Sungguh!" Wajahnya yang serius terlihat lucu.'Iya Mas, kamu memang tidak selingkuh di luar, tapi di dalam rumah ini.'"Astaga, mbak Sumi ngarang deh. Kapan aku bilang seperti itu padanya? Nggak, aku nggak bilang nemu lipstik atau apapun itu pada mbak Sumi karena emang aku nggak menemukan hal aneh dalam tas kerja kamu, Mas."Mas Arif terdiam.'Sepertinya Mbak Sumi sudah mengadukan perihal lipstik itu. Dan mas Arif sekarang ketakutan oleh bayangannya sendiri. Kena kamu, Mas!Mas, Mas, padahal dulu kamu pinter dan logis. Tapi semenjak bertemu dengan mantan kamu malah jadi ogeb seperti ini.'"Malah sekarang yang aneh kamu sama Mbak Sumi. Kok bisa sih mbak Sumi ngurusin kamu selingkuh atau nggak? Sebenarnya yang istri mu itu aku apa mbak Sumi?""Malah sekarang yang aneh kamu sama Mbak Sumi. Kok bisa sih mbak Sumi ngurusin kamu selingkuh atau nggak? Sebenarnya yang istri mu itu aku apa mbak Sumi?"Mas Arif menelan ludah dan menatapku dengan pandangan yang tak bisa kuartikan. "Nas, apa kamu mencintaiku?"Aku semakin heran dan bingung dengan mas Arif. Dia yang selingkuh tapi dia yang meragukan cintaku. Apa semua lelaki yang berselingkuh menjadi aneh seperti ini?"Kok kamu aneh sih, Mas? Kenapa nanyanya kek gitu?""Jawab saja, Nas. Apa kamu mencintaiku?" Aku terdiam dan memalingkan muka."Nas, jawab dulu pertanyaanku. Apa kamu mencintaiku? Apa kamu memaafkan kalau aku khilaf?"Aku terdiam. Apa mas Arif tahu kalau aku sudah menyadap wanya? Apa dia juga tahu kalau aku memergoki dia selingkuh?"Apa kamu khilaf?! Khilaf yang seperti apa, Mas? Dan dengan siapa?! Sekedar chating, atau sudah tidur bersama?"Mas Arif terdiam. "Kok diam? Apa pertanyaan ku benar? Dengan siapa Mas? Jawab aku? Dengan teman kantormu kah? Atau ada yang lai
Mas Arif berada di kamar Sumi. Mereka berdua di atas ranjang milik perempuan itu dengan baju yang acak-acakan!Kutahan air mata yang hendak keluar. 'Jangan nangis, jangan cengeng, jangan buang air mata untuk laki-laki tidak berperasaan seperti dia. Bukankah aku yang menyelidiki perselingkuhan mereka? Dan kini Tuhan telah menampakkan bukti konkret di hadapanku. Jadi, aku tidak boleh lemah dan buang-buang air mata. Harus kuat dan menjalankan rencana sebagaimana mestinya. Bukankah bukti ini pula yang sudah ku tunggu-tunggu?' batinku. Aku menegarkan hati dan mengamati adegan itu. Mbak Sumi di atas tubuh mas Arif. Kedua tangannya saling menyangga hingga tidak menimpa badan suamiku. Samar-samar terdengar suara percakapan antara keduanya. Aku memang membeli cctv yang lebih mahal. Yang bisa terdengar suaranya. "Rif, kamu jahat! Kamu tega tadi pamer kemesraan dengan istrimu padaku? Memberikan kejutan juga padanya? Kamu pikir hatiku terbuat dari apa? Batu?! Aku cemburu!"Aku menatap tegan
Mas Arif mendelik. "Kamu memasang cctv di kamar Sumi dan menyadap wa ku?" tanya mas Arif kaget. "Dan kamu selingkuh dengan asisten rumah tangga kita karena dia mantan pacar kamu sejak SMA, benar kan?""Jangan bertanya balik kalau suami nanya, Nas!""Aku tidak butuh pertanyaan kamu. Yang kubutuhkan adalah ceraikan aku, Mas.""Ini melanggar hukum. Aku bisa melaporkan kamu ke polisi dengan tuduhan melanggar UU ITE dan melanggar privasi orang lain!" Mas Arif menatapku tajam. Intonasi suaranya tegas tapi lirih. Mengintimidasi.Aku menyeringai. "Oh ya? Kamu juga bisa kulaporkan pada polisi atas tuduhan perzinahan dan kumpul ke bo.""Kamu tidak akan berani, Nas.""Kenapa nggak? Kamu dan mbak Sumi bisa saja masuk penjara berdua. Dan untuk undang-undang ITE, bagaimana mungkin bisa menjeratku? Aku tidak menyebarkannya ke orang lain."Mas Arif menatapku tanpa berkedip. Lalu dia meraih garpu dan pisaunya lagi. "Kita bicarakan nanti, Nas." Mas Arif dengan santainya memotong daging di piringnya.
Terlihat wajah mami terkesiap dan terkejut."Rif, apa benar yang dikatakan oleh istri kamu?" tanya mami.Wajah mas Arif memucat. Dia tertunduk dalam. "Rif! Angkat wajahmu dan pandang mami!!!" suara mami naik satu oktaf. Pandangan nya tajam ke arah Mas Arif. "Ini tidak seperti yang mami dan Nastiti bayangkan. Arif ... Arif ...!"Plaakkk!!! Plakkkk!!!Tanpa kuduga mami maju dan menampar pipi mas Arif. Aku tercengang. "Arif! Mami tidak pernah mengajarkanmu untuk menjadi lelaki pezina! Kamu belajar dari siapa?!"Mas Arif terdiam. Pipinya memerah karena tamparan mami yang keras. Mendadak mami tersedu. "Apa kamu niru papi?"Mas Arif terdiam. "Jawab, Rif! Mami tidak pernah mengajarkanmu untuk mengkhianati istrimu. Karena kamu tahu dengan pasti luka yang ditimbulkan oleh papi sedalam apa pada mami setelah Papi kamu selingkuh!""Mi, Arif tidak bersalah! Nastiti terlalu sibuk bekerja." Mas Arif mendongak dan menatap wajah maminya. "Astaghfirullah! Sudah salah, masih nggak merasa dan ngga
"Tentang harta gono-gini nanti biar pengadilan agama yang memutuskan. Tapi untuk malam ini, saya sudah memutuskan untuk mengusir mas Arif dan Sumi dari rumah ini."Arif mendelik. "Kalau aku nggak mau pergi dari rumah ini gimana?" tantang Arif. Nastiti tersenyum menyeringai."Kalau kamu tidak mau pergi dari rumah ini dan mengajak Sumi, aku akan membawa rekaman cctv saat kamu berhubungan dengan Sumi dan melaporkan nya pada polisi atas tuduhan kumpul ke bo!"Arif menoleh ke arah maminya. "Mi, lihat sendiri kan tingkah laku menantu mami? Apa mami masih sayang sama dia? Dia mengusir suaminya sendiri lho, Mi. Bukankah itu contoh istri durhaka?"Rini, ibu dari Arif menggeleng-gelengkan kepalanya."Apa yang dilakukan oleh Nastiti itu benar. Untung saja kamu hanya diusir dari rumah ini. Kalau mami yang jadi Nastiti mungkin mami sudah melaporkan kamu ke polisi, Rif. Kamu seharusnya tahu kalau berzina itu dosa. Dan bikin apes tempat yang digunakan untuk berzina saja. Kalau kamu masih punya mal
Mami tersenyum puas. "Baiklah. Kalau begitu pesankan saja Gocar untuk dia sekarang! Biar Sumi tahu, jadi pelakor itu enggak enak!"Dengan berat hati, Arif meraih ponsel dan memesan GoCar untuk Sumi sesuai perintah dari mami. "Rif, aku takut pulang sendiri." Sumi merajuk seraya menarik lengan baju Arif. "Duh, dasar aneh. Nyolong suami orang aja berani. Masa pulang sendiri aja takut. Jangan Cemen. Kamu sudah berani berbuat harus berani bertanggung jawab!"Mendengar jawaban Rini, Sumi semakin memegang erat lengan Arif. "Tenang ya Sayang. Aman kok. Aku dan Nastiti juga pernah beberapa kali naik GoCar. Aman dan selamat."Arif mengulas senyum lalu membelai rambut Sumi. "Astaghfirullahal adziim. Lebih baik mami masuk saja ke dalam rumah. Daripada di sini melihat adegan sinetron nggak bermutu!"Mamipun membuka pintu lalu masuk ke dalam rumah. Sejenak mami berhenti dan menoleh ke arah Arif. "Begitu GoCar nya datang, kamu juga harus segera masuk ke dalam rumah, Rif!"Arif mengangguk perlah
Nastiti tertawa. "Maaf Mas. Aku tidak bisa. Aku mau kerja sekarang. Kenapa kamu tidak minta Sumi untuk nungguin kamu? Bukan kah semalam kamu begitu membela dia?""Ayolah Nas. Sumi katanya takut liat darah. Jadi dia nggak bisa kesini untuk merawat aku. Lagipula kamu kan makmum? Harusnya nurut sama imam dong!"Nastiti melihat kantung plastik kosong entah bekas apa yang tergantung di paku dinding garasi.Segera diraihnya kantung plastik itu dan dire mas-re masnya di dekat ponsel. "Duh, sinyalnya buruk nih. Keburu kerja juga. Sudah ya. Assalamualaikum."Tanpa menunggu jawaban dari Arif, Nastiti mematikan ponsel dan memblokir nomor Arif. "Maaf Mas, aku ingin fokus bekerja. Lagipula sudah ada Sumi yang kamu pilih."Tanpa pikir panjang, Nastiti segera melajukan motornya menuju rumah sakit. *Arif terdiam di kamarnya. "Ck, ternyata Nastiti sudah tidak perhatian padaku lagi. Dan ini, kenapa nomor ku diblokir?" gumamnya kesal. "Arif."Arif menoleh dan mendapati ibunya mendekat kearahnya.
"Wah, kalau begitu mbak Sumi, anaknya Bu Tatik dan mas Arif, suami saya, harus dirajam juga dong pak Ustadz? Mereka selingkuh dan sudah pernah menikah lho?" tanya Nastiti membuat Arif dan Sumi langsung berdiri. "Heh, Nas! Tolong jaga bicaramu!" seru Sumi mendelik. Dia melompat ke arah Nastiti. Sedangkan Arif berdiri dan seakan membeku menatap wajah tamu undangan yang ada di ruang tamu rumah Sumi. "Kenapa? Apa aku salah bicara? Kamu sudah melakukan hubungan suami istri dengan suami saya di luar ikatan pernikahan yang sah. Dan sekarang, kamu justru mengadakan pengajian? Mau pencitraan?" tanya Nastiti. "Apa?!"Sumi mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi ke arah pipi Nastiti. Tetapi Nastiti dengan sigap menangkap tangan Sumi dan menepisnya kasar. "Jangan mimpi bisa menamparku, Sum! Jadi balasanmu terhadap kebaikan yang telah kulakukan adalah selingkuh dengan suami ku?""Jangan sembarangan memfitnah di depan orang banyak, kamu! Kami, aku dan mas Arif itu saling mencintai!""Cinta kok
Nastiti hanya mengedikkan bahunya. "Entahlah, Mas. Aku juga tidak tahu. Aku tidak mengundang mereka kemari. Kita tunggu saja mereka. Aku juga ingin tahu ada perlu apa mereka kemari," sahut Nastiti lirih. "Bagus sekali ya klinik dan rumah baru kamu," ucap Sumi saat dia dan Arif sudah sampai di hadapan Narendra dan Nastiti. Nastiti tersenyum. "Terimakasih. Ayo silakan duduk di dalam dulu. Karena masih dalam acara syukuran," sahut Nastiti ramah. "Hm, ada acara syukuran? Kok kamu nggak ngundang aku, Nas? Mana Ana?" sela Arif. "Iya. Kami tidak mengundang kalian. Karena rumah kalian kan jauh di luar kabupaten sini. Selain itu acara ini juga untuk syukuran lamaran," sahut Narendra yang lalu berjalan dan menuju ke arah Nastiti lalu berada di depan calon istri nya. Tampak wajah Sumi dan Arif yang tercengang. "Wah, sudah lamaran? Syukur deh. Semoga lancar sampai hari H, ya?" ujar Sumi terdengar tulus. "Terima kasih, ayo masuk dulu. Kita ngobrol di dalam sambil menikmati suguhan. Aku yakin
"Iya. Nastiti bermimpi salat berdua dengan diimami oleh mas Narendra selama 3 kali," sahut Nastiti membuat semua orang yang ada di ruang tamunya mengucap hamdalah. "Kalau begitu ayo kita menikah," ajak Narendra membuat Nastiti mendelik. "Tidak secepat itu, Mas Rendra.""Kenapa enggak? Kita sama-sama sudah siap dan sudah berumur juga. Apa menunggu rumah dan tempat praktik kamu selesai? Sekalian untuk acara syukuran?""Itu lebih, Mas. Daripada terburu-buru.""Baiklah. Aku setuju.""Bunda juga setuju.""Kamu ingin acaranya dibuat sederhana atau meriah?""Yang sederhana saja. Yang pentin khidmat.""Lalu kapan acara pernikahan nya?"Nastiti mendelik mendengar kan ucapan Narendra. "Ya Allah, Mas. Belum aja lamaran, kamu udah nanyain tanggal pernikahan," ucap Nastiti tertawa. Narendra tersenyum dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Yah, gimana ya. Kan sudah duda 4 tahun. Jadi rasanya kalau sudah menemukan yang pas, lebih baik, langsung akad," seloroh nya disambut cubitan bunda. "W
Tatik menerima vonis dari hakim dengan kepala tertunduk. Dikumpulkannya semua rasa semua rasa dendam dalam hatinya. "Oke. Mungkin saat ini aku kalah. Tapi aku tidak akan pernah menyerah. Aku akan balas dendam setelah aku keluar dari penjara," gumam Tatik dalam hati. *"Bagaimana tadi sidangnya, Sum?" tanya Arif yang duduk di teras rumah Sumi. "Alhamdulillah, lancar."Sumi pun menceritakan tentang sidang yang terjadi di pengadilan tadi. Arif terlihat manggut-manggut. "Baguslah kalau begitu. Sekarang kamu bisa fokus mencari kebahagiaan kamu."Sumi mengangguk. "Oh ya, kalau kita menikah, kita akan tinggal dimana, Rif?" tanya Sumi. Arif menghela nafas panjang. "Aku juga kepikiran hal itu. Kalau aku menikah dan tinggal di rumah kamu, aku merasa kasihan pada mami.Tapi kalau kamu ikut aku ke rumah mami, kasihan anak-anak kamu. Masa setahun pindah sekolah dua kali. Lagipula warung kamu hampir jadi," sahut Arif lirih sambil menatap bangunan mungil di depan teras rumah Sumi. Rumah waris
Mata Sumi membulat. "Benarkah, Rif?"Arif mengangguk meskipun dia juga ragu membuat Sumi menjadi ragu dan tidak percaya. "Rif, aku serius. Aku benar-benar ingin mempunyai imam yang menerima aku dan anak-anak ku. Yang bisa membimbing, menafkahi, dan mengayomi. Aku terima semua keadaan kamu. Kita juga pernah berbuat sesuatu yang haram kan? Aku ingin kita sama-sama memperbaiki nya, Rif." Sumi tertunduk. Arif menjadi tidak tega saat melihat mantan pacarnya itu. "Sum, aku bilang kan aku mau menerima perasaan kamu. Aku mau menerima kelemahan dan kelebihan kamu. Baiklah, ayo kita mulai dari awal ya."Sumi mengangguk. Matanya berkaca-kaca. "Tapi aku ingin kamu berjanji satu hal padaku, Rif.""Apa itu, Sum?""Jangan pernah menghadirikan pihak ketiga dalam rumah tangga kita. Termasuk mbak Nastiti. Kamu mau kan?"Arif mengangguk pelan. Dia juga heran, dulu saat masih menikah dengan Nastiti, dia justru ingin bersama Sumi. Sekarang saat Sumi sudah di depan matanya dan dalam kondisi yang lebih
Flash back on. Arif menutup teleponnya dengan perasaan yang campur aduk. Ini kesekian kalinya, Ana menelepon nya dan menanyakan kapan Arif pulang. Dan Arif juga sudah kesekian kalinya berbohong bahwa Arif masih sangat sibuk dengan pekerjaannya dan belum bisa pulang. "Kenapa kamu?" tanya maminya sambil membawa piring besar berisi ayam dan tahu krispi. Arif menghela nafas panjang dan menatap mamanya dengan pandangan bingung. "Aku kangen Ana, Mi."Maminya menarik kursi di hadapan Arif dan menduduki nya."Ya sudah. Kalau begitu kamu jenguk saja anak kamu. Ayo, mami juga ikut."Arif menopang dagunya dengan tangan. "Apa mami pikir akan semudah itu untuk menjenguk Ana? Arif bisa berbohong kalau lewat telepon. Tapi kalau bertemu langsung dengan Ana, Arif tidak akan berani berbohong. Arif tidak tega untuk mengatakan bahwa ayah dan ibunya sudah bercerai."Maminya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Terus kamu maunya apa? Itu kan semua menjadi salah kamu. Seharusnya sebelum kamu selingk
Arrgh! Tatik menjerit dan tubuhnya lemas seketika di samping ransum makanan nya. "Heh, dia pingsan beneran?" tanya salah seorang pengeroyoknya. "Ah, dia pasti pura-pura pingsan karena takut akan dikeroyok lagi!""Kita ambil saja makanan nya!""Kalau nanti kita dimarahi petugas gimana?""Salah sendiri. Coba dia nggak pelit buat bagi makanannya. Pasti dia nggak akan jadi seperti ini."Beberapa pengeroyok Tatik mulai mendekat ke arah Tatik. Dan mulai mengerubuti makanan yang ada di depan nya. "Heh, kalian!! Jangan ribut-ribut saat makan!" Sebuah suara menghentikan para pengeroyok Tatik yang sedang makan. Mendadak, Tatik terbangun dan menghambur ke arah petugas yang datang."Tolong! Tolong saya, Bu! Ini ada orang-orang gila yang mau merebut makanan saya!" seru Tatik sambil berpegangan pada tiang besi penjara yang dingin. Petugas itu terkejut saat melihat kondisi tubuh Tatik yang penuh dengan luka lebam. "Hm, ini pasti ulah kalian. Kalian harus menerima sanksi disiplin!" sahut petug
"Ceritanya panjang, tapi siapa bapak dan ibu ini? Kenapa ada di makam ibu saya?""Dewi Setyorini itu saudara kami. Kami empat bersaudara. Kami dulu punya sopir pribadi bernama Syarif Kasim. Ya, kuburannya berada di sana." Salah seorang peziarah itu menunjuk ke arah kuburan bapaknya Sumi. "Jadi bapak saya itu adalah sopir pribadi kalian?" tanya Sumi dengan suara tercekat. Ketiga peziarah itu mengangguk. "Ceritanya panjang, apa kamu sudah makan? Sepertinya kita harus bicara secara khusus. Apa kamu ada waktu untuk makan siang bersama kami?" Sumi berpikir sejenak. "Baiklah. Tapi jangan lama-lama, Bu. Karena saya mempunyai dua anak yang saya tinggal sendirian di rumah.""Wah, jadi kamu sudah punya anak?" Sumi mengangguk."Ya sudah kalau begitu, ayo kita ke kafe resto sekarang. Daripada kesiangan nanti. Kamu bawa kendaraan? Apa ikut mobil kami?""Saya bawa kendaraan, Bu.""Ya sudah, ikuti mobil kami ya. Di dekat sini ada kafe resto yang enak banget."*"Jadi Dewi adalah kakak sulung kam
Tatik tersenyum meledek melihat Sumi yang datang menjenguknya."Datang juga kamu. Aku pikir kamu tidak akan kesini dan menjadi anak durhaka," ucap Tatik menatap wajah Sumi. Sumi duduk di depan ibu tirinya dengan tenang. "Hm, Bu, saya kesini dengan dua kemungkinan. Bisa mengusahakan uang untuk sewa pengacara. Tapi bisa juga untuk membuat ibu dipenjara lebih lama lagi."Mata Tatik membulat. "Apa maksudmu?""Ehm, mungkin ibu akan langsung mengerti kalau aku mengatakan tentang Rina."Tatik tercengang, mulutnya menganga. "Kamu tidak akan bisa memenjarakan ku lebih lama. Kamu kan sudah kurawat dari bayi?"Sumi tertawa. "Ibu salah. Aku bisa melakukan ancamanku membuat ibu dipenjara lebih lama. Caranya sederhana saja. Aku telah memeriksa kamar ibu. Hal yang selama ini tidak pernah kulakukan. Dan aku telah menemukan akta kelahiran ku yang asli. Kalau ibu tidak mau menunjukkan dimana makam ibu kandung ku, akan kulaporkan ibu telah memalsukan dokumen.""Kamu mengancamku? Dasar anak tidak ta
"Astaghfirullah. Aku sedang ada perlu urusan rumah Mas. Kamu share loct rumah sakitnya ya. Aku ke sana sekarang!""Ada apa, Mbak?" tanya Narendra saat melihat Nastiti yang menyelempangkan tasnya dengan panik. "Kakak lelaki ku menelepon kalau bunda kecelakaan dan butuh darah," sahut Nastiti seraya berdiri. "Pak Rendra, karena urusan rumah kita sudah selesai, saya pamit dulu akan ke rumah sakit.""Tunggu! Saya ikut, Mbak!"Nastiti menoleh dan terkejut dengan ucapan Narendra. "Ini sudah tidak ada urusan nya dengan rumah yang saya jual, Pak. Ini urusan keluarga saya.""Ya saya tahu. Saya hanya ingin mengenal mbak dan keluarga lebih dekat."Nastiti melongo. "Tapi ..,""Ayo kita berangkat, Mbak. Kan tadi mbak bilang kalau bundanya butuh darah. Ayo kita berangkat sekarang."Narendra berdiri dan berjalan terlebih dahulu ke arah kasir. Dan setelah dia menyelesaikan pembayaran, Narendra mengikuti Nastiti menuju ke mobilnya. *Nastiti dan Narendra berjalan tergesa di lorong rumah sakit yang